DIPTA
Dipta melihat bagaimana bosnya–atau mantan bosnya, memperlakukan putrinya sendiri terhadap musibah yang menimpa gadis itu.
Setelah naik turunnya emosi seperti roller coaster sejak tadi, Dipta menghela napasnya dan menatap Ela sekali lagi.
“Mau saya temani?” tanyanya pelan.
Gadis itu terlihat rapuh dan wajahnya pias.
Apalagi setelah pertengkaran hebat dengan kedua orang tuanya dan tuntutannya agar dia menikah dengan Dipta, jika ada kehidupan baru–
Jantung Dipta kembali berpacu kencang.
“Uh… kapan kita bisa tahu kalau, kamu mengandung?” tanya Dipta dengan tenang, meskipun kini jantungnya kebat-kebit.
Ela mengedikkan bahunya.
“Sekitar dua minggu? Tunggu apa aku terlambat datang bulan atau nggak,” jawab Ela pelan.
Wajah gadis pun memerah ketika menjelaskan perihal tersebut.
Dipta mengangguk.
“Saya akan selalu mendukung keputusan Ibu kelak. Mau,uh dilanjutkan atau–” Belum sempat Dipta menjelaskan opsi terakhir yang begitu pahit di mulutnya, Elaina sudah menggelengkan kepalanya.
“Nggak! Kalau aku hamil, akan aku jaga. Aku nggak mau menggugurkan kandungan karena kesalahan kita berdua,” tukas Ela dengan lantang.
Benar.
Meskipun tindakan mereka berdua malam itu adalah kesalahan, namun jika ada seseorang malaikat kecil hadir di antara mereka, maka bayi itu bukanlah suatu dosa. Mereka berdua harus bertanggung jawab secara penuh.
“Jalan kita akan terjal ke depannya,” ungkap Dipta.
Ela menutup matanya sejenak.
“Kita ngobrol di belakang aja,” ujarnya sebelum akhirnya membuka kelopak matanya kembali dan memimpin jalan menuju patio di halaman belakang rumah besar ini.
Saat melewati lorong, Dipta melihat jika atasannya memperhatikan gerak-gerik keduanya dari sudut ruangan. Elaina pun menyadarinya.
Pak Ridho berjalan mendekat, tapi ditahan oleh Elaina.
“Jangan ikuti kami, jaga Mama saja di atas,” perintah Ela kepada Pak Ridho sambil menunjuk lantai dua tempat kamar utama Ibu Clara dan Pak Hendra Dharmawan tinggal.
“Tapi saya ditugaskan untuk mengawasi–” sela Pak Ridho.
Atasannya begitu keberatan dengan penolakan dari Ela.
Dipta maju melangkah, melindungi Ela dari jangkauan Pak Ridho.
Mantan atasannya itu mengeraskan rahangnya. Kesal dengan sikap Dipta yang terlihat seperti pembangkangan. Namun sekarang hubungan mereka tak lagi seperti atasan dan bawahan. Jadi Dipta tak gentar dan tetap bertahan dengan sikapnya.
“Pak Ridho,” tegas Dipta. Tersirat nada peringatan dari nada bicaranya tadi.
“Dipta!” geram Pak Ridho.
Pria itu tak suka dengan gestur Dipta.
“Pak Ridho, please. Jangan halangi kami. Tunggu saja di depan. Saya hanya ingin berbicara dengan Pak Dipta.”
Suara Ela membelah tensi yang tercipta antara dirinya dan Pak Ridho. Bahkan dengan berani gadis itu menggamit lengan Dipta dan ‘menyeretnya’ menjauh dari Pak Ridho dan melenggang tenang menuju patio di samping kolam renang kediaman ini.
Mendengar peringatan dari Elaina, Pak Ridho akhirnya memilih mundur dan berdiri tegap di pinggir french door berwarna putih yang membatasi rumah dengan area belakang rumah, lalu duduk di kursi dekat kitchen aisle.
