Claire masuk ke kamar dan segera membersihkan tubuhnya. Setelah mandi, Claire memandang keluar melalui jendela kamar tidurnya. Masih hujan deras. Entah kapan akan berhenti. Sejak dulu Claire menyukai hujan, terlebih lagi malam ini, karena hujan dapat menyamarkan air mata kesedihan yang membasahi wajahnya.
Claire menoleh saat pintu kamarnya diketuk pelan, disusul oleh suara Susan.“Masuk saja, pintunya tidak dikunci.”Susan masuk sambil membawa semangkuk sup hangat dan memberikannya pada Claire, memaksa nona mudanya agar menghabiskan sup buatannya.“Anda harus makan sup hangat ini sampai habis. Jangan sampai anda sakit. Apakah ada makanan lain yang ingin anda santap? Jika ada, saya akan menyiapkannya.”Claire menggeleng pelan, menghargai kebaikan Susan, namun sayangnya Claire tidak ingin menyantap apapun. Selera makannya lenyap.“Tidak perlu, Susan. Cukup sup ini saja. Terima kasih.”“Baiklah. Jika anda perlu sesuatu, silahkan ketuk pintu kamar saya.”<Ucapan Levin membuat Claire tidak bisa lagi meredam rasa kesalnya. “Kenapa saya tidak boleh cuti? Padahal hanya satu hari dan saya yakin dapat menyelesaikan pekerjaan yang memang menjadi tanggung jawab saya. Selama bekerja di perusahaan ini, saya sangat jarang mengajukan cuti, tapi kali ini saya terpaksa cuti karena ada hal yang harus dilakukan. Kenapa anda mempersulit saya?” Pertanyaan Claire membuat Levin berdiri dari kursinya. Dengan langkah lebar pria itu melangkah tegas hingga tiba tepat di hadapan Claire. Ingin menunjukkan otoritasnya sebagai seorang boss yang harus dipatuhi perintahnya. Levin menatap tajam wajah Claire yang balas menatapnya dengan berani. Tidak takut meski sadar kalau status Levin sekarang adalah bossnya. Pemilik perusahaan atau anak dari pemilik perusahaan? Entahlah, apapun itu pokoknya mirip! Saat ini Claire sudah kembali ke sifat sebenarnya, tidak ada perasaan bersalah seperti kemarin, karena kali ini Claire harus memperjuangkan izin cu
Levin memejamkan mata sejenak, berharap dapat meredakan rasa kesal yang menguasai hatinya saat teringat akan kedekatan antara Claire dengan Nick yang, sepertinya, tetap terjalin meski ada jarak sejauh ribuan kilometer yang memisahkan. “Apakah kamu tau dan dapat mengingat bagaimana wajah pria itu?” desak Levin tanpa sadar membuat Jane semakin bingung karena rentetan pertanyaan yang diajukan kepadanya kian banyak seolah sedang menginterogasinya. Tampak jelas kalau bossnya ingin mengetahui tentang detail kehidupan Claire. Padahal hanya mengajukan permohonan cuti, tapi kenapa pertanyaan yang diajukan jadi panjang lebar seperti ini? Tidak ada hubungannya dengan masalah cuti pula! Malah beralih ke masa lalu membuat Jane harus menggali ingatannya! ‘Apakah si boss memang mengenal Claire makanya jadi penasaran seperti ini?’ batin Jane curiga namun tidak mungkin menyuarakannya atau terancam kena pecat! “Hmm… saya agak lupa karena sudah terlalu lama.”“Tapi pasti a
Beberapa saat sebelumnya…Levin mengerutkan kening saat Jane menyodorkan selembar kertas di hadapannya. Permohonan cuti atas nama Claire.“Claire ingin cuti untuk urusan pribadi? Urusan pribadi seperti apa yang dia maksud? Apakah urusan pribadi bersama suaminya? Atau bersama orangtuanya?” gumam Levin lirih namun masih dapat didengar oleh Jane membuat wanita itu mengira kalau sang boss sedang bertanya kepadanya. “Hmm… mengenai urusan pribadi Claire tidak ada yang tau. Claire sangat tertutup mengenai urusan pribadinya sejak dulu, tidak ada satu orangpun yang tau apakah dia sudah menikah atau belum. Padahal sejak awal bekerja disini, Claire sudah dalam kondisi hamil dan saat itu ada satu pria yang sering mengantar jemputnya, tapi kami tidak pernah tau apakah benar pria itu suaminya atau bukan karena Claire hanya tersenyum setiap kali kami menanyakannya. Tapi yang jelas kami semua tau kalau Claire sudah memiliki seorang putra. Dan menjawab pertanyaan anda tadi, mungkin saja
