Share

Wajah Penuh Hipnotis

Aku menatap Dion, ucapannya membuatku langsung mendekatinya. "Kamu mengenalnya?"

"Iya, Nyonya. Kami dulu teman sekantor dan satu divisi, sekarang dia sudah jadi manager. Tapi sayang, dia naik jabatan dengan cara curang. Dia orang yang sudah menyingkirkan saya, Nyonya. Hingga saya harus kehilangan pekerjaan."

"Diih ... tampan-tampan kok curang!" decihku mulai illfeel dengan Reza.

Namun, ketika mengingat ciuman itu ... ah, semua yang buruk tentangnya jadi hilang.

"Mungkin saja kalian salah paham, Dion. Karena kulihat dia orang yang baik dan punya integritas."

"Tidak, Nyonya. Dia itu serakah, dia penjilat, dan juga bermuka dua." Dion berusaha menyangkal pendapatku.

Hmm ... penuturan Dion membuatku berpikir sejenak. Jika Dion mengenal Reza, itu artinya akan mudah bagiku mencari informasi tentang lelaki itu.

"Maaf, Nyonya. Kenapa Nyonya Merry ingin pria ini ikut sayembara? Apa Nyonya Merry tertarik dengannya?" tanya Dion dengan hati-hati.

Aku memandangnya, lalu tersenyum. "Kamu tidak perlu tahu, Dion. Cukup bawa laki-laki itu ke sini. Eh, bukan ... maksudku, buat istri Reza mengantar dia ke sini dan menyerahkannya padaku."

Ekspresi Dion masih kebingungan. "Bukannya semua peserta memang harus mengantarkan suaminya ke sini, Nyonya?"

"Bodoh! Itu wanita lain yang rela menjual suaminya! Apa kamu pikir, istri Reza akan bersedia menjual suaminya juga? Jadi, tugasmu harus membuat istri Reza tertarik dengan hadiah yang ditawarkan!" bentakku emosi karena pemuda di hadapanku ini tak juga paham.

Pantas saja dia tergeser oleh Reza, mungkin dari segi kecakapan otak, Reza lebih unggul.

"Baik, Nyonya!"

Dion pun berlalu dan keluar dari ruanganku.

Sesaat setelah pemuda itu keluar, ponselku berdering. Panggilan dari Rosa.

"Apa, Ros?"

"Ibu Riana, tiga puluh menit lagi ada meeting dengan klien penting. Ibu Riana di mana?"

Kalimat Rosa sudah kembali formal, itu artinya dia sedang di kantor.

"Dua puluh menit lagi aku ke sana!"

Langsung aku tutup panggilan. Bergegas aku keluar dari ruangan, kemudian kembali ke mobil. Beruntungnya, semua staf aku tempatkan di pavilun samping rumah utama, jadi aku tak perlu repot berpapasan dengan mereka.

Namun, saat kaki mendekati mobil, terdengar suara memanggil.

"Nyonya Merry Usbad, maaf ... saya ingin melaporkan perkembangan proses sayembara," ujar Meta.

Aku melihat arloji kecil di pergelangan tangan kiri, tak cukup waktu untuk mendengarkan penjelasan Meta.

"Meta, tolong semua data peserta masukkan ke dalam drive yang sudah aku sediakan. Nanti aku akan pantau secara online saja. Waktu pendaftaran hanya satu minggu, dan semua aku percayakan padamu. Aku akan ke sini lagi sepekan dari sekarang."

"Baik, Nyonya Merry." Meta membungkukkan badan untuk memberi hormat.

Aku pun bergegas masuk mobil dan melajukannya. Waktuku tidak banyak untuk mengejar meeting time. Sebisa mungkin dengan kecepatan tinggi bisa sampai di sana. Ternyata ....

Huh! Macet parah!

Di tengah kemacetan, aku manfaatkan untuk menghapus riasan Merry Usbad dan mengganti riasan menjadi Mariana Leurissa. Tidak mungkin juga aku ke kantor dengan penampilan seorang Merry, bisa-bisa diusir dari kantor sendiri.

