Lihat, betapa terkejutnya wajah kedua orang tuanya serta kakaknya ketika Ela berbicara seperti itu!
Mereka semua menganggap Ela gila!
Memang benar! Dia sudah gila, dan dia tak akan melepas semua kungkungan yang memenjarakan dirinya dan akan bertindak bebas sesuai keinginan hatinya.
“Jangan gila kamu!” Papa mengalihkan pandanganya dari Pradipta kepada dirinya.
Ela menyadari jika wajahnya refleks tersenyum.
Mungkin ini senyum pertamanya sejak kejadian malam itu.
Deshinta sang kakak pun menatapnya seperti Ela seorang pesakitan yang baru saja kabur dari rumah sakit khusus pasien jiwa.
“Apa mau pria lain bertanggung jawab dengan ini semua dan membesarkan anakku kelak, Pa? Bukankah itu malah menjadi skandal yang lebih besar?” Ela bertanya langsung kepada papanya.
Dia tahu Hendra Dharmawan mementingkan nama baik di atas segalanya. Tentu saja ucapannya tadi langsung mendapatkan perhatian penuh papanya.
“Pasti ada pria terhormat lainnya yang bisa menikahimu,” balas sang papa dengan nada angkuh.
“Jika ini berkaitan dengan anak karena perbuatan kami, maka saya menuntut untuk bertanggung jawab dan izinkan saya menikahi Ela, Pak.”
Kali ini sang pengawal yang mengambil alih pembicaraan.
“Mama nggak sudi!” Mama kali ini menanggapi pembicaraan mereka.
“Mama dan Papa sudah sekolahkan kamu tinggi-tinggi! Memberikan yang terbaik! Dan sekarang begini caramu membalas kasih orang tuamu? Jahat sekali kamu Ela! Anak durhaka!” Mama meraung sambil menangis.
Menjadi drama queen yang merupakan keahliannya sejak dahulu kala.
Pradipta dengan gegas menghampiri Ela dan menangkis pukulan mama yang hendak ditujukan kepadanya.
“Pergi kamu! Pengacau!” Mama kini mengalihkan pukulannya kepada Pradipta.
Mama menyerang semua yang terjangkau olehnya, dan Pradipta hanya menerimanya dalam diam. Dia tak menghentikan serangan bertubi-tubi mamanya yang begitu kalap saat mendengar permintaan Ela.
“Nggak bisa Papa! Mau ditaruh di mana muka kita kalau punya menantu seperti pria ini!” ujar mamanya yang didramatisasi dengan raungan menggema di lantai satu rumah megah mereka.
Mama berhenti memukuli Pradipta karena Ela tak tahan melihatnya, dia menarik pria itu mundur dan memposisikan dirinya di hadapan sang mama. Kini Ela memposisikan dirinya sebagai perisai Pradipta.
Mamanya terengah-engah, rambut sasaknya yang biasa tertata rapi kini mulai berantakan, maskaranya luntur dan wajah tanpa cela sang mama di usia paruh bayanya kini terlihat menua di mata Ela.
Elaina menatap mata mamanya langsung. Ada luka di sana.
Pun dengan refleksi wajah Ela yang tercetak dari manik mata sang mama. Ela juga terluka. Namun Ela merasa tak ada yang bisa merasakan dalamnya rasa sakit dikhianati oleh keluarga terdekatnya yang Ela percaya sepenuh hati.
Perasaan ditinggalkan seperti ini seperti pil pahit yang harus Ela telan. Rasanya bahkan lebih mengerikan dibandingkan masa depannya yang pupus bersama Dhanu, atau bayangan konsekuensi lainnya yang akan diterima Ela kelak.
“Papa, kita harus segera bertemu Dhanu dan Om Rahmat. We don’t have time to hear this nonsense!” Ucapan penuh duri terlontar dari mulut kakaknya.
“Omong kosong, Mbak?” Ela maju selangkah untuk mengkonfrontasi kakaknya.
Suasana rumah begitu kacau dan menegangkan.
Sejengkal lagi dia akan berhadapan langsung dengan Deshinta, namun pundaknya ditahan oleh pengawalnya.
Pradipta meremas bahunya, meminta atensi penuh dari Ela.
Dia menoleh dan mengalihkan pandangannya kepada Pradipta.
Pria itu menggelengkan kepalanya pelan.
“Aku sudah capek hidup seperti ini! Bahkan sekarang aku nggak boleh membela diri?” Ela bertanya sengit kepada Pradipta.
“Pak Ridho, tahan Ela agar tidak pergi keluar dari rumah ini. Mama juga. Bersihkan wajahmu! Dan jangan menyusul kami. Hanya Deshinta dan saya yang pergi.” Papa kembali menghiraukan ucapan Ela dan memilih menanggapi perkataan sang kakak.
