"Syarat?" beo Anjeli dengan dahi berkerut dalam, ia menatap Ghatan penuh pertanyaan.
Ghatan mengangguk. "Ya, syarat yang harus kau patuhi," ucapnya seraya menatap Anjeli. Namun beberapa saat kemudian Ghatan membelakangi Anjeli. "Ah, apa mungkin lebih tepat jika disebut aturan?" Merasa jika Ghatan sedang bertele-tele, Anjeli mendecak kesal. "Cepat katakan." "Setelah menikah kita tidak boleh tidur bersama—" "Apa!?" seru Anjeli menginterupsi kalimat yang hendak Ghatan katakan, bahkan pria itu termenung beberapa saat karena Anjeli yang begitu terkejut. Sebelah alisnya terangkat. "Kenapa respon mu seperti itu? Jangan-jangan kau ingin tidur—" "Argh!" Lagi-lagi Anjeli memotong ucapan Ghatan, wanita itu mendorong Ghatan agar keluar dari kamarnya. "Kenapa kita tidak bicara setelah aku pakai baju?" tanya Anjeli dan berhasil mengeluarkan Ghatan dari kamarnya, tetapi ketika Anjeli sudah menutup pintu ia membukanya kembali. "Dan satu lagi, aku tidak akan mematuhi aturan jika tidak disetujui oleh kedua belah pihak." Lanjutnya sebelum Anjeli kembali menutup pintu. Begitu pintu tertutup, Anjeli bersandar pada pintu dan memegangi dadanya. "Pria itu benar-benar membuatku gila." Tok. Tok. Tok. "Apa kau sudah selesai memakai baju?" tanya Ghatan dengan santai. Anjeli melotot. "Pak! Bahkan anda baru keluar beberapa detik yang lalu!" serunya dari dalam. "Ck! Cepat, aku tidak punya waktu." Anjeli segera memakai pakaiannya. Selesai memakai baju Anjeli langsung keluar tanpa membuka pintu dengan lebar, Anjeli tidak ingin pria ini masuk kembali ke kamarnya. Dan ternyata, selama Anjeli memakai baju Ghatan masih setia berdiri di depan pintu. Itu cukup mengejutkan Anjeli. "Kita bicara di luar saja," kata Anjeli. Akhirnya mereka berjalan menuju ruang tengah, duduk di sofa dan memulai pembicaraan. "Aku tidak akan basa-basi," kata Ghatan. "Aku akan langsung mengatakan peraturan yang harus kau patuhi, silakan berkomentar setelah aku selesai bicara." Anjeli mengatupkan mulutnya karena dia hampir saja berkomentar. Sebelum kembali membuka mulut, Ghatan berdeham mempersiapkan segala yang akan keluar dari mulutnya. "Pertama, kita tidak boleh tidur bersama. Artinya kita tidur pisah ranjang, tidak di kamar yang sama." Ia mulai mengatakan aturan pertama. "Kedua, kau tidak berhak mengatur dan ikut campur dalam urusan ku. Dan yang ketiga..." Ghatan menjedanya cukup lama. "Tidak boleh ada yang tahu kita sudah menikah." Mereka saling pandang beberapa detik. "Sud—" "Dan yang terakhir, kau harus bekerja di perusahaan ku." Kalimat terakhir yang Ghatan katakan membuat Anjeli sedikit mengernyit. "Maksudmu?" Ghatan menarik napas dalam, pria itu menatap Anjeli penuh peringatan. Tatapan yang tidak Anjeli mengerti, tetapi berhasil membuat Anjeli menelan ludahnya sendiri. "Mulai minggu depan kau bekerja di perusahaanku, anak perusahaan GP Property," ujar Ghatan tegas. "Tenang, aku sudah menempatkan mu di tempat yang tidak terlalu berat." "Hahaha." Bukannya berterima kasih karena Anjeli dibebastugaskan dari kantor utama, justru wanita itu tertawa hambar. "Apa aku boleh berkomentar?" tanyanya meminta kesempatan miliknya. "Silakan," jawabnya seraya mengangguk. "Apa aku boleh membuat aturan juga?" tanya Anjeli tetapi tak dapat tanggapan. Karena Ghatan hanya meliriknya lalu mengabaikannya setelah menyeruput teh, Anjeli mendengus dan mengatakan apa yang ingin dia katakan. "Hanya satu..." "Tidak, semua aturan di sini hanya aku yang bisa mengatur." Anjeli merasakan ketidakadilan lagi, padahal Ghatan sendiri yang mempersilakannya