Keesokan harinya.
Koridor sekolah yang Lisa lewati lengang. Bel masuk telah berbunyi lima menit yang lalu. Ares yang berjalan di belakangnya menguap berkali-kali, mengantuk. Tidak merasa bersalah sama sekali telah membuat Lisa merusak rekor tidak pernah terlambatnya selama ini.
Setelah berjalan cepat, Lisa langsung menghela napas lega ketika sampai kelasnya. Beruntung gurunya belum datang. Meskipun sudah terlambat-motor Ares memasuki gerbang sekolah jam tujuh lewat satu menit-, setidaknya wali kelasnya itu tidak mengetahui hal itu secara langsung.
"Wah! Bu Ketua Kelas tumben terlambat." Salah satu temannya menyeletuk.
Lisa hanya menyengir samar, beringsut duduk di bangkunya, tidak berniat menanggapi ucapan temannya barusan.
"Kamu berangkat sama Ares, Sa?" Dilla bertanya, melirik sekilas Ares yang melangkah memasuki kelas sembari menutup mulut karena menguap.
Lisa tertegun sejenak. "
Lisa melangkahkan kakinya keluar dari gerbang sekolah. Waktu menunjukkan pukul dua lebih beberapa menit. Awan gelap nampak menggantung di atas langit, menutupi matahari. Kemungkinan sebentar lagi akan turun hujan.Lisa menghela napas, mempercepat langkah ketika halte tujuannya telah dekat. Tadi ia cepat-cepat keluar kelas setelah pelajaran Bahasa Inggris selesai. Ia sedang kesal dan tidak ingin pulang bersama Ares. Daripada nantinya dipaksa ikut pulang, lebih baik ia langsung meninggalkan pemuda Reigara itu saja.Halte yang Lisa datangi sedikit sesak, kursinya penuh. Ia menunggu beberapa saat sebelum akhirnya sebuah bus datang. Beberapa murid yang sama sekolah dengannya segera naik, melegakan halte. Lisa tidak, itu bukan bus jurusan rumahnya---rumah baru, maksudnya.Lisa segera duduk ketika beberapa bangku tunggu sudah kosong. Ia membuka handphone sebentar. Niatnya untuk mengecek notif, tapi ia langsung mendengus sebal ketika mendap
Lisa menggantung handuk putih di dekat jendela, baru saja mandi sore setelah tadi pagi tidak mandi. Hari ini hari libur. Lisa malas mandi karena sibuk belajar untuk persiapan UTS besok. Terlebih ujian pertama adalah Matematika, kemudian dilanjutkan Sejarah dan Bahasa Indonesia. Dua mapel hafalan. Mantap sekali.Merasa belum membuka handphone sejak tadi pagi, Lisa segera mengambil benda pipih itu dari bawah bantal, menghidupkannya. Ia memang menon-aktivkan benda itu sejak tadi. Takut menganggu konsentrasinya saat belajar.Saat handphone telah hidup dan jaringan terhubung, beberapa pesan langsung masuk secara bersamaan.VianHari libur nggak pulang masa?Padahal pengen minta ajar:(Udah keenakan nih tinggal berdua sama suami07:15 AMLisa membaca dengan malas. Jika Vian ada di hadapannya, pemuda itu pasti sudah Lisa timpuk dengan buku paket tebalnya sejak tadi. Awalnya ia iba, tapi membaca chat
Hampir sepuluh menit. Lisa belum juga keluar dari kamar mandi, membuat Ares sedikit khawatir. Apa gadis itu baik-baik saja?Selama ini yang Ares tahu Lisa hanya takut pada cicak, tidak sampai pada taraf fobia. Biasanya gadis itu hanya bereaksi panik ketika ditakuti, tidak ada perubahan fisik yang terjadi. Tapi melihat reaksi Lisa yang mual-mual setelah ia perlihatkan cicak di depan wajah, Ares langsung menyimpulkan sesuatu. Itu bukan ketakutan biasa, bahkan termasuk ciri khas seorang mengidap sebuah fobia.Dan yang membuat Ares kesal adalah ia baru memahami hal itu sekarang. Lisa tidak pernah bercerita apapun padanya. Atau gadis itu memang ingin cari mati dengan membiarkan dirinya menakuti cicak setiap hari? Astaga... Jika bukan istri, sebalnya mungkin sudah sampai ubun-ubun sekarang.Beberapa menit menunggu, akhirnya pintu kamar mandinya terbuka, berdecit pelan. Lisa keluar dengan kondisi yang berbeda dari sebelumnya. Tubuhnya lesu
