Share

Nyaris Kehilangan Nyawa

Jantung Zafran berdenyut jauh lebih kencang. Di balik kemudi, pria 25 tahun itu mengerang kesakitan. Seluruh kenangan pahit yang menari di kepala membuatnya kembali terluka.

“Aaargh!”

Di luar, Erin mengetuk-ngetuk kaca pintu di sebelah Zafran seraya berusaha melongok ke dalam. Pandangannya terhalang kaca mobil yang gelap.

Zafran yang memang membutuhkan bantuan, melirik ke Erin. Jemarinya berusaha menekan tombol pembuka pintu otomatis. Namun, yang diterkan malah tombol menurunkan kaca pintu.

“Kamu ….” Erin mengerjap mendapati Zafran tengah kesakitan. “Kenap—pa?”

Kalimat Erin terbata akibat Zafran menarik bagian leher kausnya hingga wajah gadis itu nyaris menempel pada Zafran.

“Eh, apa ini?”

“T—tolong.”

Erin menarik tubuhnya dengan kasar. “Jangan kurang ajar kamu! Urusan kita yang tadi aja belum selesai, udah mau cari gara-gara lagi!”

Napas Zafran tersengal. Wajahnya kian memucat. “T—tolong …,” rintihnya.

“Hah? Kamu nggak lagi becanda?” Erin mengulurkan telunjuk, menyentuh pipi kiri Zafran yang berkeringat. Dingin. “Ini beneran?”

Mulailah gadis itu panik. Ia berjingkrak-jingkrak ke sana kemari sembari mengibaskan telapak tangannya. “Aku harus gimana ini? Harus gimana?”

Tangan Zafran perlahan menunjuk ke arah dashboard.

“Kamu mau aku ke sana?” Erin menunjuk ke arah yang sama.

Zafran memejamkan mata bersamaan dengan ponsel di sampingnya yang bergetar terus menerus.

“Hei, jangan mati dulu. Aduh, gimana ini?” Beberapa kali Erin menepuk pipi Zafran yang kemudian membuka matanya perlahan. “Apa yang bisa aku lakuin?”

Lagi-lagi Zafran menunjuk ke dashboard mobilnya.

“Iya-iya, aku ke sana.” Erin berlari mengitari kap mobil lalu berusaha membuka pintu penumpang bagian depan. Gagal. Ia berlari kembali lagi ke sisi Zafran. “Pintunya kekunci. Aku harus apa?”

Zafran kehabisan tenaga untuk menjawab. Erin memutar otak untuk bisa menjangkau dashboard sementara tubuh Zafran menghalanginya. Tidak ingin menyiakan waktu, gadis itu menyorongkan tubuhnya, masuk melalui jendela pintu yang terbuka lebar.

Meski tubuh Erin kerempeng, cukup sulit juga untuk masuk ke dalam mobil dengan cara seperti itu. Belum lagi, aroma wangi lelaki itu sangat menggoda. Berkali ia harus menepis pikiran jorok yang singgah di kepala setiap tubuhnya bersentuhan dengan tubuh Zafran.

Butuh waktu lebih dari tiga menit bagi Erin untuk bisa duduk manis di bangku penumpang samping Zafran. Untuk sesaat Erin terpaku menatap wajah tampan di sampingnya. Alis mata tebal, sepasang mata yang menatapnya sayu, hidung bangir, dan bibir yang terpahat sempurna.

“T—tolong aku ….”

“Astaga!” Erin menepuk keningnya. “Dashboard! Apa yang harus aku ambil di dashboard?”

Panik Erin membuka dashboard mobil Zafran. Tangannya mengacak isi tempat itu mencari barang yang diinginkan lelaki kesakitan di sampingnya.

“Ini?” Gadis mungil itu mengangkat sebuah botol yang mirip dengan botol obat.

Zafran menggeleng lemah sebagai jawaban. Bibirnya meringis menahan sakit teramat di dada sebelah kirinya.

Erin kembali mengacungkan botol ke arah pria di sampingnya, kali ini berwarna putih susu. “Yang ini, bukan?”

Zafran mengulurkan tangan hendak meraih botol itu. Namun, Erin menepisnya.

“Biar aku yang ambilin. Kamu duduk manis aja di sana,” tuturnya sembari melongok ke sana kemari mencari botol air mineral yang tak kunjung terlihat. “Aku beli air dulu, ya.”

Dengan sisa-sisa tenaga, Zafran mencengkeram lengan gadis berisik di sampingnya. Membuat Erin berhenti bergerak kemudian menatap Zafran yang mengambil obat di tangannya.

