Share

Pembunuhan sang Komposer

“Mobilnya kau bawa pergi saja… Toh STNK sudah atas namamu. Anggap saja itu sebagai kenang-kenangan terakhirku untukmu. Ke depannya aku rasa kita takkan bertemu lagi…”

Robert Martin terus berjalan keluar dan akhirnya ia keluar dari ruangan sang direktur muda. Di koridor dalam perjalanannya menuju ke ruangan kerjanya sendiri, sang manager muda menyusulnya.

“Akhirnya kau menuruti juga apa yang kubilang. Ya, itu pilihan yang tepat… Dengan demikian, ada jaminan kau masih bisa menjalani kehidupanmu yang tenang nan tidak berombak itu. Iya tidak?” Tampak senyuman mengerikan di wajah sang manager muda.

“Kau yakin kau bisa tidur dengan tenang setiap malam?” balas Robert Martin dingin.

“Kenapa harus aku tidak tidur tenang, Robert?” Terdengar gelak tawa menjengkelkan di sini. “C’mon, Robert… Ini sudah zaman apa? Kau pikir masih ada tempat untuk orang jujur, dungu nan polos sepertimu?”

“Aku yakin cepat atau lambat korupsimu akan terbongkar.”

Robert Martin berlalu meninggalkan sang manager muda. Datang lagi seorang manager pabrik yang menghampiri si manager keuangan. Keduanya mengantar kepergian Robert Martin dengan sinar mata sinis.

“Akhirnya kita berhasil menyingkirkannya keluar. Sudah sejak awal aku bilang, dia hanya akan menjadi rumput pengganggu di sini,” tukas si manager pabrik.

“Sudah kauatur si pembunuh bayaran itu?” tanya si manager keuangan.

Si manager pabrik terperanjat mendengar pertanyaan itu. “Kan sudah kita singkirkan dia keluar dari perusahaan ini. Kau masih ingin membereskannya?”

“Mencabut rumput pengganggu itu ya harus sampai ke akar-akarnya. Lagipula, dengan tidak matinya Robert Martin Darelius ini, itulah yang akan membuatku tidak tidur tenang setiap malam. Kau mengerti kan?” Si manager keuangan berbisik di telinga si manager pabrik sebelum berlalu pergi.

Si manager pabrik meledak dalam tawanya yang penuh makna.

Jam dua belas lewat sedikit, akhirnya Robert Martin berhasil menyelesaikan segala kerjaan akhirnya pada hari itu. Dia tampak bergegas turun membawa barang-barangnya.

Tampak dia berjalan ke pelataran parkir, menuju ke mobilnya, dan barang-barang pribadinya diletakkannya di jok belakang mobilnya. Sejurus kemudian, terdengar deru mesin mobil meninggalkan pelataran parkir bangunan perusahaan.

Mobil melaju di jalanan kota Bandung. Mobil segera berbelok arah masuk ke suatu daerah perumahan yang agak sepi. Sungguh nahas bagi Robert Martin siang itu. Dia sama sekali tidak mengetahui mobilnya telah diincar oleh sebuah senapan yang dibidikkan ke arahnya dari atap sebuah bangunan bank yang terletak tidak jauh dari daerah tersebut.

Senapan ditembakkan. Peluru melesat dengan cepat, menembus kaca mobil dan segera bersarang pada kepala Robert Martin. Mobilnya meluncur tak tentu arah dan akhirnya menabrak sebuah pohon besar di pinggir jalan.

Seorang wanita keluar dari sebuah rumah di depan pohon tersebut. Dia mendengar suara tabrakan yang sangat keras. Benar saja… Dia menahan napas tatkala melihat sebuah mobil dengan bagian depannya yang sedikit ringsek di bawah sebuah pohon yang rindang. Si wanita memanggil suaminya keluar. Dengan takut-takut suami istri itu memeriksa apa sebenarnya yang telah terjadi dengan pengemudi mobil tersebut.

Anehnya, bagian dalam mobil tersebut tampak kosong. Tidak ada siapa-siapa di sana. Sabuk pengaman masih terpasang dengan rapi pada tempatnya. Kaca mobil bagian depan terbuka sedikit. Kunci mobil masih tertancap dengan rapi di tempatnya. Semua pintu mobil juga terkunci dengan sempurna.

