Share

Bab 3

Penulis: Rudi
Tengah malam Juvena dengan gelisah berguling ke sana kemari. Terasa sesak di dada, dirinya sama sekali tak bisa terlelap.

Saat itu, ponsel di atas mejanya menyala sekilas.

Dia menggeser layar, ternyata akun familier itu lagi-lagi mengirimkan pesan.

Isinya beberapa tangkapan layar percakapan tanpa foto profil, tulisannya seperti biasa penuh dengan rayuan ambigu.

Tak perlu ditebak, Juvena tahu itu pasti sengaja dikirim Marisha, percakapan antara dia dan Silvano.

Sudah berlangsung selama dua bulan ini.

Juvena kembali mengklik foto profil Marisha, lalu melihat ke status teman-temannya.

Posting terbaru dua jam lalu: [Hari ini bersama orang tersayang mengadopsi bayi mungil yang lucu!]

Foto yang disertakan adalah seekor kucing.

Silvano selalu sangat menyukai kucing, bahkan foto profilnya pun seekor kucing.

Namun sayangnya Juvena alergi parah bulu kucing, sehingga di rumah mustahil bisa memeliharanya.

Tak disangka pria itu justru mengadopsi kucing bersama Marisha.

Dan postingan Marisha itu jelas mengisyaratkan, hanya dialah yang bisa memberikan keluarga kecil impian Silvano, keluarga hangat mereka berdua bersama seekor kucing.

Juvena menatap status update Marisha. Matanya sampai perih diterpa cahaya layar, barulah dia meletakkan ponsel.

Padahal Silvano tidur di sampingnya, tetapi hati keduanya sudah dipisahkan jurang yang tak bisa diseberangi.

Di tengah malam, rasa sakit membangunkan Juvena secara tiba-tiba.

Dirinya memang sudah lama mengidap sakit lambung. Hari ini, karena hampir tak makan dan terbawa gelombang emosi yang hebat, perutnya nyeri mencekam, seperti disayat-sayat pisau yang tajam.

Ketika meraba-raba hendak menyalakan lampu meja, tak sengaja dirinya menumpahkan gelas air.

Suara itu mengejutkan Silvano dari tidur, dan di sisinya dia melihat wanita yang meringkuk kesakitan.

Pria itu buru-buru menyalakan lampu. Melihat wajah Juvena yang penuh keringat, dirinya makin panik.

"Juvena, apa yang terjadi? Penyakit lambungmu kambuh lagi?"

"Obat ... obat ... ada di laci."

Mendengar suara lemah itu, dengan cepat Silvano bangkit, lalu dengan panik mengacak-acak laci mencari obat.

Saat itu, ponselnya tiba-tiba berdering.

Silvano sudah gelisah karena tak menemukan obat, kini suara dering terus berbunyi membuatnya makin terganggu.

Dirinya dengan kesal meraih ponsel dan menekan tombol jawab.

"Siapa, apa urusannya? Apa pun itu jangan ganggu aku sekarang! Mengerti?"

Sebelum sempat dia menutup panggilan dengan marah, dari seberang terdengar tangisan, membuat gerakannya terhenti.

Juvena samar juga mendengar suara manja seorang wanita di telepon.

"Silvan, Milkie hilang, aku sudah mencari ke mana-mana tapi nggak ketemu. Semua salahku nggak menjaganya baik-baik ...."

"Dia masih begitu kecil, begitu rapuh. Kalau dia sampai terjadi sesuatu, aku juga nggak mau hidup lagi ...."

"Jangan, jangan panik dulu, pasti nggak akan terjadi apa-apa."

Raut wajah Silvano menjadi cemas.

Dia menoleh sebentar pada Juvena, lalu menutupi ponsel dan berjalan keluar, suaranya makin pelan.

"Sekarang sudah larut, kamu sendirian di luar mencari kucing juga nggak aman. Tunggu lima menit, aku segera datang ...."

Beberapa saat kemudian, Silvano buru-buru kembali ke kamar, meraih jaket dan menyampirkannya di tubuh, lalu berkata ada urusan mendadak di perusahaan, tanpa menoleh segera pergi.

Juvena yang merasa kesakitan di lambung sampai tak bisa bersuara, hanya bisa menatap punggung Silvano yang menjauh, hingga lenyap dari pandangan.

Rasa sakit yang mencekam dadanya kini bahkan lebih menyiksa daripada sakit di lambung.

Akhirnya, Juvena hanya bisa berjalan dengan terseret-seret untuk mencari obat.

Namun karena salah langkah, dirinya terjatuh dari tempat tidur, lalu terbaring di lantai dan perlahan tak sadarkan diri.

Saat sadar kembali, Juvena mendapati dirinya sudah berada di rumah sakit.

Perawat muda yang hendak memasang infus melihat matanya terbuka, merasa girang seolah melihat penyelamat.