Satu lagi luka ditorehkan dengan sengaja penuh kesadaran oleh Hendra Dharmawan.
Mereka berdua akhirnya pergi dari rumah. Mama memilih masuk kembali ke kamar dan meminta Pak Ridho agar menyuruh Cici Valencia–asisten pribadi mamanya untuk menemuinya di kamar.
“Pradipta, tolong jangan berulah lagi dan segera tinggalkan kediaman Pak Hendra sekarang juga. Kamu sudah tidak diterima lagi di sini,” ujar Pak Ridho sejurus sebelum akhirnya dia mengantar mamanya kembali ke kamar pribadinya.
Ruang keluarga ini kembali hening setelah semua orang pergi, bahkan asisten rumah tangga pun menghilang dari tempat persembunyian menguping mereka dan memilih melanjutkan aktivitas mereka masing-masing.
“Istirahat dulu, ya. Saya yang akan menyelesaikan semuanya,” ujar Pradipta dengan suara dalam namun lembut di telinganya.
“Mereka jahat banget, tahu nggak!” Ela berujar dengan tegar.
“Nggak ada satupun yang percaya dengan kita,” tambahnya lagi.
Pradipta mereguk liurnya.
“Ini salah saya,” ujarnya.
Iya! Ingin sekali Ela mengumpat dan melimpahkan kesalahan kepadanya. Tapi potongan-potongan ingatan itu sedikit demi sedikit muncul ke permukaan.
Elaina lah yang pertama kali menginisiasi malam panas mereka. Dia juga yang mulai menggerayangi dan menggoda Pradipta pertama kali. Pria itu cukup kuat untuk menolak awalnya.
Namun logika pun sudah tergerus oleh pengaruh obat sialan tersebut–
“Siapa yang menjebak kita?” Ela tiba-tiba teringat satu hal krusial yang mengubah hidupnya.
Penjebakan murahan yang mengorbankan mereka berdua.
Rahang pria itu mengeras sejenak. Dia menutup matanya sebelum membuka kembali dan menggertakkan giginya.
“Saya berjanji akan mencari dalang di balik peristiwa ini, Bu,” ujarnya penuh formalitas.
Di tengah suasana aneh ini, Elaina akhirnya tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya.
“Kita udah tidur bareng, rasanya konyol kalau saya memanggil kamu Pak, dan kamu memanggil saya dengan sebutan Ibu.”
Pradipta berdiri rikuh mendengar sentilan darinya.
“Kita harus bicara lagi, Maksud saya… mungkin dalam uh dua minggu ke depan, if there’s a baby…” Dengan terbata-bata Ela mengungkapkan satu masalah besar lainnya yang mengganjal batinnya sedari tadi.
Mereka melakukannya tanpa pengaman sama sekali malam tadi.
Jika sampai ada kehidupan baru hadir dalam hidup mereka, maka banyak hal yang mulai serius dia bicarakan dengan Pradipta.
“Saya sepenuh hati akan mendukung keinginan Bu–” Ela menggelengkan kepalanya ketika mendengar sapaan spontan Pradipta kepadanya.
“Ehm… maksud saya… saya akan sepenuh hati mengikuti keinginan Ela,” jawab pria itu.
“Uh… namun, saya berharap jika memang ada keajaiban yang dititipkan kepada kita karena perbuatan kita malam tadi, maka saya sangat berharap jika kita bisa membesarkannya bersama,” lanjutnya dengan suara serak.
“Saya… anak kita–” Kini gantian, Pradipta yang kesulitan mengungkapkan apa yang ada di dalam hatinya.
“Saya tak akan menggugurkan bayi kita,” balas Ela. Dia mengerti apa yang hendak Pradipta ungkapkan kepadanya.
Pradipta menganggukkan kepalanya tanpa suara, lega dengan pernyataan Ela barusan.
“Dan Pradipta…”
Tubuh pria tersebut menegang ketika Ela menyebut namanya dengan kasual seperti ini tanpa ada pengaruh alkohol atau obat perangsang lainnya.
“Saya serius dengan ucapan saya barusan. Saya hanya ingin menikah denganmu, saya nggak mau lagi menjadi pion untuk Papa dengan menikahi pria pilihannya, lagi.”
“Not after what they did to me. Not when they did not respect me, and believed in me. Not anymore.” Elaina menuntaskan janjinya.
Dia tak akan mengikuti kehendak kedua orang tuanya lagi. Sudah cukup. Dan peristiwa ini adalah titik balik hidupnya.
Elaina meremas lengan Pradipta yang berdiri di hadapannya. Mencoba menyalurkan emosi tertahannya, berharap pria itu simpatik dan mengerti alasannya bertindak gila seperti ini.
