MasukSuara dentuman dari luar mansion membuat Ara tersentak. Jantungnya hampir berhenti. Arcel berdiri tepat di depannya, tubuh laki laki itu menjadi tameng hidup yang tak tergoyahkan.
“Jangan bergerak,” bisik Arcel pelan, namun nadanya berubah menjadi baja. Ara menggenggam bagian belakang baju Arcel tanpa sadar. Tangannya gemetar. “Arcel itu apa?!” “Musuhku,” jawab Arcel singkat. “Dan sekarang musuh itu juga datang untukmu.” Sebelum Ara sempat bertanya lebih jauh, dua bodyguard berlari masuk. “Tuan! Ada dua orang di gerbang utama. Mereka mengaku orangtua Ara.” Dunia Ara seolah berhenti. “Apa?” Ara memekik. “Mama? Papa?! Mereka di sini?” Arcel menoleh, tatapannya menajam. “Kamu yakin mereka datang untuk kamu atau mereka datang karena alasan lain?” Ara memalingkan wajah. Tenggorokannya tercekat. “Aku… aku gak tahu. Kenapa mereka bisa tau kalau aku di sini?” Arcel menatapnya lama sebelum akhirnya mengangguk kepada bodyguard. “Bawa mereka masuk ke ruang pertemuan.” “Jangan!” Ara berdiri cepat. “Arcel, jangan bawa mereka ke sini! Biar aku keluar!” “Aku tidak bilang kamu boleh keluar.” Arcel menatapnya tajam. “Kamu tetap di kamar.” Ara menatapnya seolah terbakar. “Arcel, itu orangtuaku!” “Dan musuhku juga tahu itu orangtuamu.” Arcel menunduk sedikit, menatap mata Ara tanpa berkedip. “Kamu pikir aku akan membiarkan mereka membawa kamu keluar saat aku tahu ada ancaman di luar yang menyebut namamu?” Ara meremas roknya, bingung, takut, dan marah dalam satu waktu. “Lepasin aku! Aku mau ketemu mereka!” Ara mencoba mendorong dada Arcel, namun tangan laki itu menangkap pergelangan tangannya dengan mudah. “Ara.” Hanya satu kata, tapi cukup membuat tubuh Ara berhenti bergerak. “Aku akan bawa kamu ke sana. Tapi kamu tetap di belakang aku. Satu langkah pun kamu menjauh, aku gendong kamu kembali ke kamar. Mengerti?” Ara menggigit bibir. Jengkel tapi ia tahu Arcel tidak main-main. “Oke.” Arcel melepas tangannya pelan, namun tetap meninggalkan sentuhan kepemilikan yang terasa jelas di kulit Ara. Ruang Pertemuan Pintu besar dari kayu mahal terbuka. Ara melihat kedua orangtuanya berdiri canggung di tengah ruangan, tampak kaget dengan kemewahan mansion Arcel. “Mama…” suara Ara pecah. Mamanya langsung meneteskan air mata. “Ara! Kamu di mana saja?! Mama hampir gila nyariin kamu!” Papanya menunjuk Ara dengan telunjuk gemetar. “Kamu ikut kami sekarang juga! Kamu bikin masalah banyak! Orang-orang itu nyari kamu sampai depan rumah!” Ara menunduk. “Aku… aku gak bisa pulang.” “APA?!” Kedua orangtuanya berseru bersamaan. Papanya maju, tapi Arcel menghalanginya sebelum tangan pria itu menyentuh Ara. “Cukup dekatnya.” Papa Ara memelototkan mata. “Kamu siapa?!” Arcel tersenyum tipis. “Yang menyelamatkan nyawa putri anda tadi.” Mama Ara tampak gemetar melihat tatapan dingin Arcel. Aura bahaya Arcel terlalu kuat untuk ditutupi. “Pah… Mah…” Ara menarik napas panjang. “Aku gak bisa pulang karena kalian mau jodohin aku sama pria tua itu!” Mama Ara menunduk. Papanya mengepalkan tangan. “Ara, kami gak punya pilihan. Hutang kita banyak dan cuma kamu yang bisa lunasin semua ini.” “Mah, itu bukan alasan jual aku!” Ara menahan air mata amarah. “Pria