เข้าสู่ระบบMalam turun perlahan seperti kabut gelap yang menyerap seluruh udara di ruangan itu. Lampu kuning redup di sudut kamar menambah kesan mencekam, bukan menenangkan.
Tavira duduk di lantai, punggung merapat pada tembok, lutut terlipat di dada.
Ia menatap kosong ke arah pintu. Menghitung detik. Menunggu sesuatu atau seseorang.
Setelah pertemuan singkat dengan wanita tua tadi siang, tubuhnya masih gemetar.
Kata-kata wanita itu terus berulang di kepalanya.
“Wanita sebelumnya nggak pergi dari rumah ini dengan cara hidup.”
Tavira menggigit bibir hingga hampir berdarah. Ia menutup wajahnya, mencoba bernapas perlahan. Tubuhnya menolak tenang.
Lalu...
KRAK.
Ada bunyi kecil. Bukan suara logam jatuh, tapi suara mekanis. Kunci pintu diputar dari luar.
Tavira langsung bangkit panik, mundur sampai punggungnya menempel kuat pada tembok.
Napasnya tersengal.
KLIK.
Pintu besi itu terbuka sedikit, kemudian terbuka
Kamar itu dingin dan sepi. Tempat tidur besar yang biasanya terasa nyaman kini seolah terlalu luas.Tavira menatap bantal Darian yang masih tertekan bekas kepala suaminya. Selimutnya pun masih berbau shampoo Darian. Tavira menggenggam bantal itu, lalu jatuh terduduk sambil memeluknya erat-erat.“Darian,” suaranya pecah.Air mata menetes tanpa bisa dihentikan.“Bangunlah,” bisiknya. “Aku nggak bisa sendiri. Aku nggak bisa tanpamu.”Ia menunduk, bahunya bergetar. Perutnya kembali mual.Tavira bergegas ke kamar mandi dan muntah sampai lututnya gemetar. Bu Ayu yang mendengar suara itu langsung datang, menepuk punggung Tavira dengan hati-hati.“Nyonya harus makan sedikit saja. Tolong dengarkan saya.”Tavira hanya menangis sambil menggeleng.“Aku nggak butuh itu. Aku baik-baik saja.”“Tapi Nyonya—“Bu Ayu tidak bisa apa-apa melawan majikannya yang rapuh. Tanpa Darian, Tavira berubah jadi orang yang tidak bisa ber
Berhari-hari itu seperti kabur menjadi satu warna kusam bagi Tavira.Siang dan malam tidak lagi punya batas.Waktu hanya bergerak antara bunyi mesin monitor jantung Darian dan napasnya sendiri yang tak pernah stabil.Setiap pagi, ia mengelap tubuh Darian pelan dengan air hangat. Tangannya gemetar, tapi ia tetap melakukannya. Kadang ia berhenti, mencium punggung tangan Darian sambil berbisik, “Bangunlah, Darian. Kumohon!”Setiap sore, ia mengganti handuk di dahinya, memastikan kulit Darian tidak iritasi.Setiap malam, ia duduk di kursi yang sama, memegang tangan Darian sampai bahunya nyeri.Eshan berkali-kali mencoba membujuk.“Tavira, kau butuh tidur,” katanya suatu malam, wajahnya sudah selelah miliknya.“Aku tidur di sini.”“Tapi kau hanya tertidur lima menit, itu pun sambil menggenggam tangannya.”Tavira tetap menggeleng, mata sembab.“Aku mau tetap di sini sampai Darian bangun.”Eshan ingin berad
Sirene meraung memecah malam. Lampu merah biru berkedip liar di depan restoran. Petugas medis menurunkan tandu dengan tergesa.“JALAN! MINGGIR!” teriak salah satu paramedis.Tavira berlutut di samping Darian, tubuhnya bergetar hebat. Tangannya mencoba menghentikan darah di pelipis Darian, tapi tangannya sendiri ikut berlumur darah.“Darian… bangun, Sayang. Darian tolong buka matamu.” Suaranya parau, serak, putus-putus.Paramedis menariknya pelan.“Bu, kami harus angkat pasiennya. Tolong beri ruang.”“ENGGAK! Jangan bawa dia! Aku ikut! Aku ikut!!” Tavira meronta, hampir memukul paramedis.Leisa menahan tubuhnya, memeluk dari belakang.“Ibu, ayo naik ambulans bersama,” ucap Leisa terburu-buru, napasnya kacau.Begitu Darian diangkat ke tandu, Tavira histeris.“DARIAAAN!!”Tangannya mencoba meraih tangan Darian tapi paramedis menutup pintu ambulans, menyisakan celah kecil.Leisa mendorong Tavira masuk ke
