Entah apa yang Ghatan pikirkan hingga dengan mudah ia menyerang Anjeli seperti ini. Mencumbu setiap inci wajah Anjeli, mengendus nafsu aroma tubuh Anjeli yang memabukkan. Hingga akhirnya ia berhenti melakukan aksi diluar kendalinya kala merasakan cakaran pada lehernya.
"Hei!" Napas Anjeli terengah-engah, dalam sekejap bajunya berantakan akibat ulah Ghatan. "Apa kau gila!?" bentaknya, tak dapat dipungkiri jika sikap Ghatan membuatnya marah. "Apa kau memang selalu mempermainkan wanita seperti ini?" Ghatan terdiam, tak membalas ucapan Anjeli. Ia termenung beberapa saat hingga akhirnya pandangannya teralihkan ke sembarang arah. "Kenapa tidak menjawabku?" Anjeli melempar satu pertanyaan lagi, sontak Ghatan mengalihkan pandangannya ke arah Anjeli. Pria itu mengusap bibirnya dengan ibu jari, tatapan tajamnya seolah tak ingin mengakui kesalahannya. "Hah, apa kau sedang mengancam ku sekarang?" Dia mendengus. "Apa kau tidak peduli jika keluargamu dalam bahaya?" tanya Ghatan, tetapi terdengar seperti sebuah ancaman. Kakinya melangkah ke depan, membuat Anjeli semakin tersudut. "Apa kau sudah tidak peduli lagi dengan keluargamu?" Dengan sisa tenaganya Anjeli mendorong bahu Ghatan. Ia mengangkat wajahnya, sama sekali tak menaruh rasa takut terhadap pria di depannya. "KAU SENDIRI APA PEDULI PADAKU!?" Anjeli menunjuk pintu kamar Ghatan. "Kita baru saja menikah, tapi kau dengan tega pergi meninggalkanku sendiri di sini. Lalu datang membawa seorang wanita." Anjeli terus menatap Ghatan. "Aku tahu bagimu pernikahan ini tidak ada apa-apanya, atau mungkin kau anggap ini hanya pernikahan palsu." "Kalau kau tahu—" "TAPI APA PANTAS KAU BAWA WANITA LAIN KE SINI?" jerit Anjeli menginterupsi ucapan Ghatan. "Pak ... saya tahu saya bukan siapa-siapa bagi anda, tapi setidaknya hargai saya sebagai seorang wanita yang menikah dengan anda." Suaranya merendah, matanya berkaca-kaca memberi pesan bahwa ia juga seorang manusia. "Jika anda menikah dengan saya hanya untuk mempermainkan saya, lebih baik saya pergi dari sini." Mendengar Anjeli mengatakan segalanya dengan penuh emosi, membuat urat-urat leher Ghatan semakin menonjol. Pria ini tampak murka, menarik lengan Anjeli dan membawanya pergi. "Kak Ghatan?" Suara Anindya membuat Ghatan mencengkeram tangan Anjeli semakin erat dan membawa Anjeli ke dalam kamarnya. Sampainya di dalam kamar Anjeli, Ghatan melepaskan cengkraman itu lalu mengunci pintu dengan cepat. "Kau...." Ghatan menahan emosinya yang hampir meluap. "Kak Ghatan kau di mana?" Suara Anindya berhasil membuat Ghatan menarik napas. "Ugh! Kita bicara nanti, jangan pikir kau bisa pergi dari sini." Setelah mengatakan itu Ghatan pergi, meninggal Anjeli yang kini mulai memikirkan kembali apa yang sebenarnya Ghatan inginkan. "Hah...." Kring! Kring! Ponselnya berbunyi, sebuah panggilan dari ibu membuat ekspresi Anjeli berubah sedikit lebih baik. Dia segera mengangkat panggilan itu, sebelum Ghatan kembali ke kamarnya. "Ibu ... tolong maafkan aku—" "Hei, ini aku Bas, kakakmu." Kening Anjeli mengernyit, ia melihat nama kontak pada layar ponselnya. "Nomor ibu ... ah, kak Bas rupanya. Ada apa menghubungiku?" tanyanya. "Dimana ibu? Kenapa kakak memakai ponsel ibu?" "Kau di mana sekarang? Seminggu kau menghilang dan tidak dapat dihubungi, ternyata kau mengganti nomormu tanpa menghubungiku lagi?" Pertanyaannya diabaikan begitu saja, justru Bas malah melemparinya pertanyaan baru. "Cih, sialan. Apa kau akan membuang