Segenap kebingungan menyelinap ke padang sanubari suami istri tersebut.

***

Jakarta, awal Maret 2016

Sungguh sore menjelang malam yang sibuk bagi kota Jakarta… Macet di mana-mana… Terdengar klakson di mana-mana. Semuanya ingin duluan sampai ke tempat tujuan masing-masing. Tapi apa daya, jalan tidak bisa menampung jumlah kendaraan yang sebanyak itu. Akhirnya kemacetan terjadi di mana-mana. Pemandangan demikian sudah menjadi makanan umum bagi warga ibu kota.

Tampak bangunan Virgo Music Life berdiri di tengah-tengah kawasan Jakarta Selatan. Bangunan dengan sebelas lantai tersebut menjadi tempat pencarian dan pelatihan bakat-bakat generasi mendatang dalam bidang musik.

Namun, siapa sangka… Di dalamnya juga terdapat semacam permainan kotor…

“Oke… Latihan malam ini selesai sampai di sini ya,” kata Ray Wish Jenggala – yang merupakan salah seorang penari senior di Virgo Music Life. Kini dia bertugas mengajarkan tarian-tarian modern kepada anak-anak generasi baru yang baru saja naik ke atas panggung musik Indonesia.

“Nah, Sean temponya masih salah-salah, tidak mengikuti hentakan irama musiknya tadi ya… Lalu, Brandy masih lupa dengan posisinya di mana-mana saja. Besok waktu kita latihan lagi sudah harus ingat ya… Kemudian Keegan gerakan tangan dan kakinya masih bersalahan pada bagian chorus tadi ya… Gerakan tangan ke kiri, kaki yang ke kanan. Begitu juga sebaliknya. Tiga set… Habis itu, hentakkan kaki kanan sekali ke depan dan putar satu putaran penuh ya…” Ray Wish menunjukkan sekali lagi contoh gerakan yang benar kepada anak-anak didiknya.

Yang dipanggil Keegan dan anak-anak didik lainnya menganggukkan kepala mereka.

“Sudah bisa kembali ke kamar bagi yang tinggal di sini… Sudah bisa pulang bagi yang mau pulang ke rumah…” kata Ray Wish menyudahi latihan sore itu. Tampak keringat bercucuran membasahi wajah, leher dan keningnya. Dia menyeka keringatnya dengan handuk yang masih menggelantung di leher.

Anak-anak didiknya keluar dari ruangan latihan menari satu per satu. Pas Ray Wish mematikan lampu ruangan, dilihatnya Yongki Yamato berlalu di hadapannya begitu saja tanpa sedikit pun menoleh ke arahnya. Dilihatnya raut wajah Yongki Yamato yang sungguh tidak sedap dipandang mata.

Itu kan Yongki… Kenapa belum pulang dia? Biasanya sebelum jam empat sore saja, dia sudah tidak tampak di ruangannya. Dia selalu cepat pulang dengan alasan mau konsentrasi lebih dalam mengarang lagu. Malam ini tumben deh dia belum pulang…

Sepertinya dia sedang memiliki masalah. Aku jadi penasaran ingin tahu apa sebenarnya masalahnya itu…

Rasa penasaran itulah yang mengantarkan Ray Wish Jenggala menemui nasib nahasnya malam itu.

Ray Wish Jenggala memutuskan untuk mengikuti ke mana perginya Yongki Yamato. Terlihat Yongki Yamato berjalan masuk ke dalam lift. Lift terus naik membawanya hingga ke lantai paling atas. Ray Wish Jenggala menekan pintu lift yang ada di sebelahnya. Lift juga membawanya naik hingga ke lantai paling atas. Saat keluar dari lift, Ray Wish Jenggala masih sempat melihat sosok Yongki Yamato berjalan lurus ke bagian depan bangunan dan kemudian menghilang ke belokan kanan di ujung koridor.

Ray Wish Jenggala memutuskan untuk mengikutinya lagi.

Tampak Yongki Yamato langsung menerjang masuk ke sebuah ruangan dengan nama Jordan Saturnus Jr. yang tertempel di pintu. Pintu ruangan dibiarkannya menganga begitu saja sehingga Ray Wish Jenggala berkesempatan menguping pembicaraan yang tengah terjadi di dalam.  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status