Share

Kerinduan yang Mematikan

Tubuh Zafran menggigil hebat. Matanya masih terpejam ketika keringat dingin mengucur deras dari pelipis. Bibir bocah lima tahun itu memutih.

“Ibu,” rintihnya. “Aku mau pulang.”

Seorang wanita asisten rumah tangga yang bertugas menjaga Zafran di kamarnya, tergopoh mendekat. Ia panik. Berjalan ke sana kemari tanpa tahu apa yang harus dilakukan.

“Ibu.” Untuk kesekian kalinya rintihan lolos dari mulut Zafran kecil.

Rindu, benci dan amarah bercampur dalam dadanya yang berdebar kencang menunggu untuk segera diledakkan. Membuatnya terlihat sangat kesakitan.

Tiba-tiba saja, Zafran terbangun dari tidurnya. Tubuh kurus itu menegang sejenak lalu memuntahkan seluruh isi perutnya di sisi kanan ranjang.

“Den Zafran!” Si ART berteriak ketakutan melihat majikan kecilnya muntah tanpa henti. Terakhir, bukan makanan yang keluar, melainkan darah segar melalui mulut dan hidungnya.

Bukannya mengurusi Zafran, si Mbak ART malah berlari keluar kamar. “Tu—Tuan!” Panik wanita itu menuruni tangga seraya berteriak memanggil Sanjaya.

“Sialan!” Sanjaya menghentikan gerakan menampar pipi Mbak Puji yang sudah membiru dengan darah mengalir di sudut bibirnya yang pecah. Lelaki itu membiarkan tangan kanannya melayang di udara lalu mengepal geram. “Suara siapa itu?!”

Tiba-tiba saja wanita ART penjaga Zafran tergopoh masuk tanpa izin, mendekati Sanjaya. Ditundukkannya kepala karena sang nyali mendadak ciut melihat sepasang mata lelaki tua itu melotot seakan hendak keluar dari cangkangnya.

“Siapa kamu berani masuk ke sini tanpa ijin, hah?!” hardik Sanjaya telak. “Mengganggu saja!”

“M—maaf, Tu—Tuan. D—Den Zaf—ran, T—Tuan.”

“Kenapa sama anak itu?”

“D—Den Zafran ….”

“Ck! Jay! Lihat Zafran di kamarnya!” Gelegar perintah Sanjaya penuh amarah memaksa Jay setengah berlari menuju kamar si tuan muda.

Sanjaya meneguk segelas air putih hingga tandas untuk menetralkan debar jantungnya yang tidak beraturan karena amarah merasuki hati lelaki tua itu. Sementara Mbak Puji bisa bernapas sedikit lega karena tamparan yang diterimanya bertubi-tubi dari tangan kasar Sanjaya terhenti untuk sesaat.

Tidak lama, Jay tampak berlari ke arah taman belakang tempat Sanjaya menghukum Puji. “Bos, Den Zafran pingsan!”

“Pingsan?”

“Iya, Bos. Mukanya berlumur darah.”

“Puji!” panggilnya tanpa menoleh. “Ikut aku!”

Puji menggangguk lemah. Tangannya memperbaiki gelungan rambut yang berantakan lalu menyeka jejak darah di sudut bibir. Wanita itu tidak ingin si bocah kesayangan melihatnya dalam keadaan yang menyedihkan.

“Zafran!” murka Sanjaya ketika membuka pintu kamar Zafran dan mendapati cucunya bergelimang darah. Ada Gio di sisi ranjang yang hanya terdiam memperhatikan.

“Jay! Panggil Dokter Ryan, sekarang!”

Gegas Sanjaya membopong tubuh lemas Zafran. “Ganti seprainya!”

Beberapa asisten rumah tangga yang ada di sana panik. Aura kemarahan menyelimuti kamar. Kesalahan kecil saja bisa membuat mereka kehilangan nyawa.

Usai seprai diganti, Sanjaya membaringkan Zafran perlahan di ranjang. Diselimutinya tubuh menggigil itu dengan selimut tebal.

Mata lelaki tua itu nyalang menatap Gio yang masih berdiri di tempatnya semula. “Apa yang kamu lakukan sama Zafran, Gio?!”

Melihat Gio tidak bereaksi, amarah Sanjaya kian memuncak. “Mau bunuh adikmu?”

“Dia bukan adikku! Dia pembunuh Ibu!” Usai berteriak, Gio berlari masuk ke kamarnya. Suara pintu yang berdebam menyatakan kalau anak lelaki itu juga marah.

“Gio!”

“Maaf, Tuan. Ijinkan saya membersihkan badan Den Zafran,” lirih Puji, kali ini tanpa gugup. Rasa ibanya jauh lebih besar dibanding ketakutan pada amarah rentenir di depannya.

