🍁🍁🍁
David masuk ke dalam rumah dengan langkah cepat, matanya langsung mencari sosok Clara. Ia baru saja mendapat pesan dari Zoya bahwa istrinya telah menamparnya dan membuat keributan di rumahnya. Begitu David menemukan Clara di ruang tamu, duduk dengan wajah tanpa penyesalan, amarah David meledak begitu saja. "Apa yang sudah kamu lakukan, Clara?" suaranya meninggi, sorot matanya tajam menuntut penjelasan. Clara menoleh dengan tenang, menyilangkan tangannya di depan dada. "Aku hanya memberikan pelajaran untuk perempuan murahan seperti Zoya. Dia pantas mendapatkannya." David menghela napas panjang, mencoba mengendalikan emosinya. "Itu bukan alasan untuk menampar dan memakinya secara kasar! Apa kamu tidak berpikir dulu sebelum melakukan sesuatu?" Clara mendengus kesal. "Oh, jadi sekarang kamu membelanya? David, aku ini istrimu! Aku seharusnya menjadi prioritasmu, bukan dia!" Suaranya meninggi, kemarahannya terpancar jelas. "Ini bukan soal berpihak pada siapa. Ini soal bagaimana kita bersikap sebagai orang dewasa!" David membalas dengan nada penuh frustrasi. "Kamu tidak bisa seenaknya mempermalukan orang lain di depan umum!" "Aku tidak peduli! Perempuan seperti dia pantas diperlakukan seperti itu!" Clara bangkit dari duduknya, mendekati suaminya dengan mata penuh emosi. "Aku ini istrimu, David. Aku yang berhak atas kesetiaanmu, bukan perempuan itu!" David menatapnya dengan ekspresi lelah. Dia tahu bahwa sejak awal Clara tidak pernah menyukai Zoya, sampai kapanpun dia tidak akan pernah mau menerima kehadiran orang ketiga didalam rumah tangganya. Tapi, David sudah terlanjur nyaman menjalin hubungan dengan Zoya. "Dengarkan ini baik-baik Clara. Jangan pernah ulangi lagi perbuatan buruk mu seperti tadi pada Zoya. Atau aku akan...." David menahan ucapannya. "Akan apa? Kamu akan menamparku juga huh? Ayo, tampar aku, tampar!" tantang Clara. Clara terdiam sejenak, tetapi wajahnya tetap keras. "Jadi kamu lebih peduli pada wanita murahan itu daripada perasaan istrimu?" David mengusap wajahnya dengan kesal. Ia lelah berdebat. "Aku tidak ingin bertengkar lebih jauh. Ini sudah cukup melelahkan." Clara menghela napas dalam, lalu tiba-tiba berkata, "Besok ulang tahun pernikahan kita yang ke lima. Aku ingin kita makan malam bersama." lirih Clara. Meski sedang marah pada suaminya, Clara masih mengharapkan sedikit perhatian dan kepedulian pria itu padanya. David menatap Clara, masih dengan ekspresi serius. "Aku tidak bisa berjanji. Pekerjaan di kantor sedang banyak." Clara mendengus kecil, lalu menatapnya penuh harap. "Tapi kamu akan berusaha meluangkan waktu untukku, kan?" David diam sejenak, lalu mengangguk. "Aku akan berusaha." Meskipun jawaban itu tidak sepenuhnya meyakinkan, Clara memilih untuk percaya. Mereka mungkin sering bertengkar, tapi ia masih berharap David akan tetap mengingat apa yang penting dalam hubungan mereka. Setidaknya, untuk satu malam saja. Namun, dalam hati kecilnya, Clara tahu bahwa bayang-bayang Zoya masih akan terus mengganggu ketenangan pernikahan mereka. *** Clara berdiri di depan cermin, memastikan setiap detail penampilannya sempurna. Gaun berwarna biru lembut yang membalut tubuhnya tampak anggun, riasan wajahnya tidak berlebihan tetapi cukup untuk menonjolkan kecantikannya. Rambut panjangnya yang bergelombang dibiarkan tergerai, menambah kesan elegan. Hari ini istimewa. David, suaminya, berjanji akan menjemputnya untuk makan malam romantis. Mereka sudah lama tidak memiliki waktu berkualitas bersama, dan Clara ingin segalanya berjalan dengan sempurna. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul tujuh malam, tetapi tidak ada tanda-tanda kehadiran David. Clara duduk di sofa ruang tamu, memainkan ponselnya sambil sesekali melirik ke arah pintu. Lima belas menit berlalu. Tiga puluh menit. Satu jam. Pikirannya mulai dipenuhi berbagai kemungkinan. Mungkin David terjebak macet? Atau masih sibuk dengan pekerjaannya? Namun, rasa gelisah mulai menggerogoti hatinya. David seharusnya sudah memberitahunya jika ada keterlambatan. Dia mencoba menelepon, tetapi panggilannya langsung dialihkan ke pesan suara. Ketika hampir dua jam berlalu, ponselnya bergetar. Dengan cepat, Clara meraihnya, mengira itu pesan dari David. Namun, alisnya berkerut ketika melihat nama pengirimnya: Zoya. Dengan tangan gemetar, ia membuka pesan itu. Sebuah foto terpampang di layar. Zoya, seorang wanita dengan senyum penuh kemenangan, tengah bersandar di dada David. Di belakang mereka, sebuah mobil mewah terparkir. Hati Clara terbakar api cemburu. Ia mengenali mobil itu—mobil baru. Dia mengingat sesuatu. Hari ini adalah ulang tahun Zoya. Jadi, David membelikan kekasih gelapnya sebuah mobil? Sementara dirinya, istrinya yang sah, dibiarkan menunggu di rumah tanpa kabar? Genggaman Clara pada ponselnya menguat. Napasnya memburu. Pengkhianatan ini bukan pertama kali ia curigai, tetapi melihat bukti nyata di depan mata tetap saja menghancurkan hatinya. Tangannya gemetar, dadanya terasa sesak. Air mata mulai mengalir di pipinya. Kemarahannya meledak. Clara bangkit dengan gemetar, lalu meraih vas bunga di meja dan melemparkannya ke lantai. Kaca berhamburan, tetapi itu tidak cukup untuk meredakan amarahnya. Dia mengangkat bingkai foto pernikahan mereka dan membantingnya ke dinding. Suara pecahan kaca memenuhi ruangan. Tanpa pikir panjang, ia menendang meja, menjatuhkan lilin aroma terapi yang sebelumnya menyala di atasnya. Sofa yang sebelumnya rapi kini berantakan akibat pukulan tangannya yang penuh emosi. Dia tak peduli. Hatinya sudah terlalu sakit untuk memikirkan hal lain selain rasa kecewa yang begitu mendalam. Clara jatuh terduduk di lantai, menangis tanpa suara. Selama ini ia bertahan dengan harapan bahwa David masih mencintainya. Namun, malam ini ia sadar—ia hanya menunggu sesuatu yang tidak akan pernah kembali. Cintanya telah diinjak-injak, dan ia tidak bisa lagi membohongi dirinya sendiri. Sementara itu, ponselnya kembali bergetar di atas meja. Kali ini, nama yang muncul di layar adalah David. Namun, Clara tidak lagi peduli. Dia meraih ponsel itu, menatapnya sesaat, lalu dengan satu gerakan cepat, ia melemparkannya ke dinding. Malam yang seharusnya indah berubah menjadi kehancuran. Kini, yang tersisa hanyalah rasa sakit dan keputusan yang harus diambil. Clara tahu, ini adalah titik di mana ia harus memilih—bertahan dalam pengkhianatan atau pergi demi menyelamatkan harga dirinya sendiri. *** Maria turun dari taksi dengan langkah mantap. Tangannya membawa sekantong buah sebagai buah tangan untuk Clara, menantunya. Namun, senyumnya memudar begitu ia melangkah masuk ke dalam rumah Clara. Mata tuanya langsung menangkap pemandangan yang tidak biasa: ruang tamu berantakan, bantal sofa berserakan di lantai, dan meja yang biasanya rapi kini dipenuhi tumpukan tisu bekas. Di tengah kekacauan itu, Clara terduduk di lantai. Bahunya terguncang karena tangis yang tak tertahan. Maria mengerutkan kening, rasa khawatir langsung menyergap hatinya. Ia bergegas mendekat dan berjongkok di depan Clara, tangannya yang penuh keriput meraih bahu menantunya dengan lembut. "Clara, apa yang terjadi? Ada masalah?" Suaranya penuh kepedulian, namun juga mengandung nada cemas. Clara mendongak perlahan, matanya sembab dan hidungnya memerah. Dengan suara parau, ia berusaha menjawab. "Ibu... David... dia selingkuh. Dengan