"Lisa sama Ares nggak papa satu rumah, Mas. Tapi harus dalam pengawasan kita."
Lisa berhenti melangkah ketika tidak sengaja mendengar ucapan bundanya di dalam kamar. Niatnya ia ingin mengambil buku-buku Vian yang tertinggal di atas meja teras tadi. Tapi urung, Lisa malah ganti halauan jadi menguping percakapan kedua orangtuanya.
"Mereka belum bisa tinggal berdua tanpa kita. Kalau nggak tinggal disini, mereka bisa tinggal di rumah papa Ares. Jangan tinggal satu rumah tanpa siapa-siapa," lanjut bundanya. Lisa yang sudah mendekat ke dinding kamar orangtuanya menelan ludah, menunggu jawaban ayahnya.
"Jadi itu yang Bunda takutin?" Ayahnya terkekeh di dalam sana. "Lisa Ares itu masih kecil. Kemarin denger sendiri kan mereka suka berantem di kelas? Nggak mungkin mereka saling suka. Kenapa Bunda bisa mikir sampai sejauh itu? Lagian bakal ada Bi Inah sama Pak Udin juga yang tinggal disana," jawab ayahnya.
"Mas, cinta itu datang karena terbiasa. Gimana kalau mereka..."
"Jadi saling cinta maksudnya? Ya bagus kan, Bun? Apa yang salah? Justru itu kan yang kita mau? Lisa bahagia sama orang yang dia cinta." Ayahnya menginterupsi.
"Tapi..."
"Anak kita itu masih polos, Bun. Jadi yang Bunda pikirin itu nggak mungkin terjadi. Jangan mikir aneh-aneh gitu deh." Lagi-lagi ayahnya menyela. Lisa menelan saliva. Dia tahu menuju ke arah mana pembicaraan kedua orangtuanya.
"Bunda tahu Lisa masih kecil, masih polos. Tapi Ares? Kita nggak tahu. Mas mau suatu hari Lisa pulang ke rumah sambil nangis-nangis bilang kalau dia hamil?"
Deg. Lisa melebarkan mata, kembali menelan saliva tapi kali ini dengan susah payah. Sial! Dia sungguh menyesal telah menguping pembicaraan orangtua. Lisa mengetuk kepalanya pelan, berusaha menghilangkan ucapan bundanya barusan dari ingatannya. Otak Lisa terkotori astaga!
Tawa renyah ayahnya terdengar beberapa detik kemudian.
"Kan, mas tuh nggak pernah serius kalau diajak bicara. Apa yang lucu coba?"
Meskipun tadi Lisa bilang menyesal, ia masih saja berdiam diri di depan kamar orangtuanya, menguping pembicaraan mereka. Serius, sebenarnya Lisa hanya ingin tahu apa keputusan terakhir yang diucapkan oleh ayahnya.
Ayahnya berhenti tertawa. "Udah dibilang Bunda itu mikirnya kejauhan. Santai dikit coba."
"Itu fakta anak jaman sekarang, Mas. Mereka itu semakin liar dan berani. Di luar sana, banyak anak SMA bahkan SMP yang hamil duluan. Mas mau Lisa kayak gitu?" ujar bundanya lagi.
"Kasusnya beda, Bun. Lisa sama Ares kan udah sah?"
"Ya terus?!" Bundanya berseru sebal di dalam sana. "Mas mau liat Lisa hamil terus nangis-nangis setelah itu?"
Lisa menahan napas. Bisa tidak sih kata hamil tidak diulang lagi? Ia memijit pelipisn lelah. Hanya mendengar percakapan orangtuanya saja membuat Lisa ikut pening.
Lagi-lagi tawa ayahnya yang terdengar beberapa detik kemudian. "Canda, Bun. Jangan marah-marah gitu deh. Kita semua pasti pengen Lisa bahagia."
Lisa menghela napas mendengarnya. Ia tidak tahu ayahnya bisa sebercanda itu. Bundanya yang diajak bicara saja sampai berseru sebal.
"Kayak yang kita bahas di awal tadi, Lisa sama Ares coba tinggal satu rumah dulu. Sebulan kurang juga nggak papa. Baru setelah itu kita pikirin gimana selanjutnya. Kalau mereka emang belum bisa satu rumah, yaudah, mereka dipisah lagi. Kita tunggu sampai mereka dewasa dan siap," ujar ayahnya.
Lisa terdiam sejenak, berusaha mencerna ucapan ayahnya barusan. Ia menelan ludah. Apa itu berarti keputusan awal ayahnya tidak berubah? Lisa dan Ares tetap satu rumah? Ck! Bagaimana bisa? Pupus sudah satu-satunya harapan Lisa.
"Yaudah, terserah Mas deh. Tapi kalau ada sesuatu terjadi sama Lisa nanti, Mas yang bakal Bunda salahin pertama kali." Bundanya berucap di balik dinding sana.