untuk berkomentar. "Ini tak adil!" Ghatan berdiri, pria itu meninggalkan Anjeli yang ingin mendapatkan keadilan lagi di tempat yang berbeda. Melihat sikap Ghatan yang sangat seenaknya terhadap dirinya, Anjeli dongkol juga. "Jika aku melanggar aturan itu, apa yang akan terjadi?" tanya Anjeli penuh rasa berani. Ghatan menghentikan langkahnya, menoleh ke belakang dan melihat Anjeli melalui ekor mata. "Orang tuamu akan dalam bahaya." *** Hari pernikahan. Kata orang pernikahan itu adalah janji suci antara pria dan wanita yang saling mencintai. Namun untuk kali ini Anjeli tidak merasa seperti itu, pernikahan di atas materai yang disetujui orang tuanya tanpa sepengetahuan Anjeli. Awalnya Anjeli merasa kecewa dan tidak ingin melakukan hal ini, tetapi jika ia terus berontak pergi entah apa yang akan terjadi kepada keluarganya. Dan yang paling mengecewakan lagi untuknya adalah hari pernikahan yang tidak diinginkannya. Hari yang seharusnya menjadi hari paling bahagia, tetapi ini adalah hari yang paling tidak diinginkan. Dada Anjeli benar-benar kosong, ia tidak merasakan sensasi apa pun selain menghela napas berulang kali. Meski menikah dengan cucu pewaris tunggal GP Property, pernikahan ini terbilang cukup sederhana. Bahkan, orang tua Ghatan yaitu Gama tidak datang ke pernikahan mereka. Pria itu tidak membawa kerabatnya, ia hanya membawa sekretaris dan manajernya. Sambil memandang wajahnya di cermin, Anjeli membayangkan bagaimana seandainya ini adalah hari pernikahan yang ia tunggu-tunggu. "Pasti sekarang dadaku sedang berdebar-debar," gumamnya sembari memegangi dadanya yang berdetak normal. "Apa ini memang keputusan yang tepat? Kenapa rasanya ada yang mengganjal." Anjeli terus berpikir. "Aneh, kenapa pak Ghatan rela bergerak sejauh ini hanya karena utang keluargaku? Ah, kenapa pula pria itu ingin membantu untuk membayar semua utang tetapi dengan bayaran berupa pernikahan?" Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalanya, seakan bumi yang terus berputar mengelilingi matahari. "Apa kau sudah siap?" Anjeli sedikit terperanjat, ia segera menolehkan kepala. Di sana Ghatan berdiri dengan setelan jas berwarna putih, rambut hitamnya yang di tata rapi tampak lebih menawan. 'Ah ... aku harus fokus.' Anjeli mengangguk, kemudian ia berdiri perlahan menunjukkan gaun pengantinnya yang indah. Tanpa Anjeli sadari, ada seseorang yang tengah mengalihkan pandangan dari dirinya. Dan pergi lebih dulu tanpa menuntun jalan Anjeli yang sedikit kesusahan. "Cih, aku tahu dia tidak akan peduli jika aku jatuh," gerutu Anjeli melihat Ghatan meninggalkannya. "Tapi setidaknya bantu aku sedikit—ah, aku harus sadar diri...." Janji suci mereka telah terikat. Benar-benar tidak ada kerabat Ghatan yang datang, sepertinya pria itu memang ingin menyembunyikan pernikahan ini seperti syarat yang diberikannya seminggu yang lalu. Dan yang lebih menyakitkan bagi Anjeli, keluarganya pun tak datang kemari, atau memberinya pesan singkat menanyai kabarnya. Anjeli meringis ngilu, ia tampak murung setelah pernikahannya dengan Ghatan terlaksana. Syarat dan aturan yang diberikan Ghatan secara sepihak. Meski begitu Anjeli tidak terlalu keberatan, walau segala aturan ada ditangan Ghatan yang membuatnya sedikit terganggu. "Apa kau sudah selesai?" tanya Ghatan. Tampaknya pria itu sudah mengganti pakaiannya. Anjeli mengangguk. Dia sudah tidak memakai gaun pengantin yang cantik, make up dihapus bersih, dan sekarang status Anjeli sudah menjadi istri pewaris tunggal GP Property. "Sekarang kita pulang," ujar Ghatan