“Beraninya cuma ngancem cewek. Mana badannya lebih kecil pula!”
Erin menggulung lengan kausnya sebatas pundak, bersiap nenantang pria tampan di depannya untuk berkelahi. Kaki kanan ditarik ke belakang sementara kaki yang lain menekan tanah dengan kuat selayaknya membuat kuda-kuda.
Si pria menggeleng pelan seraya menyeringai tipis. Sesekali diusapnya kasar ujung hidung bangirnya sekadar menahan tawa. Tidak tahan dengan tingkah Erin, akhirnya ia mengibaskan tangan kanan kemudian berbalik lalu beranjak pergi.
“Hei! Mau ke mana kamu? Main kabur aja. Tadi ngancem-ngancem, sekarang takut. Dasar ayam sayur!”
Zafran abai. Ia terus berjalan tanpa menghiraukan teriakan si gadis berambut ekor kuda. Diembusnya napas berat setelah duduk dengan nyaman di balik kemudi mobil hitam metalik miliknya. Isi kepala lelaki itu dipenuhi gambar bunga melati yang tercetak hitam putih di bungkus rempeyek kacang Erin.
Nyeri kembali menyeruak, memenuhi rongga dada Zafran. Ditekannya kuat-kuat dada kiri untuk mengurangi rasa seperti tertusuk ribuan duri di dalam sana. Bulir keringat mulai bergerombol di kening mulusnya kala teringat bunga kesukaan sang ibu.
Zafran meraih ponsel di saku celana jeans-nya lalu mulai menekan sederet angka kombinasi untuk membuka kunci telepon pintar tersebut. Sepasang netra tajam itu menyipit, menatap sendu pada sebuah gambar yang tersaji di layar delapan inci di gengamannya.
Memori pria 25 tahun itu melayang pada kisah dua puluh tahun silam. Pada panasnya kobaran api yang meluluh lantakkan sebuah rumah beserta seluruh isinya.
***
Zafran kecil tengah tertidur pulas kala asap memenuhi bilik kayu tempatnya tidur berdua sang ibu. Bilik yang juga digunakan untuk ruang tamu dan dapur.
“Zafran! Bangun, Nak! Ada api! Kebakaran!”
Zafran mengerjap pelan. Kesadaran belum pulih sepenuhnya ketika ia mendapati sang ibu yang masih mengenakan mukena usang kesayangan, mengguncang tubuh mungil bocah itu.
“Ayo lekas bangun! Lari keluar! Cepat, Nak! Nanti Ibu menyusul. Ada barang almarhum ayahmu yang harus diselamatkan.”
Terseok-seok kaki kecil Zafran melangkah ke arah pintu yang masih tertutup. Sementara kantuk masih menggelayut di mata.
“Ibu,” lirih Zafran sembari mengucek mata kanannya.
“Cepat keluar, Zafran!” Saking tidak sabar, sang ibu mendorong tubuh kurus bungsunya dengan keras membuat anak itu hampir saja terjerembab ke lantai beralas semen kasar.
Bukannya menuruti perintah tersebut, Zafran justru menangis. Membuat ibunya gemas. Ia raih lengan si bocah lalu ditarik kencang kemudian didorongnya sekuat tenaga keluar menembus kobaran api yang tengah membakar bagian atas daun pintu. “Keluar!”
Bersamaan dengan itu atap rumah di belakang ibu Zafran mulai berjatuhan dilalap panasnya api.
“Ibu!” Jerit pilu Zafran memekakkan telinga.
Beberapa tetangga yang berkerumun, berusaha menahan anak lelaki itu supaya lebih tenang. Namun, gagal.
Ibu Zafran menoleh. Netra wanita muda itu membeliak ketika mendapati putranya berlari masuk ke dalam rumah lagi.
“Zafran stop! Jangan masuk!”
Terlambat. Bocah itu terlanjur masuk. Sayang, ketika Zafran hendak meraih uluran tangan ibunya, sebuah kayu atap melayang turun bersama dengan kobaran api yang melahap bagian ujungnya.
Potongan kayu besar itu jatuh tepat di atas kepala Zafran. Beruntung sang ibu bergerak cepat mendorong Zafran kecil hingga dirinya selamat dari reruntuhan itu.
