로그인Sesampainya di kontrakan yang hanya beberapa meter itu dia sudah membayangkannya hendak merebahkan tubuhnya di kasur yang empuk. Namun sepertinya Lea melupakan jika dia sudah membakar habis kasur miliknya.
"Sial... gue jadi nggak ada kasur. Kenapa gue bakar kasur gue? Haiissshh.. harusnya gue bakar mereka hidup hidup di atas kasur" Lea mencengkram tangannya, mengepalkan kesal. Harusnya hari ini dia sudah bersiap untuk pernikahannya esok hari. Tangannya bermain dengan lincah di layar pipih itu, mengirim pesan satu persatu mulai dari decoration, catering, MUA, bahkan semua vendor dia batalkan. Tak peduli dengan segala DP yang sudah dia berikan, atau berapa banyak dana yang dia keluarkan. "Tabungan gue udah habis-habisan buat bantu kerjaan si musang! Sekarang habis juga buat beli burung premium.. Aaahhhh Lea, dosa apa yang udah gue perbuat" "Ya Tuhan, maafkan hambamu ini. Sudah berbuat nikmat nan dosa" Gumam Lea mendongak dengan tangan menengadah ke atas meski dia sendiri bukan insan yang taat namun juga menyesali perbuatannya. Tok tok tok... "Surprise.... " Ceria salah seorang sahabat Lea datang membawa bingkisan juga sebuah bunga. "Lea.. kok lo gak excited sih gue datang. Hey hey, look at me, sahabat tercantikmu bawain kado niih" panggil saja Gisel yang memamerkan paperbag dengan tag salah satu brand tas ternama di tangannya. "Gue nggak jadi nikah" jawab Lea begitu lemas terduduk di lantai dingin beralaskan sebuah tikar saja. Jangankan kasur, bahkan bantal saja dia kini tidak punya. "Why?" Gisel langsung ikut duduk di depan Lea. "Bajingan Arman selingkuh sama Sari kampret!" umpat Lea dengan begitu kesal. "WHAT!" syok Gisel. "Gue kan udah bilang, usir kawan sialan lo itu dari kontrakan. Dia itu genit, kaan kaann, si Arman gak kuat iman kegoda sama dia" Kesal Gisel yang sudah lama muak dengan Sari. "Ya gimana, Sari tetangga emak gue juga" Lemas Lea. "Jadi...?" "Gue batalin semua, dengan mata kepala gue, lihat sendiri mereka kuda kudaan" Adu Lea. Gisel langsung memeluk sahabatnya itu dengan sedih. "Oke jangan sedih, meski pernikahan lo gagal. Tapi hadiah ini masih buat lo kok" "Tapi boleh gue jual?" "Sialan lo! Gue nabung biar bisa beliin lo tas brand malah mau di jual" "Gue punya utang Sel.. " "Gue bayarin dulu, butuh berapa?" Gisel membuka ponselnya dan menekan menu pembayaran digital, siap mengirim dana darurat untuk Lea. "Lima belas milyar sembilan ratus sembilan puluh sembilan juta" Jelas Lea Praannk... Ponsel di tangan Gisel mendadak jatuh karna tangan Gisel terpaku, dia menganga tak percaya. Bagaimana bisa Lea memiliki hutang sebanyak itu? "Lo serius?" "Serius Sel, hutang gue enam belas milyar. Baru gue DP satu juta" "Lo beli apaan Zel sampe segitu banyaknya? Harusnya dengan uang sebanyak itu lo udah jadi milyader. Tinggal di rumah mewah, mobil mewah. Lo aja masih kere gini" Omel Gisel. "Gue beli burung premium" "Burung? Mana burungnya, gue lihat. Lo pasti kena tipu" Gisel mencari cari dimana kiranya burung yang di maksud Lea. "Burung enak enak Sel, masih segel, mangkanya mahal" Ekspresi Lea begitu lemas. Demikian Gisel semakin menganga begitu lebar. "Lo gila? Nggak usah beli gigolo juga lo buka baju di pinggir jalan bakal dapat burung model kicau gimana aja Lea... " Gisel juga merutuki kebodohan sahabat nya. "Gue kira satu juta doang, ternyata Dollar. Kalo besok gak