Malam itu, pintu kamar tertutup pelan.
Tavira berdiri kaku di dekat ranjang, masih memegang erat ujung baju tidurnya. Wajahnya memerah, bukan karena hawa kamar yang hangat, tapi karena ucapan terakhir Bunda yang masih menggema di telinganya.
Darian mengunci pintu perlahan, lalu berbalik. Matanya sempat menatap Tavira sekilas sebelum segera menghindar. Ia berjalan ke sisi ruangan, membuka lemari kecil dan mengambil selimut tambahan.
“Aku tidur di sofa,” katanya singkat, datar.
Tavira hanya mengangguk, lalu duduk di tepi ranjang sambil menunduk.
Suasana kamar sunyi, kecuali suara pendingin ruangan yang mendengung pelan.
“Kamu nggak perlu canggung,” Darian kembali bicara, kali ini nadanya lebih pelan. “Bunda memang suka bercanda kelewat batas.”
“Aku tahu.” Tavira tersenyum kecil.
Mereka saling diam untuk beberapa saat. Darian sudah membentangkan selimut di sofa, tapi belum juga berbaring. Ia berdiri di dekat jendela, menatap ke lu
“Kamu kekurangan uang?! Hah?!”Tavira mengangkat kepalanya. Turut emosi karena kalimat Darian seolah menggambarkan kalau dirinya wanita murahan.“Apa belum cukup semua yang aku berikan padamu, sampai kamu sengaja melakukan pemotretan gak senonoh itu?”“Aku gak melakukan pemotretan untuk uang,” Tavira membalasnya dengan nada ingin menangis.Belum pernah ada yang menghinanya seperti ini. Harga dirinya seperti tercabik-cabik oleh ucapan tidak mengenakan dari Darian.“Lalu apa?” Darian membalas tidak kalah keras.Suasana di dalam rumah menjadi panas. Kalau saja rumah mereka bersebelahan dengan tetangga, mungkin teriakan mereka bisa kedengaran menembus dinding.Para pelayan yang mengintip dari ruangan lain saja nampak tegang dengan pertengkaran suami istri yang pertama kali mereka lihat itu.“Kamu melakukan ini untuk balas dendam, karena aku sudah membuat kamu marah malam itu?”Darian membicarakan tentang malam dimana dirinya
Tavira menggelung lutut di sudut ruangan, tangisnya tertahan di balik tangan yang menutupi wajah. Isakannya pecah berulang, menggema di kamar ganti sempit yang kini seolah jadi tempat perlindungan sekaligus penjara baginya.Pintu dikunci dari dalam oleh Tavira. Tak seorang pun boleh masuk.Ketukan datang silih berganti. Suara panik, marah, bahkan umpatan terdengar dari luar. Salah satunya adalah suara Rian yang kini tanpa ragu menyebutnya tidak profesional, bersumpah takkan pernah bekerja sama lagi.Bagus. Tavira juga tidak mau bertemu atau bahkan berhubungan dengannya lagi.Pemotretan ini adalah jebakan. Alih-alih seni, yang terjadi lebih mirip pelecehan terselubung.Tavira menunggu di sana, membatu. Menolak mendengar suara-suara di luar, menolak menyadari kenyataan yang baru saja terjadi.Lalu... ketukan baru menggema. Lebih keras. Lebih tegas. Seperti gemuruh badai yang datang menyapu.“Tavira, ini aku. Buka pintunya!”Suara
Tavira tidak mau melanjutkan pemotretan ini. Tidak dengan tema malam pertama yang diusung hari ini. Bukan dengan lingerie tipis yang hampir tak menutupi apa-apa. Bukan di atas ranjang hotel, bersama model pria nyaris telanjang yang bahkan tidak ia kenal namanya.Namun tubuhnya ditarik paksa oleh Rian, si fotografer yang juga kepala proyek hari itu.Make-up telah selesai. Busana pun telah dikenakan. Tak ada alasan untuk menunda, katanya.Langkah kaki Tavira terasa berat, namun semua mata tertuju padanya. Para kru sibuk di sekeliling set. Kamera siap. Lampu menyala terang.Dan di tengahnya, ada sebuah ranjang putih yang menunggu seperti panggung untuk sebuah pertunjukan murahan.Tavira duduk di tepi ranjang. Tubuhnya kaku. Matanya berlari ke sekeliling ruangan, tapi tak ada tempat untuk lari.Rian melangkah ke depan, dengan clipboard di tangan dan suara tegas yang mengiris telinga."Temanya jelas, malam pertama. Foto pasangan. Penuh gai
