LOGINMobil berhenti tepat di depan sebuah gerbang besi tinggi dengan ukiran detail dan elegan.
Tavira menelan ludah saat gerbang terbuka perlahan, memperlihatkan halaman luas seperti taman botani, lengkap dengan air mancur, pohon-pohon tua, dan lampu taman bergaya Eropa. Ia tidak pernah membayangkan akan masuk ke rumah seperti ini. Setidaknya bukan sebagai penghuni. Darian tak menunjukkan ekspresi apa pun. Hanya menyetir. Seolah tidak ada hal luar biasa yang sedang terjadi. Mobil melaju pelan hingga berhenti di depan pintu masuk utama. Dua orang staf rumah tangga langsung datang membukakan pintu, menyambut dengan sopan. “Selamat datang, Nyonya.” Nyonya. Tavira hampir menoleh ke belakang, mencari siapa yang mereka panggil, sebelum sadar itu dirinya sekarang. Langkah pertama Tavira ke dalam rumah terasa seperti melangkah ke dunia lain. Lantai marmer putih mengilap memantulkan bayangan langit-langit kristal yang tergantung puluhan lampu gantung. Aroma bunga segar dan kayu mahal memenuhi udara. “Ini ruang utama,” kata Darian, akhirnya angkat bicara. Suaranya datar, nyaris terdengar seperti formalitas. Tavira hanya mengangguk, menahan diri untuk tidak menunjukkan keterpukauannya terlalu terang-terangan. Ia merasa kecil, terlalu sederhana, terlalu asing di antara segala kemewahan ini. “Kamu akan tinggal di kamar sebelah kanan tangga. Sudah disiapkan sesuai permintaanmu. Ada jendela menghadap taman.” “Kamar kita terpisah?” tanyanya, polos. Darian menatapnya sekilas. “Aku pikir itu sudah cukup jelas.” Tavira mengangguk cepat, dalam hati merutuk, pertanyaan yang bodoh. Langkahnya kemudian dibimbing oleh seorang pelayan wanita, melewati lorong-lorong panjang dengan lukisan-lukisan antik dan karpet tebal yang menelan suara langkahnya. Sesekali, ia melihat pantulan dirinya di cermin besar yang tergantung di dinding. Ada seorang perempuan muda dengan gaun sederhana, tampak seperti tersesat di museum mewah. Itu adalah dirinya. Sesampainya di kamar, pintu dibuka dengan sopan. Tavira masuk tanpa ragu. Dan sekali lagi takjub pada ruangan yang akan menjadi kamarnya tersebut. Ruangan itu lebih besar dari keseluruhan rumah Mama. Ada balkon kecil, tempat duduk nyaman di dekat jendela, dan ranjang queen size dengan sprei putih bersih. Sudah ada koper miliknya di sudut, entah siapa yang membawanya ke sana. Begitu pintu ditutup pelayan, Tavira duduk di tepi ranjang, memandangi sekeliling ruangan sambil menenangkan napas. “Jadi begini rasanya tinggal bersama seorang konglomerat.” Ia tersenyum kecil, getir. Belum sempat ia membaringkan diri ke atas kasur, pintunya yang tertutup diketuk seseorang. Tidak sulit mencari tahu siapa yang mengetuk, sebab setelahnya orang itu memanggil dengan suara yang khas. Tavira bisa dengan mudah menebak pemilik suara walau tanpa melihat muka. Yaitu suara lelaki yang dia cintai. "Bisa keluar sebentar. Kita bicarakan tentang kontrak." Suara Darian menggaung sekitar kamar. Baru beberapa menit dia menikmati tinggal di rumah mewah sang konglomerat. Tavira dibenturkan kenyataan kalau dia tidak akan selamanya tinggal di sana. Perihal kontrak memang belum mereka bahas dengan seksama. Ada pasal-pasal yang mesti ditaati. Sekaligus tanda tangan untuk mengikat secara resmi. "Baiklah, aku segera keluar." Tavira bergegas menuju pintu tempat Darian menunggu. Meski ia yakin terlambat sedikit saja Darian akan bertolak pergi. Kelihatannya dia tipe yang tidak bisa menunggu lama. Benar saja, Tavira