Mag-log inSetelah keluar dari ruang kerja Darian, Tavira tidak langsung kembali ke kamarnya. Ia melangkah pelan menyusuri lorong luas yang dipenuhi lukisan dan ornamen mahal. Suara langkah kakinya nyaris tidak terdengar di atas karpet tebal.
Rasanya seperti tersesat di museum. Tavira mencoba mengingat denah rumah yang sempat dijelaskan singkat oleh pelayan tadi, tapi semua lorong terlihat mirip. Kanan, kiri, tangga melingkar, patung-patung marmer. Terlalu banyak detail yang membuat kepalanya pusing. "Permisi, Nyonya." Sebuah suara lembut menghentikan langkahnya. Seorang perempuan berseragam rapi membungkuk sopan, wajahnya ramah dan matanya teduh. "Apakah Anda ingin saya antarkan kembali ke kamar?" tanyanya hati-hati. Tavira tersenyum kikuk. "Iya... sepertinya aku tersesat." Pelayan itu tersenyum hangat. "Boleh saya perkenalkan diri? Nama saya Lila. Saya bertanggung jawab untuk area lantai dua dan kamar Nyonya." "Lila..." Tavira mengangguk pelan. "Terima kasih. Senang bertemu denganmu." "Senang juga bertemu Nyonya. Kalau boleh tahu, apakah Nyonya sudah merasa nyaman di kamar? Jika ada yang kurang atau tidak sesuai, kami siap menyesuaikan." Tavira ragu sejenak. “Sebenarnya, aku nggak tahu harus merasa seperti apa. Rasanya terlalu besar, terlalu sepi.” Lila menundukkan kepala sedikit, tidak mengomentari pernyataan itu, tapi nada suaranya menghangat. "Kalau Nyonya ingin jalan-jalan di taman atau ke ruang baca, saya bisa temani kapan pun. Atau mungkin Nyonya ingin ke dapur? Biasanya, tempat paling hangat di rumah ini justru dapur." Tavira tertawa kecil. “Dapur ya? Boleh juga.” Beberapa menit kemudian, Tavira sudah duduk di kursi kayu di ujung dapur luas bergaya klasik. Aroma roti panggang, rempah, dan kopi menyambutnya. Seorang koki dan dua asisten sibuk, tapi tidak tampak terganggu oleh kehadirannya. Lila menuangkan teh ke cangkir putih polos di hadapan Tavira. “Ini teh chamomile, buatan rumah. Bagus untuk menenangkan pikiran.” Tavira menerima dengan dua tangan. "Terima kasih, Lila. Boleh ya... kalau sesekali aku ke sini?" "Tentu saja. Rumah ini milik Nyonya juga sekarang." Kalimat itu membuat Tavira terdiam sejenak. Rumah ini milik Nyonya juga sekarang. Ia menyesap tehnya perlahan. Hangat. Lembut. Untuk sesaat, rumah itu tidak terlalu menakutkan. *** Pagi hari datang dengan cahaya hangat yang menyusup dari balik tirai. Tavira bangun lebih awal dari yang ia kira, mungkin karena tubuhnya belum terbiasa tidur di ranjang empuk seperti itu. Atau mungkin karena pikirannya tak pernah benar-benar tertidur. Ia turun ke lantai bawah, menyusuri lorong-lorong yang sunyi. Ia tak tahu apakah diperbolehkan masuk ke ruang makan tanpa dipanggil, tapi rasa lapar dan gugup yang aneh membuat kakinya terus melangkah. Ketika ia tiba, Darian sudah ada di sana. Ia duduk sendiri di ujung meja makan panjang yang bisa menampung setidaknya dua puluh orang. Ia mengenakan kemeja putih bersih, lengan digulung sampai siku, dan membaca tablet sambil sesekali menyuap potongan roti panggang. Tanpa pengawal. Tanpa staf. Hanya dia. Tavira berdiri canggung di ambang pintu. Darian melirik sekilas. “Masuk saja. Duduk.” Tavira menurut. Ia memilih duduk di kursi yang tidak terlalu dekat, tapi juga tidak terlalu jauh. Jarak aman. Beberapa saat hanya ada suara sendok dan pisau, serta bunyi lembut cangkir porselen. Seorang staf muncul, menyajikan teh hangat dan omelet ke hadapan Tavira. “Tidurmu nyenyak?” tanya Darian, tanpa menoleh. Tavira sedikit terkejut. Darian bertanya duluan? Bukankah itu suatu kemajuan. “Cukup,” jawabnya pelan. Antara