LOGINAra tidak langsung merasakan lega. Tanah terbuka di hadapannya terasa asing, seolah dunia ini bukan miliknya lagi. Langit lebih luas, tapi justru itu yang membuat dadanya semakin sesak. Tidak ada pepohonan yang melindungi. Tidak ada bayangan tempat bersembunyi. Tidak ada alasan untuk berhenti.Ia berdiri beberapa detik, memaksa kakinya diam. Hutan di belakangnya sunyi. Terlalu sunyi. Tidak ada langkah Arcel. Tidak ada suara yang memanggil namanya. Tidak ada apa-apa.Dan justru itulah yang menyakitkan.Ara mengusap wajahnya kasar, lalu melangkah lagi. Kali ini tanpa ragu. Jalur itu mengarah ke dataran rendah, tanahnya lebih keras, bekas roda kendaraan semakin jelas. Dunia manusia. Dunia yang seharusnya aman.“Gue keluar,” katanya pada dirinya sendiri.Gue beneran keluar.” tapi hatinya tidak ikut.Di batas pepohonan, Arcel masih berdiri. Tubuhnya kaku, seperti patung yang ditinggalkan waktu. Angin menggerakkan dedaunan di sekitarnya, tapi tidak ada yang menyentuhnya.Marco mendekat pela
Ara tidak berhenti sampai napasnya benar-benar kacau. Langkahnya cepat, terlalu cepat untuk medan hutan yang tidak bersahabat. Ranting-ranting kecil mencakar betisnya. Tanah licin hampir membuatnya terpeleset dua kali. Tapi ia tidak peduli. Yang ia pedulikan hanya satu hal menjauh sebelum pikirannya berubah. Namun sejauh apa pun ia melangkah, satu nama terus mengikuti di kepalanya.Arcel.Ara lalu berhenti mendadak, terpaksa bersandar ke batang pohon. Dadanya naik turun tajam. Ia menutup mata, menekan kening ke kulit kayu yang dingin.“Udah,” katanya pada dirinya sendiri. “Udah cukup. GUE BISA GILA LAMA LAMA AARGHH…!” Tapi tubuhnya tidak patuh. Tangannya gemetar saat meraih botol minum. Air terasa pahit di lidah. Ia menelan paksa, seolah cairan itu bisa menenggelamkan rasa yang terlalu penuh di dadanya. Tidak berhasil.“ARCEL KENAPA LO SELALU ADA DI OTAK DAN PIKIRAN GUE? GUE CAPEK! MONIKA MATI KARNA LO! GUE TAKUT, GUE TAKUT KALAU GUE TARGET SELANJUTNYA! GUE HARUS APA ARCEL? GUE CIN
Ara akhirnya berhenti saat sungai itu melebar dan arusnya melambat. Air mengalir tenang, memantulkan cahaya sore yang pucat. Tidak ada hujan. Tidak ada badai. Hanya suara air yang konsisten, seperti detak jam yang tidak peduli pada siapa pun.Ia duduk di atas batu datar, melepaskan carrier dari punggungnya dengan gerakan pelan. Tubuhnya terasa berat, bukan karena luka, tapi karena kelelahan yang merayap dari dalam. Ara menghela napas panjang, lalu satu lagi. Tangannya masih sedikit gemetar.“Sampai sini gue masih aman. Tenang Ara,” gumamnya. Bukan untuk meyakinkan dunia, tapi dirinya sendiri.Ia mengeluarkan logistik yang tersisa. Sedikit beras instan. Kaleng kecil. Kompor lipat. Tidak banyak. Tapi cukup untuk satu malam.Api kecil menyala. Hangatnya menyentuh wajah Ara. Untuk pertama kalinya sejak pagi, ia merasa bisa bernapas sedikit lebih dalam.Namun ketenangan itu rapuh.Setiap suara membuatnya menoleh. Setiap bayangan di air terasa seperti gerakan. Ia tahu Arcel tidak akan datan