Zoya." Maria terdiam sesaat, otaknya memproses kata-kata Clara yang seperti bom waktu. Ia menatap menantunya, berharap ada kesalahan dalam ucapan itu. Namun, Clara merogoh ponselnya dengan tangan gemetar, lalu menyerahkan kepada Maria. Maria menatap layar, membaca pesan-pesan dari Zoya. Matanya membulat, dada sesak oleh emosi yang bercampur aduk. Pesan-pesan itu terlalu jelas untuk disangkal. Tidak ada keraguan. David, anak laki-lakinya, telah mengkhianati Clara dengan sahabatnya sendiri. Darah Maria mendidih. Ia merasa marah, kecewa, dan terluka sekaligus. Matanya yang biasanya lembut kini penuh kemarahan. Bagaimana bisa David melakukan ini? Bagaimana bisa ia mengkhianati istrinya yang begitu baik, yang selama ini telah berkorban demi rumah tangga mereka? Maria merasa malu. Sebagai seorang ibu, ia merasa telah gagal mendidik putranya menjadi pria yang bertanggung jawab. Maria menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan emosinya. Ia menatap Clara yang masih tersedu. Ia mengulurkan tangan, menyentuh kepala menantunya dengan penuh kasih sayang. "Clara, maafkan aku," ucapnya lirih. "Aku yang membawamu ke dalam keluarga ini. Aku yang memilihmu untuk David, karena aku tahu kau gadis yang baik. Tapi ternyata aku salah menilai putraku sendiri." Clara menggeleng. "Ini bukan salah Ibu. Aku hanya tidak menyangka... Zoya sahabatku sendiri..." Tangisnya pecah kembali. Maria menarik Clara ke dalam pelukannya. "Kamu tidak sendiri, Nak. Aku ada di sini bersamamu. Aku akan bicara dengan David. Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja." Dalam hati, Maria bersumpah. Ia tidak akan membiarkan Clara menghadapi ini sendirian. Jika David memilih untuk menghancurkan rumah tangganya, maka ia harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Sebagai seorang ibu, Maria akan menegakkan keadilan bagi Clara, menantunya yang sudah ia anggap seperti anaknya sendiri. Akankah Maria berhasil membantu menantunya? apakah David akan patuh pada omongan Ibunya? Bersambung....Tangis bayi menggema di ruang bersalin, disusul suara tangis bahagia dari Clara yang terbaring lemah namun tersenyum lega. Di sampingnya, Erick menggenggam erat tangan sang istri sambil menatap dokter yang membawa seorang bayi mungil dalam selimut biru."Selamat ya, Pak Erick, Bu Clara. Bayi laki-lakinya sehat dan kuat," ucap sang dokter.Erick nyaris tak bisa menahan air matanya saat sang perawat menyerahkan bayi itu ke pelukannya. Jantungnya berdegup cepat, takjub, dan penuh syukur saat menatap wajah kecil yang masih merah namun begitu sempurna.“Dia... luar biasa,” bisik Erick lirih, air mata menetes perlahan dari sudut matanya. “Terima kasih, Clara. Terima kasih banget...”Clara tersenyum lemah namun bahagia. “Akhirnya... dia datang juga ya.”Erick menunduk, menyentuhkan keningnya ke kening sang bayi. “Selamat datang, pangeran kecilku... Radja Pratama.”Clara menoleh pelan. “Kamu sudah siapkan nama?”Erick mengangguk. “Iya. Radja, karena dia pewaris kita. Pratama, karena dia yang
Langkah kaki David terasa berat saat keluar dari lobi hotel, ditemani Agnes yang masih berusaha menyembunyikan wajahnya dengan kacamata hitam dan masker. Mereka berjalan cepat, seolah dikejar waktu dan rasa malu yang masih menggantung di udara.Namun, nasib berkata lain."David?" suara yang sangat dikenalnya membuat David langsung berhenti melangkah. Ia menoleh, dan di sana, berdiri Clara bersama Erick—mantan istrinya dan sahabat lama yang kini jadi rekan bisnis.Agnes spontan membeku di sampingnya.Clara tersenyum tipis, pandangannya tajam menyapu dari atas ke bawah. "Kalian berdua... dari dalam hotel?"David segera bersikap tenang. "Kami tidak bersama. Kebetulan saja kami masing-masing ada urusan di hotel ini."Agnes mengangguk cepat, seperti ayam disemprot air. “Iya, benar. Aku... aku ada meeting juga tadi pagi. Sendiri. Bukan sama dia.”Clara mengangkat alis, menyilangkan tangan. “Oh, ya? Tapi kenapa kalian keluar bareng... dan pakai baju yang sama kayak kemarin malam?”David meli