itu umurnya dua kali lipat dari Papa!” Papa Ara memekik frustasi. “Kami diancam! Kalau kita gak setuju, rumah kita disita! Kamu mau kita hidup di jalan?!” Ara menutup wajah dengan kedua tangan. “Aku… aku bukan barang… Aku bukan solusi hutang!” Ruangan hening. Arcel menatap keluarga itu lama. Sangat lama. Lalu ia berbicara tanpa ekspresi. “Berapa hutang kalian?” Papa Ara menatapnya waspada. “Apa urusanmu?” Arcel memasukkan satu tangan ke saku celana. “Urusanku adalah Ara tidak akan menikah dengan pria tua mana pun. Dan kalian tidak akan menyentuh dia tanpa izin dariku.” Mama Ara gemetar. “Tapi… hutangnya…” “Berapa?” ulang Arcel. Papa Ara akhirnya bergumam lirih. “S….sekitar satu M…milyar…” Tanpa ragu, Arcel mengeluarkan ponsel. “Transfer satu milyar ke keluarga ini sekarang.” Para bodyguard langsung bergerak. Dalam waktu kurang dari dua menit, bunyi “transfer berhasil” terdengar. Mata Papa Ara melebar. “Tuan… ini… terlalu banyak…” Arcel menatapnya dingin tanpa sisa empati. “Itu bukan sedekah. Itu pembayaran.” Ara mengerutkan kening. “Pembayaran apa?” Arcel berjalan mendekatinya, menunduk, wajahnya hanya sejengkal dari wajah Ara. “Kamu.” Ara tersentak. “Arcel!” Ia berdiri tegak, lalu menoleh ke orangtuanya. “Satu milyar dan Ara tidak akan kalian bawa pergi dari mansion ini.” Suaranya dalam, berbahaya. “Mulai hari ini, Ara… bersamaku.” Papa Ara memucat. “Apa maksudmu? Ara bukan barang!” “Benar,” kata Arcel tenang. “Makanya aku bayar bukan untuk membeli dia tapi untuk menghapus beban yang membuat kalian memaksanya menikah dengan pria lain.” Arcel memutar kepala sedikit, tatapannya menusuk. “Sekarang, tidak ada alasan bagi kalian mengambil Ara dari sini.” Mamanya memeluk tasnya erat. “Tapi Ara anak kami.” Arcel mengangguk pelan. “Dan aku yang menjaganya. Lebih baik daripada pria mana pun yang kalian pilihkan.” Ara menatap Arcel tajam. “Aku gak pernah bilang mau tinggal sama kamu!” Arcel mendekat, suaranya rendah seperti ancaman yang dibungkus kelembutan. “Kamu gak mau pulang, kan? Kamu bilang sendiri tadi.” Ara terdiam. Ia memang bilang begitu. Karena ia takut dijual oleh orangtuanya. Arcel menatap kedua orangtua Ara. “Saya hormat pada kalian sebagai orangtuana, tapi Ara tetap tinggal di sini.” Papa Ara melangkah maju. “Dan kalau kami menolak?” Arcel tersenyum tipis. “Tuan, Anda sudah menerima uang saya.” Papa Ara tercekat. Nafasnya tersengal. “Dan saya tidak meminta kembali.” Mama Ara mulai menangis. Arcel memegang bahu Ara, menariknya sedikit ke belakang tubuhnya. Seolah menegaskan kepemilikannya pada seluruh ruangan. “Ara milikku,” katanya tegas. “Dan kalian sudah tidak perlu mengkhawatirkannya lagi.” Mamanya berbisik pelan sambil menangis. “Ara tetap hati-hati dan maafin kami nak.” Ara memejam, hatinya terasa remuk. “Mama…” Papanya menatapnya dengan sendu yang lelah. “Kalau kamu bahagia Papa gak akan paksa kamu pulang nak. Yang penting hutang kita lunas dan Papa gak di kejar kejar merek lagi.” Sejak kapan semuanya jadi serumit ini? Arcel mencondongkan tubuh, berbisik di telinga Ara. “Sekarang kamu hanya punya satu rumah, Ara.” Ara menggertakkan rahang. “Rumah? Ini penjara Ar!” Arcel tersenyum. “Kalau penjara ini membuatmu aman aku tidak keberatan sayang.” Ara ingin membentaknya, tetapi Arcel sudah terlebih dulu menutup ucapan terakhirnya. “Aku bilang sejak awal… kamu gak akan bisa lepas dari aku Ara sayang.” Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Ara sadar. Arcel tidak hanya menyelamatkannya. Arcel sedang mencoba memilikinya lewat masalah ini.Kegelapan menelan lorong itu seperti pandangan Ara sekarang ke Arcel. Jeritan Ara teredam, patah, lalu lenyap. Lampu mati bukan karena rusak, Arcel yang memerintahkannya. Ia ingin Ara berhenti melihat jalan keluar. Ia ingin Ara merasakan apa artinya berada di bawah kendali penuh. Saat lampu kembali menyala, Ara sudah terduduk di lantai, punggungnya menempel dinding dingin. Napasnya masih terisak, bahunya bergetar. Arcel berdiri beberapa langkah darinya. Tidak menyentuh. Tidak mendekat. Diamnya jauh lebih menekan daripada cengkeraman. “Bangun,” ucapnya tenang. Ara menggeleng, keras kepala yang tersisa hanya itu. Matanya sembab, merah, penuh luka yang tidak terlihat. “Gue capek,” bisiknya. “Gue… udah gak punya apa-apa.” Arcel melangkah satu langkah. Lalu berhenti. “Kamu punya aku,” katanya datar. Kalimat itu bukan penawaran tapi ketetapan. Ara tertawa lirih, getir. “Itu bukan hal yang bikin gue tenang saat ini, lo yang bikin gue kayak gini Ar, percuma gue mulai percaya sama lo ta
“LO BUKAN MANUS….EMHHH!”Suara Ara tercekik ketika tangan Arcel mencengkeram dagunya, memaksa wajahnya mendongak. Napas mereka bertabrakan di udara dingin ruang bawah tanah itu.“Ulangi,” ucap Arcel pelan.Nada itu jauh lebih mengerikan daripada teriakan.Ara mencakar pergelangan tangannya, tapi Arcel tidak bergeming. Tangannya seperti besi, kuat, stabil, dingin.“Lepasin gue!” Ara berteriak, suaranya pecah. “Gue benci lo! Lo gila! Sakit!”Arcel menatapnya tanpa emosi. Matanya hitam, kosong, seolah semua kelembutan yang pernah Ara kenal telah dikubur hidup-hidup.“Benci aku,” katanya rendah. “Teriak ayo teriak lagi baby girl. Tapi jangan pernah sebut kalau aku ini bukan manusia.”Tangannya melepas dagu Ara dengan kasar. Tubuh Ara langsung melorot ke lantai, terengah-engah, dadanya naik turun cepat.“Lo… lo ngurung gue?” suara Ara bergetar. “Ini tempat apa, Arcel?!”Arcel melangkah lebih jauh ke dalam ruangan. Sepatunya menghantam lantai beton, suaranya menggema.“Ini tempat paling ama
DOR!Tembakan itu memecah keheningan. Bukan ke kepala. Bukan ke dada. Peluru itu menghantam lengan Papa Dandi.“AARGHH…..!” Darah menyembur deras. Tubuh pria paruh baya itu terhuyung, terlempar ke samping gerbang, jatuh menghantam lantai marmer dengan suara berat sebelum akhirnya terkapar tak bergerak.“A…ARCEL!” Suara Ara pecah. Paru-parunya seolah diremas. Dunia berhenti berputar. “NO… NO… JANGAN….!”Arcel menurunkan pistolnya dengan gerakan tenang. Terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja menembak ayah kandung wanita yang berdiri di sampingnya.Tatapan Ara gemetar, liar, penuh ketakutan yang belum pernah muncul sebelumnya.“ARCEL!” teriaknya lagi, nyaris histeris.Belum sempat Ara berlari ke arah tubuh ayahnya, tangan Arcel sudah mencengkeram lengannya kuat-kuat.“Masuk,” perintah Arcel dingin.Ara meronta. “Lepasin! Itu Papa gue!”Arcel tidak menjawab. Ia menyeret Ara masuk ke dalam mansion tanpa peduli tatapan anak buah yang membeku. Pintu besar ditutup keras di belakang mer
