Share

Saudara celamitan dari Neraka!
Saudara celamitan dari Neraka!
Author: Desti Anggraini

1. Ipar celamitan

last update Last Updated: 2024-08-05 08:04:29

"Mbak An! Mbak Ana!" teriak Sri. Ia tetangga yang tinggal di sebelah rumahku. Tanpa basa-basi ataupun izin, wanita itu nyelonong masuk ke dalam rumahku hingga menghampiriku yang sedang berada di dapur.

Sungguh tidak sopan!

"Ada apa Sri?" ucapku ketus pertanda tidak suka dengan sikapnya.

"Mbak ada cabe ndak, Mbak? Aku minta dikit," ujarnya seraya membuka pintu kulkasku tanpa izin. Mataku melotot melihat sikap beraninya itu.

"Kamu jadi orang gak sopan banget sih, Sri. Main buka-buka aja tanpa izin!" tegurku.

"Ya ampun, Mbak. Sama sepupu sendiri aja, pakai izin-izin segala," sahutnya tanpa rasa bersalah.

Mataku mendelik melihat tangan gembulnya yang lincah memindahkan hampir setengah cabe yang kumiliki ke dalam plastik asoy yang dia ambil dari bawah meja.

"Eh ... Sri, kamu minta apa merampok?! Itu kok diambil setengah!" tanyaku tidak terima. Baru kemaren aku membeli cabe yang beratnya sekilo itu dan baru aku masak sedikit semalam, itupun hanya untuk membuat sambal Mas Wahyu, suamiku.

"Ya elah, Mbak. Cabe Mbak kan banyak, tinggal beli lagi napa? Sama saudara gak boleh pelit-pelit, Mbak!" ujarnya tak tahu malu.

Darah ini serasa mendidih mendengar ucapannya itu. Ingin rasanya, semua cabe itu kusumpal kedalam mulutnya itu!

"Kamu juga kalau minta yang tahu diri dikit, dong! Hidup itu modal, jangan cuma minta-minta doang! Udah sana, pulang kamu!" usirku kesal.

Kudorong punggung wanita dengan body bohai itu, keluar dari rumahku. Jika lama-lama dia di sini bisa-bisa semua isi rumahku dia jarah.

"Mbak ngusir aku? Mbak, jadi orang kok pelit banget, sih! Baru sekedar cabe juga."

Aku mencebikkan bibirku, "Walau cuma cabe, itu beli! Sri Widiastuti! Bukan minta seperti kamu, lagian suamimu, kan kerja. Ya ... beli dong! Jangan seperti tikus yang selalu menggrogoti dapur orang!"

Kulihat mata sri melotot, menatapku tak suka. Biar saja, memang kenyataannya seperti itu.

Jika dia minta sekali-sekali mungkin aku tidak akan seberang ini. Ini ... hampir setiap hari dia meminta ke rumahku dari cabe, bawang, tomat, lauk serta hal-hal remeh hingga hal penting lainnya dan terkadang pernah dia meminjam koleksi tubbelwareku yang pada akhirnya tidak tahu lagi ada di mana.

Awal-awalnya aku memberikan karena kupikir sesama saudara. Namun, lama kelamaan aku jengah juga dengan caranya.

"Mbak, jadi saudara itu gak boleh pelit! Biar rezekinya lancar terus. Lagipula, gaji suamiku kan ... gak sebesar gaji suami mbak, apa lagi mbak juga gak punya anak kecil seperti aku. Gak beli perlengkapan susu dan Pampers, jadi wajar dong aku minta sedikit sama mbak. Lagi pula Mas Hadi kan adiknya Mas Wahyu," dalihnya Sri seraya berlalu pulang ke rumahnya.

"Loh ... masalah pengeluaranmu besar itu bukan urusanku, gaji suamimu kecil memangnya salahku? Dasar gemblong!" Sahutku ketus seraya menutup pintu, lalu menguncinya.

Hati ini rasanya kesal sekali, ingin rasanya kubelah otaknya itu dan mengintip isi yang ada di dalamnya. Ya ... Allah, kok ada manusia seperti itu, hobby jadi benalu untuk orang lain. Aku menyesal lupa mengunci pintu tadi, akhirnya cabeku lenyap hampir setengah kilo. Mana harga sekilo 60 ribu tadi. Ya Tuhan ... apes! Apes!

