Share

Depresi

Sepasang mata lebam, darah mengalir di sudut bibir yang pecah, kaki yang sudah tidak bisa lagi menopang tubuh kurus itu. Zafran memindai keadaan Karyo yang terduduk lemas di sudut ruang tengah. Isi kepala bocah lima tahun tersebut sulit ditebak karena ekspresinya sangat datar. Tidak ada sepatah kata pun yang terlontar dari mulut kecilnya.

Untuk sesaat, Karyo bisa bernapas lega karena tiga tukang jagal itu berhenti memukulinya ketika Zafran dan Sanjaya masuk ruangan tersebut.

“Bos.” Ketiganya bersamaan menyapa sang juragan.

Sanjaya menoleh ke arah Zafran yang mematung di sampingnya. “Mau latihan mukulin orang?”

Anak lelaki itu tidak menjawab. Sepasang matanya lekat menatap mata sayu Karyo yang seolah memohon ampunan.

Lama menunggu jawaban yang tak kunjung keluar dari mulut cucunya, si kakek melambaikan tangan kirinya sebagai perintah agar ketiga tukang pukul itu melanjutkan aksi mereka.

“Ayo kita duduk di sofa sambil menikmati tontonan ini,” bisik Sanjaya seraya menggandeng lengan Zafran yang menurut.

“Aaargh!” Suara Karyo melengking. Tubuhnya mengejang sesaat usai salah satu centeng Sanjaya menggebuk kepala lelaki kurus itu hingga membentur dinding.

Cairan merah kental muncrat mewarnai tembok putih itu serta menetes dengan cepat ke lantai. Ketiga centeng saling bertatapan. Diguncangnya tubuh tak bergerak tersebut dengan kaki. Nihil. Karyo sudah tidak bernyawa lagi.

Seorang centeng mendekati Sanjaya yang duduk santai sembari menghisap cerutunya. “Bos. Sudah almarhum.”

“Hem.” Sanjaya menjawab enteng. “Bersihkan. Jangan bikin para polisi itu mengendus baunya sampai ke sini,” ucapnya datar.

“Siap, Bos.” Usai berbicara, si penjagal tersebut berjalan cepat ke arak teman-temannya. Ia memberi aba-aba untuk melakukan ‘pembersihan’.

“Kakek ayo pergi dari sini.”

Sanjaya tersenyum memandang bocah lelaki di sampingnya. “Sudah bosan rupanya kamu.” Pria tua itu beranjak dari duduknya. “Ayolah kalau gitu. Kamu mau Kakek temani ke mana?”

“Aku mau tidur di kamar.”

Si kakek sedikit memiringkan kepalanya lalu mengulurkan tangan menyentuh kening Zafran yang wajahnya sedikit memucat. “Hem. Ternyata bener kata perempuan tadi. Kamu demam. Ya sudah, ayo Kakek antar ke kamarmu.”

“Nggak usah, Kek. Aku bisa sendiri.” Sedikit melompat Zafran menuruni sofa yang dudukannya lebih tinggi dari jangkauan kaki kecilnya. “Ibu bilang, aku udah besar. Harus bisa melakukan semuanya sendiri.”

Sanjaya membungkuk, menyamakan posisi kepala dengan cucunya. Sepasang mata tuanya tidak bisa menyembunyikan amarah. “Mulai sekarang jangan pernah sebut nama ibumu di rumah ini lagi. Kakek nggak suka. Paham?!”

Zafran menatap kakeknya tajam, kemudian melangkah pergi begitu saja tanpa menjawab ucapan Sanjaya. Kaki-kaki bocah itu setengah berlari menaiki tangga menuju kamarnya.

“Aduh!” Zafran berteriak tertahan bersamaan dengan tubuhnya yang jatuh mencium dinginnya lantai marmer rumah Kakek Sanjaya. Sepasang mata kecil anak itu menatap Gio yang berdiri dengan angkuh di hadapannya.

“Makanya punya mata dipake yang bener! Jalan aja bisa nabrak!"

Zafran terdiam sembari mengusap lututnya yang berdarah akibat beradu dengan lantai.

“Sakit? Mau nangis? Dasar cengeng!”

Zafran masih tidak bereaksi. Ditiup-tiupnya luka untuk mengurangi rasa sakit.

“Kalau segitu aja sakit, gimana sama orang-orang yang kamu lihat tadi? Mereka mati, bukan?” Gio terus mencerca, tanpa sedikit pun berniat membantu adiknya.