antusias tapi juga tak percaya. “Kamar itu terlalu besar. Tapi nyaman.” Darian mengangguk. “Kalau ada yang kurang, kamu bisa bilang ke Bu Ayu. Kepala rumah tangga.” “Baik.” Hening lagi. Tavira melirik ke arah pria itu. Ia tampak sangat tenang, sangat terkendali. Seolah tak pernah ada hal yang bisa menggoyahkan ritme hidupnya. “Ini kebiasaanmu?” tanyanya tiba-tiba. “Sarapan sendiri di ruangan sebesar ini?” Darian menoleh, dan untuk sesaat senyuman kecil muncul di ujung bibirnya. “Kalau maksudmu, apakah aku kesepian, jawabannya tidak. Aku hanya terbiasa begini.” Itu bukan jawaban jujur, Tavira pikir. Tapi cukup untuk saat ini. Mereka makan dalam hening. Rasanya suara mengunyah ataupun meleguk air minum bisa kedengaran saking heningnya. Tavira tak nyaman. Namun nampaknya Darian merasa lebih tak nyaman. Darian bangkit berdiri setelah mendorong kursinya ke belakang. Kepala Tavira mendongak. Turut membayangi setiap gerak-gerik Darian menyudahi sarapan. Padahal makanannya masih tersisa banyak di piring. "Kamu mau pergi, Darian?" "Ya. Aku ada janji pagi ini," jawabnya tanpa menoleh. Tablet lebih dia perhatikan dibanding Tavira yang cemberut karena tidak bisa berlama-lama memandang wajah Darian yang segar dengan rambut basahnya. Darian tidak menoleh lagi ke belakang. Sempurna pergi meninggalkan Tavira di ruang makan sebesar itu sendirian. Oh, apakah adegan semacam ini akan berlangsung setiap hari selama satu tahun? Apa dia akan tahan? BERSAMBUNGUdara malam di gang itu terasa dingin, tapi dada Darian panas seperti disulut dari dalam.Ia tidak tahu harus melakukan apa. Tas di tangannya menjadi alasan semu untuk tetap berdiri di tempat. Sementara Tavira menatapnya tak berkedip, seolah tak yakin sosok di depannya benar-benar nyata.“Tavira.”Hanya satu kata itu yang berhasil keluar dari mulutnya, pelan, nyaris serak.Tavira masih diam. Matanya menatap Darian lama, sangat lama, seakan mencoba memastikan bahwa semua ini bukan permainan cahaya atau ilusi kenangan yang sering menghantuinya di malam sepi.Begitu Darian melangkah setengah langkah mendekat, Tavira mundur spontan. Gerakannya refleks, tapi cukup untuk membuat sesuatu di dada Darian retak pelan.Darian berhenti di tempat. Menunduk sedikit, lalu mengembuskan napas pelan.“Aku hanya mau mengembalikan ini.”Darian mengulurkan tas yang tadi direbut dari pencopet, nada suaranya terkendali tapi bergetar d
Sudah tiga hari berlalu sejak Darian menemukan Bloomia.Namun setiap kali pikirannya mencoba fokus pada laporan proyek, nama toko itu selalu muncul kembali di sudut benaknya, seperti aroma bunga yang samar tapi tidak pernah benar-benar hilang.Ia masih di Malang.Alasan resminya, meninjau progres proyek tahap dua Green Arcadia.Alasan sebenarnya, ia belum siap pergi. Belum siap meninggalkan kota yang diam-diam menyimpan seseorang yang selama ini hanya hadir dalam mimpi.Pagi itu, setelah rapat dengan tim arsitek, Darian duduk sendirian di kafe kecil di seberang jalan. Di hadapannya, secangkir kopi hitam sudah dingin. Ia menatap ke seberang, ke arah toko yang jendelanya dihiasi bunga mawar dan lily beraneka warna. Bloomia.Tirai putih di jendela terbuka setengah. Di dalam, Tavira tampak sibuk melayani pelanggan. Gerak tubuhnya ringan dan cekatan, senyumnya tulus, matanya tenang.Darian tidak bisa menahan senyum samar yang muncul di bib