Rumah yang kutempati ini adalah rumah sebuah yang dibelah dua, hampir mirip rumah bedengan petak dua tapi permanen, sehingga suara Yang ada di sebuah tidak kedengaran orang yang tinggal di sebelahnya karena full tembok.

Aku dan Mas Wahyu sudah menikah selama dua tahun, tapi kami baru mengontrak di sini satu tahun yang lalu. Setelah itu, tujuh bulan kemudian menyusul adik sepupunya Hadi ikut mengontrak di sebelahku. Kerena Hadi bekerja di tempat kerja yang sama dengan suamiku, di rumah makan ujung simpang sana.

Biar enak ada yang nemenin katanya! Tapi kenyataanya, hidupku yang sengsara. Mereka yang hemat aku yang tekor kalau gini namanya.

~ ~ ~

"Mas, saudaramu itu kebangetan banget jadi orang! Kalau gini, lama-lama pengeluaranku jadi bengkak!" aduku pada mas Wahyu, malam saat dia sudah pulang.

Kami sedang duduk santai di sofa ruang tamu. Kubuatkan imamku itu secangkir kopi dan sepiring kecil pisang goreng garing kesukaannya.

Mas Wahyu menyeruput kopi itu dengan nikmat, lalu meletakkannya kembali diatas meja. Dia tersenyum manis menatapku.

"Memangnya ada masalah apalagi sih, Dek? Sampai wajah istri Mas yang cantik ini jadi kusut?" tanyanya yang tak lupa diselingi rayuan receh.

"Istri adik sepupumu itu, hampir setiap hari jarah isi kulkas Adek. Ada saja yang di pintanya setiap hari. Dari cabe, bawang, dan yang lainnya. Mana kalau minta gak pernah mikir, hampir semuanya ia ambil, aku kan ... nyetok isi kulkas biar hemat! Kalau ginikan, jadi boros! Aku gak bisa nabung untuk buat rumah kita nanti," jawabku sewot padanya. Nafasku naik turun karena emosi, mengingat apa yang terjadi terhadap isi dapurku.

Mas Wahyu menghela napas berat, "Mas bingung harus komentar apa, sayang. Lain kali kamu kunci aja pintunya, biar dia tidak masuk-masuk seenaknya. Lagi pula Mas gak enak negur Hadi tentang tingkah laku istrinya. Kamu tahu sendiri suami-istri itukan satu hati. Sama saja tingkahnya!"

"Terkadang aku lupa, Mas. Lagi pula kenapa kita tidak pindah saja dari kontrakan ini, sih, Mas? Lama-lama aku gak betah kalau bertetanggaan dengan sepupumu itu."

"Percuma kita pindah, Dek. Toh ... pada akhirnya mereka juga bakalan ngintilin lagi di sebelah kita. Lagi pula cuma rumah ini yang kontrakannya murah dan fasilitasnya bagus, mana dekat dengan tempat kerja, Mas," jelas Mas Wahyu. Aku menganggukkan kepala, apa yang dikatakan suamiku itu ada benarnya juga.

Pria tinggi putih itu menarik pinggangku yang ramping agar berada di dekapannya. Lalu mencium pipiku dengan mesra, membuat wajahku merona.

"Apaan sih, Mas?" tanyaku malu. Tanpa berbasa-basi sebagai seorang istri aku sudah tahu apa maksud dari tindakannya itu.

"Masalah tetangga sebelah, Mas pasrahkan sama kamu! Mas yakin, istri Mas yang cantik ini pasti bisa mengatasinya. Tapi malam ini kamu punya tugas penting, sayang. Mengatasi adik kecil Mas yang sudah mulai berontak," ujar Mas Wahyu yang sedikit vulgar di telingaku.

"Ishhh ... apaan sih, Mas. Bini lagi cerita eh ... malah bahas yang lain," ujarku sok jual mahal. Kupandangi mata suamiku yang mulai menghitam dipenuhi kabut gairah.

"Kan Mas udah bilang, Mas pasrah aja sama apa yang kamu lakukan pada mereka. Ayo dong, sayang! Siapa tahu malam ini jadi dedek, jadi kamu gak kesepian di rumah!" pintanya.

