Beranda / Romansa / Satu Tahun Jadi Istrimu / Bab 6. Perjanjian di Atas Kertas

Share

Bab 6. Perjanjian di Atas Kertas

Penulis: Liani April
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-09 15:33:50

Mobil berhenti tepat di depan sebuah gerbang besi tinggi dengan ukiran detail dan elegan.

Tavira menelan ludah saat gerbang terbuka perlahan, memperlihatkan halaman luas seperti taman botani, lengkap dengan air mancur, pohon-pohon tua, dan lampu taman bergaya Eropa.

Ia tidak pernah membayangkan akan masuk ke rumah seperti ini. Setidaknya bukan sebagai penghuni.

Darian tak menunjukkan ekspresi apa pun. Hanya menyetir. Seolah tidak ada hal luar biasa yang sedang terjadi.

Mobil melaju pelan hingga berhenti di depan pintu masuk utama. Dua orang staf rumah tangga langsung datang membukakan pintu, menyambut dengan sopan.

“Selamat datang, Nyonya.”

Nyonya.

Tavira hampir menoleh ke belakang, mencari siapa yang mereka panggil, sebelum sadar itu dirinya sekarang.

Langkah pertama Tavira ke dalam rumah terasa seperti melangkah ke dunia lain. Lantai marmer putih mengilap memantulkan bayangan langit-langit kristal yang tergantung puluhan lampu gantung. Aroma bunga segar dan kayu mahal memenuhi udara.

“Ini ruang utama,” kata Darian, akhirnya angkat bicara. Suaranya datar, nyaris terdengar seperti formalitas.

Tavira hanya mengangguk, menahan diri untuk tidak menunjukkan keterpukauannya terlalu terang-terangan. Ia merasa kecil, terlalu sederhana, terlalu asing di antara segala kemewahan ini.

“Kamu akan tinggal di kamar sebelah kanan tangga. Sudah disiapkan sesuai permintaanmu. Ada jendela menghadap taman.”

“Kamar kita terpisah?” tanyanya, polos.

Darian menatapnya sekilas. “Aku pikir itu sudah cukup jelas.”

Tavira mengangguk cepat, dalam hati merutuk, pertanyaan yang bodoh.

Langkahnya kemudian dibimbing oleh seorang pelayan wanita, melewati lorong-lorong panjang dengan lukisan-lukisan antik dan karpet tebal yang menelan suara langkahnya.

Sesekali, ia melihat pantulan dirinya di cermin besar yang tergantung di dinding. Ada seorang perempuan muda dengan gaun sederhana, tampak seperti tersesat di museum mewah.

Itu adalah dirinya.

Sesampainya di kamar, pintu dibuka dengan sopan. Tavira masuk tanpa ragu. Dan sekali lagi takjub pada ruangan yang akan menjadi kamarnya tersebut.

Ruangan itu lebih besar dari keseluruhan rumah Mama.

Ada balkon kecil, tempat duduk nyaman di dekat jendela, dan ranjang queen size dengan sprei putih bersih. Sudah ada koper miliknya di sudut, entah siapa yang membawanya ke sana.

Begitu pintu ditutup pelayan, Tavira duduk di tepi ranjang, memandangi sekeliling ruangan sambil menenangkan napas.

“Jadi begini rasanya tinggal bersama seorang konglomerat.”

Ia tersenyum kecil, getir.

Belum sempat ia membaringkan diri ke atas kasur, pintunya yang tertutup diketuk seseorang.

Tidak sulit mencari tahu siapa yang mengetuk, sebab setelahnya orang itu memanggil dengan suara yang khas.

Tavira bisa dengan mudah menebak pemilik suara walau tanpa melihat muka. Yaitu suara lelaki yang dia cintai.

"Bisa keluar sebentar. Kita bicarakan tentang kontrak." Suara Darian menggaung sekitar kamar.

Baru beberapa menit dia menikmati tinggal di rumah mewah sang konglomerat. Tavira dibenturkan kenyataan kalau dia tidak akan selamanya tinggal di sana.

Perihal kontrak memang belum mereka bahas dengan seksama. Ada pasal-pasal yang mesti ditaati. Sekaligus tanda tangan untuk mengikat secara resmi.

"Baiklah, aku segera keluar."

Tavira bergegas menuju pintu tempat Darian menunggu. Meski ia yakin terlambat sedikit saja Darian akan bertolak pergi. Kelihatannya dia tipe yang tidak bisa menunggu lama.

