“Saya khawatir dengan ucapan buruk orang terhadapmu,” ujarnya jujur.
“Saya nggak pernah merasa malu dengan profesi saya sebagai pengawal. Saya mendapatkan nafkah dengan cara halal. Tapi… saya tidak bisa tutup mata tentang dunia kamu.” Dipta menambahkan dengan serius.
Dunia Elaina dari sudut pandang Dipta penuh dengan persaingan, intrik, saling sikut dan jegal. Perang opini hingga cara-cara kotor dilakukan demi status, kekayaan, kekuatan dan power merupakan cara lumrah dalam dunia elit milik Elaina.
Dia tahu Ela pasti akan menjadi sasaran empuk dan target point blank dari para hyena yang menunggu kejatuhan Ela. Belum lagi musuh politik Pak Hendra Dharmawan yang akan mencari celah menjatuhkan pria itu lewat Elaina.
“Maksud kamu duniaku kotor, begitu?” tanya Ela sambil mengernyitkan dahi.
Dengan gelagapan Dipta mengoreksi asumsi Ela.
“Bukan begitu, Ela!” bantahnya.
“Maksud saya, duniamu itu ‘kan begitu keras. Saya khawatir jika kamu bersama dengan saya… nanti kamu akan menjadi target dan sasaran.”
Ela tercenung mendengar pendapatnya. Tatapannya kini dibuang ke arah kolam renang yang terlihat begitu tenang sore hari ini. Semilir angin di luar menggoyangkan pepohonan yang meneduhkan di sekitar taman dan patio. Rambut hitam indah milik Ela pun tak luput dari sapuan angin sore itu.
Dengan lekat Dipta menatap Ela, mencoba menakar seperti apa mood sang gadis saat ini.
“Memang, terkadang ucapan jahat dan fitnah itu lebih menyakitkan dari luka fisik,” gumam Ela dengan tenang.
Raut wajah sedih kembali terlihat dari wajah cantik jelita itu.
“Aku nggak tahu harus gimana, aku ngerasa sendirian di sini. Dhanu dengan mudah cabut begitu aja tanpa repot-repot mendengar penjelasanku. Boro-boro sampai di tahap percaya. He doesn’t even want to hear me or look at me! Ironis, bukan?” ucapnya seraya tersenyum kecut.
“Kamu lihat sendiri ‘kan, bagaimana papa dan mama serta Mbak Deshinta memperlakukan aku tadi.”
Ela menggelengkan kepalanya pelan. Pelampiasan dari kekecewaannya.
“Sekarang saya cuma punya kamu, Pak Pradipta. No one stands beside me, but you.”
Dipta sedikit banyak mengerti akan apa yang dirasakan Elaina saat ini.
Berdiri sendirian.
Menentang arus.
Pradipta juga melakukannya. Sejak 17 tahun lalu, saat dia hengkang dari rumah orang tuanya di usianya ya ke-18 tahun, dan sejak saat itu berpijak di atas kaki sendiri.
Memori akan masa lalunya yang sempat naik ke permukaan kembali Dipta tekan ke dalam. Yang terpenting adalah masa kini dan masa depan. Tak perlu lagi menoleh ke belakang.
“Kamu yakin?” Dipta bertanya kembali.
“Masa depanmu masih panjang. Dan saya nggak mau itu kandas hanya karena kamu menikah sama saya.”
Jika orang lain melihat ini adalah peluang, maka tidak bagi Dipta. Ini beban berat baginya, karena menyangkut masa depan seorang perempuan yang Dipta tahu baik hatinya serta cemerlang masa depannya. Elaina pantas mendapatkan kesempatan kedua atas kesalahan yang direncanakan oleh orang lain.
“Kamu berhak mendapatkan yang terbaik,” tambahnya sekali lagi.
Elaina justru tertawa geli mendengarkan timpalan darinya.
“Yang terbaik? Hah? Even the best money, best lifestyle, and even a perfect facade of family couldn’t give me happiness.”
Dipta kali ini harus setuju dengan ucapan gadis itu. Dia paham sentimen yang diluapkan Ela.
Uang, pengaruh, dan kekuasaan tak dapat sepenuhnya menghadirkan kebahagiaan.
“Tapi… gimana pendapat orang tuamu, mereka pasti menolak, ‘kan?” Kini mereka membicarakan masalah selanjutnya.