"Ya udah, ayo!" sahutku malu-malu. Aku berdiri beranjak menuju kamar yang disusul Mas Wahyu dari belakang. Kulihat pria itu nyengir kegirangan, seperti anak kecil yang di berikan lolipop.

Dasar!

Namun tak apalah, menyenangkan suami itu kan ibadah. Tapi menyenangkan tetangga yang tak tahu diri itu baru bodoh. Awas saja kamu ya, Sri. Lihat saja apa yang aku balas padamu nanti.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Saudara celamitan dari Neraka!   68. Wanita bercadar.

    Hari ini Mas Wahyu mengambil cuti, dia pergi ke rumah keluarga Hadi dari jam sembilan tadi. Aku yang kesepian memutuskan untuk main ke rumah Mbak Clara.Kami duduk di bawah batang jambu citra yang berdaun rimbun di halaman rumahnya. Di atas meja tersedia teh hangat dengan sekotak donat dari toko kue kesukaanku. "Ada apa, wajahmu tampak sedang cemas begitu?" tanya Mbak Clara seraya mencomot sebuah donat bertoping stoberry."Gak ada ada apa-apa, Mbak," jawabku bohong. Aku ingin bercerita banyak hal padanya, hanya saja takut akan sampai ke telinga orang tuaku nantinya. "Banyak bohong. Pasti kamu pusing dengan masalah saudara suamimu itu kan?" "Nggak kok, Mbak sok tahu aja. Lagian itu kan urusan mereka, kenapa juga aku harus mikirinnya," dalihku karena masih bingung mau cerita dari mana. Aku menghindari tatapan mata Mbak Clara yang menatapku menyelidik. "Jangan bohong. Kamu tidak berbakat bohong sama Mbak. Kamu lagi mikirin sepupu Wahyu itu kan," balas Mbak Clara seakan tahu isi hati

  • Saudara celamitan dari Neraka!   67. Teror hutang.

    "Astagfirullah, Bu. Ayo berdiri!" Kutarik dengan susah payah tubuhnya untuk kembali duduk di sofa bersamaku. "Tidak. Saya tidak akan berdiri sebelum Mbak Anna mau emnolong saya. Saya bahkan tidak akan pulang ke rumah bila perlu," ujarnya terdengar seperti mengancam.Aku tercengang dengan sikapnya yang begitu keras. Tapi masalahnya bukan aku yang menggunakan uang itu, lalu kenapa aku yang ditekan di sini?"Percuma Mama Rafka mau berkeras di sini. Lebih baik Mama Rafka pulang saja dulu ke rumah, nanti saya sama suami saya akan ke rumah orang tua Sri untuk mendiskusikan masalah uang-uang yang tidak dikembalikannya," saranku padanya. Jemari kurusku pun memijit pelipis karena kepalaku mulai berdenyut. Masalah yang sudah dibuat Sri seakan tiada habisnya dan aku yang tak tahu apa-apa jadi getahnya. "Mbak Ann. Jangan zholim sama saya Mbak.""Loh, saya zholim apa sama Bu Handoyo?" Aku yang terkejut tanpa sadar mulai meninggikan nada suaraku. Dengab perut yang membuncit aku berusaha bangkit

  • Saudara celamitan dari Neraka!   66. Kena getahnya.

    "Di mana Hadi, Bulek? Kenapa dia tidak ke rumah sakit menemui istrinya?" Aku tak menyangka suamiku itu akan langsung bertanya tentang sepupunya itu. Bulek Darsih tersenyum masam. Dia seperti enggan untuk menjawab pertanyaan kami, tapi karena Mas Wahyu terus mengulang pertanyaan yang sama akhirnya Bulek pun menjawab dengan ketus. "Untuk apa dia ke rumah sakit? Biarkan saja wanita itu mengurus dirinya sendiri di sana. Kamu tahu dengan jelas apa yang dilakukan wanita itu pada saudaramu Wahyu. Dan kamu hanya diam saja tanpa membantu." "Aku harus membantu apa? Hadi sebagai suami yang selama ini terlalu memanjakan istrinya. Sekarang saja karena sudah dapat wanita lain makanya berubah," jawab Mas Wahyu dingin. Sorot mata Bulek Darsih tak lagi bersahabat. Aku menyuruh Habibah untuk masuk ke dalam kamar, tak baik untuk anak kecil sepertinya mendengarkan keributan orang tua. Di tambah yang sedang di bahas saat ini adalah ibu kandungnya. "Kamu juga memanjakan istrimu tapi buktinya h

  • Saudara celamitan dari Neraka!   65. Jatuh tertimpa tangga.

