Setelah makan siang bersama rekan-rekannya, kini Anjeli sudah kembali ke kantor untuk melanjutkan pekerjaannya. Awalnya ia kembali dengan yang lain, tetapi entah bagaimana mereka berpencar akhirnya menyisakan Anjeli seorang diri. "Kenapa aku memikirkan hubungan wanita itu dengan pak Ghatan ya?" Anjeli bermonolog, benaknya merasa terganggu setelah pertemuan tak sengaja dengan Anindya di restoran. "Sepertinya aku harus bertemu dengan kak Sena untuk mendapatkan lebih banyak informasi." Anjeli berjalan memasuki kantor dengan perasaan yang tak karuan. Banyak perasaan aneh yang datang setelah Anjeli menikah dengan Ghatan, apa lagi sekarang ia bekerja di perusahaan pria itu.Entah apa yang akan terjadi selama ia bekerja di sini. Saat di lobi, di pertengahan jalan Anjeli menahan langkahnya kala seseorang berhenti tepat di depannya. Orang itu adalah Gama Prajanata. Begitu Anjeli menatap mata Presdir, ia langsung mengeluarkan suaranya. "Setelah bekerja dari kantorku, rupanya kau bekerja di
Saat suara Ghatan terdengar tentu saja ia sangat terkejut, bahkan tanpa Anjeli sadari tubuhnya bereaksi cukup berlebihan. Apa lagi ketika Ghatan menarik tangannya cukup kencang, ia hanya bisa pasrah mengikuti setiap pergerakan pria ini. Wajah Anjeli benar-benar pucat, selama di perjalanan pulang ke apartemen mereka hanya diam. Dan entah kenapa kali ini Anjeli tak berani untuk membela diri, aura Ghatan benar-benar menyerap sisa energi yang ada di tubuh Anjeli. Sampainya di apartemen Ghatan masih terlihat marah, keningnya terus mengerut dengan tatapan tajamnya menyorot mata ketakutan Anjeli. "Kau bertemu dengan siapa di kafe itu?" tanya Ghatan dengan suara berat. Anjeli menelan ludahnya, dia sedikit mengalihkan pandangan agar tak terlalu merasa ketakutan. "A-aku hanya mampir sebentar untuk makan dan minum kopi," jawab Anjeli berbohong. "Sejak kapan bapak peduli kepada saya?" tanyanya sedikit menaikkan suaranya supaya tidak terdengar sedang berbohong. Tatapan Ghatan berangsur-angsur
"Kenapa tidak diangkat?" tanya Ghatan karena melihat Anjeli hanya diam membiarkan ponselnya terus berdering. Anjeli sempat tak bisa bergerak beberapa saat, ia cukup terkejut mendengar perkataan Ghatan yang spontan. Begitu tersadar, Anjeli langsung menjauh dari Ghatan yang jaraknya sangat dekat. "Uh..." Anjeli berusaha mengendalikan dirinya, bahkan tanpa sadar ia mulai melupakan panggilan dari Leon. "Kenapa kau tiba-tiba mengatakan hal semacam itu?" tanya Anjeli. Ghatan menatap Anjeli lempeng, dia menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Bukankah seharusnya kau mengatakan bahwa kau sudah memiliki suami kepada pria yang sedang mencoba mendekatimu?" tanya Ghatan balik, ia menanyakan dengan mudah tanpa peduli ekspresi Anjeli yang penasaran. "A-aku tau, tapi tetap saja—" "Akhirnya kau tak mengangkat panggilannya," ucap Ghatan sembari membalikkan tubuh dan pergi meninggalkan Anjeli. Lagi-lagi Anjeli dibuat terdiam oleh sikap Ghatan. Pria itu benar-benar tak bisa dibaca, entah apa y
Ghatan Prajanata, putra mahkota Prajanata yang didambakan oleh semua orang. Mungkin saja itu hanya kesan yang dibuat-buat. Ghatan yang terlihat selalu tenang dengan sorot tajamnya, sangat menyukai sesuatu yang hangat seperti teh hijau penenang dirinya. Pria yang selalu mementingkan pekerjaan dan perusahaan, mungkin saja sebenarnya menginginkan kebebasan. Bisa saja selama ini dia menekan semua keinginannya, dan dipaksa hidup dalam peraturan yang dibuat oleh Gama Prajanata. "Apa kau kira kau tahu segalanya tentang aku?" tanya Ghatan kepada seseorang yang ia telpon beberapa waktu lalu. "Aku tidak tahu apa yang kau pikirkan, tapi hubungan kita hanya sebatas rekan yang saling membantu karena memiliki tujuan yang sama."Kerutan di dahi Ghatan semakin dalam begitu ia mendengar respon dari Anindya. "Kita sudah sepakat untuk tidak membahas masalah pribadi, terutama perasaan masing-masing," ucap Ghatan tegas. Mendengar penyangkalan yang terus Anindya buat membuat kepala Ghatan terasa pening.