Menjaga dan mengamati mereka berdua dari tempatnya.
Ela berhasil membawanya hingga ke patio dan Dipta menunggu sampai gadis itu duduk sebelum dia mengikuti jejak Ela.
“Kamu tanya apa, tadi?” Ela seperti tersadarkan dan kini menatap Dipta lamat-lamat dengan kedua bola matanya yang begitu indah.
Dipta terhanyut sejenak dalam pusaran manik mata itu sampai-sampai menghiraukan pertanyaan yang dilemparkan Ela barusan.
“Huh?” Dipta mengerjapkan matanya.
“Sejujurnya saya nggak ingat,” ujar Dipta polos dan jujur.
Ternyata ucapannya membuahkan kekehan pelan dari Ela. Hati Dipta sontak menghangat.
“Fokus dong, Pak,” tegur Ela sambil menepuk lengan Dipta sembari diselipkan canda.
Bagaimana Dipta bisa fokus jika di hadapannya adalah seorang Elaina Gauri Dharmawan?
Tawa ringan sempat mampir melingkupi mereka berdua, sebelum akhirnya raut wajah Dipta kembali serius dan perhatian penuh dicurahkan untuk Ela.
“Kita sudah membahas jika di masa depan akan ada satu orang berharga yang hadir dalam hidup kita, Bu Ela.”
Ela mengernyitkan dahinya saat mendengar ucapannya.
“Nggak usah panggil Bu lagi, we are past that. Panggil saya Ela,” pintanya.
Dipta mereguk salivanya.
Rasanya seperti lancang sekali, setelah malam kemarin mereka berdua saling menikmati tubuh satu sama lain, dan kini nama panggilan pun ikut berubah. Ada intimasi yang tak pernah Dipta bayangkan sebelumnya tercipta antara dirinya dan putri dari bos besarnya itu.
Okay, sekali lagi–putri mantan bos besarnya.
“Ela,” tuturnya pelan.
Dipta melisankan nama tersebut dalam ucapnya dan secara aneh dalam dadanya timbul desir baru yang cukup membuatnya bingung.
“Jadi gimana?” tanya Ela sekali lagi.
Dipta sekuat tenaga memusatkan kembali fokus dan pikirannya. Mengingat ke belakang apa pembicaraan mereka tadi sebelum terputus dan berpindah tempat.
Ah iya, benar. Tentang kelanjutan hubungan mereka.
“Saya akan bertanggung jawab, apapun hasilnya kelak. Tinggal Ibu–uh, maaf, tinggal Ela maunya seperti apa,” ujarnya diliputi rasa bersalah.
“Aku maunya kita nikah,” balas Ela dengan nada yakin.
Dipta terperangah. Masih tak percaya dengan kalimatnya yang lantang dan berani.
“Bahkan tanpa ada anak di antara kita yang hadir nanti?” Dipta memastikan sekali lagi.
Ela mengangguk mantap.
Dipta hanya bisa membuka dan menutup mulutnya.
“Tapi… saya hanya seorang pengawal biasa,” kilahnya.
Ini merupakan kenyataan. Profesinya sebagai pengawal adalah bagai langit dan bumi dengan status sosial gadis di hadapannya.
“Terus kenapa kalau kamu sebagai pengawal?” Ela bertanya balik, seakan menantang balik ucapannya.