“Jelas, mereka nggak akan mendengarkan pendapatku.” Elaina membalasnya dengan jujur.
Ada kepahitan yang mesti Ela terima dalam fakta tersebut.
Dipta memutar otaknya. Tangannya bertumpu pada kedua lututnya dan bersedekap menangkupkan dagunya. Berpikir keras.
Ada satu cara yang terlintas dalam otak Dipta agar keluarga Dharmawan menerima hadirnya. Sebuah cara yang Dipta benci, tapi mungkin terpaksa akan dia gunakan sebagai kartu truf-nya kelak.
Untuk sementara dia harus berusaha dengan caranya sendiri. Tanpa perlu melibatkan pihak ketiga, bahkan pihak-pihak lain yang tak berkepentingan.
“Apa kita kawin lari saja?” Tiba-tiba Ela bergumam pelan.
Dipta tersentak dari pikirannya yang larut.
“Hush, jangan bicara ngawur!” bantahnya cepat.
“Kamu tetap butuh wali dan restu dari kedua orang tua, saya akan bicara sekali lagi kepada mereka.” Dipta kembali memberikan saran.
Ela menghela napasnya dan menyetujui ucapan Dipta.
“Kalau bukan kamu, ya mending aku nggak usah nikah.”
Jika seperti itu jawabannya, Dipta merasa dilematis. Ada perasaan membuncah yang menyelip di tengah-tengah rasa gundah atas pernyataan sikap Ela.
“Kamu masih muda–” Dipta mencoba menanggapinya secara dewasa. Dia adalah pria matang yang seharusnya tahu bagaimana cara terbaik dalam menanggapi ucapan spontan Ela yang masih diliputi perasaan naik turun.
“Terus kenapa kalau aku masih muda? Jadi aku nggak bisa mikir, begitu?” tantang Ela.
Dipta mencoba meregulasi emosi dan rasa gemas yang muncul bersamaan tatkala mendengar ucapan Ela tadi.
“Bukan begitu, Ela…” ujarnya lembut.
Sepertinya nada suaranya berhasil membuat Ela mengendurkan sikap defensifnya dan gadis itu menoleh kembali ke arahnya. Menatap Dipta dengan dalam. Ada kerapuhan dan kepolosan terpancar dari manik mata indah milik sang cantik jelita.
“Tolong dengarkan saya dulu, ya?” pinta Dipta dengan lembut.
“Oke, silakan.” Ela mengedikkan bahunya. Memberikan kesempatan untuk Dipta menyampaikan pendapatnya.
“Saya hanya ingin mengusahakan yang terbaik untuk kamu, Ela. Seperti ya saya katakan. Kamu perempuan yang memiliki masa depan cerah, cantik, berprestasi, berpendidikan, everything is perfect for you. Saya yakin, banyak pria yang akan mengantri dan memastikan segalanya agar bisa mendapatkan hatimu.”
Dipta tahu diri. Dia hanyalah seorang pengawal pribadi. Dunia mereka terlalu berbeda. Dia tak ingin menjadi penghambat laju seorang gadis brilian seperti Ela.
“Tapi aku nggak peduli! Persetan dengan semuanya. Aku udah capek jadi boneka sempurna yang harus menuruti keinginan Papa, Mama, keluarga besar! Semuanya!” Ela membantah dengan keras.
Terlihat jelas jika ini adalah akumulasi perasaan terpendam darinya.
“Bagaimana capek dan tersiksanya setiap kali aku harus mengubur perasaanku hanya demi memuaskan mereka. Memastikan nama baik keluarga tak tercoreng sedikitpun! I am just a human! Aku juga punya perasaan. Aku bukan robot!”
Ela tersengal-sengal. Di akhir kalimat, suaranya bergetar. Dipta menatap Ela dan melihat kedua matanya sudah mulai berkaca-kaca.
Perasaan Dipta kini ikut terseret secara aneh, dan dia merasa menjadi seperti orang brengsek yang membuat seorang Elaina menangis.
“Okay… okay, maafkan saya. Saya mengerti.” Dengan buru-buru Dipta mengucap maaf dan mencoba menenangkan Ela.
“Ayo kita menikah.”
