🍁🍁🍁
Clara duduk di ruang tamu dengan tatapan kosong, matanya terpaku pada jam dinding yang terus berdetak. Pukul sepuluh malam, dan sekali lagi David belum pulang. Ini bukan pertama kalinya—sudah berbulan-bulan pria itu sering menghabiskan malam di luar rumah, terutama saat akhir pekan. Dulu, mereka selalu menghabiskan waktu bersama, pergi makan malam, atau sekadar menonton film di rumah sambil berbincang ringan. Tapi sekarang, semua itu tinggal kenangan. David berubah. Dia menjadi dingin, cuek, dan seolah tak lagi peduli pada Clara. Saat di rumah pun, dia lebih banyak menghabiskan waktu di kamar kerja atau sibuk dengan ponselnya. Setiap kali Clara mencoba mendekatinya, pria itu selalu memiliki alasan untuk menghindar. Malam itu, saat Clara akhirnya mendengar suara kunci pintu diputar, hatinya berdebar. David masuk dengan wajah lelah, tanpa menatapnya, dia langsung berjalan menuju kamar. Clara menarik napas dalam, mengumpulkan keberanian untuk berbicara. Dia tak bisa terus berpura-pura bahwa semua baik-baik saja. "David, kita perlu bicara," ucap Clara, suaranya bergetar. David menoleh sekilas, ekspresinya tetap datar. "Aku capek, Clara. Bisa besok saja?" Clara menggeleng. "Tidak. Aku ingin bicara sekarang. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kamu jarang pulang? Kenapa kamu tak punya waktu lagi untukku?" David menghela napas panjang, lalu berjalan ke sofa dan duduk. "Aku sibuk di kantor, Clara. Banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Itu sebabnya aku sering lembur dan terpaksa menginap di sana." Clara menatapnya tajam. "Setiap akhir pekan? Dulu kamu selalu ada waktu untukku. Sekarang, bahkan saat aku menelpon pun, sering kali kamu tidak mengangkatnya. Apa benar hanya karena pekerjaan?" David mengusap wajahnya, tampak frustasi. "Aku tidak tahu harus menjelaskan apa lagi, Clara. Ini bukan sesuatu yang bisa aku hindari. Aku punya tanggung jawab." Clara merasakan matanya mulai panas. "Tanggung jawab? Dan aku bukan tanggung jawabmu? Pernikahan kita bukan tanggung jawabmu? Aku merasa seperti orang asing di rumah sendiri, David. Aku bahkan tak lagi mengenal pria yang dulu menikah denganku." David terdiam. Wajahnya masih tanpa ekspresi, tapi sorot matanya mengisyaratkan sesuatu—sesuatu yang tak ingin dia katakan. Clara tahu ada sesuatu yang dia sembunyikan. "Kalau ada yang ingin kamu katakan, katakanlah," lanjut Clara dengan suara bergetar. "Jangan terus menerus membuatku bertanya-tanya. Aku butuh kejujuran." David menghela napas, mengalihkan pandangannya. "Aku sudah bilang, aku hanya sibuk. Banyak pekerjaan di kantor yang mengharuskan aku kerja lembur dan bermalam di sana. Itu saja." Clara menggigit bibirnya, menahan air mata yang ingin tumpah. Dia ingin percaya pada kata-kata suaminya, ingin meyakinkan dirinya bahwa semua memang karena pekerjaan. Tapi hati kecilnya berkata lain. Ada sesuatu yang tidak beres. Dan sampai David mau terbuka sepenuhnya, dia akan terus dihantui rasa curiga dan sakit hati. Malam itu, meski mereka duduk bersebelahan di sofa, ada jarak yang semakin melebar di antara mereka. Jarak yang entah bisa dipulihkan atau justru semakin memisahkan mereka selamanya. *** Clara menatap layar ponselnya dengan gelisah. Jemarinya ragu mengetik pesan untuk Zoya, sahabatnya. Sudah terlalu lama ia menyimpan kegelisahan ini sendiri. Akhirnya, ia menekan tombol kirim: "Bisa ketemu sebentar? Aku butuh curhat." Tak butuh waktu lama, Zoya membalas dan mereka sepakat bertemu di cafe favorit mereka. Sore itu, Clara duduk di sudut cafe, mengaduk-aduk kopi yang hampir dingin. Hatinya gelisah sama dengan jemarinya yang tak henti bergerak. Tak lama, Zoya datang dengan senyum hangatnya. "Ada apa, Clara? Kamu kelihatan kusut sekali," ucapnya sambil menarik kursi. Clara menghela napas panjang. "Aku capek, Zoya. Rumah tanggaku dengan David tidak seperti dulu lagi. Kami sering bertengkar. Dia jarang pulang, dan kalaupun ada di rumah, dia seperti tidak peduli padaku." Suaranya bergetar, menahan emosi yang selama ini ia pendam. Zoya menatapnya dengan penuh perhatian. "Apa yang terjadi? Kalian kelihatan baik-baik