“Saya khawatir dengan ucapan buruk orang terhadapmu,” ujarnya jujur. “Saya nggak pernah merasa malu dengan profesi saya sebagai pengawal. Saya mendapatkan nafkah dengan cara halal. Tapi… saya tidak bisa tutup mata tentang dunia kamu.” Dipta menambahkan dengan serius. Dunia Elaina dari sudut pandang Dipta penuh dengan persaingan, intrik, saling sikut dan jegal. Perang opini hingga cara-cara kotor dilakukan demi status, kekayaan, kekuatan dan power merupakan cara lumrah dalam dunia elit milik Elaina. Dia tahu Ela pasti akan menjadi sasaran empuk dan target point blank dari para hyena yang menunggu kejatuhan Ela. Belum lagi musuh politik Pak Hendra Dharmawan yang akan mencari celah menjatuhkan pria itu lewat Elaina. “Maksud kamu duniaku kotor, begitu?” tanya Ela sambil mengernyitkan dahi. Dengan gelagapan Dipta mengoreksi asumsi Ela. “Bukan begitu, Ela!” bantahnya. “Maksud saya, duniamu itu ‘kan begitu keras. Saya khawatir jika kamu bersama dengan saya… nanti kamu akan menjadi tar
ELA Percakapannya dengan Dipta berakhir sebelum petang datang. Setidaknya Ela mendapatkan kepastiannya dan dia mulai berani merajut sendiri masa depannya kelak. Mempunyai anak, atau tidak mempunyai anak. Kini pikirannya tercurah pada masalah baru yang timbul akibat dari satu malam panas itu bersama pengawalnya. Di tengah lamunannya, Ela mendapati Dipta berdiri dari kursinya dan memegang gagang kursi yang menopang kepalanya. Sontak Ela menengadah dan menatap Dipta dengan serius. “Saya akan kembali lagi dan berbicara jika semua sudah lebih tenang.” Dipta mengulas senyum tipis ke arahnya. Aneh sekali, biasanya hanya Dhanu yang mampu membuatnya salah tingkah. Tapi kini senyum
“Bukannya kamu sendiri yang ngotot mau menikah dengan Dipta tadi? Why do you think that you are the victim here?” Sindiran demi sindiran dilontarkan Deshinta tanpa henti kepadanya. Ela mengerjapkan matanya untuk menghilangkan rasa panas yang beresonansi dengan denyut sakit di hatinya. Dia sudah terbiasa beradu pendapat dengan sang kakak. Terutama sejak kejadian Harsya beberapa tahun lalu. Hubungan yang semakin menjauh, ditambah dengan bibit kebencian yang disebar oleh Deshinta secara sadar kini mulai bertumbuh layaknya duri di hati Elaina. “All of the people, the real victims are Dhanu, Papa and Om Rahmat!” desis Deshinta penuh penghakiman. Ela tak terima disudutkan dan selalu dianggap sebagai penjahat di mata kakaknya. “Kamu malah playing victim di sini!” Semakin Ela diam, semakin nyalang kebencian yang kakaknya tunjukkan secara gamblang kepadanya. “Mbak, aku nggak mau berdebat dengan kamu. Semua yang aku katakan pasti selalu saja dicari pembenarannya sama kamu,” ujarnya l
Rasanya seperti ditampar keras oleh papanya sendiri. Elaina tak menyangka jika ucapan serendah itu diucapkan oleh papanya sendiri kepada dirinya.“Papa ngomong gitu ke aku?” bisik Ela tak percaya. Papanya bisa mengeluarkan statement menyakitkan seperti itu tanpa beban. Justru tatapan matanya menyiratkan kemarahan yang ditujukan kepadanya.“Itu fakta bukan? Kamu sudah tidur dengan pengawal itu semalam. Siapa yang bisa jamin kamu nggak akan hamil setelahnya.” Ela mereguk salivanya.“Ini gila, Pa! Papa tega bicara seperti itu sama anak sendiri?” Pikirannya tiba-tiba blank. Tak tahu harus bagaimana bersikap setelah papanya sukses menyakiti hatinya bertubi-tubi sejak semalam.
