Joce membelalakkan matanya. “Tes DNA?”
Dia masih dalam posisi membungkuk dengan kedua tangan di belakang untuk melihat tiga buah kanvas berukuran 40x60cm yang Sandra letakkan di lantai.
Lalu cepat-cepat berdiri tegak seperti tidak yakin dengan apa yang dia dengar sampai dia melihat ekspresi Sandra sendiri.
Sandra bahkan tidak mengedipkan matanya saat dia menyapu cat abu-abu pada lukisan domba yang sedang berlari di antara taburan bintang. “Hmm.”
Joce berdiri di samping easel, melipat kedua tangannya di depan dada, dalam posisi menginterogasi. “Stop dulu. Oma Agatha berani bilang begitu? Jadi apa tanggapanmu?”
Sandra meletakkan palet cat ke pahanya, lalu memijat pelan punggung bawahnya. Dia sudah menyelesaikan tiga lukisan dalam waktu dua hari dan sedang mengerjakan yang keempat.
Memang agak capek tapi dia merasa senang saat sudah menyelesaikan satu lukisan dan tanpa terasa waktu berjalan lebih cepat.
“Kalau Moses setuju, aku ak
Bab ini didedikasikan untuk Kak Aroe, Vanda, Indah dan Lilik Thank you uda vote & support SSS ღ
Moses menarik napas dalam-dalam, ini akan menjadi penjelasan yang panjang dan harus ekstra konsentrasi. Salah sedikit kata saja bisa membuat semuanya runyam. Dia mulai dari saat dia duduk di sofa rumah Jessica dan Kylie datang dengan semangkuk sereal, minta dipangku. Karena tidak hati-hati, isi mangkuk tersebut tumpah ke baju Moses. Mumpung dia ada membawa jas cadangan di mobil, jadi dia mandi saja langsung di rumah Jessica agar lebih nyaman berkendara dan bisa langsung pulang untuk makan malam. Setelah mendengar itu, Sandra memberinya tatapan tidak percaya. “Sumpah. Apa perlu aku membawa Kylie kesini sekarang juga sebagai saksinya?” “Terus kamu mandi berapa lama sampai jam 10 baru pulang?” “Itu karena Kylie minta dibacakan Little Mermaid, kamu tau? Putri duyung yang jatuh cinta pada pandangan pertama dengan pangeran...” Moses tampak memutar otaknya sejenak. Dia menyerah, “Argh, aku lupa! Setelah satu buku itu habis, dia tidak
Kehangatan telapak tangan Moses menjalar sampai ke relung hatinya yang terdalam. Sandra ingin waktu berhenti sejenak, merasakan kedekatan ini lebih lama lagi. Andaikan saja hanya ada mereka bertiga di dunia, tanpa bayang-bayang Jessica. Moses berbisik. “Hello Guppy, Ini Papa.” “Such a silly name,” protesnya karena nama itu sangat tidak gagah, namun bibirnya terangkat ke atas karena kekonyolan Moses. Dia sudah memberi nama panggilan untuk anak mereka yang masih berbentuk embrio. Moses mengelus perutnya dan berkata dengan nada lembut, “Karena Mama sangat menginginkan anak laki-laki, jadi kita akan memanggilmu Guppy. Tapi pertanyaannya adalah kamu laki-laki atau perempuan?” Dia mengangkat kepalanya dan menatap Sandra, seakan pertanyaan itu ditujukan padanya. Menahan tangannya untuk tidak mengelus rambut hitam itu, mata hazel Sandra menemuinya. “Dia pasti laki-laki.” Mungkin dia tidak bisa menjadi seperti Mama atau Jessica yang pandai masa
Sandra baru saja bangun dan masih terduduk di kasurnya, mengumpulkan jiwa-jiwa yang masih melayang. Tiba-tiba dia langsung menutup mulutnya dan secepat kilat berlari ke kamar mandi, kacamatanya sampai terlupakan. Biasanya dia mual muntah setelah mencium aroma sarapan yang dibawa masuk Tina ke kamar. Jadi sejak itu Sandra selalu mandi dulu baru turun untuk sarapan. Tapi kali ini dia mual tanpa alasan. Selesai mandi, dia mendapati Tina sedang membereskan tempat tidurnya. “Tina, Moses belum bangun ya?” Dia berjalan ke dalam walk in closet, langsung menuju bagian pakaian kerja yang berderet rapi disusun berdasarkan warna. Gaya berpakaiannya selama lima tahun tidak pernah berubah. Terkesan monoton dan membosankan. Atau mungkin dia memang harus mendengar saran Joce bertahun-tahun yang lalu untuk mengubah gaya berpakaiannya? “Belum, Nona. Sepertinya Tuan Moses masih capek karena baru pulang dari luar kota,” sahut Tina dari luar. Sandra membuk
