Share

Gagal Kabur

Penulis: Xavier Alatas
last update Terakhir Diperbarui: 2025-12-12 20:27:41

Malam itu di mansion Arcel sunyi, namun tegang seperti sedang menunggu badai pecah. Ara duduk di sisi tempat tidur besar yang terlalu mewah untuk disentuh, kedua lututnya tertekuk, matanya terus mengawasi pintu kamar yang terkunci.

“Aku harus keluar dari tempat gila ini.” gumamnya.

Ia menatap jendela besar. Tingginya dua lantai dari tanah. Bahaya. Tapi lebih baik daripada diam di sini bersama laki-laki yang mengklaim dirinya seperti barang pribadi.

Saat Ara berdiri dan membuka jendela perlahan, pintu kamar berbunyi.

Klik.

Ara membeku. Pintu terbuka, menampilkan sosok Arcel bersandar pada kusen dengan tangan terlipat.

“Rencana bagus,” ucap Arcel datar. “Kalau kamu punya sayap.”

Ara memutar badan. “Arcel! Keluar! Aku mau sendiri.”

Arcel mendekat pelan. “Kamu mau kabur lewat jendela?”

“Aku gak mau tinggal di sini!”

“Sayang…” Arcel menahan pinggir jendela dan menutupnya pelan. “Kaki kamu patah kalau lompat dari sini.”

“Aku lebih pilih patah daripada dikurung,” balas Ara tajam.

Arcel menarik napas panjang, melangkah mendekati Ara sampai perempuan itu harus mundur. “Dari tadi kamu bilang dikurung. Kamu lupa kalau di luar ada orang yang mau bunuh kamu?”

“Aku gak percaya! Semua itu cuma alasan kamu buat tahan aku!”

Arcel menatapnya lama tanpa berkedip. “Tadi pagi aku dapat laporan. Mereka sebut namamu. Lengkap. Ara Anastasya Atmaja.” Ia mendekat lagi. “Kalau aku bohong kamu udah mati barusan.”

Ara menelan ludah. “Tapi aku tetap mau pulang.”

“Tidak malam ini.” Arcel menyentuh dagunya. “Dan kayaknya tidak besok juga.”

Ara menepis tangannya. “Arcel, aku bukan milik kamu.”

Arcel tersenyum pelan. “Tapi aku ingin kamu jadi milik aku.”

“Aku gak mau!”

“Aku tahu.”

Ara mengembuskan napas panjang, frustrasi. “Kamu gila.”

“Tapi kamu tetap aman sama orang gila kayak aku,” jawab Arcel santai.

Ara memukul dada Arcel. “Jangan seenaknya! Aku mau pulang!”

“Tadi aja kamu bilang sendiri kamu gak mau dijual sama orangtua kamu.”

Ara tercekat. “Itu… itu beda…”

“Tidak. Itu alasan kamu tetap di sini.”

Ara memalingkan wajah. “Aku tetap mau pergi.”

Arcel meraih pergelangan tangannya. “Kalau kamu kabur, aku bawa kamu balik. Dengan cara apa pun.”

“Aku gak takut sama kamu lagi.”

“Kamu harusnya takut,” bisik Arcel.

Ara terdiam. Arcel menatapnya lembut tapi menekan.

“Ara. Dengarkan aku. Bukan aku saja yang berbahaya. Dunia aku juga.”

Ia bergerak ke arah pintu. “Tapi kalau kamu mau tetap coba kabur… aku gak larang.”

Ara mengerutkan kening. “Apa?”

Arcel membuka pintu kamar dan melangkah ke luar. “Silakan coba kabur, Ara. Aku cuma mau lihat sampai mana kamu bisa pergi.”

SISI LAIN DI RUMAH KELUARGA ATMAJA

Di ruang tamu sederhana keluarga Ara, ketegangan menumpuk seperti asap tebal.

Mama Anes menatap suaminya yang mondar-mandir gelisah.

“Mas… gimana ini… apa bener kita jual Ara? Anak kita sendiri ke mafia itu?” Suaranya pecah.

Papa Dandi mengusap wajah. “Biarkan saja, Nes. Sepertinya lelaki itu memang bisa jaga Ara.”

“Mas! Dia mafia! Mafia, Mas!”

“Tapi lelaki itu lebih bisa lindungi Ara daripada pria tua bangkotan itu!”

