Share

Bab 8 - Sepakat

“Saya khawatir dengan ucapan buruk orang terhadapmu,” ujarnya jujur. 

“Saya nggak pernah merasa malu dengan profesi saya sebagai pengawal. Saya mendapatkan nafkah dengan cara halal. Tapi… saya tidak bisa tutup mata tentang dunia kamu.” Dipta menambahkan dengan serius. 

Dunia Elaina dari sudut pandang Dipta penuh dengan persaingan, intrik, saling sikut dan jegal. Perang opini hingga cara-cara kotor dilakukan demi status, kekayaan, kekuatan dan power merupakan cara lumrah dalam dunia elit milik Elaina. 

Dia tahu Ela pasti akan menjadi sasaran empuk dan target point blank dari para hyena yang menunggu kejatuhan Ela. Belum lagi musuh politik Pak Hendra Dharmawan yang akan mencari celah menjatuhkan pria itu lewat Elaina. 

“Maksud kamu duniaku kotor, begitu?” tanya Ela sambil mengernyitkan dahi. 

Dengan gelagapan Dipta mengoreksi asumsi Ela. 

“Bukan begitu, Ela!” bantahnya. 

“Maksud saya, duniamu itu ‘kan begitu keras. Saya khawatir jika kamu bersama dengan saya… nanti kamu akan menjadi target dan sasaran.” 

Ela tercenung mendengar pendapatnya. Tatapannya kini dibuang ke arah kolam renang yang terlihat begitu tenang sore hari ini. Semilir angin di luar menggoyangkan pepohonan yang meneduhkan di sekitar taman dan patio. Rambut hitam indah milik Ela pun tak luput dari sapuan angin sore itu. 

Dengan lekat Dipta menatap Ela, mencoba menakar seperti apa mood sang gadis saat ini. 

“Memang, terkadang ucapan jahat dan fitnah itu lebih menyakitkan dari luka fisik,” gumam Ela dengan tenang. 

Raut wajah sedih kembali terlihat dari wajah cantik jelita itu. 

“Aku nggak tahu harus gimana, aku ngerasa sendirian di sini. Dhanu dengan mudah cabut begitu aja tanpa repot-repot mendengar penjelasanku. Boro-boro sampai di tahap percaya. He doesn’t even want to hear me or look at me! Ironis, bukan?” ucapnya seraya tersenyum kecut. 

“Kamu lihat sendiri ‘kan, bagaimana papa dan mama serta Mbak Deshinta memperlakukan aku tadi.” 

Ela menggelengkan kepalanya pelan. Pelampiasan dari kekecewaannya. 

“Sekarang saya cuma punya kamu, Pak Pradipta. No one stands beside me, but you.

Dipta sedikit banyak mengerti akan apa yang dirasakan Elaina saat ini. 

Berdiri sendirian. 

Menentang arus. 

Pradipta juga melakukannya. Sejak 17 tahun lalu, saat dia hengkang dari rumah orang tuanya di usianya ya ke-18 tahun, dan sejak saat itu berpijak di atas kaki sendiri. 

Memori akan masa lalunya yang sempat naik ke permukaan kembali Dipta tekan ke dalam. Yang terpenting adalah masa kini dan masa depan. Tak perlu lagi menoleh ke belakang. 

“Kamu yakin?” Dipta bertanya kembali. 

“Masa depanmu masih panjang. Dan saya nggak mau itu kandas hanya karena kamu menikah sama saya.” 

Jika orang lain melihat ini adalah peluang, maka tidak bagi Dipta. Ini beban berat baginya, karena menyangkut masa depan seorang perempuan yang Dipta tahu baik hatinya serta cemerlang masa depannya. Elaina pantas mendapatkan kesempatan kedua atas kesalahan yang direncanakan oleh orang lain. 

“Kamu berhak mendapatkan yang terbaik,” tambahnya sekali lagi. 

Elaina justru tertawa geli mendengarkan timpalan darinya. 

“Yang terbaik? Hah? Even the best money, best lifestyle, and even a perfect facade of family couldn’t give me happiness.” 

Dipta kali ini harus setuju dengan ucapan gadis itu. Dia paham sentimen yang diluapkan Ela. 

Uang, pengaruh, dan kekuasaan tak dapat sepenuhnya menghadirkan kebahagiaan. 

“Tapi… gimana pendapat orang tuamu, mereka pasti menolak, ‘kan?” Kini mereka membicarakan masalah selanjutnya. 

“Jelas, mereka nggak akan mendengarkan pendapatku.” Elaina membalasnya dengan jujur. 

