Matahari hampir tergelincir ke barat di luar sana. Lisa yang sedang duduk di ruang keluarga menatap beberapa kali IPhone Ares yang sedang di-charger, berpikir keras. IPhone pemuda itu dalam kondisi non-aktiv, membuat Lisa belum sempat membaca pesan antara Ares dengan Arvin jikalau menemukan petunjuk.
Ada yang aneh dari gelagat Ares. Terlebih pemuda itu bertanya di mana Arvin sebelum pergi. Lisa tahu sesuatu sedang terjadi. Tapi ia tidak mengerti mengapa Ares harus pergi diam-diam dan tidak memberi tahu apa pun padanya. Apa karena tidak ingin ia khawatir? Sayangnya, hal itu malah membuat Lisa tambah cemas dengan kondisi Ares dan kakaknya sekarang.
Baru ingin bangkit untuk menghidupkan IPhone Ares, Mama tiba-tiba muncul dari dapur. Wanita paruh baya kemudian bertanya, "Ares pergi ke mana, Sa? Sampai titip pesen ke Mama nggak bolehin kamu keluar?"
Lisa mengernyitkan dahi. Ares sungguhan tidak membolehkannya keluar rumah? Padahal ia ber
Beberapa menit sebelumnya.Ares berjalan cepat mengikuti dua pria yang membawa Arvin masuk ke dalam bangunan dengan beton-beton tinggi. Meskipun tampak seperti bangunan belum selesai, ada beberapa ruangan tertutup di dalamnya.Arvin di bawa masuk ke sebuah ruangan, diikat di sana. Ia masih sadar. Tapi mulutnya tertutup lakban beberapa lapis sehingga tidak bisa bersuara.Ares mengintip agak jauh, lalu berjalan mendekat penuh dengan waspada. Dari jumlah mereka yang hanya berdua, Ares tidak terlalu khawatir ke depannya. Yang ia pikirkan hanya satu; mereka membawa senjata atau tidak?Beberapa meter dari ruangan itu, suara perbincangan dua pria itu terdengar. Meskipun sedikit samar karena jarak."Kita bunuh sekarang?"Ares melotot kaget di tempat. Begitu juga dengan Arvin yang kembali berusaha melepaskan ikatan di tangan dan kakinya. Mereka berdua sungguhan berencana me
Lisa tidak tahu sudah berapa kali ia menangis dalam sehari ini. Yang pasti, hatinya tetap sakit melihat Arvin tergeletak lemah di ranjang rumah sakit, belum sadarkan diri.Kakaknya itu baru saja dioperasi satu jam yang lalu. Tentu saja untuk mengambil peluru yang bersarang di perutnya. Lisa sungguh bersyukur Tuhan masih memberi kakaknya nyawa. Peluru itu tidak mengenai organ penting, hanya hampir. Kata dokter, sedikit saja peluru itu bergeser, nyawa Arvin bisa saja tidak tertolong.Dan sekarang di sinilah Lisa, duduk di sebelah ranjang Arvin, mengenggam tangan kakaknya berharap agar ia cepat bangun. Arvin itu satu-satunya keluarga sedarah yang Lisa punya. Lisa tidak tahu bagaimana jadinya jika Arvin ikut pergi menyusul Ayah dan Bunda.Ia bahkan terisak kencang ketika Arvin mengatakan hal mengerikan beberapa saat sebelum ia tak sadarkan diri."Kalau aku nggak ada, kamu harus kuat, ya, Sa. Jangan patah sem
"Kamu mau tahu apa yang Ayah ceritain ke aku tiga tahun yang lalu?"Lisa menatap Arvin. Apa itu rahasia yang sama yang Arvin tidak ingin ceritakan di kantor polisi saat itu?"Apa?"Arvin bangkit duduk, lalu mendesis sakit detik selanjutnya. Lisa berdecak. "Nggak usah duduk dulu. Kamu bisa cerita sambil tiduran.""Paling males rebahan lama-lama.""Anak jaman sekarang yang nggak suka rebahan kayaknya kamu, Vin.""Emang kamu suka rebahan?"Lisa menggeleng. "Maksudnya mukamu keliatan kayak anak malesan," ujarnya, terdiam sejenak ketika mengingat sesuatu. "Aduh lupa kalau Arvin dah rajin. Sejak kapan Arvin malesan?""Jadi mau denger nggak?"Lisa mengangguk, menghapus sisa air mata di pelupuk matanya. Melihat Arvin tampak baik-baik saja meskipun terluka efektif sekali menyumbat air matanya."Kamu percaya nggak
Sudah tiga hari sejak kejadian penculikan Arvin dan terkuaknya rahasia Pak Reigara.Parahnya, Ares belum juga menemui Lisa sampai detik ini, bahkan sama sekali tidak menghubunginya. Ponselnya mati. Pemuda itu seolah lenyap ditelan bumi tanpa kabar apa pun. Bahkan Oma dan Pak Wang sama sekali tidak tahu keberadaan pemuda Reigara itu.Dan hal itu satu-satunya yang Lisa khawatirkan sekarang. Tiga hari bukanlah waktu yang singkat. Terlebih Ares masih belum diketahui di mana keberadaannya. Apakah selalu menjadi kebiasaan pemuda itu untuk menghilang jika masalah datang?Lisa mengerti bagaimana perasaan Ares sekarang. Tapi menghilang tanpa kabar benar-benar membuatnya cemas. Bagaimana jika keadaan Ares tidak sedang baik-baik saja sekarang?"Makan dulu, Sa. Kamu belum makan sejak kemarin." Arvin yang duduk di atas ranjang rumah sakitnya berkata. Waktu menunjukkan pukul 9 pagi. Kakaknya itu sedang sarapan dengan makana