Namun, rupanya musibah tidak berhenti sampai di situ. Reruntuhan yang berhasil dihindari Zafran justru menimpa tubuh ibunya yang langsung terjatuh tidak sadarkan diri.
“Ibu! Jangan tinggalin aku! Ibu bangun!”
Itu adalah hal terakhir yang dilihat Zafran sebelum tangan kekar sang kakek, Sanjaya, merengkuhnya paksa lalu gelap menyelimuti dunia si bocah.
Ketika kesadaran kembali menguasai, Zafran sudah berada di tempat yang ia ingat sudah ditinggalkan sejak setahun lalu; kamarnya di rumah Kakek Sanjaya.
“Alhamdulillah, Aden sudah sudah siuman. Jangan banyak bergerak dulu, badan Aden lebam-lebam merah tapi untungnya nggak ada luka serius.”
Mbak Puji meletakkan sebaskom air hangat di atas nakas samping ranjang besar—tempat di mana anak itu terkulai lemas—untuk membasuh luka-lukanya. Ia amati sekilas paras lusuh bocah lima tahun yang tampak kurus dengan mata membengkak tesebut.
Mbak Puji memberanikan diri mengulurkan tangan kanannya menyentuh pelan pipi Zafran yang lagi-lagi basah air mata.
“Sebelah mana yang sakit? Sini, biar Mbak usapin.” Wanita muda itu berbisik lirih. Ia belai pipi Zafran lalu digenggamnya lembut tangan bocah malang itu untuk mengalirkan kehangatan pada lima jemari kecil yang terasa sedingin es.
Melihat Zafran menggigil, buru-buru Mbak Puji mengambil selimut bersih di lemari lalu menyelimuti tubuh kurus yang terbaring tidak berdaya di ranjang. Ditempelkannya telapak tangan ke kening bocah itu. Panas. Zafran demam.
“Aden tunggu, ya. Mbak ambil kompresan dulu.”
Segera Mbak Puji berlari keluar kamar tanpa menunggu jawaban dari Zafran yang lebih memilih memejamkan mata ketimbang berbincang dengan wanita yang baru dikenalnya.
Tidak lebih dari dua puluh menit, si mbak sudah kembali membawa lembaran kompres penurun panas instan, semangkuk bubur ayam serta segelas teh yang masih mengepul.
“Sabar ya, Den. Mbak mau kompres kening Aden dulu. Mudah-mudahan bisa cepet turun panasnya.”
Dengan telaten asisten rumah tangga yang belum lama bekerja pada keluarga Sanjaya itu menyobek bungkus kompres sekali pakai khusus untuk anak-anak lalu menempelkannya di kening Zafran yang masih terpejam.
“Aden istirahat dulu, ya. Nanti Mbak balik ke sini. Selamat istirahat.”
Usai merapikan selimut di atas tubuh Zafran, Mbak Puji berjalan berjingkat mendekati pintu. Ia takut suara langkahnya akan membangunkan si Tuan Muda yang malang.
Baru saja hendak meraih gagang pintu, telinga Mbak Puji menangkap sebuah rintihan.
“Ibu … jangan tinggalin aku.”
Wanita muda tersebut membatalkan niatnya untuk beranjak dari kamar besar itu, kemudian kembali mendekati ranjang. Didapatinya wajah Zafran memerah. Demamnya meninggi. Gegas ia berlari keluar kamar, menuruni ratusan anak tangga menuju lantai satu.
Jantung Mbak Puji berdegub kencang kala mendengar keributan di taman belakang. Dengan langkah hati-hati, ia mendekat lalu bersembunyi di balik pintu besar yang memisahkan ruangan belakang dengan taman tersebut.
Sepasang mata wanita itu menatap takut-takut pada pemandangan yang tersaji di hadapannya; Sanjaya tengah memarahi seorang centeng disaksikan empat anak buah lainnya.
“Dasar nggak berguna! Nagih hutang ke pedagang aja nggak becus!” hardik Sanjaya sembari melayangkan sebuah tamparan ke centeng yang berdiri menunduk di depannya.
“A—ampun, Bos.”