kakakmu begitu saja?" Anjeli memejamkan matanya, menjauhkan ponsel dari telinganya. "Itu tidak penting, sekarang bagaimana keadaan ibu dan ayah?" "Hahaha, apa kau sungguh ingin tahu keadaan mereka? Dasar tidak tahu malu, padahal kau sendiri yang membuat keluarga kita menjadi seperti ini." "Maksudmu!?" seru Anjeli. Selain Ghatan, Bas kakaknya ini memang sangat suka memancing emosinya keluar. "Sudahlah, kami sudah pin—" "Anjeli, ayo kita selesaikan urusan tadi." Tutt! Spontan Anjeli mematikan panggilan tersebut dan menyembunyikan ponselnya ke belakang tubuh. Ghatan kembali secepat itu, Anjeli tidak ingin tahu keberadaan Anindya masih di apartemen ini atau tidak. Melihat gelagat Anjeli yang mencurigakan, membuat Ghatan bertanya, "Hm? Apa yang kau sembunyikan?" Anjeli menggeleng. "Ti-tidak ada!" Suara Anjeli terbata-bata, Ghatan yakin wanita ini menyembunyikan sesuatu darinya. Namun ia memilih untuk tidak peduli. Anjeli mendekati Ghatan setelah menetralisir rasa tegangnya. Tanpa mengatakan apa pun Anjeli melepas cincin pernikahan yang disematkan pada jari manisnya kala itu oleh Ghatan. "Ayo kita sudahi pernikahan ini, apa pun yang terjadi saya akan melunasi utang-utang itu dengan usaha saya sendiri." Melihat cincin itu sudah lepas dari jari Anjeli, membuat Ghatan diam memandanginya. Ghatan menyeringai, dia menggelengkan kepalanya tak habis pikir. "Bagaimana kau melakukannya?" Anjeli kesal, pria ini benar-benar meremehkannya. "Bagaimanapun caranya saya akan melunasinya, maka biarkan saya pergi." "Tidak," kata Ghatan. Dia kembali menjadi manusia paling dingin dan kejam. Pria itu berjalan ke arah pintu dan mengambil kunci milik kamar Anjeli. "Kau harus tetap di sini, peraturan adalah peraturan. Jika kau melanggarnya maka keluargamu akan dalam bahaya." Wajah Anjeli panik kala Ghatan keluar dari kamarnya seraya memegang kuncinya. "Apa yang anda lakukan?" "Memastikan supaya kau tidak pergi dari rumah ini." "Persetan dengan peraturan, memangnya kau siapa sampai melarangku seperti ini?" ucap Anjeli dengan kata-kata kasar khasnya. Membuat Ghatan hanya bisa menggelengkan kepala tak habis pikir. "Oh ayolah, sejak kapan kau peduli pada wanita sepertiku?" "Kalau dipikir lagi, aku ini lebih tua darimu tapi ucapanmu sangat tidak pantas." Ghatan mengantongi kunci kamar Anjeli, lantas ia mendekat ke arah Anjeli. "Aku suamimu, aku berhak atas hidupmu." "Sejak kapan kau—" "Tidurlah," kata Ghatan dan memapah Anjeli untuk naik ke atas ranjang. Meskipun Anjeli berontak, tetapi Ghatan terus mendorong Anjeli agar wanita ini berbaring. "Jangan mempersulit hidupmu dengan sikapmu," ucap Ghatan seakan dirinya tengah dicoba oleh Anjeli. "Kau harus tidur, besok kau sudah mulai bekerja." "Aish! Sial!" Anjeli akan bangun, tetapi Ghatan mematikan lampunya dan menatap Anjeli penuh peringatan. "Letakan kembali kuncinya, aku akan menuruti kata-katamu." Ghatan yang hendak keluar kamar pun diam dan berpikir sejenak, pria itu akhirnya meletakan kembali kunci di atas nakas. "Sekarang kau tidurlah, sebelum aku berubah pikiran." Sikap pria itu benar-benar membuat Anjeli bingung. Terkadang dia bisa terlihat dingin dan kejam, terkadang tiba-tiba tidak bisa dibaca. "Mulai besok dan kedepannya, kau tidak akan bisa seperti ini lagi." Dan kini ia berubah menjadi dingin lagi. "Dan satu hal lagi, kau adalah istriku mulai sekarang. Jadi, apa pun perintahku harus kau patuhi." Ghatan menutup pintu kamar Anjeli dengan hati-hati, ia