Ledakan itu terdengar bahkan sebelum alarm berbunyi. Dentuman keras mengguncang markas timur Arcel. Dinding beton bergetar, lampu gantung berayun liar, dan dalam hitungan detik asap hitam pekat menyembur keluar dari salah satu ruangan penyimpanan utama.“BOS!”Arcel sudah berdiri sebelum siapa pun sempat berteriak. Kursi terlempar ke belakang saat ia melangkah cepat menuju lorong. Bau mesiu dan logam terbakar langsung menyergap inderanya.Pintu baja ruangan logistik terbuka setengah. Api melahap segalanya di dalam.Seratus senjata hangus.Kotak-kotak kayu terbakar, peluru meledak kecil-kecil seperti hujan kembang api, rak besi roboh, dan sistem pendingin gagal total.Arcel berdiri di ambang pintu, rahangnya mengeras. Tangannya mengepal begitu kuat sampai buku jarinya memutih.“Siapa?!” tanyanya datar. Terlalu datar.Tak satu pun anak buah berani menjawab. Marco datang menyusul, napasnya berat. Ia menatap ruangan itu, lalu Arcel bosnya.“Ini bukan kecelakaan,” ujar Marco cepat. “Sistem
Hujan tidak berhenti setelah keputusan itu diucapkan. Ia justru turun lebih deras, menghantam atap mansion Arcel seperti peringatan bahwa apa pun yang baru saja disepakati bukanlah awal yang tenang, melainkan deklarasi perang.Ara masih berada dalam pelukan Arcel ketika suara petir menyambar keras. Tangannya mencengkeram punggung Arcel, bukan karena takut pada hujan, melainkan karena berat dari pilihan yang baru saja ia ambil akhirnya menekan dadanya.Arcel tidak melepaskannya.Ia berdiri di sana, tubuhnya menjadi dinding, dagunya bertumpu di kepala Ara. Untuk sesaat, dunia di luar mansion Monika, ancaman, bahkan seolah berhenti ada.“Tarik napas,” bisiknya pelan. “Aku di sini.”Ara menutup mata, menarik napas panjang seperti yang diminta. Bau Arcel yang maskulin, dingin, dan terlalu familiar mengisi kekosongan hatinya. “Aku gak mau jadi alat,” ucap Ara lirih. “Aku mau tetap jadi diriku sendiri.”Arcel mengangguk tanpa ragu. “Dan kamu akan jadi itu. Versi dirimu yang gak perlu takut
Hujan belum benar-benar reda ketika malam jatuh di atas mansion Arcel. Langit gelap seperti disayat-sayat kilat, seolah ikut menyimpan amarah yang belum menemukan jalan keluar.Ara duduk di balkon lantai dua, lututnya ditarik ke dada. Rambutnya basah setengah kering, sisa air hujan yang sempat membasahi teras tadi. Matanya menatap kosong ke taman luas yang kini gelap. Lampu-lampu kecil menyala, rapi, terlalu rapi. Seperti hidupnya sekarang teratur, aman, tapi tanpa ruang bernapas.Di dalam, mansion tidak pernah sesibuk ini.Pengawal mondar-mandir. Beberapa staf mondar-mandir membawa map hitam, koper besi, dan kotak kayu bersegel. Suara langkah kaki beradu dengan marmer, menciptakan gema yang menekan.Arcel berdiri di tengah ruang tamu, jasnya sudah dilepas, kemeja putihnya digulung sampai siku. Wajahnya keras. Mata hitam itu fokus, penuh perhitungan.“Pastikan semua beres malam ini,” ucapnya pada salah satu asistennya. “Aku gak mau ada yang kurang.”“As you wish, Bos.”Mama Nita turun