Akhirnya, dengan mantap Dipta meluruskan pikirannya dan menyetujui usulan Elaina. Dengan atau tanpa buah hati hasil percintaan mereka semalam, mereka sepakat dan secara bulat memutuskan akan menikah.
Masalah keluarga besar Dharmawan, akan Dipta pikirkan selanjutnya.
ELA Percakapannya dengan Dipta berakhir sebelum petang datang. Setidaknya Ela mendapatkan kepastiannya dan dia mulai berani merajut sendiri masa depannya kelak. Mempunyai anak, atau tidak mempunyai anak. Kini pikirannya tercurah pada masalah baru yang timbul akibat dari satu malam panas itu bersama pengawalnya. Di tengah lamunannya, Ela mendapati Dipta berdiri dari kursinya dan memegang gagang kursi yang menopang kepalanya. Sontak Ela menengadah dan menatap Dipta dengan serius. “Saya akan kembali lagi dan berbicara jika semua sudah lebih tenang.” Dipta mengulas senyum tipis ke arahnya. Aneh sekali, biasanya hanya Dhanu yang mampu membuatnya salah tingkah. Tapi kini senyum
“Bukannya kamu sendiri yang ngotot mau menikah dengan Dipta tadi? Why do you think that you are the victim here?” Sindiran demi sindiran dilontarkan Deshinta tanpa henti kepadanya. Ela mengerjapkan matanya untuk menghilangkan rasa panas yang beresonansi dengan denyut sakit di hatinya. Dia sudah terbiasa beradu pendapat dengan sang kakak. Terutama sejak kejadian Harsya beberapa tahun lalu. Hubungan yang semakin menjauh, ditambah dengan bibit kebencian yang disebar oleh Deshinta secara sadar kini mulai bertumbuh layaknya duri di hati Elaina. “All of the people, the real victims are Dhanu, Papa and Om Rahmat!” desis Deshinta penuh penghakiman. Ela tak terima disudutkan dan selalu dianggap sebagai penjahat di mata kakaknya. “Kamu malah playing victim di sini!” Semakin Ela diam, semakin nyalang kebencian yang kakaknya tunjukkan secara gamblang kepadanya. “Mbak, aku nggak mau berdebat dengan kamu. Semua yang aku katakan pasti selalu saja dicari pembenarannya sama kamu,” ujarnya l
Rasanya seperti ditampar keras oleh papanya sendiri. Elaina tak menyangka jika ucapan serendah itu diucapkan oleh papanya sendiri kepada dirinya.“Papa ngomong gitu ke aku?” bisik Ela tak percaya. Papanya bisa mengeluarkan statement menyakitkan seperti itu tanpa beban. Justru tatapan matanya menyiratkan kemarahan yang ditujukan kepadanya.“Itu fakta bukan? Kamu sudah tidur dengan pengawal itu semalam. Siapa yang bisa jamin kamu nggak akan hamil setelahnya.” Ela mereguk salivanya.“Ini gila, Pa! Papa tega bicara seperti itu sama anak sendiri?” Pikirannya tiba-tiba blank. Tak tahu harus bagaimana bersikap setelah papanya sukses menyakiti hatinya bertubi-tubi sejak semalam.