menarik napas dalam dan mengeluarkannya secara perlahan. Pandangannya lurus ke depan, kedua irisnya menangkap sosok pria berkacamata dengan sebuah map berwarna cokelat. "Pak, saya sudah mengurus semua utang keluarga pak Yuan. Namun pak Presdir tetap ingin mereka pergi." "Lalu, kemana mereka pergi?" tanya Ghatan seraya menerima map cokelat itu. "Apa Presdir tidak mencurigaiku?" "Mereka sudah saya tempatkan jauh dari hadapan nona Anjeli, saya pikir mereka tidak akan bertemu lagi dengan nona Anjeli." Pak Hans menjelaskan dengan sangat hati-hati. "Untuk pak Presdir, sepertinya dia tidak mencurigai anda." Ghatan menatap Hans penuh kepuasan. "Jangan lakukan apa pun sebelum ada perintah dariku," ujar Ghatan dan memberikan kembali map cokelat itu. "Sekarang kau awasi saja orang tua Anjeli." "Baik," jawab Hans tegas. Ghatan kembali menoleh ke arah Hans. "Satu lagi, kau awasi juga Baskara, kakak laki-laki Anjeli.""Hm?" Anjeli mengernyitkan keningnya begitu menyadari sesuatu. "Sepertinya ada sesuatu di wajahku," katanya seraya mengeluarkan ponsel dan membuka aplikasi kamera. Anjeli mengangkat ponselnya dan menatap wajahnya di sana, berlagak seakan tengah menyingkirkan sesuatu dari wajahnya. Padahal ada sesuatu yang ingin ia pastikan, semenjak keluar dari kantor akan menemui Bas, Anjeli merasa ada yang mengikutinya. "Ternyata ada sesuatu di mataku, pantas saja seperti ada yang menghalangi pandanganku." Anjeli sengaja menabrak orang yang baru saja keluar dari toko pakaian. "Maaf-maaf ... aku akan lebih berhati-hati." Anjeli menoleh ke belakang dan sesuai dugaannya, orang yang mengikutinya tampak bersembunyi dan ini kesempatan Anjeli untuk menghilangkan jejak. Ia memutuskan untuk masuk ke toko pakaian, mengambil baju dan topi lantas mengganti pakaiannya. Setelah Anjeli mengganti pakaian, orang itu tampak kebingungan dan tak lagi mengikutinya. "Siapa orang itu?" ujar Anjeli bertanya-tanya.
"Apa-apaan penampilanmu ini?" Suara kencang sang ayah membuat wanita yang kini tengah duduk di sofa itu memejamkan matanya. Ekspresinya seolah tak peduli pada respon sang ayah mengenai dirinya. "Jangan coba-coba untuk berontak, Karina." Karina memutar bola matanya malas. Dengan penampilan yang berubah 180 derajat, tentu saja membuat Tama terkejut dan tak terima. Putri yang selalu ia banggakan kini berani membangkangnya, melawan setiap ucapannya, dan bersikap tidak sopan. Jaket kulit berwarna hitam yang Karina pakai seakan membuat mata Tama sakit. Ditambah celana jeans ketat menambah kesan tomboy pada karakter Karina yang awalnya anggun bak putri kerajaan. "Kemana pakaian pink-pink mu itu, Karina?" tanya Tama dengan kedua tangan disimpan di sisi pinggangnya. "Apa kau ingin menjadi bahan perbincangan orang-orang di kantor ini?" Karina menghela napas, lantas mengeluarkan sesuatu dan berhasil meningkatkan emosi Tama saat ini juga. "KARINA! DARI MANA ROKOK ELEKTRIK ITU!?" Kar
Anjeli sudah kembali ke kantor dan sekarang ia berjalan menuju lift untuk pergi ke ruangannya. Dari jauh Anjeli dapat melihat banyak orang menunggu di depan lift membuatnya sedikit menghela napas. "Apa aku harus berdesakan di dalam lift?" keluh Anjeli. "Kenapa disaat seperti ini banyak orang yang ingin naik lift, sih?" Begitu tiba saatnya Anjeli masuk ke dalam, seseorang membuat kakinya berhenti melangkah. Tatapan pria itu membuat Anjeli diam layaknya patung, hingga pria yang tak lain adalah bosnya itu tersenyum lebih dulu kepadanya. "Apa kau tidak akan masuk?" tanyanya. "Eh?" Anjeli linglung beberapa saat. "Selamat siang, Pak." Anjeli sedikit membungkukkan tubuhnya dan tersenyum kecil. "Silakan anda masuk lebih dulu." "An—" Ghatan seakan ingin menarik tangan Anjeli dan mengajaknya berbicara, tetapi tiba-tiba banyak pegawai datang dan masuk ke dalam lift dengan terburu-buru. Dalam sekejap para pegawai itu memenuhi ruang lift. Jarak jauh diantara dirinya dengan Anjeli membua
