Kabar tentang hancurnya salah satu retakan penyimpangan menyebar lebih cepat daripada yang mereka duga. Belum sehari setelah pertempuran di Kalindra, para perwakilan dari berbagai klan sihir, kerajaan penjaga, dan bahkan para pedagang sihir mulai berdatangan ke reruntuhan hutan.
Drakhan berdiri di ujung bukit, memandangi barisan tenda yang mulai berdiri di sekitar lembah. Bendera-bendera dengan simbol sihir kuno berkibar, dan suara mantra pelindung terdengar samar di angin.“Mereka datang untuk menonton atau menuntut?” tanya Irelia sambil memeriksa ujung belati yang masih berlumur darah kering dari malam sebelumnya.“Kalau kita sial, keduanya,” jawab Sereth, berdiri di samping Liora yang masih tampak pucat.Liora sendiri tidak banyak bicara sejak segel itu ditutup. Mantra jangkar yang ia pakai terlalu kuat untuk ditanggung oleh satu tubuh manusia biasa. Bahkan liontin pusaka keluarga yang seharusnya menstabilkan sihirnya kini telah hancur berkepinTiga hari telah berlalu sejak pertempuran di bawah Kuil Elarian. Mereka berhasil keluar dari reruntuhan dengan membawa keempat telur naga—yang kini disimpan dalam ruang khusus di bawah pengawasan sihir perlindungan. Tapi bukan hanya telur yang mereka bawa keluar... Liora membawa lebih dari itu.Gulungan warisan yang ia simpan kini seolah memiliki nyawa sendiri. Setiap malam ia terbangun dengan suara bisikan yang bukan berasal dari luar, melainkan dari dalam dirinya. Bisikan tentang darah, tentang sejarah, dan tentang perjanjian lama yang tertulis dengan nyawa para leluhur naga.Drakhan, yang selama tiga hari itu memilih diam dan menjaga jarak, akhirnya datang menemuinya saat fajar mulai menyentuh atap pelindung kamp mereka.“Sudah saatnya kita bicara,” katanya singkat.Liora hanya mengangguk. Ia tahu ini bukan sekadar percakapan biasa. Mereka berjalan ke sebuah area terbuka yang menghadap ke jurang lembah. Udara di sana lebih segar, dan hanya ada
Langit pagi di atas pegunungan Utara tampak kelabu. Bukan karena badai atau kabut, melainkan karena sesuatu yang lebih halus—perasaan aneh yang mengendap di udara, seperti dunia sedang menahan napas. Liora membuka matanya perlahan di dalam tenda kecil yang didirikan di lereng tebing.Setelah ritual sumpah dan kepergian makhluk misterius, mereka memutuskan meninggalkan istana naga dan melakukan perjalanan menuju tempat yang disebut Aegiros, tanah di mana warisan para naga pertama dikubur.“Mimpi buruk lagi?” tanya Sereth yang sudah duduk di luar sambil menajamkan belati.Liora mengangguk, membenahi rambutnya. “Kali ini aku melihat anak kecil berdiri di depan pintu besar... tapi ia tidak bisa mengetuk. Tangannya terikat tali tak terlihat.”“Simbolik. Atau... bisa juga mimpi nubuatan,” Lyssandra menyela sambil mengaduk sup dari tumbuhan herbal lokal.Drakhan yang sedang menyisir wilayah sekitar muncul membawa kabar. “Dua jam lagi kita sampai