Setibanya di kantor, setelah meletakkan tas kerjanya, Claire mulai mengisi formulir permohonan cuti. Dirinya harus mengajukannya secepat mungkin agar permohonan cutinya disetujui mengingat waktunya kurang dari 5 hari. Selama hampir 5 tahun bekerja di perusahaan ini, Claire termasuk karyawan yang jarang mengambil cuti, selain cuti melahirkan, Claire hanya pernah cuti sesekali, itupun jika tubuhnya sudah drop karena terlalu lelah bekerja. Semoga saja kali ini tidak masalah, apalagi dirinya juga hanya mengajukan cuti satu hari. Claire menuju bagian HRD dan menyerahkannya kepada Jennifer, yang biasa dipanggil Jane, wanita yang sudah bekerja lebih lama darinya. Wanita yang, setau Claire, tidak pernah menggunjingkannya saat hamil dulu dan justru membelanya meski Claire tidak pernah meminta. Wanita yang dapat menempatkan diri sebagai teman dan rekan kerja yang baik. Wanita yang selalu bersikap ramah meski Claire yakin kalau Jane juga menyimpan rasa penasaran akan k
Claire mengerjap. Meminta bantuan bossnya? Apakah itu artinya Claire harus meminta bantuan Levin? Tentu saja tidak bisa! Jika bisa, Claire justru ingin menghindari pria itu sejauh mungkin! ‘Masalahnya boss mommy adalah daddy kamu.’Tentu saja Claire hanya berani menjawab dalam hati karena yang meluncur dari bibirnya adalah jawaban yang berbeda. “Tidak bisa, Sayang, karena setiap karyawan harus bertanggung jawab atas pekerjaannya masing-masing, jadi mommy harus menyelesaikan pekerjaan mommy sendiri tanpa bantuan orang lain. Sama seperti kamu jika mendapat PR, kamu harus mengerjakannya sendiri kan? Nah, pekerjaan mommy juga sama seperti itu, Sayang.”Revel mengangguk paham karena Claire memberi perumpamaan yang mudah dipahami. Ya, meski masih kindergarten school tapi terkadang Revel sudah mendapat PR seperti menulis, berhitung, menggambar dan lain sebagainya untuk menggali potensi mental intelektual dan sisi kreatifitas anak-anak.“Jadi kemarin apa saja yang kamu
Claire masuk ke kamar dan segera membersihkan tubuhnya. Setelah mandi, Claire memandang keluar melalui jendela kamar tidurnya. Masih hujan deras. Entah kapan akan berhenti. Sejak dulu Claire menyukai hujan, terlebih lagi malam ini, karena hujan dapat menyamarkan air mata kesedihan yang membasahi wajahnya. Claire menoleh saat pintu kamarnya diketuk pelan, disusul oleh suara Susan. “Masuk saja, pintunya tidak dikunci.”Susan masuk sambil membawa semangkuk sup hangat dan memberikannya pada Claire, memaksa nona mudanya agar menghabiskan sup buatannya.“Anda harus makan sup hangat ini sampai habis. Jangan sampai anda sakit. Apakah ada makanan lain yang ingin anda santap? Jika ada, saya akan menyiapkannya.”Claire menggeleng pelan, menghargai kebaikan Susan, namun sayangnya Claire tidak ingin menyantap apapun. Selera makannya lenyap. “Tidak perlu, Susan. Cukup sup ini saja. Terima kasih.”“Baiklah. Jika anda perlu sesuatu, silahkan ketuk pintu kamar saya.”