"Syukurlah Anda sadar, Pak Silvano mengerahkan segala cara untuk mengobati Anda. Melihat Anda tak kunjung sadar, dia bahkan marah besar di rumah sakit!"

Nada suara perawat tak bisa menyembunyikan rasa iri.

Namun Juvena hanya bisa dengan susah payah menampilkan senyum pahit.

Dia sedang menertawakan dirinya sendiri. Dulu demi membantu Silvano yang putus asa, dirinya rela meminum alkohol berlebihan di saat jamuan, sampai merusak lambung dan meninggalkan penyakit kronis.

Kini dirinya dalam keadaan seperti ini, tapi di hati Silvano bahkan tidak sebanding dengan seekor kucing milik mantan pacarnya.

Karena tidak menyukai bau menusuk cairan disinfektan di ruang rawat, Juvena bangkit dan berjalan keluar.

Baru melangkah beberapa langkah, dia melihat sosok yang sangat dikenalnya terlintas di kejauhan.

Hati Juvena menegang, diam-diam mengikutinya.

Detik berikutnya, dia melihat Silvano bersembunyi di koridor, diam-diam menelepon.

Silvano tersenyum tipis, suaranya penuh helaan napas pasrah sekaligus manja.

"Nggak bisa, aku benar-benar nggak bisa pergi sekarang, dia belum sadar."

"Kamu jangan cemas, aku pasti akan menyempatkan diri untuk menjumpaimu, sebentar lagi saja."

Entah apa yang dikatakan dari seberang, Silvano tersenyum hingga lesung pipitnya muncul, lalu dengan manis menjawab ....

"Aku tahu, aku juga rindu kamu."

"Baik, sampai nanti."

Setelah menutup telepon, Silvano tampak mengernyit.

Pria itu merasa jelas ada sepasang mata yang menatapnya tajam dari belakang barusan.

Namun dirinya menoleh berkali-kali memastikan, koridor itu memang tidak ada sosok siapa pun.
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sayangnya Tak Ada Kata Andaikan   Bab 28

    Juvena akhirnya tidak bisa menahan diri dan mengambil buku harian itu.Baru membalik dua halaman, dia sudah merasa ada yang tidak beres.Dirinya mulai terus membalik ke halaman-halaman sebelumnya.Sampai akhirnya melihat halaman pertama, jantung Juvena berdebar hebat.Dirinya tak pernah menyangka dalam hati Nansel, ternyata pria ini adalah orang yang rela menikahinya dengan tulus.Sejak usia lima belas tahun, saat dia baru mengerti apa itu cinta, buku hariannya sudah penuh dengan nama Juvena.Setiap pagi si pria menunggu di depan rumahnya untuk berangkat sekolah bersama, setiap akhir pekan dia selalu mencari alasan berbeda untuk datang menemui Juvena.Catatan harian itu penuh dengan momen-momen ketika pria itu hampir tak mampu lagi menahan perasaan yang meluap-luap di hatinya.Tapi pria itu takut ditolak, takut pada akhirnya bahkan tak bisa lagi menjadi teman.Jadi dia hanya bisa mundur selangkah, mempertahankan hubungan paling dekat yang mereka miliki sebagai teman.Hingga kemudian, J

  • Sayangnya Tak Ada Kata Andaikan   Bab 27

    Karena dampak dari kejadian ini di internet terlalu besar, tindakan Marisha yang memalsukan fakta segera akan diselidiki secara hukum.Wanita ini sudah benar-benar terdesak, hanya bisa kembali mencari Silvano.Dalam pikirannya, dia yakin Silvano tidak mungkin sama sekali tidak punya perasaan padanya.Selama dia mengancam dengan nyawanya, Silvano pasti tidak akan tega melihatnya mati tanpa menolong.Namun kali ini, bahkan kesempatan untuk bertemu muka pun tidak diberikan Silvano.Marisha merasa jiwanya telah hancur.Jelas dulu dia selalu menempati posisi pertama di hati Silvano, tetapi mengapa sekarang bisa jadi seperti ini.Pada akhirnya, dia menyalahkan semuanya pada Juvena.Dia berpikir, selama Juvena tidak ada di dunia ini, maka orang yang paling dicintai Silvano tetaplah dirinya.Maka suatu malam, Marisha mengendarai mobil ke depan gedung Grup Ningris.Marisha tampaknya memang sudah benar-benar gila.Dirinya menunggu lama di sekitar Grup Ningris, hanya demi menunggu kemunculan Juve

