“Istri anda baik-baik saja.”Awan bernafas lega. Ia tidak tahu seperti apa jadinya jika Jingga mengalami hal buruk. Menyadari semua kesalahannya. Awan terbawa emosi saat tahu Jingga akan kembali pada Dipta yang sudah jelas-jelas membuat hidup Jingga hancur dan mempermalukan kelurganya. Awan hanya tidak ingin Jingga tersakiti lagi tapi malah ia sendiri yang menyakiti Jingga.Kemarahan memang menghancurkan segalanya.“Boleh saya masuk, Dok?”“Silahkan.”Dengan sedikit ragu Awan masuk ke dalam ruangan itu. Jingga terbaring dengan mata terpejam, wajahnya sudah tidak sepucat tadi. “Jingga, maafin gue,” gumam Awan dengan lirih.“Mas Dipta.”Awam tersentak mendengar Jingga malah menyebut nama Dipta.“Sebesar itu rasa cina lo ke si bangs*t itu, Ji? Dia udah nipu lo selama ini dan lo malah dengan tol*lnya malah balikan sama dia.” Awan mengepalkan tangannya. Ia benar-benar tidak bisa terima jika Jingga kembali pada Dipta, mungkin jika Jingga bersama lelaki lain Awan akan melepaskannya.Kelopa
Setelah kondisinya tenang, Jingga menceritakan semuanya pada Dipta.Emosi. Sudah jelas apalagi ia tahu Awan menikahi Jingga hanya untuk menutupi masalah kemarin saja, hanya ingin menjaga nama baik keluarga Jingga.“Kamu mau ninggalin aku setelah tahu aku nggak perawan lagi?”Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari Jingga.Dipta menggeleng, menepis semua pemikiran kekasih hatinya itu. “Nggak, sayang. Mana mungkin Mas berpikir begitu.”“Aku takut kamu ninggalin aku, Mas.”Jelas saja Dipta tidak akan meninggalkan Jingga, ia sangat mencintai wanita itu. Seperti apapun kondisi Jingga akan diterimanya seperti Jingga yang juga menerima Dipta yang akan menyandang status duda beranak dua.“Mas akan bicara sama Ayah kamu nanti soal pernikahan kita. Setelah sidang perceraian Mas selesai dan kamu juga harus cerai dari Awan.”Mata Jingga langsung berembun. “Aku nggak mau ketemu Awan.”“Kita temuin dia sama-sama.” Dipta mengerti ketakutan Jingga apalagi pengalaman pertama didapatkan Jingga karena
Awan berbalik, terbelalak melihat Welly yang matanya sudah memerah dan berembun.“Sayang, aku bisa jelasin.”“Aku udah denger kok. Kamu … nikah sama Jingga? Nggak perlu jelasin apa-apa.” Suara Welly bergetar.Bu Neva tampak senang melihat anak dan menantunya dalam masalah.“Welly-”“Ma, aku pamit.” Welly berlalu sambil mengusap kasar air matanya.Rasa sesak memenuhi rongga dada membuat rasa sakit itu semakin kentara.Awan mengikutinya dari belakang.“Sayang. Dengerin dulu penjelasan aku.” Awan mencoba meraih tangan Welly.“Kita bicara di rumah, Mas!” Meski sedang emosi, Welly sadar di mana sekarang ia berada. Tidak akan mungkin membuat keributan di rumah mertuanya.Saat berangkat tadi, Welly terus berceloteh sedangkan kali ini wanita itu diam seribu bahasa. Sibuk mengusap pipinya yang terus basah. Istri mana yang tidak akan sakit hati saat tahu suaminya diam-diam menikah lagi. Apapun alasannya jelas tidak akan mungkin menghilangkan rasa sakit yang sudah digoreskan.Awan menceritakan s
“Ibu nggak berhak mengatur hidup aku terus, Bu. Aku juga punya catatan kebahagiaan aku sendiri.”“Berani ya sekarang!” Bu Rima melotot.“Tolong jangan lagi merecoki hidup aku. Kalau memang Ibu mau punya menantu kaya, ibu carikan aja buat Vika. Ibu bisa atur Vika sesuka Ibu.” Welly beranjak menuju kamarnya.Ia sudah sangat lelah selama ini selalu disetir oleh ibu tirinya itu. Welly yang memang orangnya penurut tidak pernah membantah tapi sekarang ia juga ingin memiliki kebebasan untuk memilih jalannya sendiri. Mungkin jika Bu Rima tidak tahu Awan orang kaya sudah pasti hubungannya akan ditentang.Mengikuti keinginan orang lain tidak lantas membuat bahagia. Welly sadar itu karena dari dulu ia terlalu fokus untuk membuat orang lain senang tanpa memikirkan perasaannya tapi kini ia lebih fokus pada dirinya sendiri apalagi sedang berbadan dua. Harus selalu memiliki suasana hati yang bagus.“Welly. Jangan merasa nggak enak hati, kalau terus ngikutin apa maunya ibu, nggak akan ada habisnya.”
