“Aku mau menikah dengan Jessica.”
Moses akhirnya mengatakan keinginannya yang terpendam. Dia sudah merencanakan semuanya beberapa bulan yang lalu, tapi dia ingin Sandra menjadi yang pertama tau. Bahkan Jessica sendiri belum tau rencananya.
Hari ini Sandra memakai blazer hitam berbahan tweed dan kemeja sutra berwarna putih yang kelihatan besar untuk badannya serta rok kantor tidak ketat dengan panjang selutut. Rambut hitamnya dicepol keatas, sangat rapi tanpa cela. Wajahnya datar saja bahkan tanpa ekspresi setelah mendengar pernyataan Moses.
Istri lelaki lainnya pasti sudah menangis, menjerit, memukul atau mencakar suaminya yang tanpa angin tanpa hujan, tiba-tiba minta cerai. Tapi tidak dengan istri Moses.
‘Sial! Aku tidak tau harus bahagia atau miris mendapatkan istri seperti Sandra.’
“Jessica, wanita yang kamu cintai itu? Bukankah dia sudah menikah?” tanya Sandra.
Moses mengangguk, sedikit terkejut karena istrinya masih ingat dengan nama itu. Nama yang begitu dipuja-puja Moses.
“Suaminya telah meninggal 6 bulan yang lalu karena serangan jantung. Maaf aku tidak memberitahumu. Jessica sekarang seorang janda dengan anak perempuan yang baru berumur 4 tahun. Kamu tau kan bagaimana susahnya menjadi seorang ibu tanpa pekerjaan? Jessica selama ini hanyalah seorang ibu rumah tangga."
“Apakah dia sudah tau?” Sandra mengaduk jus dengan sedotan.
“Belum, aku ingin memberitahumu terlebih dahulu. Kalau kamu setuju kita bercerai baru aku akan bicara dengan Jessica. Aku tidak ingin memberinya harapan palsu."
Jessica sudah banyak menderita karena pernikahannya dengan Sandra. Mereka berdua sama-sama menderita karena dipisahkan oleh takdir.
Saat Sandra tidak mengucapkan sepatah kata pun, Moses takut jika istrinya tidak setuju. Selama ini dia berpikir Sandra pasti tidak akan menentang. Dia tau Sandra bukan tipe egois, bahkan apa yang Moses mau hampir semuanya terpenuhi.
Moses hendak mengeluarkan jurus rayuan, ketika Sandra berkata, “Baiklah, kalau itu memang keinginanmu aku tidak dapat menentang. Tapi aku mau sesuatu darimu, Moses.”
‘Hah? segampang itu?’
Moses menenangkan hatinya yang girang. Hal pertama yang ingin dia lakukan adalah lompat dari kursi dan memeluk istrinya yang baik hati itu, bahkan jika perlu dia akan bersujud syukur di kakinya.
“Kamu mau apa, Sandra? Aku pasti akan mengabulkannya.” Moses tersenyum lega.
Sandra tidak pernah meminta apa pun dari Moses, jadi ia berpikir bahwa kali ini yang diminta Sandra pastilah sangat penting. Istrinya itu kaya raya, tidak kekurangan sesuatu pun, ia tidak pernah merengek minta dibelikan barang. Uang jajan dari Moses saja tidak tersentuh.
‘Mungkin dia juga tidak butuh aku jadi suaminya,’ batin Moses.
Tanpa sadar, ia memegang tangan kecil dan lembut milik istrinya yang terkepal di atas meja. Sandra melihat sekeliling restoran lagi dan membetulkan kacamata besarnya yang melorot.
Tangan Moses gatal untuk mencampakkan kacamata sialan itu dari wajah istrinya.
“Jangan disini. B-besok kamu ada waktu?” Sandra menarik tangan yang dipegang Moses.
“Bisa, aku akan melowongkan sedikit waktu. Bagaimana kalau sambil makan siang?” tawar Moses.
“Ehmm.. Tidak bisa aku sudah janji akan makan siang dengan beberapa anggota tim. Sesudah makan siang?”
Istrinya itu memang seorang business woman, jadi Moses maklum kalau dia mementingkan pekerjaan. Moses sendiri adalah orang yang pekerja keras.
“Deal. Besok sesudah makan siang ke kantorku ya.”
Moses melemparkan senyuman puas ke istrinya. Segampang itu dia mendapatkan restu tanpa harus menerima pukulan atau teriakan. Sandra membalas dengan senyuman kecil dan meneguk jus strawberry-nya.