Langit di atas Istana Naga diliputi kabut ungu yang pekat. Angin berhembus pelan, membawa debu reruntuhan dan bekas sihir yang tak sepenuhnya padam. Di tengah reruntuhan itu, makhluk yang dulunya Azkareth berdiri diam, menatap puing-puing yang dulu merupakan pusat kekuasaan klan naga.Wajahnya masih menyimpan jejak manusia, tapi tubuhnya telah berubah sepenuhnya. Sisik-sisik yang hidup, tanduk yang berdenyut cahaya, dan sayap yang jika dibentangkan bisa menutup cakrawala. Ia bukan lagi sekadar pewaris. Ia adalah penggabungan jiwa naga terdahulu—wujud yang tidak pernah dibayangkan bahkan oleh para leluhur tertua.Namun, sorot matanya tetap milik Azkareth.Liora melangkah perlahan mendekat. Langkahnya berat, bukan karena takut, tapi karena ia tahu: yang berdiri di depannya kini adalah sesuatu yang di luar batas pemahaman makhluk fana.“Kau kembali,” bisiknya, matanya menyipit menahan emosi. “Tapi... siapa sebenarnya yang kembali?”Azkareth
Langit di atas istana itu tidak seperti langit biasa. Warna biru cerahnya terlalu sempurna, terlalu diam, seperti lukisan yang tak pernah berubah. Udara di sekeliling mereka tak berangin, namun mengandung energi yang membuat bulu kuduk meremang. Suara burung? Tidak ada. Daun berguguran? Mustahil, karena tak ada pohon satu pun di daratan ini.Satu-satunya yang terdengar adalah suara langkah sosok berjubah hitam tadi—resonansi langkahnya berdentum pelan seolah menyatu dengan denyut bumi.“Siapa kau sebenarnya?” tanya Irelia, tak membuang waktu.Sosok itu tidak menjawab segera. Ia berdiri di depan gerbang kristal raksasa yang membentuk pintu utama Istana Langit, lalu menoleh. Wajahnya akhirnya tampak—seorang pria dengan usia tak bisa ditebak, kulitnya pucat seperti marmer, namun matanya... matanya mengandung ribuan tahun kehampaan.“Aku adalah awal dari akhir. Penjaga dari sesuatu yang seharusnya tetap tersegel.”Drakhan maju satu langkah. “
Kabar tentang hancurnya salah satu retakan penyimpangan menyebar lebih cepat daripada yang mereka duga. Belum sehari setelah pertempuran di Kalindra, para perwakilan dari berbagai klan sihir, kerajaan penjaga, dan bahkan para pedagang sihir mulai berdatangan ke reruntuhan hutan.Drakhan berdiri di ujung bukit, memandangi barisan tenda yang mulai berdiri di sekitar lembah. Bendera-bendera dengan simbol sihir kuno berkibar, dan suara mantra pelindung terdengar samar di angin.“Mereka datang untuk menonton atau menuntut?” tanya Irelia sambil memeriksa ujung belati yang masih berlumur darah kering dari malam sebelumnya.“Kalau kita sial, keduanya,” jawab Sereth, berdiri di samping Liora yang masih tampak pucat.Liora sendiri tidak banyak bicara sejak segel itu ditutup. Mantra jangkar yang ia pakai terlalu kuat untuk ditanggung oleh satu tubuh manusia biasa. Bahkan liontin pusaka keluarga yang seharusnya menstabilkan sihirnya kini telah hancur berkepin
Tiga hari setelah forum Eltherion, dunia bergerak cepat. Para perwakilan dari kerajaan dan klan mulai menetap di wilayah netral, membangun fondasi pertama untuk Dewan Penjaga Dunia. Namun, di balik semua kesibukan itu, Liora dan kelompok kecilnya mempersiapkan sesuatu yang tak bisa diumumkan secara terbuka.Regu Penjaga Bayangan.Empat orang: Liora, Sereth, Drakhan, dan Irelia—dipilih bukan karena mereka kuat, tapi karena mereka pernah berdiri di sisi batas antara kehancuran dan harapan. Mereka tahu seperti apa kegelapan itu. Dan mereka tahu, belum semuanya tertutup.Di ruang bawah tanah reruntuhan Eltherion, mereka berkumpul di ruang sihir tua yang dulunya digunakan para penjaga mantra penjuru dunia. Dinding batu penuh dengan ukiran kuno yang berpendar samar dalam cahaya obor.“Aku sudah menemukan tiga lokasi retakan tipis antara dunia kita dan kehampaan,” ujar Sereth, membuka gulungan peta yang dibentangkan di atas meja bundar. “Yang paling berb