Ara tahu sejak detik pertama suara itu muncul ini bukan lagi soal insting. Ini tentang waktu yang habis.Ia berdiri di dalam pondok tua itu, punggung menempel pada dinding kayu yang lembap. Tangannya menggenggam pisau terlalu erat sampai jari-jarinya memutih. Nafasnya terengah, tidak rapi, tidak bisa dikendalikan sepenuhnya.Di luar, langkah kaki berhenti. Sunyi. Sunyi yang terlalu sadar akan dirinya sendiri.“Keluar, Ara sayang.”Suara itu. Rendah. Tenang. Terlalu akrab.Ara menutup mata sesaat. Dadanya terasa sesak, bukan hanya oleh takut, tapi oleh sesuatu yang lebih berbahaya kerinduan yang datang tanpa izin.“Jangan panggil gue gitu,” katanya akhirnya, suaranya serak tapi tegas.Arcel tertawa kecil di luar. Bukan tawa keras. Lebih seperti desahan yang dibungkus senyum.“Kamu masih benci kalau aku manggil kamu dengan nama itu,” katanya. “Padahal dulu,”“Jangan,” potong Ara cepat. “Jangan bawa masa lalu ke sini.”Hening sebentar.Lalu suara langkah mendekat. Tidak terburu-buru. Seo
Malam turun perlahan, tanpa dramatik. Tidak ada petir. Tidak ada hujan. Hanya dingin yang makin terasa dan cahaya senja yang memudar menjadi biru keabu-abuan. Ara berjalan menyusuri tepi sungai kecil itu lebih lama dari yang ia rencanakan. Kakinya mulai terasa berat, bukan hanya oleh jarak, tapi oleh kelelahan yang menumpuk sejak semalam.Ia berhenti saat menemukan tanah yang relatif datar. Tidak sempurna. Tidak aman sepenuhnya. Tapi cukup.Ara menurunkan carrier, duduk di atasnya sebentar, membiarkan tubuhnya berhenti bergerak. Nafasnya berat. Dadanya naik turun dengan ritme yang tidak stabil. Tangannya gemetar sedikit saat ia membuka botol air yang hanya tinggal setengah itu. “Cukup,” gumamnya. “Untuk malam ini.”Ia mendirikan tenda kecil, gerakannya otomatis. Tangannya tahu apa yang harus dilakukan, meski pikirannya berkabut. Saat kain tenda akhirnya berdiri, Ara masuk, menutup resleting, dan untuk pertama kalinya sejak ia meninggalkan mansion, ia merasa tersembunyi.Perasaan itu
Fajar datang tanpa suara. Tidak ada matahari yang langsung muncul di puncak. Yang ada hanyalah perubahan warna hitam berubah abu-abu, lalu abu-abu pucat yang dingin. Kabut masih tebal, menggantung rendah, seperti selimut basah yang enggan pergi.Ara terbangun perlahan. Tubuhnya kaku. Lehernya pegal. Jari-jarinya mati rasa. Api unggun sudah lama padam, menyisakan lingkaran abu dan arang hitam yang dingin. Nafasnya keluar pendek-pendek saat ia duduk, menarik jaket lebih rapat. Ia masih hidup. Kesadaran itu datang lebih dulu daripada rasa sakit.Ara mengusap wajahnya, menekan kelopak mata yang perih. Tidurnya dangkal, dipenuhi mimpi patah bayangan tangan berdarah, suara tawa Arcel yang menggema terlalu dekat, dan wajah Monika yang diam menatap tanpa kelopak.Ia menelan ludah. “Masih pagi,” gumamnya pelan, melihat jam di ponsel. Layarnya menyala sebentar, lalu kembali menampilkan tulisan yang sama seperti semalam.No Signal.Entah kenapa, itu membuatnya sedikit lega. Ara berdiri. Kakinya