Keheningan mendominasi di antara mereka, membiarkan jam dinding mengisi kekosongan di keduanya. Sambil terus menatap Anjeli, Ghatan terlihat tak berniat untuk mengatakan sesuatu. Sampai akhirnya ia memilih untuk pergi, meninggalkan Anjeli seorang diri di apartemen ini. "Hah..." Anjeli menarik napas panjang. Sesak yang ia rasakan beberapa saat lalu ketika Ghatan menatapnya tanpa ekspresi, membuat Anjeli merasa menyesal telah mengutarakan ketidakpercayaan dirinya. "Dia langsung paham apa yang aku katakan," ujarnya sembari menatap tempat di mana Ghatan berdiri. "Apa dia akan pergi begitu saja meninggalkan ku di sini?" Anjeli meneguk air minumnya sebelum ia kembali ke kamarnya. Jam 11 malam. Anjeli duduk di sofa sembari menonton film, matanya menunjukkan jika ia sudah mengantuk berat. Berkali-kali ia melirik pada jam dinding, lalu melihat ponselnya menunggu seseorang menghubunginya. "Sudah jam sebelas tapi dia tak menghubungiku sama sekali," ucapnya menatap layar ponsel. "Ah! Kenapa
Pria itu duduk dengan gelisah di depan komputernya. Selagi mengerjakan pekerjaan kantornya hari ini, sesekali matanya terus melihat ke arah pintu ruangan seakan tengah menunggu seseorang datang. Pagi ini, hanya ada ia seorang diri. Datang lebih awal dari rekannya yang lain, hanya untuk menunggu seseorang dan mengatakan sesuatu yang membuatnya gundah sejak malam. Sampai akhirnya suara derit pintu terdengar, Leon segera bangkit dari duduknya dan menatap ke arah pintu. Dan benar saja, wanita yang ditunggunya sejak tadi pagi datang juga. Dengan raut wajah polos menatap Leon bingung, ia hanya diam memegang kenop pintu. "Leon?" gumam Anjeli lantas ia mulai bergerak mendekati Leon. "Kupikir aku yang datang lebih awal ke kantor," kata Anjeli dan duduk di kursinya. Leon mendekati Anjeli, menyeret kursi dan duduk tepat di samping Anjeli yang mulai mempersiapkan diri untuk bekerja hari ini. "An..." panggil Leon sedikit berbisik. "Kenapa semalam kau tidak mengangkat panggilanku?" tanyanya. A
Duduk di depan komputer berjam-jam membuat Anjeli jenuh, ia sedikit meregangkan tubuhnya dan melihat sekelilingnya. Setelah Pak Hans datang membawakan sarapan, terjadi kehebohan kecil di ruangan ini karena sikap perhatian pak direktur yang tidak disangka-sangka, dalam sekejap mereka kembali dengan urusan masing-masing. Rasa jenuh membuat Anjeli mengantuk, ia memilih untuk beranjak dari kursinya dan pergi ke dapur untuk membuat kopi. Sambil mengaduk kopi itu, Anjeli mulai merenung. "Pagi ini pak Ghatan tidak menyapaku, bahkan dia tidak menatapku sama sekali." Anjeli terus berpikir, memikirkan banyak kemungkinan yang terjadi pada pria itu. "Apa terjadi sesuatu saat bertemu dengan pimpinan? Atau aku melakukan kesalahan?" Anjeli menarik napas, menyesap kopi itu lantas meneguknya perlahan. "Aku tidak merasa melakukan kesalahan, tunggu..." Anjeli teringat pada kontak Leon yang mendadak terhapus. "Jangan-jangan yang menghapus kontak Leon dan yang memindahkan ku ke kamar adalah..." Anjeli
Di ruangan direktur pria itu tampak lelah berkutat dengan pekerjaan, disamping itu banyak hal yang terus mengganggu pikirannya. Ghatan meraih gelas yang tersimpan tepat di sampingnya, lalu menghela napas panjang begitu melihat tidak ada kopi di dalamnya. Tiba-tiba wajah seseorang terlintas di benaknya, mata yang terpejam dengan embusan napas teratur, sebentar lagi Ghatan akan gila karena terus memikirkannya. "Anjeli," sebutnya seraya memikirkan bagaimana jika seandainya wanita itu datang kemari dan membuatkannya segelas kopi. "Akan aneh jika aku mendadak memanggilnya kemari," ucapnya lantas menggelengkan kepala. "Aku tidak ingin membuatnya tidak nyaman." Ghatan menyalakan ponselnya, ia akan menghubungi manajernya untuk membelikan kopi di luar. Namun pergerakan tangannya mendadak berhenti begitu sesuatu terlintas di kepalanya. "Sepertinya membeli kopi sendiri bukan ide yang buruk." Ghatan memilih untuk pergi membeli kopi sendiri, hitung-hitung kembali menyegarkan otaknya yang teras