Semua serba kilat. Bahkan untuk pakaian pun, aku hanya mengganti blazer saja. Sepatu juga segera aku ganti menjadi sepatu high heel berwarna mocca.

Kembali aku bercermin di kaca lipat yang selalu ada di dalam tas. Mencoba mematut, dan baru sadar jika style rambut masih belum aku ubah. Baru saja mengambil sisir, bunyi klakson dari belakang terdengar berulang-ulang.

Buru-buru kuinjak gas agar mobil kembali berjalan. Sungguh berisik sekali mobil belakang itu.

Aku lebih terkejut lagi ketika seseorang menggedor kaca pintu mobil. Ya, pemilik mobil berisik tadi sengaja mensejajarkan mobilnya dengan mobil yang aku kendarai. Dia menggedor dengan cukup keras sembari menyetir.

Parah! Tidak berpikir kalau tindakannya bisa membahayakan orang lain. Lelaki dengan kaca mata hitam dan memakai masker itu terus menggedor, takutnya kalau dia adalah perampok. Dengan kecepatan yang aku tambah, segera berusaha menghindar dan mendahului mobil tersebut.

Beruntung kemacetan telah terurai, sehingga mobil dapat kulajukan lebih kencang. Segera aku putar kemudi ke arah kanan untuk memotong jalan, sekaligus menghilangkan jejak dari si pengejar tadi.

Sesampai di parkiran kantor, bergegas kuubah style rambut. Aku tidak mau jadi bahan tertawaan orang, masa iya dandanan Mariana tapi rambut ala Merry Usbad?

Setelah memastikan semua beres, aku pun turun dari mobil. Kutilik kembali arloji, sudah telat lima menit. Dengan langkah buru-buru, aku segera menuju gedung megah yang menjadi kantor perusahaan milikku.

Baru juga lima kali kaki ini melangkah, sebuah panggilan terdengar.

"Ini dia, cewek yang bikin aku terlambat!" teriaknya seraya menarik bahuku.

Refleks, aku yang jago bela diri pun menarik kuat tangan itu dan menguncinya ke belakang punggung.

"Aauw, sakit!" teriak lelaki yang ternyata menggedor pintu mobilku tadi.

Dengan kasar aku tarik masker yang menutupi separuh wajah, dan ....

Kurasa aku mengenalnya. Kaca mata hitam turut aku lepas, barulah jelas seratus persen wajah itu.

"Reza!" seruku seraya melepaskan puntiran tangannya.

"Ka ... kamu ... sepertinya aku pernah melihatmu, di mana ya?" Lelaki itu tampak serius berpikir, mencoba mengingat wajah yang beberapa hari lalu dia temui di apartemen Rosa.

Dering ponselku kembali berbunyi. Aku pun tergeragap, sadar dari hipnotis ketampanan wajah Reza.

"Iya, Ros. Ini aku sudah di depan kantor, sebentar lagi sampai. Suruh saja klien menunggu!"

Aku pun berlalu dari Reza tanpa berpamitan. Fokusku hanya satu saat ini, segera menemui klien penting.

Benar saja, di ruang meeting telah hadir seorang lelaki tampan. Dia adalah pengusaha sukses yang telah memulai karir bisnis sejak usia sembilan belas tahun. Sungguh luar biasa, di usia dia yang ke tiga puluh lima telah berhasil membangun perusahaan besar dengan banyak cabang hampir di seluruh Indonesia.

Bagiku, dia adalah klien yang teramat penting. Nilai project product skincare kali ini pun bernilai sangat besar. Apalagi bahan yang diimport, semua asli dari korea.

"Selamat siang, Pak Raka. Maaf, saya datang terlambat. Tahu sendiri jalanan kota Jakarta ini," ujarku seraya mengulurkan tangan untuk bersalaman.

"Tak apa, Nona Mariana. Kebetulan, hari ini jadwal saya tidak terlalu padat. Jadi, aman saja kok!" tutur lelaki bernama Raka itu, senyumnya cukup manis, dan pembawaan dia begitu ramah.

"Apa kita langsung mulai pembahasan kita?" tanyaku sembari mengeluarkan macbook dari tempatnya.