***
Jessica menawarkan Moses untuk makan siang di rumah kontrakannya. Ini kedua kalinya mereka bertemu. Sebelumnya mereka sudah bertemu di sebuah kafe dan hanya berbincang ringan, berbagi tentang kesibukan mereka sekarang.
Sedikit tegang, Moses duduk di sofa yang tidak terlalu empuk. Ruang tamu itu cukup kecil, dan dapur langsung kelihatan dari pintu depan. Rumah kontrakan ini sangat hangat dan intim, tidak seperti rumahnya yang besar dan elegan namun hampa.
Suara lembut Jessica terdengar. “Sebentar lagi selesai, Mos.”
Moses berjalan mendekatinya ke dapur dan memperhatikan bagian belakang Jessica. Wanita yang dia cintai itu masih memiliki badan yang bagus walaupun sudah pernah melahirkan. Tubuhnya tinggi seperti model, gerakannya gemulai, dia masak dengan cekatan. Sebuah apron polkadot melingkar di pinggangnya.
Mata Moses turun ke bawah, melihat bagian tubuhnya yang molek itu. Dia jadi penasaran bagaimana bentuk tubuh istrinya.
‘Damn! Kenapa jadi kepikiran Sandra sih?’ Moses menggelengkan kepalanya.
“Ok, sebentar lagi selesai. Kamu bisa duduk dulu.” Jessica mematikan kompornya dan memindahkan lauk ke piring.
Dengan patuh, Moses duduk di meja makan yang kecil, hanya cukup untuk empat orang. Dua jenis lauk telah terhidang di atas meja dan satu ceret sirup segar. Jessica datang dan menyajikan lauk baru itu.
“Lihat, aku masak makanan kesukaanmu, jamur teriyaki.”
Moses sudah tau saat mencium aroma wangi makanan kesukaannya. Rasanya sangat menyenangkan ada istri yang jago masak.
“Aku jadi rindu masakan mama,” ucap Moses dengan nada sendu.
“Please jangan bandingin masakanku dengan masakan Nyonya Bramasta, ya. Aku pasti kalah.” Jessica tertawa kecil, lalu menyodorkan sepiring nasi untuk Moses.
“Makasih, Jess. Kamu udah repot-repot masak untukku. Ini sangat enak, membuatku jadi teringat dengan masakan rumahan.” Moses menyantap dengan lahap.
“Oh ya, apa istrimu tidak pernah masak untukmu, Moses?” tanya Jessica dengan nada sedikit mengejek.
“Sandra terlalu sibuk kerja dan aku juga tidak mau dia masuk dapur." Moses terdengar seperti membela istrinya.
“Oh... Dia sungguh beruntung bisa menjadi istrimu," ucap Jessica lirih.
Moses menatap ke dinding rumahnya, ada beberapa foto terpajang disana. Foto anak Jessica dan foto pernikahannya dengan Andrew Jonas.
Jessica tertunduk dan air matanya mengalir. “Apakah kamu mencintai istrimu?”
"Jangan menangis, Jess. Kamu tau kan aku hanya mencintaimu seorang. Aku tidak mungkin mencintai Sandra, dan dia juga tau itu."
Dia mengangkat kepalanya dengan pipi yang masih basah. "Istrimu tau kalau kamu mencintaiku?"
"Ya, dia sudah tau sejak awal." Moses beranjak dan berlutut di lantai, menggenggam tangan Jessica yang bergetar.
“Moses!” Jessica menariknya berdiri dan langsung memeluk dirinya.
“Aku sudah sangat rindu pelukanmu," bisik Moses sambil meraba punggungnya.
Jessica melepas pelukannya namun dia tidak menjauh. Moses mengenal mata sayu wanita itu yang hendak menciumnya. “Tunggu, anakmu..."
Jessica meraba dada bidangnya, “Kylie sedang tidur dikamarnya. Aku juga sudah rindu kamu, Moses. Bertahun-tahun aku mencoba melupakanmu, kamu tidak tau betapa sengsaranya hatiku.”
Moses hampir terhanyut dengan kata-kata manis dan tubuh hangat Jessica. Tapi dia langsung tersadarkan. "Tunggu, Jessica. Ada hal penting yang mau kubicarakan.”
Moses dapat melihat wajah Jessica yang sedikit takut.
