Share

Kematian di Depan Mata

“Mbak.”

Tiba-tiba saja Zafran sudah berdiri di belakang Mbak Puji sambil mengucek matanya menggunakan sebelah tangan. Meski lirih dan serak, suara bocah lima tahun itu mampu membuat Mbak Puji yang tengah mengintip Sanjaya dari balik pintu besar, sport jantung. Untuk sesaat wajah wanita itu memucat.

“Astagfirullah, Aden! Bikin Mbak kaget aja.” Mbak Puji mengurut dada, menetralkan debar jantung yang tidak beraturan. “Aden ngapain di sini?”

Zafran tak menjawab. Sepasang mata kecilnya tidak berkedip menatap lurus ke depan di mana sebuah jasad manusia teronggok di bawah kaki sang kakek yang dengan santai menyulut sebatang cerutu lalu mengembuskan asapnya dengan rasa puas.

Buru-buru Mbak Puji memasang badan untuk menutupi pemandangan yang dilihat Zafran. Wanita itu membungkuk, lalu berbisik. “Ayo kita kembali ke kamar.”

“Untuk apa ke kamar? Bukankah di sini udaranya jauh lebih segar ketimbang di dalam kamar?” Gelegar suara Sanjaya sontak membuat jantung Mbak Puji memburu.

Netra wanita muda itu melirik takut-takut ke arah sumber suara yang terdengar sangat dekat, nyaris menempel di telinga kanannya. Lutut Puji bergetar hebat. Keringat mulai merembes di sela ketiak.

“Bukankah begitu, Zafran?” Lagi, suara lelaki itu seperti membius. Bukan hanya Puji, bahkan Zafran belum mengucap sepatah kata pun sebagai jawaban. Mata bocah itu masih menatap lurus ke depan. Mencuri pandang di sela tubuh Puji dan Kakek Sanjaya.

Si kakek menoleh mengikuti arah tatapan cucunya. Kemudian lelaki itu mengulas senyum simpul. “Suka dengan apa yang kamu lihat?”

Zafran mengalihkan pandangan ke Sanjaya. Telunjuk kirinya menunjuk ke jasad yang masih terbujur kaku dengan linangan cairan merah kental di sekitar kepala hingga ke separuh tubuh bagian atas. “Siapa dia?”

Kakek Sanjaya membungkuk bersamaan dengan Puji yang buru-buru mundur beberapa langkah ke belakang. “Dia lelaki bodoh yang suka mengasihani orang,” bisiknya di telinga sang cucu.

Zafran bergeming. Wajah polosnya masih menatap Sanjaya. Banyak pertanyaan baru yang muncul silih berganti memenuhi kepala bocah itu.

“Kamu ingin mendekat?”

“Ma—maaf, Tu—Tuan. Ad—den Zaf—ran sedang demam.” Terbata Mbak Puji menyela. Kepalanya menunduk sangat dalam. Sungguh, ketakutan teramat besar menguasai dirinya mengingat orang yang ada di hadapannya baru saja membunuh seorang centeng tanpa rasa bersalah sedikit pun. Namun, rasa sayang terhadap bocah lelaki yang baru saja ia kenal jauh lebih besar. Membiarkan bocah polos itu melihat mayat bersimbah darah korban pembunuhan sang kakek secara langsung, bukankah itu gila?

“Kamu … siapa?” Sanjaya berucap lirih tanpa menoleh ke arah Puji. Namun, wanita itu tahu persis jika pertanyaan tersebut jelas ditujukan padanya.

Dengan lutut yang kian bergetar, Mbak Puji berusaha mengeluarkan suara. Sayangnya gagal. Mulut wanita itu hanya menganga tanpa keluar suara sedikit pun.

Di luar dugaan, tanpa ragu Zafran melangkah mendekati jenazah si centeng membuat Sanjaya tersenyum tipis. Diikutinya anak lima tahun itu dari belakang sembari mengisap lagi cerutu kesukaannya.

Zafran menatap lekat mayat itu dengan wajah datar. Aneh, bau amis darah sama sekali tidak memuatnya mual.

“Aku mau belajar nembak, Kakek.” Zafran bergumam sangat pelan seolah bicara pada dirinya sendiri. Sehingga sang kakek memintanya untuk mengulang kalimat itu sekali lagi.

“Aku mau belajar nembak!”

Kakek Sanjaya bertepuk tangan girang diiringi tawa lepas yang berderai. “Good! Itu baru cucu Kakek!”

Sementara itu, seorang anak lelaki lain menatap keduanya dari atas balkon lantai tiga dengan penuh amarah. Berkali-kali ia menggeleng melihat tingkah si kakek dan bocah menyebalkan di sampingnya.