Hari di Malang cerah. Udara sejuk, langit biru muda dengan awan berarak lambat di atas deretan bukit jauh di sana. Mobil hitam yang ditumpangi Darian berhenti di depan area proyek Green Arcadia, kawasan perumahan ramah lingkungan yang sedang dibangun di pinggiran kota.Darian turun dari mobil, mengenakan kemeja abu muda dan jas ringan. Sikapnya tetap tenang, formal, seperti biasa. Namun di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. Perasaan asing yang muncul setiap kali ia menjejak tanah Malang.Ia menyusuri area proyek, meninjau pembangunan perumahan tahap awal. Para pekerja menyapa hormat, dan ia membalas dengan anggukan pendek. Satu per satu laporan ia baca, revisi ia berikan, dan instruksi keluar dari mulutnya dengan nada tegas tapi tidak berlebihan.Semuanya tampak biasa. Profesional.Namun setiap kali ia menatap langit biru di atas sana, pikirannya melayang. Ada nama yang berkali-kali muncul tanpa izin.Sore mulai turun. M
Malam itu, jalan tol menuju Jakarta basah oleh embun. Mobil yang mereka tumpangi meluncur stabil di jalur kanan, meninggalkan kota Malang yang perlahan tenggelam di belakang.Eshan duduk di kursi depan, sementara Darian bersandar di kursi belakang, matanya terpejam setengah. Pria itu sudah tertidur ringan, napasnya pelan, bahunya bergerak tenang seiring ritme mobil.Kelelahan setelah serangkaian rapat dan inspeksi proyek membuat tubuhnya terasa berat, tapi pikirannya belum sepenuhnya tenang. Lampu-lampu kendaraan yang berpapasan memantul di wajahnya sesekali, menciptakan bayangan bergerak di permukaan kulitnya.Mobil berguncang ringan, dan di tengah keheningan itulah suara berdering pelan terdengar dari kursi depan. Nada dering lembut, milik Eshan. Pria itu menoleh cepat, menurunkan volumenya sebelum menjawab dengan suara pelan.“Hallo?”Darian masih setengah sadar, tapi tidak sepenuhnya tertidur. Suara lembut Eshan di depan sana tentu bisa kedenga
Langit Malang sore itu berwarna lembut, perpaduan biru muda dan jingga pucat.Udara di kota itu terasa berbeda. Tidak sepadat kota besar, tapi juga tidak terlalu sunyi. Ada ritme yang tenang, seolah setiap hembus angin membawa jeda untuk berpikir.Mobil perusahaan berhenti di depan gerbang proyek. Plang bertuliskan Green Arcadia - Malang Site Development berdiri tegak di pinggir jalan, diapit dua pohon flamboyan yang mulai berbunga.Darian turun, mengenakan kemeja putih dan celana bahan abu tua. Ia menatap sekeliling lahan luas yang akan dikembangkan menjadi kompleks hunian ramah lingkungan.Tim lokal sudah menunggu di bawah tenda kecil, lengkap dengan peta lokasi dan rencana gambar 3D yang terpampang di layar.“Selamat datang di Malang, Pak Darian,” sambut kepala proyek, Pak Anwar, sambil menyalami tangannya dengan sopan.“Kami sudah siapkan laporan survei dan beberapa rekomendasi arsitektur.”Darian mengangguk kecil. “Baik, mari kit
Ruang rapat lantai dua puluh terasa berbeda pagi itu. Bukan hanya karena kehadiran seluruh kepala divisi, tapi juga karena suasana yang lebih hidup dari biasanya.Slide demi slide di layar menampilkan visi proyek Green Arcadia. Hunian ramah lingkungan yang menggabungkan teknologi, arsitektur hijau, dan keseimbangan hidup urban.Darian duduk di ujung meja, memperhatikan dengan tenang. Kemejanya putih polos, tanpa dasi, dan lengan digulung sampai siku.Wajahnya tetap serius seperti biasa, tapi Eshan yang duduk di sebelahnya tahu. Ini adalah versi Darian yang paling fokus setelah sekian lama.“Target pasar kita adalah keluarga muda dan profesional yang mencari keseimbangan antara kota dan alam,” jelas seorang manajer proyek dengan penuh semangat.“Kami sudah menyiapkan tiga konsep desain berbeda, tergantung lokasi dan kontur tanah di tiap kota.”Darian menautkan jemarinya di atas meja.“Baik. Tapi pastikan konsep itu nggak hanya menarik