dingin. Setelah acara pernikahan, sikap pria itu mendadak dingin. Bahkan, selama pernikahan berlangsung Ghatan tidak menatap atau mengajaknya bicara. Pria itu seakan berubah menjadi orang yang berbeda. Hubungan keduanya semakin jauh, itu yang Anjeli rasakan. Ghatan seakan memberinya tembok yang tinggi, pernikahan saja sepertinya tidak cukup membuat hubungan keduanya menjadi normal layaknya suami dan istri. Sampainya di apartemen, Ghatan langsung keluar dan meninggalkan Anjeli sendiri. "Kau akan pergi ke mana?" tanya Anjeli sebelum pria itu benar-benar ditelan pintu. "Kau tega meninggalkanku sendiri setelah hari pernikahan kita?" "Apa kau menganggap pernikahan ini serius?" tembak Ghatan dengan enteng. Anjeli terpaku, ia diam menatap Ghatan hingga punggungnya menghilang ditelan pintu. Rasanya sesak, pria itu seolah menganggap lelucon pernikahan ini. "Haha, apa aku dianggap sebagai mainannya?" Tak lama.... Malam pun tiba, Ghatan datang membawa seorang wanita ke rumah semakin membuat Anjeli bertanya-tanya apa tujuan pria ini menikahinya. "Siapa wanita itu?" tanyanya begitu melihat Anjeli keluar dari kamar. Ghatan melirik Anjeli sekilas. "Oh, dia hanya sepupuku," jawabnya. "Abaikan saja, kaubebas melakukan segalanya di sini." Ghatan menerima tas yang wanita itu berikan. "Kau sepupu Ghatan?" tanya wanita itu pada Anjeli, matanya menyapu tubuh Anjeli dari ujung rambut sampai ujung kaki. "Sepertinya kau lebih muda dariku. Apa aku bisa memanggilmu adik sepupu?" "Anindya, kemarilah." Ghatan memanggil wanita itu dengan suara lembut. "Aku ke sana Kak Ghatan~" Dan dibalas dengan suara manja. Sebelum dia melangkah menemui Ghatan, Anindya menatap Anjeli sejenak. "Ah, apa adik sepupu bisa membuatkan kami teh hangat?" Tangan Anjeli terkepal, rupanya Anindya melihat kepalan tangan itu dan tersenyum miring. "Jangan lupa antar ke kamar Kak Ghatan, terima kasih~ Mwah~" Anjeli benar-benar sedang dipermainkan, emosi Anjeli meradang, amarahnya sudah di ujung tanduk. Untuk apa terus di sini jika hanya merasa terkekang dan tersiksa, lebih baik Anjeli kembali ke kediaman orang tuanya. Dia menghapus air mata yang lolos begitu saja, padahal Anjeli tidak ingin mengeluarkan air mata untuk pria seperti Ghatan. "Brengsek!" Anjeli akan pergi sekarang juga. "Memangnya aku robot yang tak punya hati? Sialan! Ghatan sialan!" Kala ia akan membuka pintu, sebuah tangan menghalanginya dan menariknya dengan kasar. Pria itu datang dengan raut wajah marah, tanpa aba-aba ia mulai menciumi Anjeli dengan brutal. "Mphh...." Ghatan mengunci tubuh Anjeli, pria itu memegangi kedua tangan Anjeli. "Jangan harap kau bisa pergi dari sini."Entah apa yang Ghatan pikirkan hingga dengan mudah ia menyerang Anjeli seperti ini. Mencumbu setiap inci wajah Anjeli, mengendus nafsu aroma tubuh Anjeli yang memabukkan. Hingga akhirnya ia berhenti melakukan aksi diluar kendalinya kala merasakan cakaran pada lehernya. "Hei!" Napas Anjeli terengah-engah, dalam sekejap bajunya berantakan akibat ulah Ghatan. "Apa kau gila!?" bentaknya, tak dapat dipungkiri jika sikap Ghatan membuatnya marah. "Apa kau memang selalu mempermainkan wanita seperti ini?" Ghatan terdiam, tak membalas ucapan Anjeli. Ia termenung beberapa saat hingga akhirnya pandangannya teralihkan ke sembarang arah. "Kenapa tidak menjawabku?" Anjeli melempar satu pertanyaan lagi, sontak Ghatan mengalihkan pandangannya ke arah Anjeli. Pria itu mengusap bibirnya dengan ibu jari, tatapan tajamnya seolah tak ingin mengakui kesalahannya. "Hah, apa kau sedang mengancam ku sekarang?" Dia mendengus. "Apa kau tidak peduli jika keluargamu dalam bahaya?" tanya Ghatan, tetapi terde