“Den Gio, sudah selesai melukisnya?”

Pertanyaan asisten rumah tangga yang mendadak itu membuyarkan fokusnya.

“Beresin semuanya, Mbak. Aku udah nggak mood!” Dilemparnya kuas dengan ujung berwarna merah terang ke sembarang arah.

Sebelum meninggalkan balkon, tangan Gio terayun ke palet di atas meja yang berisi cat dengan warna yang lengkap hingga seluruh isinya berceceran.

Dengan langkah tergesa lelaki kecil itu menuruni puluhan anak tangga untuk mencapai kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Zafran di lantai dua rumah Sanjaya. Dibantingnya daun pintu hingga menimbulkan bunyi berdebam yang cukup keras. Bahkan Kakek Sanjaya sampai mengerutkan keningnya mendengar bunyi tersebut.

“Suara apa itu, Kek?”

“Abangmu. Anak itu memang susah diatur. Biarin aja dia. Kita fokus sama latihan menembakmu,” sahut Sanjaya santai. “Jadi kapan mau mulai?”

“Maaf, Jugaran. Permisi. Kami mau beresin sampah ini,” ujar anak buah Sanjaya menyela percakapan seraya jempolnya menunjuk mayat si centeng yang malang.

“Hem.” Sanjaya menjawab singkat. “Harus sampai bersih. Jangan sampai darahnya mengotori tamanku.”

“Siap, Juragan.” Tanpa menunggu perintah lagi, lima orang anak buah Sanjaya bekerja sama membereskan kekacauan yang baru saja terjadi. Ada yang menggotong jenazah, menyemprotkan air bertekanan besar serta mengepel sisa-sisa cipratan darah di lantai.

“Sampai di mana pembicaraan kita tadi?” Sanjaya berbicara sembari mendudukan tubuhnya dengan santai di kursi taman. Angin sore yang sejuk mempermainkan rambutnya yang sebagian sudah memutih. “Ayo sini duduk di pangkuan Kakek. Kakek sangat merindukanmu, Zafran,” ucap lelaki tua itu seraya tersenyum lebar.

Tanpa banyak bicara, Zafran menurut. “Kakek boleh tau, apa alasanmu mau belajar menembak?”

Zafran tampak berpikir. “Aku mau kayak Kakek. Bisa nembak orang,” sahut anak lelaki itu beberapa saat kemudian. Wajah polos tanpa ekspresinya membuat sang kakek gemas.

“Kamu ini lucu sekali.” Beberapa kali Sanjaya mencubit pipi Zafran sembari tertawa lepas. “Kamu benar-benar cucu Kakek.”

“Kakek nggak suka?”

Sontak Sanjaya menggeleng. “Bukan begitu! Justru Kakek bangga sama kamu. Kelak kamu yang akan mewarisi seluruh kerajaan bisnis Kakek, mau?”

“Kerajaan bisnis itu apa?”

“Nanti kalau sudah besar kamu akan paham sendiri.”

Lagi-lagi suara pintu dibanting terdengar hingga ke telinga Zafran dan Kakek Sanjaya.

“Jay!” teriak Sanjaya kesal. “Berisik sekali!”

Pemilik nama yang dipanggil tergopoh-gopoh mendekat.

“Ada apa itu? Bisa tenang sedikit?!”

“Maaf, Juragan. Anak-anak bawa si Karyo.”

“Siapa Karyo?”

“Dia berhutang sama Juragan tapi nggak bisa bayar. Minta tempo lagi katanya.”

“Astaga! Cuma hal sepele begitu, apa nggak bisa ditangani dengan tenang? Gedebak gedebuk berisik kayak di pasar!”

“Iya, Juragan, maaf.”

“Maaf … maaf! Pergi sana. Jangan ada ribut-ribut lagi!”

“Siap, Juragan. Permisi.” Setengah berlari Jay meninggalkan Sanjaya.

“Apa Kakek selalu memukuli orang yang berhutang sama Kakek?” tanya Zafran pelan.

“Itu balasan yang setimpal buat mereka.”

“Kenapa begitu?”

“Mereka udah pakai uang Kakek, lalu nggak mau bayar. Alasan inilah itulah. Siapa yang rugi?”

Si kecil Zafran terdiam sejenak. Lalu menjawab, “Kakek.”

“Tepat! Makanya mereka harus dihukum karena bikin Kakek rugi.” Sanjaya menurunkan Zafran dari pangkuannya. “Ayo kita lihat apa yang anak buah Kakek lakukan sama si Karyo itu.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status