Welly langsung tersedak, buru-buru ia meraih gelas meneguk cairan bening itu hingga tandas.“Mama,” gumamnya sambil menyusut bibirnya yang basah.“Siapa itu, neng Welly?”“Mama mertua saya, Bu. Saya duluan ya.” Welly beranjak meninggalkan tempat itu tidak ingat lagi pada bakso yang sedang dinikmatinya.“Mertuanya kelihatan masih muda, pakaian sama aksesorisnya juga wah banget. Pasti orang kaya.”“Tapi Awan sama Welly sederhana ya orangnya padahal orang tuanya Awan kaya.”Seorang tetangga yang baru datang langsung nimbrung. Seperti itulah ibu-ibu.Melihat Awan beberes rumah sudah pasti Bu Neva akan mengamuk. Secara anak kesayangannya itu selalu dimanja, tidak pernah melakukan pekerjaan rumah sekecil apapun dan hari ini lelaki itu melakukan pekerjaan rumah dengan sukarela.“Kamu ngapain, Wan?” Bu Neva mengerutkan keningnya melihat putranya itu.“Lagi mancing,” sahut Awan tanpa menoleh sedikitpun.“Ya ampun. Jadi kamu di sini dijadiin babu sama istri kamu? Kurang aj*r!”Awan melempar sap
“Nanti saya kirim satu orang ke rumah kamu buat beberes. Jangan nolak, ini biar anak saya nggak kamu jadiin babu.”Belum sempat Welly bicara, panggilan telepon itu lebih dulu diputus secara sepihak.Welly sudah lama bersahabat dengan yang namanya sabar. Meski ucapan orang lain banyak yang menyakiti hatinya tapi tidak ada sama sekali niatan untuk membalas.“Bukan aku yang bakalan nolak tapi Mas Awan.” Memikirkan perilaku orang-orang disekitarnya hanya akan membuat Welly pusing. Mulai sekarang ia akan melakukan apapun yang membuatnya bahagia karena dengan menuruti perkataan orang ia tidak akan bahagia yang ada tersiksa. Jika terus ada di bawah kaki orang, maka akan sulit bagi Welly merasakan kebahagiaan.Dari keluarga Awan ada yang memihaknya saat ini jadi Welly tidak akan takut lagi pada mertuanya. Karena dari apa yang ditangkapnya tadi Bu Neva takut pada Oma Lin. Sudah rahasia umum, dari dulu memang seperti itu karena Oma Lin yang masih memegang kuasa penuh soal perusahaan yang kini
“Mbak, mending pulang sana. Kalau Mas Dipta lihat Mbak di sini, jangan salahin saya kalau Mbak nanti kena marah.” Jingga memperingati disela rasa sakit yang dirasakan. Ia juga sebenarnya tidak ingin ada keributan nantinya.“Dasar pelakor nggak tahu diri!” Rahel yang masih emosi setelah mengetahui fakta kini kembali mendaratkan tangannya di rambut Jingga dan kembali menariknya dengan keras.“Aww! Lepas!” Dengan sisa tenaga Jingga mencoba melepaskan diri. Ia merasa kepalanya berdenyut karena tarikan kuat di rambutnya itu.“Kamu pasti udah goda Mas Dipta ya? Atau udah pernah tidur sama dia hah? Dasar jal*ng!”“Mama.” Samudra berdiri di ambang pintu kamar. Anak itu terusik dari tidurnya karena suara teriakan Rahel.Rahel bahkan tidak mengindahkan keberadaan anaknya itu.“Lepas, Mbak. Itu Sam lihat kita.”Tidak pantas di depan anak-anak memperlihatkan kekerasan seperti ini.“Bodo amat!” sembur Rahel berapi-api. Ia masih marah dan tidak terima saat tahu Dipta sudah menikah lagi padahal mere
Dirga menangkup wajah Jingga dengan lembut. “Jangan pernah sekali lagi kamu berpikir melenyapkan bayi nggak berdosa ini. Dengar, Mas sama sekali nggak ada pikiran buat meninggalkan kamu. Ini untuk sementara sampai kamu melahirkan, ka-”“Tuh 'kan. Mas mau ninggalin aku dengan alasan nitipin aku ke rumah Ibu.”Untung saja Dipta memang orangnya sabar, jadi pas sekali ia menikah dengan Jingga yang begitu kekanakan seperti ini.Dengan perlahan, Dipta menjelaskan status pernikahan mereka yang tidak sah karena Jingga hamil. Dipta sama sekali tidak ada niat untuk meninggalkan Jingga karena dari awal ia menerima apa adanya sebagaimana Jingga menerima segala kekurangan Dipta. Bukankah pasangan itu memang harus saling melengkapi kekurangan masing-masing? Bukannya mencari kekurangan pasangan dan melengkapinya dengan seseorang dari luar seperti apa yang orang saat ini sering lakukan atau bisa disebut selingkuh.Mungkin dulu juga apa yang dilakukan Dirga tidak benar karena ia memulai hubungan bersa