Share

BAB 4 - APAPUN YANG TERJADI

Anjeli terus menatap Ghatan menunggu jawabannya. Begitupun Ghatan, pria itu terus menatap Anjeli seolah akan memberikan jawaban yang jelas. Namun ditunggu seberapa lama pun, Anjeli tak kunjung mendengar suara itu.

Anjeli mendecak, ia orang pertama yang memutus kontak mata. Wajah frustasinya tak dapat disembunyikan seiring air matanya kembali menetes, teringat pada ucapan orang tuanya yang tak pernah terbesit sekalipun dalam pikiran Anjeli.

"Hah ... Kenapa ibu dan ayah begitu tega?" Tangannya dengan keras mengusap air mata yang terus mengalir. "Rasanya seperti jutaan belati menusuk jantungku, lebih baik aku mati daripada harus menikah denganmu."

"Huh? Kau tidak tahu kalau orang tuamu menandatangani kontrak denganku demi utang-utang mereka lunas," ujar Ghatan memberitahu yang sebenarnya kepada Anjeli. "Dan lagi mereka menyetujui syarat yang tertulis dalam kontrak tersebut."

"Apa kau bilang?" Anjeli tak habis pikir, dia tidak memercayai ucapan pria ini sepenuhnya. "Apa syarat kontrak tersebut?" tanya Anjeli, menatap Ghatan serius.

Ghatan hanya tersenyum kecut, tak menanggapi pertanyaan Anjeli dan memilih untuk memejamkan matanya. Ia menganggap, Anjeli ini terlalu naif. Bahkan, dia tidak tahu jika orang tuanya sendiri merelakan anaknya dibawa pergi.

Pertanyaan Anjeli adalah suara terakhir sebelum akhirnya kembali hening. Pertanyaan yang tak digubris membuat Anjeli dongkol, tetapi dia tidak bisa melakukan apa-apa. Akhirnya Anjeli hanya diam sambil memandang jalanan, hatinya masih terasa sesak sampai sekarang.

Rintik hujan mulai turun, keheningan membuat kantuk datang. Entah akan dibawa kemana dirinya oleh pria yang memaksanya menikah, ia hanya diam menunggu mobil yang dikendarai oleh manajer menepi di sebuah tempat.

Sampai tidak terasa perjalanan mereka sudah sampai di sebuah gedung apartemen mewah. Begitu mobil terparkir di basement, Pak Hans selaku manajer sekaligus sopir pribadi Ghatan membalikkan badannya.

"Pak, kita sudah sampai."

Ghatan melihat wajah Anjeli yang tenang tanpa ada niat untuk membangunkannya, lantas menatap Pak Hans. "Bawa barang-barang di bagasi ke atas, aku akan menyusul bersamanya."

"Baik," jawab Pak Hans kemudian keluar dari mobil.

Setelah Pak Hans keluar Ghatan hanya diam sambil memandangi wajah Anjeli. Sudut bibirnya perlahan terangkat samar, senyuman yang sangat samar itu tercetak terus dengan mata yang tak henti menatap wajah jelita milik Anjeli.

Namun saat melihat pergerakan Anjeli, Ghatan mengubah tatapannya. "Cepatlah, ikuti aku jika tak ingin tersesat."

Anjeli melihat sekeliling, 'Sepertinya sudah sampai,' batinnya sambil melangkah keluar mobil. Pria itu benar-benar tidak punya hati, padahal Anjeli baru saja bangun tetapi tak memberinya waktu untuk mengumpulkan nyawa.

Ghatan yang memimpin jalannya, pria itu benar-benar tidak peduli dengan keadaan Anjeli sekarang. Rasanya pening sekali harus langsung berjalan setelah bangun tidur. Ketika Ghatan sudah masuk ke dalam lift, Anjeli sengaja tidak mengikutinya dan diam sebentar sambil menatap wajah tanpa ekspresi itu.

"Kenapa diam saja?" tanya Ghatan.

Anjeli tak menjawab, tetapi kemudian Anjeli melangkah maju dengan enggan. Dia berdiri tepat di samping Ghatan, suasananya benar-benar kaku membuat Anjeli ingin berlari pergi dari pria ini.

'Uh, ini sangat tidak nyaman.'

Meski begitu Anjeli harus menahannya.

"Kita akan pergi ke mana?"

"Ke apartemenku."

Anjeli diam, dia mencoba mencerna perkataan Ghatan. "Hm ... Maksudmu?"

Pintu lift terbuka ketika telah sampai di lantai 17, Ghatan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. Pria itu menatap Anjeli intens, "Mulai sekarang kau akan tinggal bersamaku."

