MasukLangit malam tampak kelabu dari balik jendela besar kamar Tavira. Hujan belum turun, tapi awan menggantung berat seperti hatinya.
Kamar itu begitu luas dan mewah, dengan nuansa krem dan emas yang seharusnya membuat nyaman malah terasa dingin dan asing. Tavira duduk di tepi ranjang, memeluk kedua lututnya. Lampu gantung kristal di langit-langit memancarkan cahaya hangat, tapi tidak menjangkau sudut hatinya yang beku. Sudah tiga hari dia tinggal di rumah ini, rumah keluarga Haryodipura, rumah Darian. Tapi bahkan bayangan Darian saja nyaris tak pernah terlihat. Sibuk, kata pelayan. Meeting terus, kata sopir. Tapi bagi Tavira, itu semua hanya kata lain dari 'menghindar.' Tavira menarik napas panjang. Dinding kamar ini terlalu tebal untuk bisa menangkap suara kehidupan dari luar. Tak ada suara langkah kaki, tak ada tawa, tak ada panggilan akrab dari ruang tengah. Hanya suara detik jam di dinding yang terus berdetak, mengiringi sepi. Ia menatap ponselnya. Tak ada pesan masuk. Tak dari Mama, tak dari teman-temannya, apalagi dari Darian. Seolah ia sedang hidup di dunia yang terisolasi, dalam sangkar emas yang tak bernyawa. Matanya mengarah ke sisi ranjang yang kosong. Ranjang itu terlalu besar untuk hanya ditempati satu orang. Ia membaringkan diri pelan, menghadap ke sisi kosong itu, lalu bergumam lirih. “Kenapa aku di sini, ya?” Tavira tak menangis, tapi hatinya seperti meluruh sedikit demi sedikit. Sunyi itu tak bersuara, tapi tajam. Mengiris keyakinannya yang dulu sempat ia genggam saat menerima pernikahan ini. Angin malam masuk dari celah jendela, menggoyangkan tirai tipis putih yang menjuntai hingga lantai. Dan dalam kesunyian itu, Tavira memejamkan mata, mencoba memeluk dirinya sendiri. Karena malam ini, tak ada siapa pun yang bisa melakukannya untuknya. Tak lama kemudian. Suara notifikasi video call berbunyi nyaring mengusik kesunyian. Tavira tahu suara itu. Panggilan grup dari kawan-kawan modelnya. Bergegas ia menjawab. Empat wajah ceria langsung muncul di layar. “Hai, pengantin baru~” teriak mereka hampir bersamaan. Anehnya, Tavira berubah riang begitu melihat wajah-wajah tak asing. Lupa kalau sebelumnya sempat mengeluh kesepian. “Kami nggak ganggu, kan?” ujar Dhiya, si sulung yang juga senior dan mentor Tavira di dunia modeling. “Suamimu di rumah?” tanya Hasana, yang paling muda dan selalu penasaran. “Enggak. Darian belum pulang kerja.” Tavira menjawab jujur. “Kamu di kamar?” Dhiya mencondongkan kepala. Tavira mengangguk. Ia memutar kamera, menunjukkan kamar luas bergaya klasik yang biasa hanya dilihat teman-temannya di televisi. “Wow, itu kamar pengantin kalian? Gila, kayak hotel bintang tujuh!” ujar Eshan, satu-satunya lelaki dalam kelompok mereka. Tavira mengangguk lagi, menyembunyikan keterkejutan mendengar frasa kamar pengantin yang terasa asing baginya. “Jendelanya gede banget, ya. Romantis banget pasti kalau suami-istri lagi... ehm,” celetuk Laya dengan senyum nakalnya. “Hei, jangan samakan Tavira dengan kamu, Laya!” ujar Hasana geli. Tawa mereka pecah. Tawa yang hangat, akrab dan sejenak menghangatkan hati Tavira. “Gak nyangka sih, teman kita yang paling polos, yang dulu salaman sama cowok saja kaku, malah jadi istri duluan,” kata Dhiya, diikuti anggukan dari yang lain. “Suamimu beruntung banget, dapat wanita baik, bersih, dan setia kayak kamu,” tambah Eshan, tulus meski diselingi nada bercanda. Tavira tersenyum kecil. Eshan adalah teman yang paling tahu bagaimana ia menjaga hubungan dengan Darian, bahkan sebelum menikah. “Ngomong-ngomong, kami kangen, Vi. Walaupun