Lampu neon berkedip cepat saat musik berdentum dari segala penjuru ruangan. Aroma alkohol dan parfum mahal bercampur menjadi satu di udara. David duduk di salah satu sofa VIP bersama Deren, asistennya yang paling setia. Gelas demi gelas ditenggak, masing-masing mencoba melupakan kekacauan yang baru saja terjadi dalam hidup David—perceraian dengan Clara, wanita yang dulu ia cintai, dan pengkhianatan yang tak bisa dimaafkan.“Minum lagi, Pak. Lupakan semuanya malam ini,” ujar Deren sambil menyodorkan segelas tequila.David menerima tanpa protes. Wajahnya sudah memerah, pandangannya mulai kabur. Namun rasa kosong di dadanya terasa lebih kuat dari efek alkohol mana pun. Ia tertawa keras tanpa alasan, berusaha mengubur rasa bersalah dan penyesalan yang terus menghantui.Beberapa jam berlalu, mereka berdua benar-benar mabuk. Deren bahkan tak mampu berdiri tegak, sementara David berjalan terhuyung-huyung menyusuri lorong gelap menuju pintu keluar. Kepalanya berdenyut, dan setiap langkah sepe
Hujan turun perlahan, menyelimuti kota dengan udara dingin yang menusuk hingga ke tulang. Zoya berdiri di depan jendela apartemennya, memandang rintik hujan yang membasahi jalanan. Di belakangnya, Danis duduk di sofa dengan ekspresi muram, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menanggapi permintaan Zoya. "Aku sudah memutuskan, Danis," suara Zoya terdengar tegas namun lirih. "Aku tidak bisa terus seperti ini. Aku tidak mau menjadi orang ketiga dalam pernikahanmu." Danis menatapnya lekat, hatinya terasa diremas. "Aku hanya ingin bersamamu dan anak kita, Zoya. Aku merasa lebih dihargai saat bersamamu dibandingkan dengan…" Ia menghentikan kalimatnya, enggan menyebut nama istrinya. Zoya menarik napas dalam. "Danis, aku tidak bisa hidup dalam bayang-bayang hubungan yang tidak jelas. Aku tidak mau anak kita tumbuh dalam situasi yang penuh kebohongan dan ketidakpastian. Jika kau ingin berada di sisi kami, selesaikan dulu semuanya. Aku tidak akan menerima separuh hatimu." Danis men
Clara menghela napas panjang saat duduk di teras rumahnya, menikmati semilir angin sore yang menerpa wajahnya. Hidupnya terasa lebih damai akhir-akhir ini. Tidak ada lagi gangguan dari Agnes yang selama ini selalu berusaha mengusik ketenangannya. Bahkan, David pun sudah jarang muncul di hadapannya. Semua terasa begitu tenang, begitu sempurna, apalagi dengan kehadiran Erick, suami yang selalu setia di sisinya.Erick muncul dari dalam rumah, membawa segelas jus jeruk dan menyerahkannya kepada Clara. Ia tersenyum hangat, lalu duduk di sampingnya. "Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanyanya sambil mengelus perut Clara yang semakin membesar."Tidak ada," jawab Clara, tersenyum kecil. "Aku hanya menikmati momen ini. Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali aku merasa tenang seperti ini."Erick tersenyum, lalu mencium kening istrinya dengan lembut. "Kalau begitu, mari kita buat hari ini lebih menyenangkan. Bagaimana kalau kita pergi ke kedai jus favoritmu?"Mata Clara berbinar. "Itu ide y