***

Sekarang Anjeli sudah berada di dalam apartemen Ghatan dengan perasaan yang tak jelas. Rasanya aneh, udara yang terasa mencekam membuatnya ingin melarikan diri dari tempat ini. Apa lagi kala Ghatan hanya diam, membuat suasana di antara mereka semakin tidak nyaman dan canggung.

Apa alasan Ghatan ingin menikah dengannya? Padahal Anjeli sudah tak lagi berontak dan mengikuti kemauannya, tetapi pria itu malah mengabaikannya dan asik memainkan ponsel.

"Uh, apa yang harus kulakukan?" tanya Anjeli pada dirinya sendiri, lantas mengedarkan pandangan mengamati sekeliling. "Tempat ini sangat rapi dan di tata dengan baik, tapi percuma saja jika suasananya membuatku tidak nyaman."

Anjeli menatap Ghatan, aura pria itu benar-benar mendominasi seperti suara dan dinginnya hujan di luar sana.

"Ehem!" Anjeli mencoba menyadarkannya bahwa di tempat ini bukan hanya ada dirinya seorang.

Tepat saat itu juga Ghatan meletakkan ponselnya dan berjalan mendekati Anjeli. Tanpa mengatakan apapun Ghatan menarik koper Anjeli dan diseret ke suatu tempat. Anjeli sendiri mengikuti Ghatan dari belakang meskipun tak ada perintah.

"Ini kamarmu," kata Ghatan setelah mereka masuk ke dalam sebuah kamar. "Kau bebas melakukan apa pun." Dan setelah itu Ghatan membalikan tubuhnya akan pergi.

"Anda belum memberitahu alasan kenapa memilih saya," ucap Anjeli tegas membuat Ghatan menghentikan langkahnya. "Saya sudah berpikir berulang kali, tetapi tidak ada jawaban yang masuk akal. Alih-alih menjadikan saya istri, mengapa tidak membuat saya bekerja di bawah anda?"

Sebelum kembali membalikan tubuhnya dan menjawab pertanyaan Anjeli, Ghatan menyeringai.

"Apa untungnya menikah dengan saya?"

Ghatan menolehkan kepalanya. "Kau cukup turuti setiap perintahku jika ingin keluargamu selamat."

Jawaban Ghatan membuat dada Anjeli kembali nyeri, harga dirinya merasa diinjak-injak. "Menuruti perintahnya katanya?"

Saat pintu telah ditutup rapat, tubuh Anjeli ambruk ke lantai mulai memikirkan banyak hal yang menimpa dirinya hari ini.

Hati Anjeli begitu berkecamuk, dia sangat ingin melarikan diri ke rumah dan menanyakan segalanya.

"Bagaimana bisa mereka baru mengatakannya sekarang?" Anjeli masih tidak percaya jika dia bukan anak kandung Yuan dan Eva. Namun mengingat mereka membiarkan Anjeli pergi begitu saja, perlahan harapan bahwa mereka berbohong semakin terkikis. "Apa karena dulu aku masih kecil? Tapi seharusnya mereka mengatakan lebih dulu, kenapa harus dikatakan di situasi seperti ini ... Huhuhu."

Tubuhnya dijatuhi oleh air yang mengalir dari shower, merasakan setiap sentuhan air yang membuatnya sedikit lebih tenang. Tidak akan ada yang tahu jika Anjeli sedang menangis, air mata itu bersatu dengan air yang terus membasahi tubuhnya. Sambil meratapi nasibnya sekaligus mengingat kasih sayang orang tuanya.

Entah apa yang akan terjadi ke depannya, cepat atau lambat ia akan menikah dengan pria yang menukarnya dengan sebuah tawaran. Pria tidak punya hati, pria yang tak dicintainya.

Anjeli keluar dari kamar mandi dengan mata sembab. Begitu meluruskan pandangan, seseorang tengah menunggunya di atas ranjang. Pria itu duduk di kasur dengan tatapan tajam, aura dominan terasa begitu Ghatan mulai berjalan mendekatinya.

Ternyata tidak sampai disitu, tangan kekarnya terangkat meraih helaian rambut Anjeli yang basah kemudian mengusapnya dengan ibu jari.

"Sepertinya ini adalah hari terburuk sepanjang sejarah hidupmu, An."

Anjeli sontak mundur selangkah, semakin mengeratkan handuk yang hanya membalut tubuhnya. "Apa maumu!?" tanya Anjeli waspada.

"Minggu depan kita akan menikah." Ghatan bingung ketika Anjeli justru menunduk tampak pasrah. "Tapi sebelum hari pernikahan itu, ada syarat yang harus kau ketahui."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status