kamu udah berhenti jadi model, sesekali nongkrong bareng dong. Suamimu nggak bakal melarang, kan?” kata Dhiya. Dibilang begitu, Tavira malah jadi berpikir, apa dia masih diperbolehkan bersama dengan teman-teman lamanya, atau sepenuhnya menjadi Nyonya Haryodipura dengan status sosial yang baru. Mereka memang belum membicarakan hal itu. Yang pasti Darian tak akan keberatan kalau Tavira keluar hanya untuk nongkrong dengan teman-teman. Perjanjian mereka tidak sekaku itu. “Tentu. Aku akan datang.” “Dan jangan lupa cerita tentang kehidupan ranjang yaa~” sahut Laya, menggoda. “Laya!” protes mereka serempak. “Udah ah, kasihan Tavira, nanti suaminya keburu pulang. Siapkan baju seksi sana buat penyambutan!” kata Eshan sambil mengedipkan mata. “Kalau butuh inspirasi, telepon aku ya, Tavira!” seru Laya lagi. Tavira tertawa kecil. Tapi di balik tawanya, ia tahu tak satu pun hal yang teman-temannya bayangkan itu benar. Tak ada adegan romantis. Bahkan mungkin disentuh pun tidak. Ia mengakhiri panggilan dengan lambaian tangan dan senyum selembut mungkin. Senyum yang harus terlihat seperti senyum bahagia seorang pengantin baru. Begitu layar ponsel padam, senyum itu pun sirna. Ruangan kembali sunyi. Tatapan Tavira kosong ke arah tirai putih yang kembali bergoyang perlahan. Dan di benaknya hanya satu kalimat yang terpikirkan. Boro-boro hubungan suami istri. Disentuh Darian pun rasanya tak akan pernah terjadi. BERSAMBUNGUdara malam di gang itu terasa dingin, tapi dada Darian panas seperti disulut dari dalam.Ia tidak tahu harus melakukan apa. Tas di tangannya menjadi alasan semu untuk tetap berdiri di tempat. Sementara Tavira menatapnya tak berkedip, seolah tak yakin sosok di depannya benar-benar nyata.“Tavira.”Hanya satu kata itu yang berhasil keluar dari mulutnya, pelan, nyaris serak.Tavira masih diam. Matanya menatap Darian lama, sangat lama, seakan mencoba memastikan bahwa semua ini bukan permainan cahaya atau ilusi kenangan yang sering menghantuinya di malam sepi.Begitu Darian melangkah setengah langkah mendekat, Tavira mundur spontan. Gerakannya refleks, tapi cukup untuk membuat sesuatu di dada Darian retak pelan.Darian berhenti di tempat. Menunduk sedikit, lalu mengembuskan napas pelan.“Aku hanya mau mengembalikan ini.”Darian mengulurkan tas yang tadi direbut dari pencopet, nada suaranya terkendali tapi bergetar d
Sudah tiga hari berlalu sejak Darian menemukan Bloomia.Namun setiap kali pikirannya mencoba fokus pada laporan proyek, nama toko itu selalu muncul kembali di sudut benaknya, seperti aroma bunga yang samar tapi tidak pernah benar-benar hilang.Ia masih di Malang.Alasan resminya, meninjau progres proyek tahap dua Green Arcadia.Alasan sebenarnya, ia belum siap pergi. Belum siap meninggalkan kota yang diam-diam menyimpan seseorang yang selama ini hanya hadir dalam mimpi.Pagi itu, setelah rapat dengan tim arsitek, Darian duduk sendirian di kafe kecil di seberang jalan. Di hadapannya, secangkir kopi hitam sudah dingin. Ia menatap ke seberang, ke arah toko yang jendelanya dihiasi bunga mawar dan lily beraneka warna. Bloomia.Tirai putih di jendela terbuka setengah. Di dalam, Tavira tampak sibuk melayani pelanggan. Gerak tubuhnya ringan dan cekatan, senyumnya tulus, matanya tenang.Darian tidak bisa menahan senyum samar yang muncul di bib