Lagi-lagi tidak ada suara ibu yang membangunkannya pagi ini, rasanya masih sama seperti pagi kemarin. Begitu membuka mata, Anjeli hanya bisa menghela napas. "Ah, hari ini aku harus mulai bekerja." Anjeli mengusap rambutnya ke belakang. Ia baru ingat jika hari ini adalah hari Senin dan hari pertamanya bekerja di perusahaan Ghatan, anak perusahaan GP Property. "Hari ini dia pasti bekerja juga, apa sudah berangkat ya?" Namun kala Anjeli keluar dari kamarnya, ia mendengar sesuatu dari arah dapur. Begitu sampai di dapur, hal pertama yang ia lihat adalah punggung Ghatan. Anjeli mengernyit, jari-jemarinya spontan merapikan rambut yang sedikit berantakan. "Pak?" ucap Anjeli. Tepat saat itu juga Ghatan menolehkan kepala dan berjalan ke arah meja seraya membawa sepiring roti panggang dan segelas susu putih. "Sudah bangun?" tanya Ghatan tanpa menatap Anjeli, ia masih sibuk sendiri. "Ya..." jawab Anjeli seadanya. Dia cukup bingung sekarang, bahkan tidak tahu harus melakukan apa. Tubuhnya se
"Alasan apa yang harus aku gunakan untuk tidak datang makan siang?" Anjeli tidak bisa berpikir dengan baik setelah Ghatan menghampirinya di ruangan. Meski Ghatan mengatakan bahwa itu hanya sebuah sapaan bos pada karyawan barunya, tetap saja Ghatan membuat Anjeli kesulitan. Ia membasuh wajahnya, memandangi dirinya di cermin sambil terus memikirkan alasan apa yang harus ia katakan pada rekan kerjanya?"Sebenarnya mengapa pak Ghatan tiba-tiba ingin makan siang bersama?" Pertanyaan itu mengisi ruang kosong kepala Anjeli. "Ah! Apa dia tipe bos yang royal? Namun aku rasa itu sangat tidak mungkin." "Tidak! Tidak! Tidak!" Anjeli menggelengkan kepalanya, ia memejamkan mata serta menepuk-nepuk pipinya pelan. "Ayo pikirkan bagaimana cara agar tidak pergi ke sana. Haruskah aku pura-pura sakit dan izin pergi ke klinik?" Anjeli terus menggeleng dengan segala ide anehnya. Tok. Tok. Tok. Anjeli terkejut mendengar suara ketukan pintu itu. "Apa ada seseorang di dalam?" "I-iya! Ada saya, Anjeli!"
Setelah makan siang bersama rekan-rekannya, kini Anjeli sudah kembali ke kantor untuk melanjutkan pekerjaannya. Awalnya ia kembali dengan yang lain, tetapi entah bagaimana mereka berpencar akhirnya menyisakan Anjeli seorang diri. "Kenapa aku memikirkan hubungan wanita itu dengan pak Ghatan ya?" Anjeli bermonolog, benaknya merasa terganggu setelah pertemuan tak sengaja dengan Anindya di restoran. "Sepertinya aku harus bertemu dengan kak Sena untuk mendapatkan lebih banyak informasi." Anjeli berjalan memasuki kantor dengan perasaan yang tak karuan. Banyak perasaan aneh yang datang setelah Anjeli menikah dengan Ghatan, apa lagi sekarang ia bekerja di perusahaan pria itu. Entah apa yang akan terjadi selama ia bekerja di sini. Saat di lobi, di pertengahan jalan Anjeli menahan langkahnya kala seseorang berhenti tepat di depannya. Orang itu adalah Gama Prajanata. Begitu Anjeli menatap mata Presdir, ia langsung mengeluarkan suaranya. "Setelah bekerja dari kantorku, rupanya kau beker