Tatapan pria itu tak bisa Elaina gambarkan secara jelas. Entah apa yang bercokol di balik mata misterius tersebut.
“Oke, kita akan menikah.”
Pradipta mengangguk sekali lagi dan meraih jemari Elaina sebelum meremasnya dengan penuh perhatian. Diangkatnya punggung tangan Elaina dan dikecupnya dengan lembut sebelum pria itu berujar, “I will be your knight, your protector, and your shield. Even if I have to fight your family, Elaina.”
DIPTADipta melihat bagaimana bosnya–atau mantan bosnya, memperlakukan putrinya sendiri terhadap musibah yang menimpa gadis itu.Setelah naik turunnya emosi seperti roller coaster sejak tadi, Dipta menghela napasnya dan menatap Ela sekali lagi. “Mau saya temani?” tanyanya pelan. Gadis itu terlihat rapuh dan wajahnya pias. Apalagi setelah pertengkaran hebat dengan kedua orang tuanya dan tuntutannya agar dia menikah dengan Dipta, jika ada kehidupan baru–Jantung Dipta kembali berpacu kencang. “Uh… kapan kita bisa tahu kalau, kamu mengandung?” tanya Dipta dengan tenang, meskipun kini jantungnya kebat-kebit.Ela mengedikkan bahunya. “Sekitar dua minggu? Tunggu apa aku terlambat datang bulan atau nggak,” jawab Ela pelan. Wajah gadis pun memerah ketika menjelaskan perihal tersebut. Dipta mengangguk. “Saya akan selalu mendukung keputusan Ibu kelak. Mau,uh dilanjutkan atau–” Belum sempat Dipta menjelaskan opsi terakhir yang begitu pahit di mulutnya, Elaina sudah menggelengkan kepalany
“Saya khawatir dengan ucapan buruk orang terhadapmu,” ujarnya jujur. “Saya nggak pernah merasa malu dengan profesi saya sebagai pengawal. Saya mendapatkan nafkah dengan cara halal. Tapi… saya tidak bisa tutup mata tentang dunia kamu.” Dipta menambahkan dengan serius. Dunia Elaina dari sudut pandang Dipta penuh dengan persaingan, intrik, saling sikut dan jegal. Perang opini hingga cara-cara kotor dilakukan demi status, kekayaan, kekuatan dan power merupakan cara lumrah dalam dunia elit milik Elaina. Dia tahu Ela pasti akan menjadi sasaran empuk dan target point blank dari para hyena yang menunggu kejatuhan Ela. Belum lagi musuh politik Pak Hendra Dharmawan yang akan mencari celah menjatuhkan pria itu lewat Elaina. “Maksud kamu duniaku kotor, begitu?” tanya Ela sambil mengernyitkan dahi. Dengan gelagapan Dipta mengoreksi asumsi Ela. “Bukan begitu, Ela!” bantahnya. “Maksud saya, duniamu itu ‘kan begitu keras. Saya khawatir jika kamu bersama dengan saya… nanti kamu akan menjadi tar
ELA Percakapannya dengan Dipta berakhir sebelum petang datang. Setidaknya Ela mendapatkan kepastiannya dan dia mulai berani merajut sendiri masa depannya kelak. Mempunyai anak, atau tidak mempunyai anak. Kini pikirannya tercurah pada masalah baru yang timbul akibat dari satu malam panas itu bersama pengawalnya. Di tengah lamunannya, Ela mendapati Dipta berdiri dari kursinya dan memegang gagang kursi yang menopang kepalanya. Sontak Ela menengadah dan menatap Dipta dengan serius. “Saya akan kembali lagi dan berbicara jika semua sudah lebih tenang.” Dipta mengulas senyum tipis ke arahnya. Aneh sekali, biasanya hanya Dhanu yang mampu membuatnya salah tingkah. Tapi kini senyum
“Bukannya kamu sendiri yang ngotot mau menikah dengan Dipta tadi? Why do you think that you are the victim here?” Sindiran demi sindiran dilontarkan Deshinta tanpa henti kepadanya. Ela mengerjapkan matanya untuk menghilangkan rasa panas yang beresonansi dengan denyut sakit di hatinya. Dia sudah terbiasa beradu pendapat dengan sang kakak. Terutama sejak kejadian Harsya beberapa tahun lalu. Hubungan yang semakin menjauh, ditambah dengan bibit kebencian yang disebar oleh Deshinta secara sadar kini mulai bertumbuh layaknya duri di hati Elaina. “All of the people, the real victims are Dhanu, Papa and Om Rahmat!” desis Deshinta penuh penghakiman. Ela tak terima disudutkan dan selalu dianggap sebagai penjahat di mata kakaknya. “Kamu malah playing victim di sini!” Semakin Ela diam, semakin nyalang kebencian yang kakaknya tunjukkan secara gamblang kepadanya. “Mbak, aku nggak mau berdebat dengan kamu. Semua yang aku katakan pasti selalu saja dicari pembenarannya sama kamu,” ujarnya l
Rasanya seperti ditampar keras oleh papanya sendiri. Elaina tak menyangka jika ucapan serendah itu diucapkan oleh papanya sendiri kepada dirinya.“Papa ngomong gitu ke aku?” bisik Ela tak percaya. Papanya bisa mengeluarkan statement menyakitkan seperti itu tanpa beban. Justru tatapan matanya menyiratkan kemarahan yang ditujukan kepadanya.“Itu fakta bukan? Kamu sudah tidur dengan pengawal itu semalam. Siapa yang bisa jamin kamu nggak akan hamil setelahnya.” Ela mereguk salivanya.“Ini gila, Pa! Papa tega bicara seperti itu sama anak sendiri?” Pikirannya tiba-tiba blank. Tak tahu harus bagaimana bersikap setelah papanya sukses menyakiti hatinya bertubi-tubi sejak semalam.
