ELA
Percakapannya dengan Dipta berakhir sebelum petang datang. Setidaknya Ela mendapatkan kepastiannya dan dia mulai berani merajut sendiri masa depannya kelak.
Mempunyai anak, atau tidak mempunyai anak. Kini pikirannya tercurah pada masalah baru yang timbul akibat dari satu malam panas itu bersama pengawalnya.
Di tengah lamunannya, Ela mendapati Dipta berdiri dari kursinya dan memegang gagang kursi yang menopang kepalanya. Sontak Ela menengadah dan menatap Dipta dengan serius.
“Saya akan kembali lagi dan berbicara jika semua sudah lebih tenang.” Dipta mengulas senyum tipis ke arahnya.
Aneh sekali, biasanya hanya Dhanu yang mampu membuatnya salah tingkah. Tapi kini senyum
“Bukannya kamu sendiri yang ngotot mau menikah dengan Dipta tadi? Why do you think that you are the victim here?” Sindiran demi sindiran dilontarkan Deshinta tanpa henti kepadanya. Ela mengerjapkan matanya untuk menghilangkan rasa panas yang beresonansi dengan denyut sakit di hatinya. Dia sudah terbiasa beradu pendapat dengan sang kakak. Terutama sejak kejadian Harsya beberapa tahun lalu. Hubungan yang semakin menjauh, ditambah dengan bibit kebencian yang disebar oleh Deshinta secara sadar kini mulai bertumbuh layaknya duri di hati Elaina. “All of the people, the real victims are Dhanu, Papa and Om Rahmat!” desis Deshinta penuh penghakiman. Ela tak terima disudutkan dan selalu dianggap sebagai penjahat di mata kakaknya. “Kamu malah playing victim di sini!” Semakin Ela diam, semakin nyalang kebencian yang kakaknya tunjukkan secara gamblang kepadanya. “Mbak, aku nggak mau berdebat dengan kamu. Semua yang aku katakan pasti selalu saja dicari pembenarannya sama kamu,” ujarnya l
Rasanya seperti ditampar keras oleh papanya sendiri. Elaina tak menyangka jika ucapan serendah itu diucapkan oleh papanya sendiri kepada dirinya.“Papa ngomong gitu ke aku?” bisik Ela tak percaya. Papanya bisa mengeluarkan statement menyakitkan seperti itu tanpa beban. Justru tatapan matanya menyiratkan kemarahan yang ditujukan kepadanya.“Itu fakta bukan? Kamu sudah tidur dengan pengawal itu semalam. Siapa yang bisa jamin kamu nggak akan hamil setelahnya.” Ela mereguk salivanya.“Ini gila, Pa! Papa tega bicara seperti itu sama anak sendiri?” Pikirannya tiba-tiba blank. Tak tahu harus bagaimana bersikap setelah papanya sukses menyakiti hatinya bertubi-tubi sejak semalam.
DIPTA “Maaf Pak, tapi kami tidak bisa membuka data CCTV sembarangan. Apalagi kepada pihak yang tidak berwenang dan berkepentingan.” Penolakan dari resepsionis hotel tempat mereka semalam dijebak menjawab dengan nada simpatik penuh profesionalitas. “Tapi kemarin di lantai dua puluh terjadi tindak kriminal! Ada penyekapan dan–” Dipta berkata menunjukkan nada frustrasi. “Mohon maaf Bapak Pradipta. Tak ada yang bisa kami lakukan untuk itu.” Kali ini rekan resepsionis pria yang menanggapi permintaannya. “Tapi saya menjadi korbannya!” ujar Dipta setengah mati menahan emosinya. “Kami sarankan Anda berkoordinasi dahulu dari pihak kepolisian,” tambal sang resepsionis yang masih bersikukuh dibalik senyumnya. “Tidak mungkin kalian tidak bisa membuka kalau ada tindak kriminal yang terjadi di hotel kalian.” Dipta berkilah. “Bapak Pradipta, kami tetap berpegang teguh pada SOP kami. Silakan koordinasikan dahulu dari pihak yang berwajib agar kami memiliki basis yang kuat membuka CCTV.” “Privac