“Mas… aku takut…”

“Bukan cuma kamu yang takut, tapi mau gimana lagi kita harus korbanin Ara. Kalau enggak kita yang bakal mati.”

Suasana makin panas saat pintu depan dibanting terbuka. Aldo masuk dengan wajah masam. “Ara kemana?”

Papa Dandi langsung menatap sinis. “Aldo kamu dari mana hah? Jangan buat onar terus! Kamu tuh ya anak gak tau diri!”

Aldo mendengus. “Emang gini ya kalau anak tiri? Selalu gak bener di mata kalian berdua.”

Mama Anes memegang dadanya. “Jangan gitu, dengarkan dulu kamu, Al. Kamu udah besar kamu cari kerja ya. Kantor Papa lagi gak baik-baik aja.”

Aldo mendelik. “Itu urusan kalian. Bukan urusan aku.”

“ALDO!” teriak Papa Dandi.

Aldo tidak menoleh. Ia pergi begitu saja, membanting pintu kamar.

Mama Anes jatuh terduduk. “Ya Tuhan… keluarga kita…”

Papa Dandi memeluk kepala. “Aku pusing, Nes semua kacau.”

KEMBALI KE MANSION ARCEL

Akhirnya Arcel memutuskan kembali masuk kamar. Ara masih di sana, berdiri tak bergerak.

“Kenapa kamu gak kabur?” tanya Arcel.

Ara menatapnya tajam. “Karena pintu dijaga bodyguard!”

Arcel mengangkat alis. “Aku bilang coba, bukan gampang.”

Ara menghela napas cepat. “Kamu beneran mau tahan aku di sini?”

“Bukan tahan,” Arcel melangkah mendekatinya. “Menjaga.”

“Aku gak perlu dijaga!”

“Kamu perlu.”

Arcel berhenti tepat di depan wajah Ara. “Dan aku tetap ingin kamu ada di sini.”

“Aku bukan milik kamu, Arcel!”

Arcel menyentuh dagunya. “Tapi aku sudah bayar hutang keluargamu.”

Ara tersentak. “Jadi aku hutang sama kamu?”

“Tidak.” Arcel menggeleng pelan. “Tapi aku yang nolong kamu.”

“Aku gak minta.”

“Kalau aku belum turun tangan, kamu sudah dinikahkan dengan lelaki tua itu.”

Ara menggigit bibir. “Arcel jangan bahas itu.”

Arcel menatapnya, sedikit melunak. “Ara. Kamu dipaksa. Kamu disudutkan. Kamu gak punya tempat lari.”

“Tapi bukan berarti aku mau ditahan kamu.”

Arcel menundukkan wajah, suara rendah dan dingin. “Tetap saja kamu aman di sini.”

Ara memutar mata. “Kamu cuma mau kontrol aku.”

“Aku mau kamu hidup.”

Ara terdiam. Mendadak diam.

Arcel melanjutkan. “Dan kalau kamu tetap pilih kabur aku akan cari kamu.”

Ara menatapnya. “Untuk apa?”

Arcel tersenyum setengah. “Untuk bawa kamu pulang.”

“Ini bukan rumahku!”

Arcel mendekat. “Tapi ini tempat yang paling aman.”

Ara menahan napas saat Arcel mendekat begitu dekat.

“Dan kamu, Ara…” suara Arcel turun menjadi lirih.

“Entah kamu sadar atau tidak kamu selalu lari ke arahku.”

Ara membalas dengan suara serak. “Itu cuma kebetulan.”

“Tidak.” Arcel menggeleng. “Itu naluri kamu.”

“Arcel, aku benci kamu.”

“Benci dulu.” Arcel menyentuh pipinya pelan. “Nanti juga bakal langsung cinta. Aku ramal gak sampai satu bulan kamu indah cinta sama aku. Gak percaya, hm? kita lihat aja baby girl.”

Ara menepis tangannya keras. “Jangan sentuh aku!”

Arcel mengejar wajahnya, menunduk cukup dekat untuk membuat jantung Ara salah ritme.

“Kamu semakin cantik kalau marah.” Ara menahan napas.

Arcel tersenyum tipis. “Sudah… tidur.”

“Aku gak mau tidur di sini.”

“Kamu capek.”

“Aku mau pulang.”

“Kita bahas lagi besok.”

“BESOK AKU KABUR!”

Arcel tertawa pelan. “Oke. Kaburlah. Aku tunggu kamu gagal.”