  • Sayangnya Tak Ada Kata Andaikan   Bab 26

    Juvena menutup telepon, hatinya terasa sangat berat.Ini sudah rekanan kerja kedelapan yang atas inisiatif sendiri meminta pembatalan kerja sama.Kalau terus begini, Grup Ningris benar-benar akan menghadapi kerugian yang tak terukur.Juvena tidak bisa hanya duduk diam dengan cemas, dirinya segera mengambil kunci mobil dan menuju ke perusahaan rekanan itu.Di bawah gedung perkantoran, Juvena harus bersusah payah membujuk resepsionis barulah diizinkan naik.Begitu sampai di pintu, samar-samar dia mendengar suara yang begitu familier.Saat menoleh ke dalam, terlihat Nansel sedang merendahkan dirinya, memegang setumpuk dokumen tebal dan menjelaskan sesuatu pada rekanan itu."Pak Zayn, menurut data profesional, Grup Ningris memiliki potensi besar untuk berkembang di Kota Samudra, aku harap Anda bisa memberi Grup Ningris satu kesempatan lagi.""Dan tenang saja, Grup Ningris nggak akan mudah jatuh. Keluarga Sitrus sudah menjalin ikatan pernikahan dengan Keluarga Ningris, aku akan berusaha sek

  • Sayangnya Tak Ada Kata Andaikan   Bab 25

    Melihat Juvena menghabiskan suapan terakhir dari kotak makan, Nansel berkata ...."Nenek kemarin meneleponku, katanya pengin makan kue renyah di sisi barat kota, nanti setelah kamu pulang kerja, kita beli lalu bawakan untuk dia, ya?""Boleh."Juvena mengangguk, sambil menggodanya ...."Aku tiap hari menjenguk Nenek, tapi ketika ingin makan sesuatu, orang pertama yang dia ingat malah kamu, sakit hati nih.""Tentu saja, aku sekarang menantunya yang paling berharga, kamu tak bisa iri."Nansel menjawab tanpa sedikit pun kerendahan hati.Namun setelah mengucapkan kalimat itu, justru Nansel sendiri yang tersadar dan merasa malu.Sesampainya di rumah sakit, kondisi semangat Nenek Diana terlihat jauh lebih baik dibanding beberapa waktu lalu.Mungkin karena terpaut pada kenyataan bahwa Juvena akhirnya menikah, hal yang benar-benar memberi ketenangan besar padanya.Melihat pasangan pengantin baru di depannya, senyum di wajah nenek tak henti-henti bermekaran.Nansel mulai mengobrol santai dengan

  • Sayangnya Tak Ada Kata Andaikan   Bab 24

    Nansel tertegun saat melihat Silvano.Dia menyerahkan kotak makan pada Juvena, lalu dengan dingin bertanya pada Silvano ...."Kamu ke sini mau apa?"Nada suara Silvano juga sama buruknya ...."Aku datang mencari tunanganku, nggak ada hubungannya denganmu."Nansel tertawa geli dan meresponsnya."Kalau kamu memang mau bilang begitu, maka ini justru memang ada hubungannya denganku."Sambil berkata begitu, Nasel dengan tenang mengeluarkan akta nikah dari tas, lalu menyodorkannya ke hadapan Silvano."Lihatlah.""Tunanganmu yang kamu maksud, sekarang secara hukum adalah istriku."Silvano memutar mata dengan jengkel, mengira Nansel sedang menggunakan barang palsu untuk menipunya lagi.Dengan jengkel dia merampas akta nikah itu. Tapi begitu ingin mengejek Nansel, dia malah melihat foto mereka berdua dan cap merah yang mencolok di dokumen itu."Ini ... ini bagaimana mungkin?"Mata Silvano segera membelalak, napasnya pun jadi terburu-buru.Setelah berulang kali memastikan dengan tidak percaya, d

  • Sayangnya Tak Ada Kata Andaikan   Bab 23

    Hari ini adalah hari yang sudah disepakati Juvena dan Nansel untuk pergi ke kantor urusan sipil mengurus akta nikah.Meskipun tahu ini hanya langkah sementara, tetapi Juvena tetap merasa gugup hingga semalaman hampir tidak bisa tidur.Pagi-pagi sekali dirinya sudah beres mandi, lalu memilih sebuah pakaian yang pantas, kemudian menyetir untuk menjemput Nansel.Tatapannya jatuh pada dua lingkar hitam besar di bawah mata Juvena, membuat Nansel tertawa rendah dan tak kunjung berhenti.Namun saat pria itu mendongak, Juvena juga melihat lingkaran hitam di bawah matanya.Karena kebetulan sama-sama punya mata menyerupai panda itu, suasana sepanjang jalan menuju Dinas Catatan Sipil pun terasa jauh lebih ringan.Semuanya berjalan sangat lancar.Saat melihat petugas menempelkan cap merah di dokumen, di hati Juvena muncul sebuah perasaan aneh.Dia dan Nansel kini terikat bersama.Meskipun hanya sementara ....Keluar dari kantor urusan sipil, Juvena dengan inisiatif mengundangnya."Aku dengar Paman

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status