“Ampun?” Mata Sanjaya melotot nyaris keluar dari kelopaknya. Ia tarik kerah kemeja lelaki bertubuh kekar khas seorang tukang pukul itu. “Ini yang namanya ampunan!” Disarangkannya tinju bertubi-tubi ke perut si centeng yang tidak berusaha menghindar ataupun membalas. Dia telan mentah-mentah semua caci maki dan kekerasan fisik yang diterimanya dari sang juragan.
“Kenapa gagal? Jawab!”
“Ka—kasihan, B—Bos,” sahut si centeng terbata. “Jualannya belum ada yang laku.”
“Kasihan? Sudah bosan hidup rupanya, hah?!” Kian kesal Sanjaya mendengar jawaban si centeng. “Kalau semua pedagang dikasihani bisa bangkrut aku!”
Lagi, ditinjunya tubuh si centeng hingga jatuh tersungkur ke lantai marmer rumah Sanjaya. Kemudian ia tendangi pria malang itu berkali-kali tanpa rasa iba sedikit pun. Cairan merah kental mengalir dari hidung, sudut bibir dan pelipis si centeng.
Tangan kanan Sanjaya menengadah. Lalu seorang anak buah yang sedari tadi mengawasi di belakangnya, melangkah mendekat kemudian mengulurkan sebuah stengun hitam ke atas telapak tangan sang rentenir.
"Ampun, Bos. Beri saya kesempatan sekali lagi," isak si centeng pesakitan sembari memeluk kaki Sanjaya. Air mata berlinang menderas.
Tanpa banyak cakap, Sanjaya menghempaskan tubuh si centeng lalu mengambil ancang-ancang.
Sejurus kemudian satu suara tembakan menggema ke seluruh sudut rumah megah itu.
Bayaran yang sangat mahal untuk sebuah rasa belas kasih.
***
Dengan pakaian compang camping, basah, serta penuh darah Zafran berdiri di tengah jalan raya perbatasan antarkota yang berada tepat di atas sungai tempat anak buah bos kasino membuang tubuhnya. Pria itu tidak peduli meski wajahnya kian pucat dan melemah, ia tetap berusaha berdiri tegak hingga sebuah sedan hitam mendekat.Zafran masih berdiri di tempatnya ketika sedan itu melaju kencang seraya membunyikan klakson.“Hei sudah bosan hidup, hah?!” hardik pengemudi sedan dari balik pintu mobil setelah sebelumnya menginjak pedal rem dengan keras hingga menimbulkan bunyi berdecit.Zafran mendekat dengan langkah tertatih membuat si pengemudi bergidik ngeri. Penampilan pria tampan itu layaknya zombie yang tengah menyerang penduduk lokal. Hampir saja pengemudi sedan melarikan diri seandainya Zafran tidak lebih dulu limbung serta kehilangan kesadaran tepat di depan moncong mobil.Pria muda itu meletakkan tangan kanannya di kaca pintu samping kemudi, menj
“Selamat pagi.”Gio tersenyum manis ke arah Erin yang tengah berjalan terseok karena kesulitan membawa puluhan bungkus rempeyek kacang di tangan dan punggungnya. Gegas pria 29 tahun itu meraih bakul yang terisi penuh di punggung Erin tanpa menunggu persetujuan gadis tersebut.“Hei … hei … apa-apaan ini? Kamu siapa?” Erin kelabakan mempertahankan bakul. “Enak aja main ambil tanpa permisi dulu. Nggak bisakah bilang baik-baik?”Lagi-lagi Gio tersenyum. “Permisi. Aku mau bantu kamu bawain barang-barang ini, boleh?” godanya seraya mengedipkan sebelah mata.Erin terpaku. Tanpa sadar mulutnya melongo, terpesona dengan pemandangan indah di hadapannya. Sampai sebuah kibasan tangan Gio mengembalikan khayalnya ke dunia nyata.“Gio.”“Hah? Apa?” Erin gelagapan bergantian menatap wajah lelaki yang sedang tersenyum itu dan tangannya yang terulur.“Tadi kamu