Anjeli menatap datar ponselnya, lantas ia memasukannya ke dalam saku celana. Setelah Pak Hans datang membawakan makanan untuknya, Anjeli mendapat pesan dari Ghatan tetapi ia tak berniat membalasnya. Semua orang tampak bingung mengapa bosnya itu hanya memberi makanan kepada satu karyawannya saja, dan itu adalah karyawan baru dibandingkan dengan karyawan lain yang sudah lama bekerja di perusahaan ini. Sophia menatap paper bag yang Anjeli pegang, lalu ia menatap Pak Hans dengan sedikit kerutan di dahinya. "Sebenarnya aku penasaran tentang pertunangan pak Ghatan dengan putri CEO Perusahaan TK itu," kata Sophia terus mendekati Pak Hans. "Kapan mereka akan melakukan pesta pertunangannya?" Pak Hans diam tak langsung menjawab. Namun ketika mulutnya sudah terbuka akan menjawab pertanyaan itu, Leon yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya sedikit berseru membuat semua pasang mata beralih ke arahnya. "Wah, bagaimana bisa semua artikel tentang pertunangan itu hilang semuanya?" Leon mendec
Ghatan menggendong Anjeli yang tak sadarkan diri untuk dipindahkan ke tempat tidur. Baru saja beberapa langkah Anjeli membuatnya sedikit resah, dalam keadaan mabuk Anjeli meraba dadanya dan terus melenguh. "Ngh, k-kau..." Ghatan berhasil membaringkan Anjeli di kasur dan menyelimuti istrinya itu, tetapi usahanya sia-sia karena Anjeli menyibaknya dengan kasar. "Ugh ... panas!" Anjeli menggumam, keningnya dipenuhi oleh keringat. "Kenapa kau minum banyak sekali, sih?" Ghatan sedikit kesal mengingat isi botol alkohol tersisa setengahnya lagi. "Jika kau sudah tahu tentang pertunangan itu kenapa tidak marah padaku?" tanya Ghatan frustrasi. "Lebih baik kau marah padaku daripada bersikap seperti ini, An." Ghatan duduk di pinggir kasur, memandangi wajah penuh keringat itu. Tangannya menjulur lalu mengusap keringat di pelipis Anjeli, perlahan ia usap lembut surai legam itu. Ghatan terus memerhatikan wajah Anjeli, tanpa merasa bosan ia usap surai itu dengan penuh perasaan. Namun kala
Ghatan pulang ke apartemen dengan panik, begitu masuk ke dalam hal pertama yang dicari adalah keberadaan Anjeli dan sedikit tenang saat melihat Anjeli sedang menonton tv. Dia bernapas lega, memandang lurus punggung itu. Perlahan Ghatan mendekati Anjeli. Duduk di samping Anjeli, meraih tangan Anjeli lalu menggenggamnya. Anjeli tidak merespon, bahkan kedua matanya lurus ke depan tak menoleh ke arah Ghatan. Dia pasrah setiap Ghatan melakukan apa pun kepadanya. Saat Anjeli merasa wajah Ghatan mendekati wajahnya, ia langsung menoleh dan bertanya, "Sudah pulang?" Sambil tersenyum seakan tidak ada berita yang terdengar ke telinganya. Ghatan menjauhkan wajahnya dan menatap Anjeli heran. "Aku ingin menghubungi mu tapi aku lupa menyimpan ponsel, jadi aku menunggumu di sini." Setelah mendengar laporan itu Ghatan merasa tenang. Rupanya Anjeli tidak melihat ponselnya, berarti berita pertunangannya dengan Karina belum Anjeli ketahui. Ghatan tahu Gama menyebar berita pertunangan itu. Men