Ara mengerang frustasi. “Kenapa sih kamu gini banget?!”

Arcel menyentuh pintu kamar, hendak menutupnya. Sebelum tertutup sepenuhnya, ia berkata pelan. “Aku gini karena kamu penting.”

Pintu tertutup.

KLIK.

Terkunci.

Ara langsung menatap pintu dengan napas yang naik turun. “Aku akan kabur besok!” gumamnya.

Di luar pintu, Arcel bersandar. Ia tersenyum tipis. “Kita lihat, sayang sampai mana nyali kamu. Tak tau aja keluar dari sini bakal jadi santapan singa di depan mansion ini.” ujarnya sambil tersenyum miring.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Satu Milyar Untuk Semalam   Di Kurung

    Kegelapan menelan lorong itu seperti pandangan Ara sekarang ke Arcel. Jeritan Ara teredam, patah, lalu lenyap. Lampu mati bukan karena rusak, Arcel yang memerintahkannya. Ia ingin Ara berhenti melihat jalan keluar. Ia ingin Ara merasakan apa artinya berada di bawah kendali penuh. Saat lampu kembali menyala, Ara sudah terduduk di lantai, punggungnya menempel dinding dingin. Napasnya masih terisak, bahunya bergetar. Arcel berdiri beberapa langkah darinya. Tidak menyentuh. Tidak mendekat. Diamnya jauh lebih menekan daripada cengkeraman. “Bangun,” ucapnya tenang. Ara menggeleng, keras kepala yang tersisa hanya itu. Matanya sembab, merah, penuh luka yang tidak terlihat. “Gue capek,” bisiknya. “Gue… udah gak punya apa-apa.” Arcel melangkah satu langkah. Lalu berhenti. “Kamu punya aku,” katanya datar. Kalimat itu bukan penawaran tapi ketetapan. Ara tertawa lirih, getir. “Itu bukan hal yang bikin gue tenang saat ini, lo yang bikin gue kayak gini Ar, percuma gue mulai percaya sama lo ta

  • Satu Milyar Untuk Semalam   Obsesi Mematikan

    “LO BUKAN MANUS….EMHHH!”Suara Ara tercekik ketika tangan Arcel mencengkeram dagunya, memaksa wajahnya mendongak. Napas mereka bertabrakan di udara dingin ruang bawah tanah itu.“Ulangi,” ucap Arcel pelan.Nada itu jauh lebih mengerikan daripada teriakan.Ara mencakar pergelangan tangannya, tapi Arcel tidak bergeming. Tangannya seperti besi, kuat, stabil, dingin.“Lepasin gue!” Ara berteriak, suaranya pecah. “Gue benci lo! Lo gila! Sakit!”Arcel menatapnya tanpa emosi. Matanya hitam, kosong, seolah semua kelembutan yang pernah Ara kenal telah dikubur hidup-hidup.“Benci aku,” katanya rendah. “Teriak ayo teriak lagi baby girl. Tapi jangan pernah sebut kalau aku ini bukan manusia.”Tangannya melepas dagu Ara dengan kasar. Tubuh Ara langsung melorot ke lantai, terengah-engah, dadanya naik turun cepat.“Lo… lo ngurung gue?” suara Ara bergetar. “Ini tempat apa, Arcel?!”Arcel melangkah lebih jauh ke dalam ruangan. Sepatunya menghantam lantai beton, suaranya menggema.“Ini tempat paling ama

  • Satu Milyar Untuk Semalam   Arcel Menggila

    DOR!Tembakan itu memecah keheningan. Bukan ke kepala. Bukan ke dada. Peluru itu menghantam lengan Papa Dandi.“AARGHH…..!” Darah menyembur deras. Tubuh pria paruh baya itu terhuyung, terlempar ke samping gerbang, jatuh menghantam lantai marmer dengan suara berat sebelum akhirnya terkapar tak bergerak.“A…ARCEL!” Suara Ara pecah. Paru-parunya seolah diremas. Dunia berhenti berputar. “NO… NO… JANGAN….!”Arcel menurunkan pistolnya dengan gerakan tenang. Terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja menembak ayah kandung wanita yang berdiri di sampingnya.Tatapan Ara gemetar, liar, penuh ketakutan yang belum pernah muncul sebelumnya.“ARCEL!” teriaknya lagi, nyaris histeris.Belum sempat Ara berlari ke arah tubuh ayahnya, tangan Arcel sudah mencengkeram lengannya kuat-kuat.“Masuk,” perintah Arcel dingin.Ara meronta. “Lepasin! Itu Papa gue!”Arcel tidak menjawab. Ia menyeret Ara masuk ke dalam mansion tanpa peduli tatapan anak buah yang membeku. Pintu besar ditutup keras di belakang mer