    Pov. Anna"Mas, kasihan Sri, ya."Aku menoleh menatap suamiku yang tengah menyetir mobil, pandangan matanya menatapku sekilas kemudian kembali fokus menatap jalan. "Kasihan kenapa?" "Apa kamu gak merasa Mas. Tatapan mata Sri beda dari biasanya, dia nampak banyak berubah," ujarku bingung menjelaskan sudut pandangku padanya. "Berubah bagaimana? Mungkin karena lagi terkena musibah makanya dia tampak lebih tenang, tidak pecicilan seperti dulu," balas Mas Wahyu santai. Matanya masih fokus menatap jalan raya yang tengah ramai. Aku menghela napas panjang. Apa yang dikatakan Mas Wahyu ada benarnya juga. Masalah yang datang padanya bertubi-tubi, ibarat jatuh tertimpa tangga. "Hadi tidak datang. Apa benar dia ada di rumah menjaga anaknya?" "Entahlah, Mas," jawabku singkat. Aku malas melanjut pembahasan tentangnya. Pertanyaan Mas Hadi membuatku teringat atas apa yang dikatakan Ibu Sri padaku. Wanita tua modis itu tampak tak ikhlas merawat anaknya sendiri. Aku jadi mengerti alasan kenapa S

  • Saudara celamitan dari Neraka!   64. Mendung di pagi hari.

    Aku tersentak bangun dengan dada yang naik turun secara cepat. Jantungku seakan tengah melompat-lompat. Rasa nyeri di kepala kembali mendera. Langit-langit plafon berwarna putih serta bau obat serta antiseptik begitu menusuk hidung. Tanpa bertanya tentu aku sudah tahu dimana aku berada saat ini. Aku menoleh ke samping, kudapati wajah wanita yang masih kencang walau usianya telah menua itu menatapku sinis. "Kamu benar-benar bikin malu. Bisa-bisanya diamuk warga," ketusnya mengomeliku, bukannya bertanya lebih dulu tentang kondisiku."Ibu, sakit," ringisku mengadu. Aku juga ingin merasakan dikhawatirkan dan diperlakukan secara lembut seperti yang lain. "Syukurin, rasakan sendiri. Itu akibatnya punya otak tapi tak dipakai.""Bu, aku ini sakit. Bukannya ditanya bagaimana kabarku, Ibu justru memgomel dan menyumpahiku," rutukku. Hati ini terasa sedih. "Kalau kamu bisa menjawabku dan mengajakku berdebat itu artinya kamu sudah baik-baik saja. Bahkan tampak lebih sehat dari yang seharusnya

  • Saudara celamitan dari Neraka!   63. Inner child

    Pov. Sri"Kamu dari mana Mas? Kenapa wajahmu memar seperti ini?" tanyaku setelah melihat Mas Hadi masuk dengan pakaian yang berantakan. Aku tak tahu dia pergi kemana. Seharian tadi dia menghilang tak ada kabar bahkan mertuaku itu pun tak tahu anaknya kemana.Sore hari setelah mengantar Ibu dan adiknya pulang, Mas Hadi pulang dan duduk sebentar di ruang tamu bersama Bibah, lalu kembali pulang dengan keadaan yang kini aku lihat. "Itu bukan urusanmu!" jawabnya ketus. Tanganku yang hendak menyentuh wajahnya dia tepis kasar. Hubunganku dengan suamiku ini semakin renggang seakan ada jurang yang mengikis tiap sudut hingga menjadi semakin lebar. Mas Hadi berjalan menuju kamar Bibah dan mengabaikanku. Dia seakan tak perduli denganku, aku seperti tak kasat mata saja baginya. Hubungan pernikahan kami kini hanya sebatas selembar kertas. Aku tak menyangka pernikahan kami akan berakhir seperti ini. Aku terduduk di ruang tamu seraya memikirkan nasibku selanjutnya. Terkadang aku berpikir, kenapa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status