saja sebelumnya." "Aku juga tidak tahu. Awalnya, dia bilang sibuk di kantor. Banyak proyek, banyak lembur. Tapi lama-lama aku merasa ada yang aneh. Dia mulai dingin, bahkan tidak pernah menghubungiku kalau dia pulang telat. Aku harus selalu bertanya duluan. Dulu, dia selalu menyempatkan waktu untukku, tapi sekarang... rasanya aku tidak ada di prioritasnya lagi," Clara mengungkapkan kekecewaannya. Zoya menghela napas pelan, berusaha memilih kata-kata yang tepat. "Clara, jangan langsung berpikir buruk, ya. Aku tahu ini berat buatmu, tapi mungkin memang benar dia sibuk. Pekerjaan bisa sangat menyita waktu dan tenaga." "Tapi, Zoya... Bagimana kalau dia punya wanita lain?" Clara akhirnya mengutarakan ketakutan terbesarnya. "Aku takut kehilangan dia. Aku takut dia berubah bukan karena pekerjaan, tapi karena orang lain." Zoya meraih tangan Clara, menenangkannya. "Jangan langsung berasumsi seperti itu. Kalau kamu merasa ada jarak di antara kalian, cobalah cari cara untuk mendekat lagi. Mungkin selama ini kamu terlalu sibuk berburuk sangka sampai lupa bagaimana caranya bersikap manis pada suamimu sendiri." Clara terdiam, memikirkan kata-kata Zoya. Ia sadar belakangan ini ia memang lebih banyak berkeluh kesah daripada mencari solusi. "Jadi menurutmu aku harus bagimana?" "Coba dukung dia. Tunjukkan kalau kamu ada di sisinya, bukan malah meragukannya. Kalau dia lelah, beri dia ruang untuk beristirahat, tapi tetap buat dia merasa nyaman pulang ke rumah. Mungkin, dengan begitu, dia juga akan lebih terbuka dan tidak merasa kamu selalu menuntut," ujar Zoya dengan lembut. Clara mengangguk perlahan. "Mungkin aku memang harus mencoba lebih memahami dia daripada langsung berpikir buruk. Aku nggak mau kehilangan dia hanya karena perasaanku sendiri yang terlalu negatif." Zoya tersenyum. "Itu baru sahabatku. Jangan menyerah dulu, ya. Cinta yang sudah kamu bangun selama ini pasti ada artinya." Sore itu, Clara pulang dengan hati yang sedikit lebih ringan. Ia tahu masalahnya belum selesai, tapi setidaknya, kini ia punya harapan untuk memperbaiki semuanya. Tapi tunggu dulu, kenapa Zoya bisa berpikir kalau Clara selama ini terlalu banyak menuntut dan tidak bersikap manis pada suaminya? Bersambung....Tangis bayi menggema di ruang bersalin, disusul suara tangis bahagia dari Clara yang terbaring lemah namun tersenyum lega. Di sampingnya, Erick menggenggam erat tangan sang istri sambil menatap dokter yang membawa seorang bayi mungil dalam selimut biru."Selamat ya, Pak Erick, Bu Clara. Bayi laki-lakinya sehat dan kuat," ucap sang dokter.Erick nyaris tak bisa menahan air matanya saat sang perawat menyerahkan bayi itu ke pelukannya. Jantungnya berdegup cepat, takjub, dan penuh syukur saat menatap wajah kecil yang masih merah namun begitu sempurna.“Dia... luar biasa,” bisik Erick lirih, air mata menetes perlahan dari sudut matanya. “Terima kasih, Clara. Terima kasih banget...”Clara tersenyum lemah namun bahagia. “Akhirnya... dia datang juga ya.”Erick menunduk, menyentuhkan keningnya ke kening sang bayi. “Selamat datang, pangeran kecilku... Radja Pratama.”Clara menoleh pelan. “Kamu sudah siapkan nama?”Erick mengangguk. “Iya. Radja, karena dia pewaris kita. Pratama, karena dia yang
Langkah kaki David terasa berat saat keluar dari lobi hotel, ditemani Agnes yang masih berusaha menyembunyikan wajahnya dengan kacamata hitam dan masker. Mereka berjalan cepat, seolah dikejar waktu dan rasa malu yang masih menggantung di udara.Namun, nasib berkata lain."David?" suara yang sangat dikenalnya membuat David langsung berhenti melangkah. Ia menoleh, dan di sana, berdiri Clara bersama Erick—mantan istrinya dan sahabat lama yang kini jadi rekan bisnis.Agnes spontan membeku di sampingnya.Clara tersenyum tipis, pandangannya tajam menyapu dari atas ke bawah. "Kalian berdua... dari dalam hotel?"David segera bersikap tenang. "Kami tidak bersama. Kebetulan saja kami masing-masing ada urusan di hotel ini."Agnes mengangguk cepat, seperti ayam disemprot air. “Iya, benar. Aku... aku ada meeting juga tadi pagi. Sendiri. Bukan sama dia.”Clara mengangkat alis, menyilangkan tangan. “Oh, ya? Tapi kenapa kalian keluar bareng... dan pakai baju yang sama kayak kemarin malam?”David meli