Benar saja, Tavira sudah berusaha secepat yang ia bisa, tapi Darian meninggalkan dengan punggung dingin seolah memberi tanda, ikuti aku.

Darian berjalan ke lorong diikuti Tavira di belakangnya. Satu langkah kaki Darian sama dengan dua langkah Tavira. Darian terlalu cepat, Tavira mesti berlari kecil jika tidak mau tertinggal.

Sampailah mereka di ruangan yang Tavira tebak adalah ruang kerja Darian. Sebab ada banyak dokumen-dokumen di meja. Rak tinggi berisikan buku-buku. Juga meja dan kursi dimana terdapat komputer dan perangkat lainnya.

Ruangan kerja Darian terasa dingin. Bukan karena suhu, tapi karena nuansa formal yang menyelimutinya. Semua serba teratur, netral, dan jauh dari kesan hangat.

Tavira duduk di sofa berlapis kulit di seberang meja kerja besar itu. Di hadapannya, Darian membalik halaman sebuah dokumen dengan suara kertas yang terlalu nyaring dalam keheningan mereka.

“Ini draft kontrak pernikahan kita,” kata Darian akhirnya. Suaranya tenang, nyaris tak beremosi. “Kamu boleh membacanya sekarang. Atau kalau mau, aku bisa menjelaskan poin-poin utamanya.”

Tavira mengangguk pelan. “Tolong jelaskan saja.”

Darian menarik napas, lalu mulai menyebutkan poin-poin utama.

“Pertama, pernikahan ini akan berlangsung selama satu tahun. Setelah itu, kita akan bercerai secara baik-baik, tanpa gugatan apa pun dari kedua pihak.”

Tavira menelan ludah, tapi tetap fokus.

“Kedua, kamu akan tinggal di rumah ini selama durasi pernikahan. Semua kebutuhan pokokmu akan ditanggung olehku. Termasuk pakaian, transportasi, dan fasilitas kesehatan.”

Ia mencatat dalam hati. Mengangguk.

“Ketiga, kita akan tampil sebagai pasangan suami istri di depan publik, terutama dalam acara keluarga atau sosial. Tapi di balik itu, nggak ada kewajiban untuk... bersikap romantis.”

Tavira mengangkat alis, sedikit tergelitik. “Kewajiban bersikap romantis?”

“Jangan memintaku tiba-tiba menggandeng tanganmu atau sesuatu sejenis itu.” Darian menatapnya lurus. “Aku gak menyukainya. Dan kuharap kamu juga.”

Tavira tersenyum tipis. “Baik. Lanjutkan.”

“Keempat, nggak ada keterlibatan perasaan selama kontrak berlangsung. Jika salah satu pihak merasa hubungan ini mengarah ke arah personal, maka kita akan meninjau ulang kontraknya secara dewasa dan profesional.”

Tavira diam.

Apa itu artinya Tavira maupun Darian tidak boleh memiliki perasaan cinta?

Lucu. Ia sudah lama menyimpan perasaan padanya, dan sekarang perasaannya justru diatur dalam pasal-pasal.

Dan terakhir—

“Kelima,” Darian menatap langsung ke matanya, “kamu dilarang menjalin hubungan dengan pria lain selama kontrak ini berlaku. Aku juga gak akan melibatkan wanita lain dalam hidupku. Kita harus menjaga citra ini sebaik mungkin.”

Tavira menarik napas. “Kalau aku melanggar?”

“Kontrak batal. Dan... kamu akan menerima kompensasi yang lebih kecil dari yang sudah dijanjikan.”

Tavira menatapnya lama.

Tentang itu lagi. Uang. Mungkin Darian pikir Tavira menerima kesepakatan ini karena uangnya. Padahal bukan itu yang diharapkan Tavira.

"Boleh aku mengajukan satu syarat?" potong Tavira.

"Apa itu?"

"Selama kontrak, dilarang ikut campur privasi masing-masing, termasuk urusan masa lalu."

Tavira wajib mencantumkan itu, atau Darian akan mengorek perasaannya. Bisa-bisa dia ketahuan dengan mudah kalau motivasi sebenarnya kesepakatan ini karena ingin bersama Darian. Ingin memonopoli Darian meski secara diam-diam.

“Oke. Aku akan masukkan itu ke dalam pasal.”

Tavira mengangguk pelan. Disusul Darian yang menuliskan sesuatu di atas kertas. Tambahan poin yang baru diusulkan.

"Sekarang tanda tangani bagian ini."