sudah berusaha secepat yang ia bisa, tapi Darian meninggalkan dengan punggung dingin seolah memberi tanda, ikuti aku. Darian berjalan ke lorong diikuti Tavira di belakangnya. Satu langkah kaki Darian sama dengan dua langkah Tavira. Darian terlalu cepat, Tavira mesti berlari kecil jika tidak mau tertinggal. Sampailah mereka di ruangan yang Tavira tebak adalah ruang kerja Darian. Sebab ada banyak dokumen-dokumen di meja. Rak tinggi berisikan buku-buku. Juga meja dan kursi dimana terdapat komputer dan perangkat lainnya. Ruangan kerja Darian terasa dingin. Bukan karena suhu, tapi karena nuansa formal yang menyelimutinya. Semua serba teratur, netral, dan jauh dari kesan hangat. Tavira duduk di sofa berlapis kulit di seberang meja kerja besar itu. Di hadapannya, Darian membalik halaman sebuah dokumen dengan suara kertas yang terlalu nyaring dalam keheningan mereka. “Ini draft kontrak pernikahan kita,” kata Darian akhirnya. Suaranya tenang, nyaris tak beremosi. “Kamu boleh membacanya sekarang. Atau kalau mau, aku bisa menjelaskan poin-poin utamanya.” Tavira mengangguk pelan. “Tolong jelaskan saja.” Darian menarik napas, lalu mulai menyebutkan poin-poin utama. “Pertama, pernikahan ini akan berlangsung selama satu tahun. Setelah itu, kita akan bercerai secara baik-baik, tanpa gugatan apa pun dari kedua pihak.” Tavira menelan ludah, tapi tetap fokus. “Kedua, kamu akan tinggal di rumah ini selama durasi pernikahan. Semua kebutuhan pokokmu akan ditanggung olehku. Termasuk pakaian, transportasi, dan fasilitas kesehatan.” Ia mencatat dalam hati. Mengangguk. “Ketiga, kita akan tampil sebagai pasangan suami istri di depan publik, terutama dalam acara keluarga atau sosial. Tapi di balik itu, nggak ada kewajiban untuk... bersikap romantis.” Tavira mengangkat alis, sedikit tergelitik. “Kewajiban bersikap romantis?” “Jangan memintaku tiba-tiba menggandeng tanganmu atau sesuatu sejenis itu.” Darian menatapnya lurus. “Aku gak menyukainya. Dan kuharap kamu juga.” Tavira tersenyum tipis. “Baik. Lanjutkan.” “Keempat, nggak ada keterlibatan perasaan selama kontrak berlangsung. Jika salah satu pihak merasa hubungan ini mengarah ke arah personal, maka kita akan meninjau ulang kontraknya secara dewasa dan profesional.” Tavira diam. Apa itu artinya Tavira maupun Darian tidak boleh memiliki perasaan cinta? Lucu. Ia sudah lama menyimpan perasaan padanya, dan sekarang perasaannya justru diatur dalam pasal-pasal. Dan terakhir— “Kelima,” Darian menatap langsung ke matanya, “kamu dilarang menjalin hubungan dengan pria lain selama kontrak ini berlaku. Aku juga gak akan melibatkan wanita lain dalam hidupku. Kita harus menjaga citra ini sebaik mungkin.” Tavira menarik napas. “Kalau aku melanggar?” “Kontrak batal. Dan... kamu akan menerima kompensasi yang lebih kecil dari yang sudah dijanjikan.” Tavira menatapnya lama. Tentang itu lagi. Uang. Mungkin Darian pikir Tavira menerima kesepakatan ini karena uangnya. Padahal bukan itu yang diharapkan Tavira. "Boleh aku mengajukan satu syarat?" potong Tavira. "Apa itu?" "Selama kontrak, dilarang ikut campur privasi masing-masing, termasuk urusan masa lalu." Tavira wajib mencantumkan itu, atau Darian akan mengorek perasaannya. Bisa-bisa dia ketahuan dengan mudah kalau motivasi sebenarnya kesepakatan ini karena ingin bersama Darian. Ingin memonopoli Darian meski secara diam-diam. “Oke. Aku akan masukkan itu ke dalam pasal.” Tavira mengangguk pelan. Disusul Darian yang menuliskan sesuatu