Tak ingin menyiakan waktu, Zafran langsung menelan dua butir pil berukuran besar warna putih itu. Susah payah ia melakukannya tanpa bantuan air minum. Erin yang menyaksikan bergidik ngeri.

“Hei! Bangun. Jangan mati dulu. Aduh gimana ini?” Panik Erin mengguncang lengan dan bahu Zafran yang memejamkan mata usai meminum obatnya.

Berkali Erin membaca label yang tertera pada botol obat yang masih di genggaman. Khawatir dirinya salah. Namun, tetap saja ia tidak paham jenis obat itu. Ponsel Zafran yang terus bergetar membuat Erin kian panik.

Diguncangnya lagi lengan kekar lelaki tampan yang terlelap di balik kemudi itu. Nihil. Jangankan bangun, justru deru napasnya kian teratur dan tenang. Sepertinya pria muda itu sudah tidak merasa kesakitan lagi.

Malam kian larut kala keduanya masih berada di mobil yang sama. Lelah karena terus mengkhawatirkan lelaki tak dikenalnya yang sedang tertidur pulas, gadis tujuh belas tahun itu ikut tertidur dengan kepala menyandar di sisi kiri pintu mobil.

“Ah!” Sebuah erangan lolos dari bibir Zafran ketika meregangkan tubuh usai terbangun dari tidurnya. Diliriknya jam yang melingkar di pergelangan tangan. Setengah satu dini hari.

Diembuskannya napas kasar lalu menoleh ke samping kiri. Sepasang mata elangnya menyipit, berusaha mengingat yang telah terjadi.

Ketika tangannya terulur untuk membangunkan Erin, tiba-tiba diurungkan. Ia malah menyentuh pipi gadis itu dengan sangat pelan karena tidak ingin mengganggu tidur pulasnya.

Senyum tipis terulas di bibirnya. Sangat tipis sehingga hanya terlihat samar di dalam kegelapan mobil Zafran. Melihat Erin tidak bereaksi terhadap sentuhannya, jari jemari Zafran mulai tertarik untuk menyentuh bagian lain dari wajah ayu itu. Lembut. Meski sedikit berminyak tetapi tetap saja terasa lembut. Tidak ada satu pun jerawat yang menghalangi sentuhan itu.

Saat ujung telunjuknya bergerak lambat menyisir bibir tipis Erin, kening Zafran mengerut. Ada gelenyar aneh di dada bidangnya. Wajah Erin yang disentuh, kenapa hatinya yang berdesir?

“Shit!” Zafran mengumpat tertahan ketika dirinya dikagetkan oleh suara ponsel yang bergetar.

Dengan kasar diraihnya benda pipih delapan inci itu lalu menekan tombol hijau bergambar telepon. “Apa?!”

“Bos, si Yanuar menolak bayar hutang plus bunganya. Dia bilang hanya mau melunasi utangnya aja itu pun minta dicicil,” jawab lelaki di ujung sambungan telepon.

“Untuk urusan begini aja kamu ganggu saya?!”

“Ma—maaf, Bos.”

“Lakukan seperti biasa. Kalau masih menolak, bakar tempat karaokenya!”

Zafran langsung mematikan sambungan teleponnya tanpa menunggu jawaban si anak buah. Wajah tampan itu tampak mengeras. Direbahkannya kepala ke sandaran kursi mobil bersamaan dengan ponselnya yang kembali bergetar.

“Hem.” Zafran menjawab panggilan telepon itu tanpa melihat ke layar sebelumnya.

“Di mana?”

Malas lelaki itu berbicara setelah mendengar suara Gio di seberang telepon.

“Dari tadi sore ditelepon nggak diangkat. Sibuk kerja atau sibuk tidur sama gadis-gadis klub?” cecar Gio.

“Ah! Suka-sukamulah. Aku lagi malas berdebat.”

“Lagi malas berdebat? Bukannya dari dulu kamu memang nggak suka adu mulut sama aku?” sinis Gio lagi.

Zafran memilih tak menanggapi. Gio tetaplah Gio. Selalu sinis pada semua yang dilakukan adik dan kakeknya.

“Hari ini pulang?”

Zafran melirik Erin yang masih terlelap.

“Zafran!”

“Shit! Bisa pelan dikit nggak, sih? Bikin kaget aja,” umpat Zafran setengah berbisik. Entah mengapa dirinya takut jika Erin terbangun karena suara mereka yang berisik.

“Kamu ditanya diem mulu. Lagi ‘main’?”

“Ck! Bukan urusanmu."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status