Darian menunjuk bagian dimana terdapat nama Tavira juga materai di atasnya.

“Baik,” katanya akhirnya. “Aku akan menandatanganinya.”

Darian menyodorkan pulpen. Jari mereka bersentuhan sekilas. Sekilas saja, tapi cukup untuk membuat Tavira membatin.

Meski ini hanyalah perjanjian kaku di atas kertas, hatinya mungkin tidak akan sekuat itu menaati. Terutama di bagian tidak terlibat perasaan satu sama lain.

Bagaimana Tavira menyembunyikan perasaan itu dari Darian. Seandainya dia tahu, perasaannya masih sama seperti saat memandangi wajah Darian dari majalah. Masih sama sampai detik ini ia menyoretkan tanda tangannya.

Tavira selesai. Giliran Darian. Dan kontrak sempurna kuat secara hukum.

Karena tidak ada lagi yang akan mereka lakukan di ruangan itu, Tavira pamit permisi.

Pintu menutup pelan di belakang Tavira. Suara kliknya nyaris tenggelam oleh detak jam dinding yang teratur.

Darian tetap duduk diam, matanya masih tertuju pada tempat kosong di mana tadi Tavira duduk.

Ia menggenggam pulpen yang tadi dipakai Tavira, jari-jarinya perlahan mengetuk-ngetuk permukaannya.

Satu tahun.

Mari bertaruh, berapa lama wanita itu akan bertahan.

BERSAMBUNG

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Satu Tahun Jadi Istrimu   Bab 90. Awal Baru

    Rumah kecil peninggalan Mama hening. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar, berdenting pelan seolah menegaskan kesepian yang meringkuk di setiap sudut ruangan.Tavira duduk di kursi rotan di ruang tengah, menatap foto Mama yang tergantung di dinding. Senyum teduh Mama membalas tatapannya, tapi justru membuat sesak di dada.Sudah berhari-hari ia merasa begini. Bangun tidur tanpa sapaan Mama, tanpa aroma masakan sederhana yang dulu selalu menyambutnya. Sekarang, yang ada hanya keheningan menusuk dan kenangan yang terus datang tanpa diundang.Tavira menghela napas panjang, lalu mengambil ponselnya. Ia membuka aplikasi mobile banking. Angka di layar membuatnya terdiam. Lima puluh miliar.Nominal yang sangat besar, bahkan terlalu besar untuk perempuan yang dulu hanya terbiasa hidup pas-pasan bersama Mama.Di awal, Tavira menyetujui perjanjian absurd itu dengan Darian, adalah untuk bisa hidup bersama Mama dengan kompensasi yang mereka se

  • Satu Tahun Jadi Istrimu   Bab 89. Cukup Satu Tahun

    Kafe kecil di sudut Jakarta itu sore ini ramai pengunjung, tapi di sudut paling tenang, sebuah meja bundar dipenuhi wajah-wajah yang sudah sangat akrab bagi Tavira.Ada Eshan dengan kemeja kerjanya yang masih rapi, Dhiya yang tampak berusaha ceria meski matanya sedikit bengkak, Hasana yang duduk dengan sikap anggun, serta Laya yang sedari tadi tak bisa berhenti berkomentar.Tavira duduk di antara mereka, menyandarkan punggung pada kursi kayu, kedua tangannya memeluk gelas kopi dingin yang bahkan belum ia sentuh.Sejak kabar perceraiannya dengan Darian tersebar, ia tak punya pilihan selain menghadapi tatapan penuh tanya dari orang-orang terdekatnya. Dan hari ini, waktunya tiba.“Gila kamu, Tavira,” suara Laya langsung meledak, tak bisa menahan diri.“Aku kira kabar di forum gosip itu bohong. Mana mungkin kalian cerai? Baru juga setahun! Aku masih berharap kalian bakal punya anak terus buat keluarga impian semua orang.”“Laya.” Has