“A-apa itu, Mos? Kamu mau bilang kalau ini pertemuan terakhir kita? Istrimu tau kita bertemu? Dia pasti tidak mengizinkanmu bertemu denganku lagi.” Jessica cemberut dan melepaskan dirinya dari lingkaran tangan Moses.
Moses memijat keningnya yang berdenyut. Ia terbiasa dengan suasana tenang di rumah, dimana lawan bicaranya bisa menghadapi masalah dengan kepala dingin. Bukan menerornya dengan pertanyaan beruntun.
“Tenang dulu. Bukan itu yang mau kubilang.”
Wajah leganya sangat transparan. “Maaf. Aku panik…”
“Aku mau kamu jadi istriku, Jess.”
Jessica mengernyitkan dahinya, tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. “K-kamu tidak bercanda kan?”
Moses hanya berdiri disana, masih dengan senyumannya.
“Oh Moses! Tentu aku mauuu!! Aku mau jadi istrimu!” pekik Jessica girang dan melompat ke tubuh Moses.
Untung saja Moses bisa menangkap tubuh ringannya, “Senang?”
Jessica tertawa dan mencium pipinya, “Tentu saja! Jadi… Kapan kamu akan menceraikan istrimu?”
Moses teringat dengan 'sesuatu' yang belum diutarakan Sandra. Mereka sudah janji akan bertemu hari ini di kantornya.
"Secepatnya, Jessica."
Sandra keluar dari mobil SUV yang dikendarai James, supir pribadi keluarga Alinskie yang sudah mengabdi selama puluhan tahun. Ia masuk ke gedung pencakar langit yang megah dan berbentuk seperti piramida, terletak di tengah kota terbesar di negara bagian Amerika Serikat Illinois, Chicago. Dengan kartu VIP, Sandra mendapat akses lift pribadi yang langsung menuju lantai kantor suaminya. Asisten Moses, Felysia, menyapa dari balik meja marmer hitam. “Selamat siang, Nyonya Alinskie. Ada keperluan apa?” “Aku sudah janji dengan suamiku, Felysia.” Sandra tersenyum padanya. Asisten muda yang cantik itu keluar dari balik mejanya, “Oh... Tapi Tuan Moses belum kembali, Nyonya. Dia bilang pergi makan siang.” Felysia adalah asisten Moses selama beberapa tahun
Sandra membuka matanya dan menatap Moses dengan wajah tenang, tak berekspresi. “Aku mau seorang anak darimu, Moses.” Cairan itu hampir tersembur keluar dari mulutnya, dan Moses terbatuk. Dia memukul dada bidangnya beberapa kali. “Kamu baik-baik saja?” tanya Sandra khawatir. “Apa? Aku tidak salah dengar?” Moses memastikan lagi. “Apakah syaratku berlebihan?” Dia meletakkan kaleng bir itu di atas meja, seakan tidak tertarik lagi untuk meminumnya. “T-tidak sama sekali... Dulu kita memang berjanji akan menunggu dua tahun sampai kuliahmu selesai kan?” Moses tertawa kecil, mengingat janji yang mereka buat saat mereka menikah.
“Sandra, kamu sungguh polos atau berpura-pura lugu? Maksudku di atas ranjang.” Moses menatap wajah istrinya yang panik. Sangat jarang sekali Sandra menunjukkan emosinya secara terang-terangan. Biasanya Moses harus menerka-nerka apa yang ada di pikiran istrinya karena dia selalu memasang wajah datar. Namun kali ini, Moses tau kalau istrinya benar-benar terkejut oleh perkataannya. 'Damn! Aku sendiri terkejut dengan perkataanku. Tapi tidak mungkin aku setuju dengan inseminasi buatan! Aku seorang pria yang sehat dan dalam kondisi prima untuk membuat seorang anak!' jerit Moses dalam hati. Dokumen yang dikoyak Moses berisi beberapa poin tentang inseminasi buatan dan bagaimana mereka akan membagi hak asuh anak dengan damai. Tangan Moses masih melingkar di pinggang Sandra. Dia tidak menyangka pinggang istrinya sangat ramping dan kecil. Sandra tidak setinggi Jessica, kepalanya hanya mencapai dada Moses namun dia dapat merasakan bagaimana tubuh Sandra