Seharusnya Tavira mendengarkan nalurinya dan pulang saja sejak masih berdiri di luar hotel.Tapi saat Rian berbalik tanpa berkata apa-apa, tubuhnya justru bergerak mengikuti pria itu. Entah karena rasa tak enak, atau karena bayang-bayang profesionalitas yang ia tanamkan sejak kemarin.Dalam benaknya, Tavira sedang bertempur. Ia bisa saja berhenti sekarang, menelepon Dhiya dan bilang kalau dirinya tidak nyaman dengan proyek ini. Bukankah ia tidak benar-benar mengenal Rian? Tapi langkah kakinya tak kunjung berhenti.Rian berjalan cepat menuju lift, dan Tavira mengekor dalam diam. Mereka masuk ke dalam, dan Rian menekan tombol 11. Katanya, kamar yang digunakan sebagai studio berada di lantai sebelas.Suasana lift hening. Tavira berdiri di pojok, kedua tangan menyilang di depan dada, mencoba meredakan gelisah yang terus mendera.TING!Pintu terbuka di lantai lima. Seorang wanita masuk. Dan betapa kagetnya Tavira saat menyadari siapa yang berdiri
Akhir pekan yang dijanjikan tiba.Tanpa memberi tahu Darian atau siapa pun di rumah, Tavira bersiap untuk pemotretan hari ini.Darian memang sedang libur dan ada di rumah, tapi Tavira sudah terbiasa bersikap seolah suaminya itu tak pernah benar-benar hadir dalam hidupnya.Maka saat ia melangkah keluar rumah, tidak ada satu pun percakapan yang terjadi di antara mereka. Seolah-olah keberangkatan Tavira bukanlah sesuatu yang penting untuk disadari.Sopir sempat bersiap di halaman, tapi Tavira menolaknya. Ia memilih memesan taksi daring dan pergi sendirian. Seperti dulu, sebelum hidupnya berubah. Ia ingin hari ini menjadi miliknya sendiri. Tanpa gelar istri siapa pun, tanpa kesan istri orang kaya.Tavira tiba lebih dulu di titik pertemuan yang sudah disepakati semalam, yaitu dekat pedagang ikan hias yang biasa jadi tempat janjian dengan Dhiya.Dia menunggu dengan gelisah sambil sesekali mengecek jam tangan. Tepat waktu. Bahkan lima menit lebih a
Ucapan Darian malam itu terus terngiang di kepala Tavira.“Aku gak menyukaimu.”Kalimat pendek, tapi cukup untuk mengaduk perasaannya hingga ke dasar.Semakin Tavira mengingatnya, semakin ia merasa sebal, pahit, malu, sekaligus marah. Ia bahkan ingin tertawa miris setiap kali menyadari bahwa dirinya benar-benar jatuh cinta pada pria sebeku itu.Untuk pertama kalinya sejak tinggal di rumah itu, Tavira mengunci pintu kamarnya rapat-rapat. Ia tak ingin bertemu siapa pun. Tidak juga dengan pelayan. Apalagi dengan Darian.Ia hanya berguling-guling di atas kasur, menatap langit-langit kosong, merenungi betapa menyedihkan dirinya dalam urusan asmara. Padahal sudah bertekad berhenti berharap pada Darian, tapi tetap saja perasaan tak bisa dikendalikan semudah itu.Terlebih, mereka tinggal serumah.Melupakan seseorang yang ada di satu atap bukanlah hal sederhana. Bagaimana mungkin hati bisa pura-pura mati jika keberadaan orang itu teru