  • Satu Tahun Jadi Istrimu   Bab 88. Bukan Keluarga Lagi

    Rumah besar keluarga Haryodipura sore itu dipenuhi cahaya keemasan dari matahari yang perlahan tenggelam. Aroma kopi hangat yang baru diseduh memenuhi ruang tamu, namun suasana hati Bunda sama sekali tidak hangat. Ia duduk di kursi panjang berbalut kain biru muda, wajahnya tegang, bibirnya terkatup rapat.Ayah duduk di sebelahnya, menatap koran yang tak lagi terbaca. Tatapannya beberapa kali berpindah ke jam dinding, lalu ke arah pintu. Darian sudah bilang akan datang, dan mereka tahu ia membawa kabar besar.Tak lama kemudian, suara mesin mobil terdengar di halaman. Langkah berat memasuki rumah, dan Darian muncul. Jas hitamnya masih melekat, rambutnya sedikit berantakan, wajahnya tampak letih. Tak ada aura berwibawa yang biasanya menyelimutinya. Yang ada hanya sisa-sisa lelah, kesedihan, dan semacam kekalahan yang jarang terlihat dari sosok Darian Alastra Haryodipura.“Darian,” panggil Bunda, nadanya rendah tapi jelas mengandung kecemasan. “Apa yang kudengar ben

  • Satu Tahun Jadi Istrimu   Bab 87. Titik Akhir

    Hari itu, langit Jakarta tampak kelabu. Awan bergelayut rendah, seolah ikut menanggung beban berat yang sedang dipikul oleh dua hati yang pernah disatukan dalam janji rapuh.Di depan gedung pengadilan negeri, deretan mobil mewah dan sederhana bercampur menjadi saksi bisu dari berbagai kisah rumah tangga yang retak.Tavira melangkah dengan mantap. Wajahnya dingin, tatapannya lurus ke depan tanpa sedikit pun menoleh. Rambut hitamnya disanggul sederhana, busana putih gading yang ia kenakan memancarkan kesan berjarak. Bersih, tegas, dan tak tergoyahkan.Di sampingnya, pengacara yang ia sewa berjalan mengikuti, menenteng map berisi dokumen. Semua formal, semua prosedural. Tidak ada lagi nuansa hangat seperti ketika ia dulu menandatangani perjanjian pernikahan di rumah Darian. Kini semuanya hanya hitam di atas putih.Sementara itu, Darian berdiri beberapa langkah di belakang. Jas hitamnya rapi, dasi terikat sempurna, tapi wajahnya pucat. Sorot matanya tak perna

  • Satu Tahun Jadi Istrimu   Bab 86. Cinta Datang Terlambat

    Sejak pagi, Darian duduk di balik meja kerjanya, tapi pikirannya tidak pernah benar-benar berada di ruangan itu. Tumpukan berkas menunggu, layar laptop menyala, pena tergenggam erat di tangan, namun semua itu hanya benda mati yang tak sanggup menarik fokusnya.Yang terus berputar di kepalanya hanyalah wajah Tavira. Wajah perempuan itu ketika menangis di pemakaman, saat berkata ia membenci Darian, saat matanya dipenuhi kekecewaan yang lebih pedih dari apa pun yang pernah Darian rasakan.Ia menyesap kopi dingin yang sudah lama dibiarkan, rasanya pahit menempel di lidah. Tubuhnya ada di kantor, tapi jiwanya tercerabut.Pintu tiba-tiba berderit. Darian mengangkat kepala, dan saat itu jantungnya serasa berhenti.Tavira.Berdiri di ambang pintu dengan rambut tergerai seadanya, mata masih sembab, wajah pucat. Perempuan itu bagai bayangan yang selalu ia rindukan, sekaligus ketakutan terbesarnya.“Tavira…” Darian refleks menyebut namanya. Ada campura

  • Satu Tahun Jadi Istrimu   Bab 85. Perjanjian Akan Berakhir

    Rumah peninggalan Mama kini terasa asing. Sejak pemakaman selesai, Tavira lebih banyak menghabiskan waktu di ruang tamu yang sunyi. Foto Mama berdiri tegak di atas meja kecil, dihiasi bunga lili putih yang mulai layu. Senyum lembut dalam foto itu membuat dada Tavira seakan diremas.Ia duduk lama di kursi kayu, memandangi potret itu tanpa berkedip. Ada detik-detik di mana ia berharap semua ini hanya mimpi buruk, dan Mama akan muncul dari dapur sambil membawa teh hangat. Tapi kenyataan menamparnya tiap kali ia sadar, rumah ini benar-benar sepi.Air mata menggenang, namun Tavira buru-buru menghapusnya. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri. Tidak boleh lagi terlalu lama tenggelam dalam kesedihan. Mama tidak akan suka melihatnya terpuruk.Tapi ada hal lain yang terus menghantui pikirannya. Perjanjian itu. Pernikahan kontrak yang kini tersisa dua bulan lagi.Selama ini, Tavira membiarkan waktu mengalir, seolah akhir itu masih jauh. Namun setelah Mama tiada, s

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status