Moses berlari keluar dari lift menuju kamar nomor 6 setelah mendapat informasi dari resepsionis rumah sakit swasta ternama yang ada di kota Chicago. Dia membuka pintu geser berwarna putih itu dan mendengar sedikit percakapan serius dua orang yang tidak menyadari kehadirannya.Yang dia dapat dengar dengan jelas adalah suara istrinya berkata, “Tidak perlu memohon padaku karena permintaan Oma akan terkabulkan sebentar lagi. Aku dan Moses akan bercerai."Oma Agatha yang duluan sadar akan kedatangan cucu kesayangannya berkata lirih, “Moses…”Disusul dengan Sandra yang menoleh ke arah pintu. Moses memberi istrinya tatapan tajam saat Sandra menarik tangannya dari genggaman oma, seakan wanita dingin itu tidak mau dipegang dan didekati oleh siapa pun.Selama lima tahun merek
Samuel Parker, pemain serial drama sekaligus penyanyi solo yang sedang hits di Korea Selatan dan namanya juga mulai dilirik oleh fans global. Demi mengepakkan sayap bisnis di kawasan Asia, Sandra rela membayar mahal jasa Samuel Parker setelah berunding lama dengan tim kreatif perusahaannya.Dia berwajah manis yang menawan dan memiliki aura superstar yang tidak main-main. Dia juga sangat ramah ketika para fans-nya di Chicago menyambut Samuel yang baru saja tiba di O’hare International Airport.Attitude-nya bagus. Dia mencintai para fans yang mendukungnya dan juga sebaliknya. Yang lebih ekstrem adalah saat salah satu penggemarnya menerobos naik ke atas panggung, Samuel malah mengajaknya menyanyi bersama sebelum orang itu ditarik turun oleh petugas keamanan.Itu yang dibisikkan oleh Bambi, asisten pribadi Sandra saat mereka meli
Keesokan harinya, Moses mengajak Jessica dan anak perempuannya, Kylie untuk menjenguk Oma Agatha di rumah sakit. Anak berumur empat tahun itu terlihat duduk di atas kasur sambil memainkan boneka beruangnya. Moses berdiri di samping kasur. “Dokter bilang oma besok sudah bisa keluar dari rumah sakit. Jadi mulai besok oma harus tinggal bareng aku sama Sandra.” Agatha mengelus rambut Kylie. “Aku sudah terbiasa tinggal sendirian. Lagipula aku tidak akrab dengan Sandra… Lebih baik tidak usah, Moses.” Jessica meletakkan sepiring buah apel di atas meja, dia ambil satu dan menyuapi anaknya. “Kalau tinggal bareng Moses, oma ada yang jagain. Jadi Moses juga lebih tenang.” “Ada yang temenin aku di rumah juga kok. Moses aja yang tidak bisa percaya sama asisten rumah tanggaku.”
“Nona Sandra, kita sudah sampai. Nona Sandra….” James mencoba untuk membangunkan nonanya. Panggilan itu sudah melekat sejak dia mengabdi pada keluarga Alinskie.Sandra perlahan membuka kedua matanya setelah dibangunkan James. Dia melihat mansion elegan bergaya neo-klasik dari kaca jendela mobil, lalu dia turun dengan perasaan berat dan lelah.Sesi pengambilan foto telah berakhir dengan sukses. Sandra biasanya selalu pulang tepat waktu tapi sejak kedatangan Samuel, Sandra selalu pulang kemalaman.Pria itu bersikeras Sandra harus menemaninya melihat pertunjukan teater di Chicago Theatre, setelah itu dia bilang lapar jadi Sandra menemaninya pergi makan dulu sebelum akhirnya bisa sampai di rumah tiga puluh menit sebelum jam 12 malam.Dia masuk ke aula mansion besar yang gelap
Tangan kanan memegang botol whiskey dan dua gelas kaca berada di tangan kiri Moses. Dia tidak repot-repot mengetuk sebelum membuka pintu kamar istrinya.Mereka tidur di kamar yang berbeda sejak awal pernikahan. Moses tidak pernah mengunjungi kamar istrinya meskipun kamarnya juga berada di lantai yang sama.Dia tertegun sejenak saat melihat wanita yang duduk di depan meja rias sedang mengeringkan rambut hitamnya yang panjang. Sepertinya suara mesin pengering rambut itu membuat Sandra tidak mengetahui kedatangan suaminya.Moses berdehem, membuat Sandra terlonjak kaget dan mematikan asal bunyi angin berderu itu.“Maaf aku datang secepat ini karena nanti malam ada pesta lajang untuk salah satu temanku, Rafael.”“Oh. Rafael akhirnya mel