Sanjaya tidak merespons. Sepasang mata tuanya menatap lekat wajah sang cucu yang terbaring tidak sadarkan diri di ranjang.

“Tuan?”

Helaan napas panjang Sanjaya menjadi jawaban untuk Puji. Segera diraihnya handuk kecil baskom berisi air bersih di atas nakas yang sudah tersedia di sana sejak pagi.

“Permisi, Tuan.” Puji menunduk takzim.

Setelah terdiam beberapa saat, Sanjaya bangkit dari duduknya di tepi ranjang, memberi ruang untuk Puji agar lebih leluasa membersihkan tubuh Zafran. Pria paruh baya itu mengawasi pekerjaan ART-nya tersebut dari sofa besar di sudut kamar.

Dengan telaten Puji mengusapkan handuk basah yang sudah diperas ke wajah Zafran setelah sebelumnya memeriksa denyut nadi anak itu.

Bersamaan dengan itu, seorang anak buah Sanjaya datang bersama seorang pria muda berpakaian dokter.

“Bos, Dokter Ryan sudah datang.”

Sanjaya menoleh. “Halo, Dok. Apa kabar?” sapanya ramah seraya mengulas senyum lebar. Dirangkulnya dokter muda itu untuk kemudian berjalan beriringan mendekati ranjang Zafran.

“Alhamdulillah saya sehat. Pak Sanjaya sendiri mudah-mudahan sehat juga, ya,” balas si dokter tak kalah ramah.

“Mari silakan, periksa keadaan cucu saya.”

“Gio sakit?” tanya dokter itu sembari menatap Sanjaya.

“Bukan. Ini adiknya Gio.”

Dokter Ryan hanya mengangguk tanpa bertanya lebih jauh. Di bukanya dua kancing bagian atas piyama Zafran setelah duduk di pinggir ranjang. Dokter muda itu melakukan serangkaian pemeriksaan pada tubuh kurus yang tengah terbaring lemah di hadapannya. Sesekali wajahnya tampak serius lalu mengulang gerakan yang sama, memastikan bahwa dirinya tidak salah diagnosa.

“Maaf, Pak. Apa sebelumnya anak ini pernah mengalami keadaan begini?”

“Keadaan ‘begini’, maksud Dokter?”

“Muntah darah dan pingsan seperti sekarang.”

Kening lelaki paruh baya itu mengerut, Sanjaya berpikir keras. “Sepertinya belum pernah.” Disentuhnya bahu kiri si dokter. “Memangnya cucuku sakit apa?”

“Boleh tau, apa sebenarnya yang terjadi sama cucu Bapak?”

“Nggak ada apa-apa, kok. Semuanya wajar-wajar saja,” sahut Sanjaya cepat. “Apa mungkin kelelahan? Sebab, dia baru pulang dari luar kota kemarin,” lanjutnya berusaha menepis kecurigaan si dokter yang memandangnya dengan tatapan menyelidik.

“Saya rasa anak ini bukan hanya kelelahan. Sebaiknya dia dibawa ke rumah sakit supaya bisa diperiksa secara menyeluruh, Pak.” Dokter Ryan meraih tas jinjingnya. “Saya buatkan surat pengantarnya, ya.”

“Apa nggak bisa diperiksa di sini saja?”

Dokter muda itu menggeleng.

“Soal uang gampanglah itu, Dokter atur aja gimana baiknya.”

Dokter Ryan tersenyum. “Bukan soal uang, Pak. Tapi saya khawatir kalau cucu Bapak mengidap penyakit lain. Sedangkan peralatan untuk memeriksanya nggak bisa dibawa ke sini.”

“Halah, semua masalah pasti bisa diberesin pake duit, Dok. Jangan sok jual mahal.” Sanjaya mencibir. Kedua lengannya dilipat di dada.

Dokter Ryan menulis beberapa kata dan angka di selembar kertas resep, kemudian menyerahkannya ke tangan Sanjaya seraya berdiri. “Pak, ini saya buatkan surat pengantar untuk medical check up sama sekalian resep vitamin untuk si kecil. Semoga lekas sembuh.”

“Hem.” Diterimanya dua lembar kertas dari Dokter Ryan.

“Saya tunggu di rumah sakit, Pak Sanjaya.”

“Jay! Antar dokter ini keluar!” Dengan muka masam Sanjaya memanggil ceteng kesayangannya. "Nih, tebus obatnya!"

“Siap, Bos.”

Sanjaya mendekati ranjang Zafran yang tertidur pulas. Napas bocah itu sangat pelan dan teratur. Sementara Puji sudah beranjak ke dapur, menyiapkan bubur untuk Zafran ketika anak itu terbangun nanti.

“Apa yang terjadi padamu, Zafran?” Sanjaya menyentuh jemari kecil cucunya yang terasa sedingin es. “Ibumu harus membayar mahal untuk ini.”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status