Saat suara Ghatan terdengar tentu saja ia sangat terkejut, bahkan tanpa Anjeli sadari tubuhnya bereaksi cukup berlebihan. Apa lagi ketika Ghatan menarik tangannya cukup kencang, ia hanya bisa pasrah mengikuti setiap pergerakan pria ini. Wajah Anjeli benar-benar pucat, selama di perjalanan pulang ke apartemen mereka hanya diam. Dan entah kenapa kali ini Anjeli tak berani untuk membela diri, aura Ghatan benar-benar menyerap sisa energi yang ada di tubuh Anjeli. Sampainya di apartemen Ghatan masih terlihat marah, keningnya terus mengerut dengan tatapan tajamnya menyorot mata ketakutan Anjeli. "Kau bertemu dengan siapa di kafe itu?" tanya Ghatan dengan suara berat. Anjeli menelan ludahnya, dia sedikit mengalihkan pandangan agar tak terlalu merasa ketakutan. "A-aku hanya mampir sebentar untuk makan dan minum kopi," jawab Anjeli berbohong. "Sejak kapan bapak peduli kepada saya?" tanyanya sedikit menaikkan suaranya supaya tidak terdengar sedang berbohong. Tatapan Ghatan berangsur-angsur
"Kenapa tidak diangkat?" tanya Ghatan karena melihat Anjeli hanya diam membiarkan ponselnya terus berdering. Anjeli sempat tak bisa bergerak beberapa saat, ia cukup terkejut mendengar perkataan Ghatan yang spontan. Begitu tersadar, Anjeli langsung menjauh dari Ghatan yang jaraknya sangat dekat. "Uh..." Anjeli berusaha mengendalikan dirinya, bahkan tanpa sadar ia mulai melupakan panggilan dari Leon. "Kenapa kau tiba-tiba mengatakan hal semacam itu?" tanya Anjeli. Ghatan menatap Anjeli lempeng, dia menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Bukankah seharusnya kau mengatakan bahwa kau sudah memiliki suami kepada pria yang sedang mencoba mendekatimu?" tanya Ghatan balik, ia menanyakan dengan mudah tanpa peduli ekspresi Anjeli yang penasaran. "A-aku tau, tapi tetap saja—" "Akhirnya kau tak mengangkat panggilannya," ucap Ghatan sembari membalikkan tubuh dan pergi meninggalkan Anjeli. Lagi-lagi Anjeli dibuat terdiam oleh sikap Ghatan. Pria itu benar-benar tak bisa dibaca, entah
Ghatan Prajanata, putra mahkota Prajanata yang didambakan oleh semua orang. Mungkin saja itu hanya kesan yang dibuat-buat. Ghatan yang terlihat selalu tenang dengan sorot tajamnya, sangat menyukai sesuatu yang hangat seperti teh hijau penenang dirinya. Pria yang selalu mementingkan pekerjaan dan perusahaan, mungkin saja sebenarnya menginginkan kebebasan. Bisa saja selama ini dia menekan semua keinginannya, dan dipaksa hidup dalam peraturan yang dibuat oleh Gama Prajanata. "Apa kau kira kau tahu segalanya tentang aku?" tanya Ghatan kepada seseorang yang ia telpon beberapa waktu lalu. "Aku tidak tahu apa yang kau pikirkan, tapi hubungan kita hanya sebatas rekan yang saling membantu karena memiliki tujuan yang sama." Kerutan di dahi Ghatan semakin dalam begitu ia mendengar respon dari Anindya. "Kita sudah sepakat untuk tidak membahas masalah pribadi, terutama perasaan masing-masing," ucap Ghatan tegas. Mendengar penyangkalan yang terus Anindya buat membuat kepala Ghatan terasa peni
Keheningan mendominasi di antara mereka, membiarkan jam dinding mengisi kekosongan di keduanya. Sambil terus menatap Anjeli, Ghatan terlihat tak berniat untuk mengatakan sesuatu. Sampai akhirnya ia memilih untuk pergi, meninggalkan Anjeli seorang diri di apartemen ini. "Hah..." Anjeli menarik napas panjang. Sesak yang ia rasakan beberapa saat lalu ketika Ghatan menatapnya tanpa ekspresi, membuat Anjeli merasa menyesal telah mengutarakan ketidakpercayaan dirinya. "Dia langsung paham apa yang aku katakan," ujarnya sembari menatap tempat di mana Ghatan berdiri. "Apa dia akan pergi begitu saja meninggalkan ku di sini?" Anjeli meneguk air minumnya sebelum ia kembali ke kamarnya. Jam 11 malam. Anjeli duduk di sofa sembari menonton film, matanya menunjukkan jika ia sudah mengantuk berat. Berkali-kali ia melirik pada jam dinding, lalu melihat ponselnya menunggu seseorang menghubunginya. "Sudah jam sebelas tapi dia tak menghubungiku sama sekali," ucapnya menatap layar ponsel. "Ah! Kenapa