DIPTA “Maaf Pak, tapi kami tidak bisa membuka data CCTV sembarangan. Apalagi kepada pihak yang tidak berwenang dan berkepentingan.” Penolakan dari resepsionis hotel tempat mereka semalam dijebak menjawab dengan nada simpatik penuh profesionalitas. “Tapi kemarin di lantai dua puluh terjadi tindak kriminal! Ada penyekapan dan–” Dipta berkata menunjukkan nada frustrasi. “Mohon maaf Bapak Pradipta. Tak ada yang bisa kami lakukan untuk itu.” Kali ini rekan resepsionis pria yang menanggapi permintaannya. “Tapi saya menjadi korbannya!” ujar Dipta setengah mati menahan emosinya. “Kami sarankan Anda berkoordinasi dahulu dari pihak kepolisian,” tambal sang resepsionis yang masih bersikukuh dibalik senyumnya. “Tidak mungkin kalian tidak bisa membuka kalau ada tindak kriminal yang terjadi di hotel kalian.” Dipta berkilah. “Bapak Pradipta, kami tetap berpegang teguh pada SOP kami. Silakan koordinasikan dahulu dari pihak yang berwajib agar kami memiliki basis yang kuat membuka CCTV.” “Privac
“Bukan begitu, Mas. Kami dijebak,” sanggah Dipta dengan cepat. Menepis prasangka yang dilontarkan oleh sang bos. “Dijebak? Please tell me about it,” balas Mas Sultan, nadanya serius. Pria itu menaruh gelas martininya yang kosong di atas meja, menjaga kontak mata dengan bartender dan meminta seorang pelayan untuk datang ke booth semi privat mereka. “Tunggu dulu, kita pindah tempat aja. Jangan bicarakan masalah ini di ruang terbuka seperti ini.” Mas Sultan menahannya sejenak. Ketika Mas Sultan mengutarakan maksudnya, sang pelayan membantu menuntun mereka menuju sebuah ruang privat dan mengatakan kalau dia standby di dekat pintu jika dirinya dan Mas Sultan membutuhkan sesuatu sebelum akhirnya menutup kembali pintunya. Setelah keadaan kondusif dan sepi, barulah Dipta mengeluarkan tiga buah kamera dari dalam slingbag dan menyerahkan kepada atasannya. Alis kiri Mas Sultan naik sebelah, pertanda meminta penjelasan lebih dalam darinya. “Gue sama Elaina dicekoki obat perangsang, M
Dipta menerima keputusan bosnya dengan lapang dada. Jika boleh dibilang, dia begitu berterima kasih karena hukuman yang didapatkan tidak seberat yang dia duga. Skorsing dua bulan. Dipta bisa hidup dengan keputusan tersebut. “Thanks, Mas. Gue menerima keputusan lo dengan baik. Besok gue ke kantor untuk mengembalikan device dan tools kerjaan,” ujar Dipta disela tarikan rokoknya yang terakhir. Dia mematikan sisanya dan menenggak air mineral dingin yang tersaji di small bar ruang khusus ini. Sebenarnya banyak minuman berarkohol yang berjejer rapi di kabinet kaca belakang bar ini, namun Dipta sudah kapok minum minuman lain yang bukan air putih. Terakhir dia mencecap fresh orange juice, efeknya adalah afrodisiak–and it cost his career and reputation. Not to mention–now he is responsible for Elaina’s life as well. “Lo sama Ela gimana setelahnya? Gimana terus kelanjutan pertunangan Ela dan… siapa tunangannya? Anaknya Rahmat Trihadi, ‘kan?” “Ya batal. Dhanu dengan brengseknya membuang tun