Matanya membulat dengan tatapan syok seakan Moses menyuruhnya minum racun. Dia bahkan tidak sadar betapa dia rindu menggoda istrinya. Bagi Moses, semua ekspresi yang menghiasi wajah Sandra adalah kejutan. “Yaaah, sayang banget. Pegawai toko yang merekomendasikan ini saat aku mencari barang untuk merangsang perkembangan bayi di dalam perut.” Moses kecewa karena dia sudah bersemangat untuk mencoba memasukkan benda berbentuk bola warna pink tersebut. “Bukannya janin baru dapat bereaksi terhadap musik setelah berusia 5 bulan lebih? Lagipula menempelkan headset ke perut juga udah bisa. Tidak perlu pakai alat ekstrem begitu.” Sandra bergidik. “Aku juga tidak mungkin memasukkan benda asing ini ke dalam vag… Aarggh! Kamu memang gila, Moses!” Sandra merebut tas tersebut dari tangan Moses dan menarik resleting untuk menutupnya. Dia berjalan ke arah tong sampah. Tangannya hampir membuang tas tersebut, tapi dia mengurungkan niatnya. “Tidak
Sip & Savor - Illinois, Chicago Sandra mengamati wanita yang duduk di hadapannya. Jari-jari lentik Jessica memeluk cangkir kopi hangat dalam kedua tangannya. Dia berpakaian kasual yang harga bajunya tidak mahal ataupun branded tapi apapun yang dikenakan Jessica pasti terlihat mewah. Jessica memberinya satu senyuman dari bibir merah yang menawan—bibir yang pernah dicium oleh Moses. “Kenapa terburu-buru? Kalau supirmu tidak bisa menunggu, aku bisa mengantarmu pulang. Kylie juga sudah aku titipkan ke rumah neneknya jadi kita bisa lebih santai mengobrol.” “Oh, tidak perlu repot-repot. Rumah kita berbeda arah. Aku pikir kamu datang kesini naik angkutan umum.” Sandra berusaha menatap matanya lurus. Tawa Jessica terdengar seperti bel perak, ringan dan elegan. “Tidak semua orang terlahir dengan keberuntungan sepertimu, San. You were born with a silver spoon in your mouth*. Aku hanya bisa membayangkan pergi kemana-mana diantar oleh su
“Moses pernah bilang begitu?” tanya Sandra tercengang. Hal terakhir yang tidak dia sangka dari pertemuannya dengan Jessica adalah mendapatkan pencerahan. Mengetahui pendapat Moses tentang dirinya bagaikan gerbang menuju surga yang terbuka lebar. Ternyata selama ini bukan Moses yang tidak mau dekat dengannya, melainkan karena Sandra susah didekati! “Ya, dia juga bilang kalau dia hanya menganggapmu sebagai teman. Kedatangan Moses kemarin untuk mengatakan bahwa aku dan dia tidak mungkin bisa bersama lagi.” Jessica menatap ke perut Sandra. “Karena dia tidak tega melihat anaknya lahir dalam keluarga yang berantakan.” Sandra refleks meletakkan tangan di atas perutnya dan dengan cepat berkata, “Aku berencana untuk pisah secara baik-baik. Anak ini akan tetap mendapatkan kasih sayang Moses.” Manik mata biru Jessica menatapnya tajam. “Di sana kamu sungguh egois, San. Kalau saja kamu tidak mengajukan syarat itu…” Dia menghela napas panjang.
Biasanya Sandra jarang sekali pergi ke supermarket karena bukan dia yang membeli kebutuhan rumah. Kalaupun ada perlu, biasanya Sandra menyuruh asistennya. Keluar dari supermarket, troli belanjaan Sandra penuh dengan makanan yang disukai Moses, terutama Snickers bar. Jalan menuju hati seorang pria adalah melalui perutnya, benar bukan? Mengungkapkan kata cinta saja tidak cukup, Sandra harus mulai menunjukkan perhatiannya pada Moses. Setelah James membantunya memasukkan barang belanjaan ke bagasi mobil, mereka melanjutkan perjalanan pulang. 1 km sebelum mencapai mansion, sebuah mobil hitam melaju dengan kecepatan tinggi, melewati mereka. “Itu bukannya mobil Tuan Moses, ya, Nona?” tanya James. Sandra tidak sempat melihat plat mobil tersebut karena Porsche hitam itu menyambar dengan cepat. “Iya sepertinya mobil Moses. Kenapa dia ngebut sekencang itu?” “Tidak tau, Nona.” Sandra tidak mungkin langsung menelepon
Moses menunggu di depan UGD, berjalan mondar-mandir, lalu duduk kembali di kursi tunggu rumah sakit yang terbuat dari besi. Sesekali dia menarik-narik rambutnya sendiri. Pikirannya kacau balau dan hanya ingin segera melihat Jessica keluar dari ruangan itu. Dia bisa ditelepon pihak rumah sakit karena nomor teleponnya terdaftar dalam kontak darurat yang paling pertama. Tidak lama kemudian, orang tua Jessica juga tiba. Dengan langkah tergesa-gesa mereka menghampiri Moses. “Bagaimana? Bagaimana dengan keadaan Jessica?” tanya Nyonya Whitman dengan napas tersengal. Tuan Whitman memperhatikan Moses dari atas ke bawah. “Kamu tidak bersama dengannya?” “Tidak. Saya juga baru kesini setelah mendapat telepon dari rumah sakit.” Nyonya Whitman memukul dada Moses berulang kali dengan tas hitamnya. “Ini gara-gara kamu!! Kamu sudah berjanji mau menikah dengan putriku! Kamu telah memberinya harapan palsu!” “Mama, hentikan! Ini tidak ada