Pagi itu Tavira terpaku di depan wastafel kamar mandi.Tangan gemetarnya tidak berhenti memegang sebuah test pack dengan dua garis merah jelas. Tegas, tidak samar sama sekali.Ia hamil.Ia memegang perutnya yang masih datar, dadanya berdebar begitu kencang sampai terasa menyakitkan.Air matanya menggenang, tetapi bukan karena takut. Untuk pertama kalinya setelah semua yang terjadi, ia merasa Tuhan memberinya sesuatu yang sangat berharga.“Aku hamil,” bisiknya pelan.Suaranya bergetar, tetapi senyum kecil mulai terbentuk.Ia membayangkan wajah Darian. Wajah yang selalu menenangkan, tatapan hangat yang selalu bilang, “Aku di sini.”Darian, yang sudah menenangkannya berbulan-bulan.Darian, yang memeluknya setiap kali ia mimpi buruk.Darian, yang tetap tinggal bahkan ketika Tavira hampir tidak mengenali dirinya sendiri.Tavira menutup mulutnya, menangis haru tanpa suara.Ia ingin memberikan kabar ini seb
Hari-hari Tavira perlahan kembali stabil. Ia sudah bisa tidur tanpa terbangun setiap malam. Ia sudah bisa duduk santai di ruang keluarga tanpa menoleh ke arah pintu setiap beberapa menit. Meski bekas-bekas trauma itu masih ada, Tavira merasa lebih kuat.Namun ia tidak kembali ke Bloomia. Belum. Ia belum sanggup.Bunga-bunga, wangi lavender, estetik ruangan. Semuanya masih memicu bayangan wajah Juan, atau Kael, atau taman Green Arcadia di Bandung.Maka semua operasional Bloomia diserahkan pada Rani sepenuhnya.“Fokus saja sembuh, Kak Tavira,” kata Rani waktu itu melalui video call. “Bloomia aman di tanganku dan Naya.”Tavira hanya tersenyum kecil, merasa bersalah tapi lega.Sementara itu, Darian kembali ke rutinitas pekerjaannya yang padat. Tapi berbeda dari sebelumnya, kini ia tidak mau membiarkan Tavira sendirian lagi.Suatu pagi, laki-laki itu memegang bahu Tavira dan berkata dengan suara serius,“Aku ingin kamu punya asisten
Mereka kembali ke rumah besar itu. Suasananya tidak lagi sekelam sebelumnya. Udara rumah terasa lebih hangat, lebih tenang, seperti mengikuti keadaan hati Tavira yang pelan-pelan membaik. Namun Darian tetap tidak mau mengambil risiko. Dia menghubungi Bunda agar datang menginap, menemaninya menjaga Tavira.Bunda datang sore itu, membawa tas kecil dan selimut rajut kesayangannya. Begitu melihat Tavira di ruang keluarga, Bunda langsung merentangkan tangan.“Tavira. Sini, Nak!”Tavira ragu sepersekian detik. Bukan karena takut, tapi karena terlalu banyak menahan rindu akan sosok ibu.Saat ia mendekat, Bunda memeluknya erat, hangat, penuh kasih sayang yang begitu menenangkan sampai-sampai lutut Tavira terasa mau goyah.Hal itu menenangkan. Dan membuat Tavira merindukan mamanya yang sudah tiada.Malam itu, Bunda memilih tidur di kamar Tavira. Ia membenarkan selimut Tavira, merapikan anak rambut di pelipisnya, lalu masuk ke dalam selimut, memeluk T