DIPTA “Maaf Pak, tapi kami tidak bisa membuka data CCTV sembarangan. Apalagi kepada pihak yang tidak berwenang dan berkepentingan.” Penolakan dari resepsionis hotel tempat mereka semalam dijebak menjawab dengan nada simpatik penuh profesionalitas. “Tapi kemarin di lantai dua puluh terjadi tindak kriminal! Ada penyekapan dan–” Dipta berkata menunjukkan nada frustrasi. “Mohon maaf Bapak Pradipta. Tak ada yang bisa kami lakukan untuk itu.” Kali ini rekan resepsionis pria yang menanggapi permintaannya. “Tapi saya menjadi korbannya!” ujar Dipta setengah mati menahan emosinya. “Kami sarankan Anda berkoordinasi dahulu dari pihak kepolisian,” tambal sang resepsionis yang masih bersikukuh dibalik senyumnya. “Tidak mungkin kalian tidak bisa membuka kalau ada tindak kriminal yang terjadi di hotel kalian.” Dipta berkilah. “Bapak Pradipta, kami tetap berpegang teguh pada SOP kami. Silakan koordinasikan dahulu dari pihak yang berwajib agar kami memiliki basis yang kuat membuka CCTV.” “Privac
“Bukan begitu, Mas. Kami dijebak,” sanggah Dipta dengan cepat. Menepis prasangka yang dilontarkan oleh sang bos. “Dijebak? Please tell me about it,” balas Mas Sultan, nadanya serius. Pria itu menaruh gelas martininya yang kosong di atas meja, menjaga kontak mata dengan bartender dan meminta seorang pelayan untuk datang ke booth semi privat mereka. “Tunggu dulu, kita pindah tempat aja. Jangan bicarakan masalah ini di ruang terbuka seperti ini.” Mas Sultan menahannya sejenak. Ketika Mas Sultan mengutarakan maksudnya, sang pelayan membantu menuntun mereka menuju sebuah ruang privat dan mengatakan kalau dia standby di dekat pintu jika dirinya dan Mas Sultan membutuhkan sesuatu sebelum akhirnya menutup kembali pintunya. Setelah keadaan kondusif dan sepi, barulah Dipta mengeluarkan tiga buah kamera dari dalam slingbag dan menyerahkan kepada atasannya. Alis kiri Mas Sultan naik sebelah, pertanda meminta penjelasan lebih dalam darinya. “Gue sama Elaina dicekoki obat perangsang, M
Dipta menerima keputusan bosnya dengan lapang dada. Jika boleh dibilang, dia begitu berterima kasih karena hukuman yang didapatkan tidak seberat yang dia duga. Skorsing dua bulan. Dipta bisa hidup dengan keputusan tersebut. “Thanks, Mas. Gue menerima keputusan lo dengan baik. Besok gue ke kantor untuk mengembalikan device dan tools kerjaan,” ujar Dipta disela tarikan rokoknya yang terakhir. Dia mematikan sisanya dan menenggak air mineral dingin yang tersaji di small bar ruang khusus ini. Sebenarnya banyak minuman berarkohol yang berjejer rapi di kabinet kaca belakang bar ini, namun Dipta sudah kapok minum minuman lain yang bukan air putih. Terakhir dia mencecap fresh orange juice, efeknya adalah afrodisiak–and it cost his career and reputation. Not to mention–now he is responsible for Elaina’s life as well. “Lo sama Ela gimana setelahnya? Gimana terus kelanjutan pertunangan Ela dan… siapa tunangannya? Anaknya Rahmat Trihadi, ‘kan?” “Ya batal. Dhanu dengan brengseknya membuang tun
ELA Ela menatap koper besar Rimowa miliknya yang terbuka lebar. Setengah space telah terisi dengan baju-bajunya yang masih terkait dengan hanger. Matanya mengerjap lambat. Ada yang mengganjal dalam hatinya selepas dia berdebat dengan papa tadi di ruang kerjanya. Mungkin hatinya pun tertinggal di ruang kerja papa. Semua terasa berbeda saat dia melangkah masuk kembali ke kamarnya. Semua terasa asing di matanya. Ruangan besar, lebar, wangi, elegan dan mewah beserta isinya yang begitu wah. Tak ada yang bisa menggugah perasaannya sekarang. Terasa hampa dan kosong.
Kakak perempuannya itu tertawa histeris, seakan ucapannya barusan merupakan hal terlucu yang pernah kakaknya dengar. Deshinta is the epitome of a mean girl. Bahkan tawanya saja seperti seorang antagonis di dalam film-film. “Aku punya tabungan,” tepis Ela dengan tenang. Dia mencoba mendorong tubuh kakaknya agar menjauhi pintu, tapi kakaknya tetap bergeming. Alih-alih gesturnya berubah menjadi berkacak pinggang dan menatap Ela sambil tersenyum mengejek. “From your paltry salary? Hah, bisa apa gaji sepuluh juta sebulan untuk gaya hidup lo? Dan bahkan gue dengar lo udah resign dari tempat kerja lo, bukan?” ujar kakaknya sambil tertawa kecil. “I mean your DNA Salmon treatment cost you a month's salary! You’re a joke!” Ela menghembuskan napasnya dengan berat. Dia meyakinkan dirinya jika dia bisa hidup tanpa kemewahan yang diterima sejak kecil. Wajahnya sudah cantik, she doesn’t need to splurge more to make it better. “I will manage, Mbak. Nggak usah ikut campur dengan masalah