bayar, bakal bawa gue ke pengadilan" "Mampus lo! Gue jual warisan bokap gue juga nggak cukup buat bayarin hutang lo" Gisel menunduk lemas memijat kepalanya. "Info jual ginjal deh" "Ke Kamboja sana" Sudah semalam Lea memikirkan itu, namun tidak menemukan solusi apapun. Bahkan dompetnya saja tersisa satu lembar pria membawa golok dan wanita bermain kecapi. "Kenapa gue pusing? Dia kan gak kenal gue. Nggak tahu kediaman gue. Santai aja" Lea lalu menggelar sebuah selimut untuk alasnya tidur, dengan bantalan sebuah jaket yang dia lipat. ~~~**~~~ Keesokann paginya. "Hoaaammm.... " Lea meregangkan kedua tangannya ke atas, menggeliat penuh semangat meski badannya serasa remuk karna tidur di atas selimut saja. "Eheemm.. " Zuara deheman berat pria terdengar begitu renyah. Lea langsung terbelalak, menarik selimutnya ke atas menutupi tubuhnya. "ka.. kamu.. ngapain kesini?" tanyanya terbatenagih hutangmu" "Gimana bisa kamu tahu aku disini?" "See... " Ardian menggoyangkan kartu tanda pengenal Lea yang ada di tangannya. Lea langsung menyambar KTP itu, sayangnya gagal karna gerakan Ardian lebih cepat dibandingnya. "Kamu ngambil dari dompet ku?" Tuduh Lea. "KTP yang kamu tinggalkan di hotel kita menghabiskan waktu bermalam" Senyum kemenangan Ardian. "Siaal.. kenapa gue bisa lupa" Lea benar benar lupa jika dia yang bertransaksi di hotel semalam. "Mana uangnya!" Tagih Ardian. "Bisa kasih waktu?" "Ayo ke pengadilan" Ardian memasukkan kembali KTP Lea dalam saku bajunya. "Tunggu, harusnya kamu juga bayar. Kamu juga enak enak kemarin" Lea berusaha membalikkan situasi. "Kamu sudah mengambil dua benih ku di dalam tubuhmu. Bagaimana jika aku ambil kembali dan kita impas, ingat. Aku sendiri yang ambil" Ancam Ardian. Lea langsung memegang perutnya, membayangkan Ardian akan mengobok obok rahimnya. Begitu nyeri dan ngeri bukan main. "Tapi lihat sendiri, aku miskin. Aku cuma karyawan biasa di kantor, gajiku cuma UMR. Tolong kasihani aku" "Bukan urusan ku" "Aku mohon" Rengek Lea. "Bawa dokumen pribadimu, kita ke kantor Agama" "What!" "Kalo kamu nggak bisa bayar, maka bayarlah dengan seumur hidup mu." Senyum nakal Ardian. "MEggak nggak! kalo mau nikahin aku, harus kasih mahar gede" Lea berusaha mencari alasan. "udah saya siapkan," Kembalikan Lea benar benar tidak menyangka, hendak dengan alasan apa lagi dia melarikan diri. Di depan kantor KUA. Tetap saja hari ini akan jadi hari pernikahan Lea, hanya saja calonnya yang berbeda. "Serius? Hue nikah sama cowok yang gak gue kenal, dan masih punya hutang enam belas milyar?" gumam Lea. Dia memandang buku nikah di tangannya, menandakan dia sudah resmi di pinang dan menjadi istri orang. "Ikut tinggal denganku" Ujar Ardian memasukkan buku nikah miliknya... "Nggak mau, kamu mau jual aku ke kamboja kan?" Boleh juga" Ardian mengangguk. "Pak Ardian, aku mohon jangan" "Pak? Apa aku setua itu di matamu heemmm?" "murnya si tua. Tapi wajahnya lumayan" jujur Lea meringis. Sayangnya keberuntungan kembali tidak berpihak padanya. Lea justru melihat Arman datang dengan Sari tampak bergandengan tangan. "Wuuiihhh.. pasangan mesum kita" Sindir Lea. "Lea.. apa apaan kamu. Jaga ucapanmu!" Ketus Arman membela Sari. "Gakpapa, jadi emang udah di niatkan? Selamat buat Sari, dapat burung rasa pisang ulin" Sengaja sekali Lea membuat amarah mereka. "Jaga ucapanmu Lea. Bilang aja kamu nyesel" Tak terima