Ada kepahitan yang mesti Ela terima dalam fakta tersebut. 

Dipta memutar otaknya. Tangannya bertumpu pada kedua lututnya dan bersedekap menangkupkan dagunya. Berpikir keras. 

Ada satu cara yang terlintas dalam otak Dipta agar keluarga Dharmawan menerima hadirnya. Sebuah cara yang Dipta benci, tapi mungkin terpaksa akan dia gunakan sebagai kartu truf-nya kelak. 

Untuk sementara dia harus berusaha dengan caranya sendiri. Tanpa perlu melibatkan pihak ketiga, bahkan pihak-pihak lain yang tak berkepentingan. 

“Apa kita kawin lari saja?” Tiba-tiba Ela bergumam pelan. 

Dipta tersentak dari pikirannya yang larut. 

Hush, jangan bicara ngawur!” bantahnya cepat. 

“Kamu tetap butuh wali dan restu dari kedua orang tua, saya akan bicara sekali lagi kepada mereka.” Dipta kembali memberikan saran. 

Ela menghela napasnya dan menyetujui ucapan Dipta. 

“Kalau bukan kamu, ya mending aku nggak usah nikah.” 

Jika seperti itu jawabannya, Dipta merasa dilematis. Ada perasaan membuncah yang menyelip di tengah-tengah rasa gundah atas pernyataan sikap Ela. 

“Kamu masih muda–” Dipta mencoba menanggapinya secara dewasa. Dia adalah pria matang yang seharusnya tahu bagaimana cara terbaik dalam menanggapi ucapan spontan Ela yang masih diliputi perasaan naik turun. 

“Terus kenapa kalau aku masih muda? Jadi aku nggak bisa mikir, begitu?” tantang Ela. 

Dipta mencoba meregulasi emosi dan rasa gemas yang muncul bersamaan tatkala mendengar ucapan Ela tadi. 

“Bukan begitu, Ela…” ujarnya lembut. 

Sepertinya nada suaranya berhasil membuat Ela mengendurkan sikap defensifnya dan gadis itu menoleh kembali ke arahnya. Menatap Dipta dengan dalam. Ada kerapuhan dan kepolosan terpancar dari manik mata indah milik sang cantik jelita. 

“Tolong dengarkan saya dulu, ya?” pinta Dipta dengan lembut. 

“Oke, silakan.” Ela mengedikkan bahunya. Memberikan kesempatan untuk Dipta menyampaikan pendapatnya. 

“Saya hanya ingin mengusahakan yang terbaik untuk kamu, Ela. Seperti ya saya katakan. Kamu perempuan yang memiliki masa depan cerah, cantik, berprestasi, berpendidikan, everything is perfect for you. Saya yakin, banyak pria yang akan mengantri dan memastikan segalanya agar bisa mendapatkan hatimu.” 

Dipta tahu diri. Dia hanyalah seorang pengawal pribadi. Dunia mereka terlalu berbeda. Dia tak ingin menjadi penghambat laju seorang gadis brilian seperti Ela. 

“Tapi aku nggak peduli! Persetan dengan semuanya. Aku udah capek jadi boneka sempurna yang harus menuruti keinginan Papa, Mama, keluarga besar! Semuanya!” Ela membantah dengan keras. 

Terlihat jelas jika ini adalah akumulasi perasaan terpendam darinya. 

“Bagaimana capek dan tersiksanya setiap kali aku harus mengubur perasaanku hanya demi memuaskan mereka. Memastikan nama baik keluarga tak tercoreng sedikitpun! I am just a human! Aku juga punya perasaan. Aku bukan robot!” 

Ela tersengal-sengal. Di akhir kalimat, suaranya bergetar. Dipta menatap Ela dan melihat kedua matanya sudah mulai berkaca-kaca. 

Perasaan Dipta kini ikut terseret secara aneh, dan dia merasa menjadi seperti orang brengsek yang membuat seorang Elaina menangis. 

“Okay… okay, maafkan saya. Saya mengerti.” Dengan buru-buru Dipta mengucap maaf dan mencoba menenangkan Ela. 

“Ayo kita menikah.”

Akhirnya, dengan mantap Dipta meluruskan pikirannya dan menyetujui usulan Elaina. Dengan atau tanpa buah hati hasil percintaan mereka semalam, mereka sepakat dan secara bulat memutuskan akan menikah. 

Masalah keluarga besar Dharmawan, akan Dipta pikirkan selanjutnya. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
carsun18106
hmm sepertinya dipta pun berasal dari keluarga yg bukan sembarangan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status