Agnes melangkah masuk ke dalam ruangan dengan wajah lesu. Thomas, yang sedang duduk santai di sofa dengan segelas wine di tangannya, menatapnya sekilas sebelum kembali menyesap minumannya. “Kamu terlihat seperti orang yang kalah,” sindir Thomas tanpa basa-basi. Agnes mendesah panjang, lalu menjatuhkan diri ke sofa di seberangnya. “Aku memang kalah, Tom. Aku menyerah.” Thomas menaikkan satu alisnya. “Menyerah? Sejak kapan Agnes yang kukenal tahu artinya menyerah?” Agnes menyandarkan kepalanya ke belakang, menatap langit-langit dengan tatapan kosong. “Sejak aku sadar bahwa aku tidak akan pernah bisa menyentuh perempuan itu.” Thomas mulai tertarik. Dia meletakkan gelasnya dan bersandar, menunggu penjelasan lebih lanjut. “Clara benar-benar beruntung,” lanjut Agnes dengan suara getir. “Ada dua pria yang menjaganya dengan nyawa mereka. Erick, suaminya sekarang. Dan David… mantan suaminya yang jelas-jelas masih punya rasa.” Mata Thomas melebar. “Clara? Tunggu… Clara yang kau ma
"Hatchii!" Zoya buru-buru menutup mulutnya dengan tisu. Ia mengerutkan kening. Katanya kalau bersin tiba-tiba, itu tandanya ada seseorang yang sedang membicarakannya. Entah siapa, tapi dia malas memikirkannya lebih jauh. Yang jelas, hari ini dia hanya ingin menikmati waktunya tanpa gangguan. Duduk di sofa ruang tamunya yang luas, Zoya melirik ke arah putranya yang tengah bermain dengan Sus Juni. Bocah kecil itu tertawa riang, membuat hati Zoya sedikit tenang meski tubuhnya masih terasa lelah. Lelah bukan hanya karena kurang tidur, tetapi juga karena pekerjaannya yang menuntutnya untuk selalu tampak menggoda dan siap memanjakan para pria hidung belang. Hari ini, dia memutuskan untuk mengambil libur beberapa hari. Dia butuh istirahat, butuh waktu hanya untuk dirinya sendiri dan anaknya. Tidak ada pria yang menjamahnya, tidak ada tuntutan untuk bersikap manis atau mengobral senyum palsu. Namun, ketenangan itu hanya bertahan sesaat. Tok! Tok! Tok!Zoya mengernyit. Siapa yang dat
Clara duduk di salah satu sudut ruang tamu, memperhatikan dengan sedikit canggung interaksi antara dua pria yang pernah dan masih mengisi hidupnya—David, mantan suaminya, dan Erick, suami keduanya. Tidak ada ketegangan di antara mereka, justru sebaliknya. Mereka terlihat terlalu akrab untuk ukuran dua pria yang pernah berada dalam hidup wanita yang sama. Dan semua ini gara-gara Agnes. Wanita itu telah membuat hidup Clara seperti roller coaster dalam beberapa minggu terakhir. Dari percobaan mencelakainya hingga berbagai intrik yang membuatnya hampir kehilangan kewarasannya. Namun yang membuatnya lebih bingung adalah kenyataan bahwa kini David dan Erick justru mendiskusikan Agnes dengan nada yang begitu santai, seakan mereka sedang membicarakan cuaca. Samar-samar, Clara menangkap percakapan mereka. "Agnes itu cantik, kaya... Kenapa dia tidak mencari pria single saja untuk diganggu?" ucap David dengan nada heran. Clara menajamkan pendengarannya. Agnes memang punya segalanya—kec
Agnes duduk di depan cermin riasnya, menatap bayangan dirinya yang sempurna. Wajahnya tanpa cela, dengan hidung mancung, bibir penuh, dan mata tajam yang selalu berhasil menundukkan pria mana pun. Tubuhnya langsing dengan lekukan yang didambakan banyak wanita. Ia adalah model papan atas, seorang pengusaha sukses di industri kecantikan, wanita yang memiliki segalanya—harta, kecantikan, dan status sosial. Tapi kenapa… kenapa seorang Clara, wanita biasa yang hanya seorang ibu rumah tangga, bisa mendapatkan sesuatu yang tidak bisa Agnes miliki? Cinta. Bukan sekadar cinta biasa, tetapi cinta yang ugal-ugalan, menggebu-gebu, liar. Dua pria sekaligus menggilai Clara seperti hidup mereka bergantung padanya. Erick, pria berkarisma dengan latar belakang bisnis kuat, dan David, lelaki dengan aura bad boy yang liar namun memikat. Mereka berdua rela berseteru demi seorang Clara. Clara yang bukan siapa-siapa. Agnes mengepalkan jemarinya. Ia mengenal Dion, bahkan pernah mendekatinya. Namun