"Maaf, Nona. Ada dokumen yang tertinggal, jadi ini saya masih menunggu manager saya. Dia akan mengantarkan ke sini, kebetulan dia juga yang menangani project kita."

"Baiklah kalau begitu, mungkin kita bisa diskusi kecil dulu. Jujur, saya tertarik dengan bahan baku yang Anda tawarkan."

Raka mengubah posisi, menegakkan badan dan mulai membuka Ipad Pro miliknya.

"Ini, Nona. Bahan-bahan ini sangat bagus untuk pembuatan kosmetik, selain itu juga aman dikonsumsi. Sudah grade-food juga." Raka mulai menjelaskan seraya menampilkan beberapa gambar product yang ditawarkan.

Aku pun mendekat, kemudian men-scroll layar ipad pro tersebut. Di setiap produk telah tercantum nama dan manfaatnya. Aku dengan serius membaca setiap detail deskripsi produk tersebut.

Tanpa kusadari, mata Raka ternyata menatapku tanpa berkedip. Entah sejak kapan, karena aku baru tahu saat hendak mengajukan pertanyaan.

Dia tidak menjawab pertanyaan yang aku lontarkan, justru dia hanya tersenyum sembari menatap wajahku.

"Pak Raka, Anda baik-baik saja?" panggilku dengan mengibaskan tangan di depan wajahnya.

Dia pun terkejut dan salah tingkah. "Ma ... maaf, Nona Mariana. Wajah Anda benar-benar menakjubkan. Saya dengar, usia Anda sebenarnya tak lagi muda, tetapi kulit wajah Anda berkata lain."

Hmm ... rayuan model lawas. Ternyata pria satu ini sama saja! gerutuku dalam hati.

"Saya masih berpikir, produk apa yang Anda pakai? Kurasa, dengan penampilan Anda ini ... ehm ... ya, aku punya ide. Anda bisa membuat produk kali ini akan menjadi viral, Nona Mariana."

Aku mengernyitkan dahi. "Apa maksud Pak Raka ini?"

"Begini, produk kecantikan kali ini berbahan premium semua. Bahkan bahan baku import langsung dari Korea. Nah, Nona Mariana ini memiliki wajah yang begitu cute, layaknya gadis Korea. Padahal, usia sudah kepala empat. Bukankah akan jadi sesuatu yang sangat menarik?"

Sejenak aku terdiam, berpikir dan mencerna saran dari Raka. Jika begitu, itu artinya aku harus jadi bintang utama dalam produkku sendiri. Sedangkan selama ini, aku selalu bayar model iklan.

"Baiklah, itu nanti akan saya pertimbangkan." Aku mencoba memberi alasan.

Jujur, aku paling tidak suka berada di depan kamera. Bawaannya selalu saja gugup, macam demam panggung.

Fokus kami kembali ke ipad pro milik Raka. Otakku mulai menganalisa, bahan mana saja yang paling bagus untuk kulit dan bakalan diminati oleh banyak orang. Aku dan Raka kembali disibukkan dengan perbincangan membahas bahan baku, hingga akhirnya percakapan terhenti saat seseorang mengetuk pintu.

"Masuk!" perintahku.

Muncul Rosa, tetapi kali ini wajahnya agak beda. Ada ekspresi khawatir dalam raut itu.

"Ada apa, Ros?"

"Ehm ... ini, Bu Riana. Ada ... ehm ... itu ...."

"Ada siapa?!" tanyaku tak sabar.

"Ada manager Pak Raka yang mengantar dokumen."

"Ya sudah suruh masuk! Malah gugup gitu ngapain?"

Rosa tidak menjawab, dia mempersilahkan tamu masuk. Dan ternyata ....

OMG ... kenapa makhluk penuh hipnotis itu lagi yang datang? Sungguh waktu yang tidak tepat, aku yakin pasti akan ada hal konyol yang terjadi.

Bagaimana ini? Aku tak bisa menghindar, tanpa sadar tangan ini mulai meraba bibir dan teringat ciuman waktu itu.

Sialan! Pikiranku mulai kacau, fokus pun mulai buyar. Ambyar semua!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status