Arman. "Nyesel? Sorry. Gue udah punya burung premium, udah test drive juga. Gede panjang, mantep" Lea semakin membuat kobaran api Tamara. Dasar jalang! Sama aku aja nolak, ternyata buat nutupin busuknya kamu yang pura pura suci" tutup kunci "Sorry, sini sama sama buka segel. Nggak kayak situ, udah second semua" Lea menutup mulutnya dengan pandangan nyinyir. Arman mendekat, melayangkan tangannya untuk menampar Lea. Untungnya Ardian lebih cepat, dia menahan tangan Arman. "Jangan sentuh istri saya!" balas Ardian. "Mendingan urus di dalam perut Sari. Yakin itu anak kamu" sindir Lea sambil menurunkan tangan Ardian. Menggandengnya untuk segera pergi. "Sial!" umpat Arman begitu kesal. Memang benar kini Sari bahkan mengaku jika dia sedang hamil dan minta tanggung jawab Arman.Lea membuka mata karna sinar matahari yang memasuki sela sela kamar lewat jendela, membuat silau mata Lea. "Emmmpphhh..." Lenguh Lea sambil menggeliat. "Sudah bangun!" Suara besar nan serak membuat Lea terjingkat sejenak sampai mengusap dadanya. "Bisa pelan aja panggilnya" Protes Lea. Ardian tak menggubris, dia berlalu ke lemari, mengambil satu setel pakaian untuknya bekerja. Dengan wajah bantal Lea merapikan rambutnya asal dengan penjepit, memperhatikan Ardian yang bersiap bekerja. "Mau kemana?" Kepo Lea. "Kerja" Singkat Ardian menjawab sambil merapikan dasinya. "Eeemm..." Lea mengangguk, benar saja hari ini adalah cuti menikah terakhirnya. "Aku boleh keluar?" Pamit Lea. "Terserah" "Oke.. Aku anggap jawabannya boleh" Lea bangkit dengan semangat empat lima yang tidak gentar oleh penjajah. Ardian tak mempermasalahkan sama sekali jika Lea hendak pergi bermain ataupun kemana. Asalkan masih dalam hal yang wajar. Mereka sama sama sudah bersiap dengan aktivi
Pov Ardian. Di sela sela kesibukannya dia selalu memprioritaskan sang kekasih yang amat dia cintai, siapa lagi jika bukan Tamara. Ardian menaikkan tangannya sebagai tanda jeda sementara saat rapat, kenapa lagi jika bukan karna Tamara mengubunginya. "Kemana aja? Kok nggak angkat telpon?" Sela Tamara manja di ujung panggilan. "Aku masih ada rapat," Jelas Ardian berharap kekasihnya mengerti. "Aku lagi di mall, mau bayar tas tapi kamu malah nggak angkat. Aku malu ini" "Ya sudah, aku transfer sekarang' "Beneran ya, aku tungguin" Senang Tamara yang saat ini sedang di kasir salah satu store tas brand. "Iya" Ardian mematikan sambungan telpon, segera mengirim uang pada sang kekasih. Baginya uang bukan suatu masalah asalkan Tamara bisa mencintainya. Namun sayangnya Tamara yang rakus dan merasa kurang dengan Ardian selalu membandingkan dengan pria lain. "Lihat tuh, sugar daddy. Kartunya aja black card, kalo lo sama dia pasti terjamin" Bisik sang teman menunjuk seorang p
Malam hari, kediaman sebesar dan semegah ini namun bisa bisanya begitu sunyi. Bahkan lampu yang menyala saja sudah remang remang. Lea berjalan mencari dimana Ardian, sejak kepulangannya mereka tadi bahkan dia tak melihat Ardian sama sekali. Sampai dia menemukan kepulan asap dari arah balkon kamarnya. Benar saja rupanya Ardian sedang bersandar di pagar balkon sembari menyesap sebatang rokok. Lea mendekat sembari mengibas asap rokok itu dengan tangannya. Ardian mengetahui kedatangan Lea, hanya saja dia tidak berkutik sedikitpun. "Ngapain disini? Nggak dingin?" Lea membuka percakapan."Ada apa katakan!" Jawab Ardian ketus. Lea merasa jika Ardian memiliki kepribadian yang unik, terkadang bisa cukup baik. Namun tak jarang sangat dingin seperti saat ini. "Aku boleh kerja kan besok?" "Itu urusanmu" Santai Ardian menyesap kembali rokok di tangannya. Meniupkan asap ke atas sembari mendongak. Gleeekk... Lea menelan ludahnya melihat jakun Ardian yang sangat menggoda, naik turu