Sejurus kemudian, suara langkah bundanya terdengar mendekat ke arah pintu. Lisa melototkan mata kaget, segera berlari ke ruang keluarga yang dekat dengan kamar kedua orangtuanya. Sampai sana, Lisa langsung duduk di sofa, menghidupkan tv. Ia mengambil hp, sok-sokan membalasi pesan yang masuk, berusaha terlihat seperti sudah berada disana sejak lama. Lisa harap bundanya tidak tahu ia baru saja menguping pembicaraan mereka berdua di dalam kamar.
"Lisa, kamu nonton apa?" Bundanya tiba-tiba sudah berdiri di sebelah Lisa, bertanya bingung.
Lisa mendongak, langsung berteriak histeris. Ia reflek membanting hp ke lantai, memeluk wanita yang ada di sampingnya. Bundanya yang tahu akan hal itu langsung memgambil remote, mengganti channel. Astaga... Sejak kapan TV di depan Lisa menampilkan gambar seekor cicak? Mengapa Lisa tidak menyadarinya? Apa ini hukuman karena telah menguping pembicaraan orangtua?
"Kok bisa gitu sih, Sa?" Bundanya memungut hp di lantai, menatap bingung ke arahnya.
"Nggak tahu, Bun. Tadi awalnya nggak ada itu." Lisa yang meringkuk di pojokan sofa menjawab. Ia memegangi dada, berusaha menormalkan jantungnya yang masih berdegup kencang. Tentu saja Lisa bohong. Ia asal menghidupkan TV tadi, tidak tahu topik yang sedang dibahas di dalamnya sama sekali.
"Mau Bunda ambilin minum?"
Lisa menggeleng, menolak tawaran bundanya. "Nggak perlu, Bun. Aku nggak papa."
Kini bundanya yang gantian menghela napas, segera duduk di sebelah Lisa. "Makanya kalau main hp liat sekeliling juga. Jangan terlalu fokus gitu," ujar bundanya, mengembalikan hp yang sempat Lisa banting tadi.
Lisa hanya bisa menyengir samar di tempat.
"Oh iya, Sa. Bunda udah ngomong sama Ayah tentang tadi siang."
Lisa menelan ludah, terdiam, menoleh ke arah bundanya. Sesungguhnya ia sudah tahu apa yang akan bundanya katakan.
"Maaf bunda nggak bisa bantuin bujuk ayah." Bundanya menatap sedih ke arahnya. "Ayah bilang, kamu sama Ares coba tinggal satu rumah dulu. Sebulan aja, Sa. Kalau emang nggak bisa dan nggak betah, kalian berdua baru pisah tempat tinggal."
Lisa membuka mulut, ingin menolak keputusan ayahnya, tapi urung. Ia malah menghela napas panjang, berusaha menerima nasib.
Lisa itu penurut, jauh sekali dari kata membangkang. Sekali saja permintaannya ditolak, yasudah, untuk apa menolak lagi? Lagipula keputusan orangtua itu selalu yang terbaik, meskipun hal itu masih kabur di pandangannya.
Lisa hanya belum melihat saja letak terbaiknya sekarang. Tapi esok hari nanti, entah kapan, mungkin ia akan menyadarinya.
Bersambung.
Hari ini hari keberangkatan Ares ke Madrid. Hari yang ditunggu-tunggu, tetapi tidak juga terasa menyenangkan karena Ares akan pergi jauh dari Lisa. Sudah hampir dua tahun mereka selalu bersama. Kali ini mereka berdua harus terpisahkan oleh jarak dan waktu. Indonesia dan Spanyol itu sangat jauh. Lebih jauh dari Indonesia-Australia tempat Arvin berada.Lisa, Mama, dan Oma berangkat bersama-sama untuk mengantar Ares ke bandara. Sebelumnya berhenti di lapas terlebih dahulu untuk berpamitan pada papa untuk terakhir kali sebelum berangkat ke Spanyol. Bagaimana pun juga, Ares perlu doa dan restu kedua orang tuanya untuk menjalani kehidupan baru di negeri orang.Waktu menunjukkan pukul 2 siang. Setengah jam lagi pesawat Ares akan berangkat."Mama mau anter Oma dulu ke toilet. Kalian berdua ngomong berdua dulu aja. Setelah ini bakal nggak ketemu lama kan?" kata Mama, seolah berniat memberi waktu bagi Lisa dan Ares untuk berbincan
"Gimana, Res? Ini aku mau berangkat. Mau bantuin pak-pakin barang." Lisa berkata pada seseorang di seberang sana. Ia mengambil sneaker di rak sepatu, berniat memakainya. Tapi baru memakai sebelah ia urung melanjutkan ketika mendengar jawaban lelaki yang ia ajak bicara."Aku udah di deket apartemenmu. Lagi pencet password mau buka pintu," katanya. Suaranya terdengar ganda. Satu di telepon, satu asli di depan pintu dekat tempat Lisa berdiri.Lisa mengernyitkan dahi. "Kok malah ke sini? Emang udah selesai siap-siap?"Bunyi pintu terbuka terdengar. Di gawang pintu Ares berdiri sembari membawa handphone di tangan. Pemuda itu membawa kresek yang Lisa yakini berisi makanan-sesuai kebiasaan lelaki itu yang selalu datang ke rumahnya sembari membawa camilan.Lisa mematikan sambungan telepon. "Udah selesai beres-beres?"Ares menggeleng. Ia melepas sepatu dan menaruhnya di rak. "Belum. Sumpek