"Res..." Lisa menatap pemuda di depannya tak percaya. "Tapi kenapa?""Aku cuma mau ngehapus semua rasa sakit. Kayak yang aku bilang, kita nggak seharusnya ada, Sa." Jawaban Ares terdengar klise. Lalu apa? Apakah rasa sakit mereka akan menghilang setelah berpisah? Apakah itu mengembalikan ayah bunda yang telah tiada?Lisa masih memandangi Ares tidak percaya. Apa pemuda di depannya sungguhan Ares? Setelah berbagai macam hal terlewati bersama, mengapa pemuda itu begitu mudah melepaskannya?Ah, Lisa mendadak teringat pria dan segala macam mulut buayanya. Bukannya Ares pernah berjanji dua kali padanya? We'll together forever? Apakah itu hanya ucapan tanpa makna saja? Bualan semata?"Kenapa harus kayak gini kalau kita udah saling cinta? Aku nggak keberatan kalau itu pernikahan buatan. Aku nggak masalah kalau pernikahan itu cuma balas dendam. Apa penting masa lalu? Bukannya yang terpenting kita saling cinta dan—"
Waktu di jam tangan Ares menunjukkan pukul sepuluh. Langit mendung di atas sana. Sinkron sekali dengan hati Ares yang mendung dan berkabut sejak beberapa hari yang lalu. Mengetahui kejahatan papanya selama ini membuat hatinya hancur berkeping-keping, menjatuhkan mentalnya sampai ujung sumur tak berdasar. Terlebih setelah itu kabar tentang mama yang menderita skizofrenia masuk ke telinganya.Awalnya Ares menggila sendirian di kamar apartemen miliknya. Menelan rasa sakit dan malu atas tindakan papa yang benar-benar mengerikan. Tapi demi mendengar mamanya yang sedang sakit, ia perlahan mulai bangkit. Ia tidak boleh lemah. Ia harus kuat untuk mamanya.Ares tidak pernah merasakan sakit bertubi-tubi seperti ini. Dan ya... Apakah ini yang Lisa Lisa rasakan ketika kehilangan kedua orang tuanya? Terlebih sekarang, kebenaran terungkap. Mertuanya sendiri yang membunuh ayah dan bunda.Untuk ke sekian kali, ia merasa berdosa sekali pada ga
"Tangan kamu dingin." Ares menarik tangan Lisa, menggenggam erat menyalurkan kehangatan.Lisa tersenyum kecil, menatap tangannya yang digenggam oleh pemuda di sebelahnya. Mereka berdua sedang duduk di bangku koridor dekat kantin rumah sakit, menatap hujan yang masih turun dengan deras. Kilat berkali-kali muncul. Disusul dengan suara gemuruh dari langit."Harusnya aku yang bilang gitu. Kamu yang basah kuyup, Res," ujar Lisa menatap rambut dan pakaian pemuda di sebelahnya. Lisa sih hanya basah celana saja. Bajunya tidak terlalu basah karena tertutup oleh jaket dan tubuh Ares yang memeluknya tadi.Lisa masih tidak tahu keputusan apa yang Ares ambil. Tapi melihat pemuda itu memeluknya di tengah hujan deras, entah mengapa ia jadi sedikit lega. Terlebih tangan Ares yang kali ini mengenggam erat. Demi apa Lisa tidak ingin melepaskannya."Kertasnya basah. Bagusnya sekalian disobek aja kan?"
Dua pekan berlalu dengan cepat.Lisa duduk di kursinya, menatap langit di luar jendela yang tampak cerah. Angin pagi yang menyegarkan berhembus, menyapu daun-daun kering yang membuatnya jatuh berguguran dari pohon. Waktu di jam dindingnya kelas menunjukkan pukul 9. Tapi cuaca masih sesegar pukul tujuh, tidak terlalu terik.Hidup Lisa kembali seperti biasa. Meskipun dengan kenyataan menyakitkan yang seharusnya dipeluk alih-alih dihindari.Sepekan ini ia masih tinggal bersama Ares di rumah lama. Bertiga bahkan bersama Arvin. Tetapi kakaknya sebentar lagi akan kembali ke Australia. Tentu saja untuk melanjutkan studinya.Dan satu hal yang mungkin akan jadi beban berat kakaknya setelah ini, Arvin resmi menjadi direktur menggantikan Ayah dua hari yang lalu. Ia jadi CEO perusahaan properti milik Ayah yang sudah membuka cabang di berbagai kota di umur yang masih menginjak 20 tahun.Itu gila. Lisa tahu.