“Ada apa ini ribut-ribut?” Mbak Puji mendekat dari arah anak tangga, seketika matanya membeliak mendapati lutut Zafran yang berdarah. “Den Zafran? Aduh ini lututnya kenapa? Ayo sini Mbak obati.” Dibantunya si kecil untuk berdiri. Terlihat bocah itu meringis kesakitan walau tidak tampak butiran air mata menggenang di sudut netranya.

“Anak begitu baiknya nggak usah dibantu, Mbak. Harusnya dia lebih kuat dari pada orang yang dipukuli Kakek tadi.” Gio berucap dengan sinis sambil beranjak pergi.

“Udah nggak usah diambil hati omongan Den Gio. Dia memang begitu. Yuk, kita ke kamar. Nanti Mbak obatin luka Den Zafran,” ucap Mbak Puji membesarkan hati majikan kecilnya itu.

Zafran memandang kepergian kakaknya sekilas kemudian terseok-seok berjalan masuk ke kamarnya sambil menahan sakit.

“Aduh Den Zafran kenapa bisa terluka sampek besar begini? Mbak mau bersihin dulu. Tahan ya, Den. Agak sakit." Dengan cekatan Mbak Puji yang lulusan sekolah perawat itu membersihkan luka Zafran yang terus mengeluarkan darah. Sekuat tenaga anak itu menahan sakit meski akhirnya pertahanannya jebol. Air mata menganak sungai, membanjir di pipi Zafran. Namun, sama sekali tidak terdengar jerit tangis layaknya bocah lima tahun yang terluka lalu berdarah. Hanya isak pelan yang mewakili rasa sakitnya.

Mbak Puji beringsut mendekati Zafran lalu memeluk erat tubuh kurus bocah itu. “Nangis aja, Den. Di sini cuma ada kita berdua. Aden nggak perlu takut atau malu.” Wanita muda itu menyeka butiran hangat yang mulai meninggalkan jejak di pipinya sendiri dengan kasar. “Mbak tau apa yang Aden rasakan sekarang.”

Tidak menunggu waktu lama, pecahlah tangisan Zafran bersamaan dengan tubuh kecilnya yang berguncang hebat. Mbak Puji yang tidak bisa menahan haru, ikut menangis sesunggukan.

Lama keduanya menangis bersama hingga Mbak Puji menyadari tubuh Zafran tidak lagi bergerak dengan cepat. Suara napasnya yang teratur menandakan bahwa bocah itu telah pulas dalam tidurnya.

Gegas Mbak Puji membaringkan Zafran di ranjang lalu menutupi tubuh kecil itu dengan selimut tebal seraya berhati-hati supaya tidak mengganggu tidurnya. Sekilas asisten rumah tangga yang dipekerjakan khusus untuk merawat Zafran tersebut mengamati wajah yang tertidur pulas. Rasa iba menyeruak di hati kala teringat bahwa dirinya juga memiliki anak lelaki seumur dengan bocah yang sedang lelap itu.

***

“Heh, kamu!” gelegar suara Sanjaya mengagetkan Mbak Puji yang kini tengah membantu juru masak menyiapkan sarapan pagi untuk keluarga di rumah tersebut.

Serta merta ia menoleh. “Sa—saya, Tuan?”

“Hem. Mana cucu kesayanganku?”

Gio yang sedang duduk tenang di meja makan menyungingkan senyum sinis.

“Ma—maksud Tuan Den Zafran?”

“Ck! Lalu siapa lagi kalau bukan dia?” Sanjaya menarik kursi utama di meja makan lalu duduk di sana. Gio masih menunduk, acuh memainkan sendok dan garpunya.

“Gio! Berhenti melakukan itu? Berisik!” hardik Sanjaya. Membuat Gio kesal kemudian melempar sendok garpunya ke piring.

Bocah sembilan tahun itu beranjak dari duduknya meninggalkan Kakek Sanjaya yang hanya menghela napas panjang tanpa berusaha menahan Gio untuk tetap duduk di tempatnya.

“Jadi, mana Zafranku?” Kakek Sanjaya melipat kedua tangannya di meja. Tatapan dingin pria itu membuat Puji salah tingkah.

“D—dia di kamarnya, T—Tuan.”

“Panggil! Aku mau sarapan berdua anak itu.”

“T—tapi Tuan, Den Zafran sedang sakit.”

“Sakit? Demamnya belum turun? Lalu buat apa aku mempekerjakan kamu kalau ngurus begitu aja nggak becus?!”

Tubuh Mbak Puji gemetaran. Lututnya lemas. “M—maafkan saya,Tuan.” Kepala wanita itu mendunduk semakin dalam.

“Jay!” Teriakan Sanjaya menggelegar memenuhi seisi ruang makan. “Seret perempuan ini ke taman belakang!"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status