Hari di Malang cerah. Udara sejuk, langit biru muda dengan awan berarak lambat di atas deretan bukit jauh di sana. Mobil hitam yang ditumpangi Darian berhenti di depan area proyek Green Arcadia, kawasan perumahan ramah lingkungan yang sedang dibangun di pinggiran kota.Darian turun dari mobil, mengenakan kemeja abu muda dan jas ringan. Sikapnya tetap tenang, formal, seperti biasa. Namun di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. Perasaan asing yang muncul setiap kali ia menjejak tanah Malang.Ia menyusuri area proyek, meninjau pembangunan perumahan tahap awal. Para pekerja menyapa hormat, dan ia membalas dengan anggukan pendek. Satu per satu laporan ia baca, revisi ia berikan, dan instruksi keluar dari mulutnya dengan nada tegas tapi tidak berlebihan.Semuanya tampak biasa. Profesional.Namun setiap kali ia menatap langit biru di atas sana, pikirannya melayang. Ada nama yang berkali-kali muncul tanpa izin.Sore mulai turun. M
Malam itu, jalan tol menuju Jakarta basah oleh embun. Mobil yang mereka tumpangi meluncur stabil di jalur kanan, meninggalkan kota Malang yang perlahan tenggelam di belakang.Eshan duduk di kursi depan, sementara Darian bersandar di kursi belakang, matanya terpejam setengah. Pria itu sudah tertidur ringan, napasnya pelan, bahunya bergerak tenang seiring ritme mobil.Kelelahan setelah serangkaian rapat dan inspeksi proyek membuat tubuhnya terasa berat, tapi pikirannya belum sepenuhnya tenang. Lampu-lampu kendaraan yang berpapasan memantul di wajahnya sesekali, menciptakan bayangan bergerak di permukaan kulitnya.Mobil berguncang ringan, dan di tengah keheningan itulah suara berdering pelan terdengar dari kursi depan. Nada dering lembut, milik Eshan. Pria itu menoleh cepat, menurunkan volumenya sebelum menjawab dengan suara pelan.“Hallo?”Darian masih setengah sadar, tapi tidak sepenuhnya tertidur. Suara lembut Eshan di depan sana tentu bisa kedenga
Langit Malang sore itu berwarna lembut, perpaduan biru muda dan jingga pucat.Udara di kota itu terasa berbeda. Tidak sepadat kota besar, tapi juga tidak terlalu sunyi. Ada ritme yang tenang, seolah setiap hembus angin membawa jeda untuk berpikir.Mobil perusahaan berhenti di depan gerbang proyek. Plang bertuliskan Green Arcadia - Malang Site Development berdiri tegak di pinggir jalan, diapit dua pohon flamboyan yang mulai berbunga.Darian turun, mengenakan kemeja putih dan celana bahan abu tua. Ia menatap sekeliling lahan luas yang akan dikembangkan menjadi kompleks hunian ramah lingkungan.Tim lokal sudah menunggu di bawah tenda kecil, lengkap dengan peta lokasi dan rencana gambar 3D yang terpampang di layar.“Selamat datang di Malang, Pak Darian,” sambut kepala proyek, Pak Anwar, sambil menyalami tangannya dengan sopan.“Kami sudah siapkan laporan survei dan beberapa rekomendasi arsitektur.”Darian mengangguk kecil. “Baik, mari kit
Ruang rapat lantai dua puluh terasa berbeda pagi itu. Bukan hanya karena kehadiran seluruh kepala divisi, tapi juga karena suasana yang lebih hidup dari biasanya.Slide demi slide di layar menampilkan visi proyek Green Arcadia. Hunian ramah lingkungan yang menggabungkan teknologi, arsitektur hijau, dan keseimbangan hidup urban.Darian duduk di ujung meja, memperhatikan dengan tenang. Kemejanya putih polos, tanpa dasi, dan lengan digulung sampai siku.Wajahnya tetap serius seperti biasa, tapi Eshan yang duduk di sebelahnya tahu. Ini adalah versi Darian yang paling fokus setelah sekian lama.“Target pasar kita adalah keluarga muda dan profesional yang mencari keseimbangan antara kota dan alam,” jelas seorang manajer proyek dengan penuh semangat.“Kami sudah menyiapkan tiga konsep desain berbeda, tergantung lokasi dan kontur tanah di tiap kota.”Darian menautkan jemarinya di atas meja.“Baik. Tapi pastikan konsep itu nggak hanya menarik