di atas kertas. Tambahan poin yang baru diusulkan. "Sekarang tanda tangani bagian ini." Darian menunjuk bagian dimana terdapat nama Tavira juga materai di atasnya. “Baik,” katanya akhirnya. “Aku akan menandatanganinya.” Darian menyodorkan pulpen. Jari mereka bersentuhan sekilas. Sekilas saja, tapi cukup untuk membuat Tavira membatin. Meski ini hanyalah perjanjian kaku di atas kertas, hatinya mungkin tidak akan sekuat itu menaati. Terutama di bagian tidak terlibat perasaan satu sama lain. Bagaimana Tavira menyembunyikan perasaan itu dari Darian. Seandainya dia tahu, perasaannya masih sama seperti saat memandangi wajah Darian dari majalah. Masih sama sampai detik ini ia menyoretkan tanda tangannya. Tavira selesai. Giliran Darian. Dan kontrak sempurna kuat secara hukum. Karena tidak ada lagi yang akan mereka lakukan di ruangan itu, Tavira pamit permisi. Pintu menutup pelan di belakang Tavira. Suara kliknya nyaris tenggelam oleh detak jam dinding yang teratur. Darian tetap duduk diam, matanya masih tertuju pada tempat kosong di mana tadi Tavira duduk. Ia menggenggam pulpen yang tadi dipakai Tavira, jari-jarinya perlahan mengetuk-ngetuk permukaannya. Satu tahun. Mari bertaruh, berapa lama wanita itu akan bertahan. BERSAMBUNGUdara malam di gang itu terasa dingin, tapi dada Darian panas seperti disulut dari dalam.Ia tidak tahu harus melakukan apa. Tas di tangannya menjadi alasan semu untuk tetap berdiri di tempat. Sementara Tavira menatapnya tak berkedip, seolah tak yakin sosok di depannya benar-benar nyata.“Tavira.”Hanya satu kata itu yang berhasil keluar dari mulutnya, pelan, nyaris serak.Tavira masih diam. Matanya menatap Darian lama, sangat lama, seakan mencoba memastikan bahwa semua ini bukan permainan cahaya atau ilusi kenangan yang sering menghantuinya di malam sepi.Begitu Darian melangkah setengah langkah mendekat, Tavira mundur spontan. Gerakannya refleks, tapi cukup untuk membuat sesuatu di dada Darian retak pelan.Darian berhenti di tempat. Menunduk sedikit, lalu mengembuskan napas pelan.“Aku hanya mau mengembalikan ini.”Darian mengulurkan tas yang tadi direbut dari pencopet, nada suaranya terkendali tapi bergetar d
Sudah tiga hari berlalu sejak Darian menemukan Bloomia.Namun setiap kali pikirannya mencoba fokus pada laporan proyek, nama toko itu selalu muncul kembali di sudut benaknya, seperti aroma bunga yang samar tapi tidak pernah benar-benar hilang.Ia masih di Malang.Alasan resminya, meninjau progres proyek tahap dua Green Arcadia.Alasan sebenarnya, ia belum siap pergi. Belum siap meninggalkan kota yang diam-diam menyimpan seseorang yang selama ini hanya hadir dalam mimpi.Pagi itu, setelah rapat dengan tim arsitek, Darian duduk sendirian di kafe kecil di seberang jalan. Di hadapannya, secangkir kopi hitam sudah dingin. Ia menatap ke seberang, ke arah toko yang jendelanya dihiasi bunga mawar dan lily beraneka warna. Bloomia.Tirai putih di jendela terbuka setengah. Di dalam, Tavira tampak sibuk melayani pelanggan. Gerak tubuhnya ringan dan cekatan, senyumnya tulus, matanya tenang.Darian tidak bisa menahan senyum samar yang muncul di bib