  • Satu Milyar Untuk Semalam   Dua Masalah Menyerang

    Ledakan itu terdengar bahkan sebelum alarm berbunyi. Dentuman keras mengguncang markas timur Arcel. Dinding beton bergetar, lampu gantung berayun liar, dan dalam hitungan detik asap hitam pekat menyembur keluar dari salah satu ruangan penyimpanan utama.“BOS!”Arcel sudah berdiri sebelum siapa pun sempat berteriak. Kursi terlempar ke belakang saat ia melangkah cepat menuju lorong. Bau mesiu dan logam terbakar langsung menyergap inderanya.Pintu baja ruangan logistik terbuka setengah. Api melahap segalanya di dalam.Seratus senjata hangus.Kotak-kotak kayu terbakar, peluru meledak kecil-kecil seperti hujan kembang api, rak besi roboh, dan sistem pendingin gagal total.Arcel berdiri di ambang pintu, rahangnya mengeras. Tangannya mengepal begitu kuat sampai buku jarinya memutih.“Siapa?!” tanyanya datar. Terlalu datar.Tak satu pun anak buah berani menjawab. Marco datang menyusul, napasnya berat. Ia menatap ruangan itu, lalu Arcel bosnya.“Ini bukan kecelakaan,” ujar Marco cepat. “Sistem

  • Satu Milyar Untuk Semalam   Kalah Sebelum Berperang

    Hujan tidak berhenti setelah keputusan itu diucapkan. Ia justru turun lebih deras, menghantam atap mansion Arcel seperti peringatan bahwa apa pun yang baru saja disepakati bukanlah awal yang tenang, melainkan deklarasi perang.Ara masih berada dalam pelukan Arcel ketika suara petir menyambar keras. Tangannya mencengkeram punggung Arcel, bukan karena takut pada hujan, melainkan karena berat dari pilihan yang baru saja ia ambil akhirnya menekan dadanya.Arcel tidak melepaskannya.Ia berdiri di sana, tubuhnya menjadi dinding, dagunya bertumpu di kepala Ara. Untuk sesaat, dunia di luar mansion Monika, ancaman, bahkan seolah berhenti ada.“Tarik napas,” bisiknya pelan. “Aku di sini.”Ara menutup mata, menarik napas panjang seperti yang diminta. Bau Arcel yang maskulin, dingin, dan terlalu familiar mengisi kekosongan hatinya. “Aku gak mau jadi alat,” ucap Ara lirih. “Aku mau tetap jadi diriku sendiri.”Arcel mengangguk tanpa ragu. “Dan kamu akan jadi itu. Versi dirimu yang gak perlu takut

  • Satu Milyar Untuk Semalam   Kita Menikah

    Hujan belum benar-benar reda ketika malam jatuh di atas mansion Arcel. Langit gelap seperti disayat-sayat kilat, seolah ikut menyimpan amarah yang belum menemukan jalan keluar.Ara duduk di balkon lantai dua, lututnya ditarik ke dada. Rambutnya basah setengah kering, sisa air hujan yang sempat membasahi teras tadi. Matanya menatap kosong ke taman luas yang kini gelap. Lampu-lampu kecil menyala, rapi, terlalu rapi. Seperti hidupnya sekarang teratur, aman, tapi tanpa ruang bernapas.Di dalam, mansion tidak pernah sesibuk ini.Pengawal mondar-mandir. Beberapa staf mondar-mandir membawa map hitam, koper besi, dan kotak kayu bersegel. Suara langkah kaki beradu dengan marmer, menciptakan gema yang menekan.Arcel berdiri di tengah ruang tamu, jasnya sudah dilepas, kemeja putihnya digulung sampai siku. Wajahnya keras. Mata hitam itu fokus, penuh perhitungan.“Pastikan semua beres malam ini,” ucapnya pada salah satu asistennya. “Aku gak mau ada yang kurang.”“As you wish, Bos.”Mama Nita turun

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status