"Jadi... pria seperti itu yang dulu mau kamu nikahi" sindir Ardian pada Lea. Belum tahu saja jika dia sedang mengusik wanita yang sedang patah hati. "Tutup mulutmu jika hanya ingin membahas pria brengsek itu" Lea mencengkram botol minum di tangannya sampai ringsek. "Ardian meringis, rupanya dia menikahi wanita yang bukan menye menye, cukup menarik batinnya. "Ayo aku antar pulang, segera kemasi barangmu""Piulang?" Lea baru sadar jika dia akan berpindah tempat tinggal. Sesampainya di depan kontrakan Lea. "Kembali Ardian mengedarkan pandangan, barulah dia sadari secara detail kamar yang berisi lemari plastik juga hanya ada sebuah selimut yang di gunakan tidur, juga beberapa peralatan dapur meski hanya beberapa bijirmu tidur hanya memakai ini?" tanya Ardian memicingkan mata seakan tak percaya di dunia ini ada orang yang tidur tanpa alas kasur yang empuk. "Baru semalam, kasur dan bantalku aku bakar!" jawab Lea berapi api. "Bakar?"Lea menghentikan sejenak kegiatannya mengemas ba
Sesampainya di kontrakan yang hanya beberapa meter itu dia sudah membayangkannya hendak merebahkan tubuhnya di kasur yang empuk. Namun sepertinya Lea melupakan jika dia sudah membakar habis kasur miliknya. "Sial... gue jadi nggak ada kasur. Kenapa gue bakar kasur gue? Haiissshh.. harusnya gue bakar mereka hidup hidup di atas kasur" Lea mencengkram tangannya, mengepalkan kesal. Harusnya hari ini dia sudah bersiap untuk pernikahannya esok hari. Tangannya bermain dengan lincah di layar pipih itu, mengirim pesan satu persatu mulai dari decoration, catering, MUA, bahkan semua vendor dia batalkan. Tak peduli dengan segala DP yang sudah dia berikan, atau berapa banyak dana yang dia keluarkan. "Tabungan gue udah habis-habisan buat bantu kerjaan si musang! Sekarang habis juga buat beli burung premium.. Aaahhhh Lea, dosa apa yang udah gue perbuat""Ya Tuhan, maafkan hambamu ini. Sudah berbuat nikmat nan dosa" Gumam Lea mendongak dengan tangan menengadah ke atas meski dia sendiri bukan insan
Di sebuah bar salah satu kota Jogjakarta, dentuman musik yang mengusik telinga, saling bersinambung dengan lampu lampu yang gemerlap. Bau alkohol di segala sisi, bunyi gelas yang bersentuhan sudah menjadi hal wajar disana. Wanita dan pria menari nari mengikuti alunan musik, melenggak lenggokkan tubuh seakan melepas beban.Demikian juga dengan Lea yang ikut menari nari di bawah lampu gemerlap, hanya mengikuti alunan musik tak ada gerakan khusus. "Mau?" Tawar seorang pria menyodorkan minuman beralkohol dalam gelas."Gue nggak minum" Tolak Lea menggelengkan kepala. "Coba dikit aja" Pria itu masih mencoba untuk memaksa Lea. "Sorry" Lea akhirnya memilih undur diri, duduk di sebuah meja bar. "Bagi minuman yang non Alkohol" Ujarnya pada bartender. "Kenapa nggak ke cafe mbak? lagi galau ya?" tebak bartender melihat wajah muram Lea. "Ya gitu" Lea mengangguk. "Have fun aja mbak, pria itu harus di imbangi" Bartender itu memberikan minuman pada Lea yang tidak memiliki kadar alkohol. "Ben