Hari di Malang cerah. Udara sejuk, langit biru muda dengan awan berarak lambat di atas deretan bukit jauh di sana. Mobil hitam yang ditumpangi Darian berhenti di depan area proyek Green Arcadia, kawasan perumahan ramah lingkungan yang sedang dibangun di pinggiran kota.Darian turun dari mobil, mengenakan kemeja abu muda dan jas ringan. Sikapnya tetap tenang, formal, seperti biasa. Namun di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. Perasaan asing yang muncul setiap kali ia menjejak tanah Malang.Ia menyusuri area proyek, meninjau pembangunan perumahan tahap awal. Para pekerja menyapa hormat, dan ia membalas dengan anggukan pendek. Satu per satu laporan ia baca, revisi ia berikan, dan instruksi keluar dari mulutnya dengan nada tegas tapi tidak berlebihan.Semuanya tampak biasa. Profesional.Namun setiap kali ia menatap langit biru di atas sana, pikirannya melayang. Ada nama yang berkali-kali muncul tanpa izin.Sore mulai turun. M
Malam itu, jalan tol menuju Jakarta basah oleh embun. Mobil yang mereka tumpangi meluncur stabil di jalur kanan, meninggalkan kota Malang yang perlahan tenggelam di belakang.Eshan duduk di kursi depan, sementara Darian bersandar di kursi belakang, matanya terpejam setengah. Pria itu sudah tertidur ringan, napasnya pelan, bahunya bergerak tenang seiring ritme mobil.Kelelahan setelah serangkaian rapat dan inspeksi proyek membuat tubuhnya terasa berat, tapi pikirannya belum sepenuhnya tenang. Lampu-lampu kendaraan yang berpapasan memantul di wajahnya sesekali, menciptakan bayangan bergerak di permukaan kulitnya.Mobil berguncang ringan, dan di tengah keheningan itulah suara berdering pelan terdengar dari kursi depan. Nada dering lembut, milik Eshan. Pria itu menoleh cepat, menurunkan volumenya sebelum menjawab dengan suara pelan.“Hallo?”Darian masih setengah sadar, tapi tidak sepenuhnya tertidur. Suara lembut Eshan di depan sana tentu bisa kedenga
Langit Malang sore itu berwarna lembut, perpaduan biru muda dan jingga pucat.Udara di kota itu terasa berbeda. Tidak sepadat kota besar, tapi juga tidak terlalu sunyi. Ada ritme yang tenang, seolah setiap hembus angin membawa jeda untuk berpikir.Mobil perusahaan berhenti di depan gerbang proyek. Plang bertuliskan Green Arcadia - Malang Site Development berdiri tegak di pinggir jalan, diapit dua pohon flamboyan yang mulai berbunga.Darian turun, mengenakan kemeja putih dan celana bahan abu tua. Ia menatap sekeliling lahan luas yang akan dikembangkan menjadi kompleks hunian ramah lingkungan.Tim lokal sudah menunggu di bawah tenda kecil, lengkap dengan peta lokasi dan rencana gambar 3D yang terpampang di layar.“Selamat datang di Malang, Pak Darian,” sambut kepala proyek, Pak Anwar, sambil menyalami tangannya dengan sopan.“Kami sudah siapkan laporan survei dan beberapa rekomendasi arsitektur.”Darian mengangguk kecil. “Baik, mari kit
Ruang rapat lantai dua puluh terasa berbeda pagi itu. Bukan hanya karena kehadiran seluruh kepala divisi, tapi juga karena suasana yang lebih hidup dari biasanya.Slide demi slide di layar menampilkan visi proyek Green Arcadia. Hunian ramah lingkungan yang menggabungkan teknologi, arsitektur hijau, dan keseimbangan hidup urban.Darian duduk di ujung meja, memperhatikan dengan tenang. Kemejanya putih polos, tanpa dasi, dan lengan digulung sampai siku.Wajahnya tetap serius seperti biasa, tapi Eshan yang duduk di sebelahnya tahu. Ini adalah versi Darian yang paling fokus setelah sekian lama.“Target pasar kita adalah keluarga muda dan profesional yang mencari keseimbangan antara kota dan alam,” jelas seorang manajer proyek dengan penuh semangat.“Kami sudah menyiapkan tiga konsep desain berbeda, tergantung lokasi dan kontur tanah di tiap kota.”Darian menautkan jemarinya di atas meja.“Baik. Tapi pastikan konsep itu nggak hanya menarik