Satu tahun terlewati begitu cepat.Sudah hampir sebulan yang lalu Lisa melaksanakan ujian kelulusan. Dan hari ini adalah hari yang paling ditunggu-tunggu oleh anak kelas 12 yang baru saja merasakan hari kelulusan beberapa waktu yang lalu; hari wisuda.Lisa tersenyum cerah di hadapan banyak orang. Tadi pagi ia sudah didandani, lalu memakai baju toga untuk acara kelulusannya. Setelah acara selesai, ia segera menghampiri beberapa temannya lalu memeluk mereka senang. Ada Dilla teman terdekatnya di kelas. Tidak lupa menghampiri Arvin, Oma, dan Mama yang juga datang di acara wisudanya dan juga Ares.Pemuda itu tampak bahagia, menenteng seikat bunga besar yang entah diberi oleh siapa. Lisa dan Ares lulus dengan nilai memuaskan. Lebih-lebih Lisa; baginya itu sudah sangat memuaskan. Tapi tetap saja, setelah itu ia akan berjuang kembali untuk masuk ke perguruan tinggi. Melakukan seleksi masuk ke universitas kota yang ia impikan.
"Makasih, ya, Dilla. Udah bantuin pindahan sejak tadi pagi. Capek banget pasti kalau nggak ada kamu. Mana sekarang Ares ngilang katanya mau beli makanan." Lisa berterima kasih pada Dilla di depannya.Teman Lisa itu membantu perpindahan Lisa ke apartemen hari ini. Sebenarnya tidak banyak barang yang dipindahkan. Tapi tetap saja terasa banyak karena yang ikut membantunya hanya dua orang—Ares dan Dilla.Tadi Arvin bilang ingin membantu. Tapi gila saja kakaknya itu pulang ke Indonesia hanya untuk membantunya pindahan. Lebih-lebih Arvin pasti pening karena sudah beberapa kali bolak-balik Indonesia untuk urusan pekerjaan.Lisa sekarang mengerti betapa lelahnya Ayah meskipun terkadang pekerjaannya hanya duduk di depan laptop dan memimpin rapat. Arvin yang sebelumnya sudah stres karena kuliah pasti lebih stres setelah menjabat CEO di usia muda. Mengurusi bisnis, membuat keputusan besar, berpikir rencana yang akan diambil perusahaan.&n
"Ma, Lisa pamit dulu, ya." Lisa tersenyum sebaik mungkin di hadapan mama mertuanya yang sedang sakit, menyimpan luka di hatinya.Sudah sepekan lebih mama tinggal di rumah sakit jiwa. Lisa baru sempat menjenguknya sekarang. Dan kondisi mama sekarang benar-benar menyayat hatinya.Mama masih mengenal Lisa, masih menganggapnya menantu seperti hal aslinya. Yang berbeda hanyalah keberadaan ayah bunda yang masih dianggap hidup. Juga teror-teror yang sebenarnya tidak ada tetapi dianggap hal yang mengancam nyawa.Mama mengangguk. "Kamu hati-hati, ya, Sa. Jaga diri. Banyak orang jahat di sekitar kita. Kamu tahu kan keluarga Mama masih diancem terus buat dibunuh? Kamu pokoknya harus jaga diri. Bilang ke ayah sama bundamu juga biar waspada."Lisa mengangguk, mengiyakan perkataan mamanya. Ia langsung pergi ke luar terlebih dahulu, meninggalkan Ares yang gantian berpamitan pada mamanya. Sampai luar kamar, matanya langsung menetes
Dua pekan berlalu dengan cepat.Lisa duduk di kursinya, menatap langit di luar jendela yang tampak cerah. Angin pagi yang menyegarkan berhembus, menyapu daun-daun kering yang membuatnya jatuh berguguran dari pohon. Waktu di jam dindingnya kelas menunjukkan pukul 9. Tapi cuaca masih sesegar pukul tujuh, tidak terlalu terik.Hidup Lisa kembali seperti biasa. Meskipun dengan kenyataan menyakitkan yang seharusnya dipeluk alih-alih dihindari.Sepekan ini ia masih tinggal bersama Ares di rumah lama. Bertiga bahkan bersama Arvin. Tetapi kakaknya sebentar lagi akan kembali ke Australia. Tentu saja untuk melanjutkan studinya.Dan satu hal yang mungkin akan jadi beban berat kakaknya setelah ini, Arvin resmi menjadi direktur menggantikan Ayah dua hari yang lalu. Ia jadi CEO perusahaan properti milik Ayah yang sudah membuka cabang di berbagai kota di umur yang masih menginjak 20 tahun.Itu gila. Lisa tahu.