Lampu neon berkedip cepat saat musik berdentum dari segala penjuru ruangan. Aroma alkohol dan parfum mahal bercampur menjadi satu di udara. David duduk di salah satu sofa VIP bersama Deren, asistennya yang paling setia. Gelas demi gelas ditenggak, masing-masing mencoba melupakan kekacauan yang baru saja terjadi dalam hidup David—perceraian dengan Clara, wanita yang dulu ia cintai, dan pengkhianatan yang tak bisa dimaafkan.“Minum lagi, Pak. Lupakan semuanya malam ini,” ujar Deren sambil menyodorkan segelas tequila.David menerima tanpa protes. Wajahnya sudah memerah, pandangannya mulai kabur. Namun rasa kosong di dadanya terasa lebih kuat dari efek alkohol mana pun. Ia tertawa keras tanpa alasan, berusaha mengubur rasa bersalah dan penyesalan yang terus menghantui.Beberapa jam berlalu, mereka berdua benar-benar mabuk. Deren bahkan tak mampu berdiri tegak, sementara David berjalan terhuyung-huyung menyusuri lorong gelap menuju pintu keluar. Kepalanya berdenyut, dan setiap langkah sepe
Hujan turun perlahan, menyelimuti kota dengan udara dingin yang menusuk hingga ke tulang. Zoya berdiri di depan jendela apartemennya, memandang rintik hujan yang membasahi jalanan. Di belakangnya, Danis duduk di sofa dengan ekspresi muram, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menanggapi permintaan Zoya. "Aku sudah memutuskan, Danis," suara Zoya terdengar tegas namun lirih. "Aku tidak bisa terus seperti ini. Aku tidak mau menjadi orang ketiga dalam pernikahanmu." Danis menatapnya lekat, hatinya terasa diremas. "Aku hanya ingin bersamamu dan anak kita, Zoya. Aku merasa lebih dihargai saat bersamamu dibandingkan dengan…" Ia menghentikan kalimatnya, enggan menyebut nama istrinya. Zoya menarik napas dalam. "Danis, aku tidak bisa hidup dalam bayang-bayang hubungan yang tidak jelas. Aku tidak mau anak kita tumbuh dalam situasi yang penuh kebohongan dan ketidakpastian. Jika kau ingin berada di sisi kami, selesaikan dulu semuanya. Aku tidak akan menerima separuh hatimu." Danis men
Clara menghela napas panjang saat duduk di teras rumahnya, menikmati semilir angin sore yang menerpa wajahnya. Hidupnya terasa lebih damai akhir-akhir ini. Tidak ada lagi gangguan dari Agnes yang selama ini selalu berusaha mengusik ketenangannya. Bahkan, David pun sudah jarang muncul di hadapannya. Semua terasa begitu tenang, begitu sempurna, apalagi dengan kehadiran Erick, suami yang selalu setia di sisinya.Erick muncul dari dalam rumah, membawa segelas jus jeruk dan menyerahkannya kepada Clara. Ia tersenyum hangat, lalu duduk di sampingnya. "Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanyanya sambil mengelus perut Clara yang semakin membesar."Tidak ada," jawab Clara, tersenyum kecil. "Aku hanya menikmati momen ini. Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali aku merasa tenang seperti ini."Erick tersenyum, lalu mencium kening istrinya dengan lembut. "Kalau begitu, mari kita buat hari ini lebih menyenangkan. Bagaimana kalau kita pergi ke kedai jus favoritmu?"Mata Clara berbinar. "Itu ide y
Agnes melangkah masuk ke dalam ruangan dengan wajah lesu. Thomas, yang sedang duduk santai di sofa dengan segelas wine di tangannya, menatapnya sekilas sebelum kembali menyesap minumannya. “Kamu terlihat seperti orang yang kalah,” sindir Thomas tanpa basa-basi. Agnes mendesah panjang, lalu menjatuhkan diri ke sofa di seberangnya. “Aku memang kalah, Tom. Aku menyerah.” Thomas menaikkan satu alisnya. “Menyerah? Sejak kapan Agnes yang kukenal tahu artinya menyerah?” Agnes menyandarkan kepalanya ke belakang, menatap langit-langit dengan tatapan kosong. “Sejak aku sadar bahwa aku tidak akan pernah bisa menyentuh perempuan itu.” Thomas mulai tertarik. Dia meletakkan gelasnya dan bersandar, menunggu penjelasan lebih lanjut. “Clara benar-benar beruntung,” lanjut Agnes dengan suara getir. “Ada dua pria yang menjaganya dengan nyawa mereka. Erick, suaminya sekarang. Dan David… mantan suaminya yang jelas-jelas masih punya rasa.” Mata Thomas melebar. “Clara? Tunggu… Clara yang kau ma