“Bukan begitu, Mas. Kami dijebak,” sanggah Dipta dengan cepat. Menepis prasangka yang dilontarkan oleh sang bos. “Dijebak? Please tell me about it,” balas Mas Sultan, nadanya serius. Pria itu menaruh gelas martininya yang kosong di atas meja, menjaga kontak mata dengan bartender dan meminta seorang pelayan untuk datang ke booth semi privat mereka. “Tunggu dulu, kita pindah tempat aja. Jangan bicarakan masalah ini di ruang terbuka seperti ini.” Mas Sultan menahannya sejenak. Ketika Mas Sultan mengutarakan maksudnya, sang pelayan membantu menuntun mereka menuju sebuah ruang privat dan mengatakan kalau dia standby di dekat pintu jika dirinya dan Mas Sultan membutuhkan sesuatu sebelum akhirnya menutup kembali pintunya. Setelah keadaan kondusif dan sepi, barulah Dipta mengeluarkan tiga buah kamera dari dalam slingbag dan menyerahkan kepada atasannya. Alis kiri Mas Sultan naik sebelah, pertanda meminta penjelasan lebih dalam darinya. “Gue sama Elaina dicekoki obat perangsang, M
Dipta menerima keputusan bosnya dengan lapang dada. Jika boleh dibilang, dia begitu berterima kasih karena hukuman yang didapatkan tidak seberat yang dia duga. Skorsing dua bulan. Dipta bisa hidup dengan keputusan tersebut. “Thanks, Mas. Gue menerima keputusan lo dengan baik. Besok gue ke kantor untuk mengembalikan device dan tools kerjaan,” ujar Dipta disela tarikan rokoknya yang terakhir. Dia mematikan sisanya dan menenggak air mineral dingin yang tersaji di small bar ruang khusus ini. Sebenarnya banyak minuman berarkohol yang berjejer rapi di kabinet kaca belakang bar ini, namun Dipta sudah kapok minum minuman lain yang bukan air putih. Terakhir dia mencecap fresh orange juice, efeknya adalah afrodisiak–and it cost his career and reputation. Not to mention–now he is responsible for Elaina’s life as well. “Lo sama Ela gimana setelahnya? Gimana terus kelanjutan pertunangan Ela dan… siapa tunangannya? Anaknya Rahmat Trihadi, ‘kan?” “Ya batal. Dhanu dengan brengseknya membuang tun
ELA Ela menatap koper besar Rimowa miliknya yang terbuka lebar. Setengah space telah terisi dengan baju-bajunya yang masih terkait dengan hanger. Matanya mengerjap lambat. Ada yang mengganjal dalam hatinya selepas dia berdebat dengan papa tadi di ruang kerjanya. Mungkin hatinya pun tertinggal di ruang kerja papa. Semua terasa berbeda saat dia melangkah masuk kembali ke kamarnya. Semua terasa asing di matanya. Ruangan besar, lebar, wangi, elegan dan mewah beserta isinya yang begitu wah. Tak ada yang bisa menggugah perasaannya sekarang. Terasa hampa dan kosong.
Kakak perempuannya itu tertawa histeris, seakan ucapannya barusan merupakan hal terlucu yang pernah kakaknya dengar. Deshinta is the epitome of a mean girl. Bahkan tawanya saja seperti seorang antagonis di dalam film-film. “Aku punya tabungan,” tepis Ela dengan tenang. Dia mencoba mendorong tubuh kakaknya agar menjauhi pintu, tapi kakaknya tetap bergeming. Alih-alih gesturnya berubah menjadi berkacak pinggang dan menatap Ela sambil tersenyum mengejek. “From your paltry salary? Hah, bisa apa gaji sepuluh juta sebulan untuk gaya hidup lo? Dan bahkan gue dengar lo udah resign dari tempat kerja lo, bukan?” ujar kakaknya sambil tertawa kecil. “I mean your DNA Salmon treatment cost you a month's salary! You’re a joke!” Ela menghembuskan napasnya dengan berat. Dia meyakinkan dirinya jika dia bisa hidup tanpa kemewahan yang diterima sejak kecil. Wajahnya sudah cantik, she doesn’t need to splurge more to make it better. “I will manage, Mbak. Nggak usah ikut campur dengan masalah
Bisa-bisa dia tertahan lama jika satpamnya keras kepala seperti ini.“Terima kasih, Pak. Tapi beneran kok. Ini cuma mau drop ke rumah teman saja. Dekat kok. Nggak perlu khawatir.”Mungkin karena mendengar jika Ela hanya pergi ke rumah temannya, akhirnya sang satpam mengendurkan kewaspadaannya dan sedikit lebih rileks.Pak Iqbal kembali terdistraksi ketika ada jawaban kalau sudah ada taksi yang melaju ke rumahnya setelah dipesan dari depan gerbang kompleks perumahan elit mereka. Tak lama, salah satu satpam datang tergopoh ke dalam pos menemui Pak Iqbal dan mengutarakan satu hal yang cukup menarik perhatian Ela.“Mas Iqbal, ini ada Mas Dipta di g