Seminggu melesat dengan cepat.Lisa menuruni tangga menuju lantai bawah, berjalan ke dapur untuk mengambi air putih. Waktu baru menunjukkan pukul enam lebih seperempat, tapi bundanya sudah sibuk memasak sesuatu di sana. Pasalnya ini hari libur, jadi sebenarnya tidak perlu sarapan pagi sekali.Lisa memang menginap di rumah orangtuanya sejak sehari yang lalu. Pulang sekolah hari Sabtu kemarin ia langsung pergi kemari. Bersama Ares tentu saja.Ares mungkin masih terlelap di kamar tamu sekarang, mengingat tadi malam ia dan pemuda Reigara itu begadang menonton film zombie sampai jam satu di televisi. Kasetnya sudah dibeli sejak lama, tapi baru bisa Lisa tonton tadi malam. The Walking Dead Series.Tenang saja, Lisa masih normal. Serajin-rajinnya ia dalam belajar, Lisa masih suka menghabiskan waktu dengan menonton film. Apalagi UTS sudah selesai. Hal itu bisa dijadikan refreshing dari belajar-belajar melelahkan selam
"Ini rumah siapa?" Lisa turun dari motor, menatap rumah dengan halaman sejuk dan asri di depannya. Tanah halaman dan tanamannya masih basah, mungkin baru saja disiram.Lisa tidak punya ide sama sekali rumah siapa yang Ares datangi kali ini. Ares tidak mungkin kan mengajak Lisa pergi ke salah satu rumah temannya?"Masuk aja dulu." Ares juga turun dari motor, melepas helm. Pemuda itu melangkah ke teras diikuti Lisa di belakangnya. Belum sampai mengetuk pintu, seseorang di dalam rumah sudah membukakan pintu dari dalam."Oh ternyata kalian berdua. Kapan sampai?"Lisa tersenyum ketika melihat seseorang yang menyambut di depan pintu. Itu Oma, nenek Ares. Pertama dan terakhir kali Lisa bertemu saat acara pernikahan dua minggu yang lalu.Wanita yang berusia lebih dari setengah abad itu yang selalu mendampinginya di hari pernikahan. Ia ingat sekali Oma sempat bercerita panjang lebar tentang pernikahannya dul
Matahari masih bersinar terik di atas sana. Lisa melirik jam tangan, pukul setengah tiga. Ia segera duduk di dekat Ares, di trotoar dengan dedaunan rimbun di atasnya, memberikan es kelapa muda yang baru saja ia beli kepada pemuda itu."Minum dulu, Res. Belum ketemu masalahnya?" Lisa bertanya.Motor Ares tiba-tiba macet tadi. Entah karena apa. Padahal Lisa sudah menyusun kegiatan yang akan ia lakukan di rumah setelah pulang sekolah nanti---ia punya banyak tugas. Sepertinya Lisa memang perlu menjadwal ulang hal itu setelah ini.Lisa juga baru tahu motor semahal dan sekeren milik Ares bisa macet juga di tengah jalan. Yang jadi masalah, ponsel pemuda itu lowbat sehingga tidak bisa meminta bantuan bawahan papanya. Bisa saja memakai ponsel Lisa, tetapi pemuda di sebelahnya itu tidak ingin sekali menganggu papanya yang sedang berada di luar negeri. Ralat, sebenarnya Ares hanya gengsi. Lira menghubungi bundanya saja dicegah, bil
"Sa, ayo nonton!"Lisa menekuk wajah, menoleh malas ke arah Ares. "Liat nggak sih aku lagi ngapain?" ujarnya lalu melanjutkan acara menyapu ruang tengah."Setelah nyapu Walking Dead, ya? Season tujuh." Ares berkata lagi.Lisa menggeleng. "Aku mau ke kamar."Dasar, Ares. Lisa tidak mengerti mengapa pemuda itu jadi ketagihan menonton film thriller. Padahal terakhir menonton saja ekspesinya ketakutan dan sering reflek ingin memeluknya. Bukannya PD, tapi sepertinya Ares bukan ketagihan menonton film thriller, tetapi ketagihan reflek mendekat ke Lisa. Dasar, modus. Ia jadi malas menonton film thriller dan semacamnya bersama pemuda itu. Tidak seru sama sekali."Besok nggak ada PR.""Tapi besok harus bangun pagi." Lisa menimpali, masih menyapu.Sebenarnya Lisa tidak pernah menyapu rumah barunya. Bi Inah yang selama ini melakukannya. Berhubung Bi Inah dan Pak Udin izi
Ruang perpustakaan sepi senyap.Lisa berjalan memutari rak buku sejarah, mencari buku yang bisa menunjang tugas sekolahnya. Ia hanya sendiri, tidak ada Ares. Lisa tadi pergi diam-diam meninggalkan Ares di kantin saat istirahat. Mungkin saat ini pemuda itu sedang kebingungan mencari dirinya.Saat ingin mencari tempat duduk untuk membaca, tiba-tiba Lisa terjegal kaki seseorang yang menyembul keluar dari salah satu meja perpustakaan. Beruntung tangannya sigap menumpu meja, sehingga tidak sampai jatuh ke lantai."Lisa? Kamu nggak papa? Sori kakiku bikin kamu hampir jatuh," ucap seseorang.Lisa menoleh, menemukan Kak Bayu berdiri sembari menatap bersalah ke arahnya. Beberapa kertas soal terlihat di atas meja yang ia tempati. Pantas saja. Kak Bayu itu tinggi. Kakinya pasti panjang sehingga Lisa bisa terjegal saat berjalan tadi.Lisa mengangguk, tersenyum. "Nggak kenapa-kenapa kok, Kak. Santai," ujarnya. "