DIPTA “Maaf Pak, tapi kami tidak bisa membuka data CCTV sembarangan. Apalagi kepada pihak yang tidak berwenang dan berkepentingan.” Penolakan dari resepsionis hotel tempat mereka semalam dijebak menjawab dengan nada simpatik penuh profesionalitas. “Tapi kemarin di lantai dua puluh terjadi tindak kriminal! Ada penyekapan dan–” Dipta berkata menunjukkan nada frustrasi. “Mohon maaf Bapak Pradipta. Tak ada yang bisa kami lakukan untuk itu.” Kali ini rekan resepsionis pria yang menanggapi permintaannya. “Tapi saya menjadi korbannya!” ujar Dipta setengah mati menahan emosinya. “Kami sarankan Anda berkoordinasi dahulu dari pihak kepolisian,” tambal sang resepsionis yang masih bersikukuh dibalik senyumnya. “Tidak mungkin kalian tidak bisa membuka kalau ada tindak kriminal yang terjadi di hotel kalian.” Dipta berkilah. “Bapak Pradipta, kami tetap berpegang teguh pada SOP kami. Silakan koordinasikan dahulu dari pihak yang berwajib agar kami memiliki basis yang kuat membuka CCTV.” “Privac
“Bukan begitu, Mas. Kami dijebak,” sanggah Dipta dengan cepat. Menepis prasangka yang dilontarkan oleh sang bos. “Dijebak? Please tell me about it,” balas Mas Sultan, nadanya serius. Pria itu menaruh gelas martininya yang kosong di atas meja, menjaga kontak mata dengan bartender dan meminta seorang pelayan untuk datang ke booth semi privat mereka. “Tunggu dulu, kita pindah tempat aja. Jangan bicarakan masalah ini di ruang terbuka seperti ini.” Mas Sultan menahannya sejenak. Ketika Mas Sultan mengutarakan maksudnya, sang pelayan membantu menuntun mereka menuju sebuah ruang privat dan mengatakan kalau dia standby di dekat pintu jika dirinya dan Mas Sultan membutuhkan sesuatu sebelum akhirnya menutup kembali pintunya. Setelah keadaan kondusif dan sepi, barulah Dipta mengeluarkan tiga buah kamera dari dalam slingbag dan menyerahkan kepada atasannya. Alis kiri Mas Sultan naik sebelah, pertanda meminta penjelasan lebih dalam darinya. “Gue sama Elaina dicekoki obat perangsang, M
Dipta menerima keputusan bosnya dengan lapang dada. Jika boleh dibilang, dia begitu berterima kasih karena hukuman yang didapatkan tidak seberat yang dia duga. Skorsing dua bulan. Dipta bisa hidup dengan keputusan tersebut. “Thanks, Mas. Gue menerima keputusan lo dengan baik. Besok gue ke kantor untuk mengembalikan device dan tools kerjaan,” ujar Dipta disela tarikan rokoknya yang terakhir. Dia mematikan sisanya dan menenggak air mineral dingin yang tersaji di small bar ruang khusus ini. Sebenarnya banyak minuman berarkohol yang berjejer rapi di kabinet kaca belakang bar ini, namun Dipta sudah kapok minum minuman lain yang bukan air putih. Terakhir dia mencecap fresh orange juice, efeknya adalah afrodisiak–and it cost his career and reputation. Not to mention–now he is responsible for Elaina’s life as well. “Lo sama Ela gimana setelahnya? Gimana terus kelanjutan pertunangan Ela dan… siapa tunangannya? Anaknya Rahmat Trihadi, ‘kan?” “Ya batal. Dhanu dengan brengseknya membuang tun
ELA Ela menatap koper besar Rimowa miliknya yang terbuka lebar. Setengah space telah terisi dengan baju-bajunya yang masih terkait dengan hanger. Matanya mengerjap lambat. Ada yang mengganjal dalam hatinya selepas dia berdebat dengan papa tadi di ruang kerjanya. Mungkin hatinya pun tertinggal di ruang kerja papa. Semua terasa berbeda saat dia melangkah masuk kembali ke kamarnya. Semua terasa asing di matanya. Ruangan besar, lebar, wangi, elegan dan mewah beserta isinya yang begitu wah. Tak ada yang bisa menggugah perasaannya sekarang. Terasa hampa dan kosong.