“Seingatku jalan ke rumah kamu tempo hari bukan lewat sini, Rin.” Zafran melongok ke luar, memindai lingkungan sekitar malam itu ketika mengantar Erin pulang. Tidak ada gapura serta jalan setapak kecil nan gelap seperti sebelumnya. Dilajukannya mobil perlahan di atas jalan rusak menuju ke arah yang ditunjukkan oleh gadis itu.“Aku sama ibu pindah rumah, Zaf.” Erin menunduk, memainkan jari-jemari kurusnya.“Sepertinya kamu suka banget mainin jari tangan,” ucap Zafran lirih seraya menggenggam kedua tangan gadis muda di sampingnya. “Kenapa nggak telpon aku, hem?” tanya pria itu lembut. “Tenagaku cukup kuat kalau cuma buat angkat-angkat barang.”“Ih, dasar! Apaan, sih? Nggak jelas,” celoteh Erin menahan senyum malu-malu seraya mencubit lengan kiri Zafran pelan yang dibalas tawa kecil lelaki itu.“Jadi?”“Jadi apa?”“Kamu belum jawab pertanyaanku
Zafran meremas kemudi mobil kuat-kuat hingga kedua telapak tangannya memutih. Sementara sepasang kaki pria itu memainkan pedal gas dan kopling secara bersamaan hingga menimbulkan suara deru mesin yang memekakkan telinga. Wajah tampannya membeku dengan tatapan tajam lurus ke depan.Pemandangan tak biasa yang tersaji di hadapannya membuat amarah pria 25 tahun itu tersulut. Tanpa pikir panjang, dilepasnya pedal kopling hingga membuat mobil semi-sport metalik itu meluncur deras tepat ke arah Xpander yang berhenti sekitar dua puluh meter di depannya. Hasilnya, sebuah tubrukan dahsyat dua mobil bertenaga besar itu tidak bisa dihindari.Zafran keluar dari mobilnya yang ringsek di bagian depan kemudian mengayun langkah panjang mendekati si Xpander. Empat orang pria berbadan besar layaknya tukang pukul, keluar dari mobil seraya membawa batangan besi sepanjang setengah meter di tangan mereka. Kening Zafran mengernyit. Belum pernah ia melihat orang-orang itu berkeliaran di wilaya
“Selamat pagi, Tuan Zafran.”Seorang ART mengangguk penuh hormat pada tuan muda yang tengah menuruni anak tangga dengan malas. Penampilan Zafran pagi ini terlihat tak seperti biasa; rambut acak-acakan dengan lingkar mata panda tipis menghiasi wajah tampan itu. Meski begitu, satu hal yang masih tetap sama; tubuhnya wangi maskulin.“Hem,” jawab Zafran singkat. Kepalanya masih terasa berat akibat hanya terlelap tidak lebih dari dua jam.Sepasang kaki pria itu melangkah santai menuju ruang makan di mana kakek dan abangnya sudah menunggu.“Morning, Zaf,” sapa Gio sinis, seperti biasa. “Kupikir udah nggak ingat rumah lagi,” sindirnya. “Rupanya wanita-wanita malam itu masih membiarkanmu pulang.”“Hus! Masih pagi, jangan ribut-ribut.” Sanjaya menegur cucu sulu ngnya dengan suara serak khas lelaki tua itu. "Kalau mau bikin keributan, di pasar aja sana!""Bikin keributan di pasar
“Tunggu!” Zafran menyantuh lembut lengan kanan Erin ketika dilihatnya gadis itu bersiap turun dari mobil. “Kamu yakin mau pulang sendiri?”Zafran menatap sekeliling tempat dirinya menghentikan mobil. Sebuah gapura kecil dengan jalan setapak—yang hanya cukup untuk berjalan kaki dua orang berjajar ke samping—terlihat di sana. Gelap, seiring malam yang kian larut. Pun tanpa penerangan cukup. Bangunan rumah semi permanen saling berdesakan di kiri kanan jalan setapak tersebut.Beberapa pemuda bermain gitar tidak jauh dari tempat Zafran dan Erin berada sekarang. Suara nanyian mereka yang terdengar sumbang ditingkahi gelak tawa mengisi malam.Zafran mematikan mesin mobil. “Aku antar aja.”“Nggak perlu, Zafran. Aku baik-baik aja.”“Tempat ini terlalu gelap.”“Ini rumahku. Percayalah aku nggak akan kenapa-kenapa.” Erin tersenyum mendapati semburat kekhawatiran di mata