Share

Membujuk

Re ... Reza ...?" Aku terbata-bata karena panik saat melihat wajah itu.

Entah mengapa, setiap melihat wajah tampannya, justru aku malah kalang kabut. Apalagi saat bayangan peristiwa ciuman itu melintas, auto membuat tangan langsung menutup mulut dan mengusapnya berkali-kali.

"Kalian sudah kenal?" tanya Raka membuyarkan semua kericuhan otak.

"A ... aku ...." Tenggorokan seketika tercekat, tidak mungkin aku cerita jika Reza adalah pria yang mencuri ciuman pertamaku.

"Dia gadis yang bikin saya terlambat, Pak Rak. Melajukan motor sambil tidur mungkin, mobil lain sudah jalan tapi dia malah nggak gerak sama sekali." Reza mengarang cerita.

Enak saja aku tidur, dia tidak tahu kalau aku juga sedang buru-buru tapi harus ubah penampilan juga.

Deg!

Aku baru ingat dan menyadari, bahwa Reza tidak tahu siapa aku. Tentu saja dia tidak ingat, karena saat adegan berciuman itu terjadi, aku masih dengan dandanan sebagai Tante Merry.

Parahnya, baru saja aku keceplosan menyebut nama dia. Huh! Bodoh sekali aku ini!

"Reza, jaga sikap kamu! Nona Riana adalah pemilik perusahaan ini!" bentak Raka dengan tegas.

Kedua bola mata Reza seketika membulat, sikapnya langsung salah tingkah.

"Ma ... maaf, Nona Riana." Reza beberapa kali membungkuk minta maaf.

Aku yang tersadar dengan posisiku, seketika langsung mengubah sikap. Badan kutegakkan, pandangan tajam ke arah Reza dan menandakan wibawa seorang CEO.

Tiba-tiba aku punya ide, untuk mempermudah kerja Dion, kupikir bisa membantu dia dengan cara membuat Reza kehilangan pekerjaan. Dengan demikian, Reza tak ada pilihan selain menuruti permintaan istrinya untuk ikut sayembara.

"Pak Raka, bagaimana bisa Anda mempekerjakan manager seperti dia? Tidak ada sopan santunnya, bahkan dia tadi bersikap kurang ajar saat bertemu saya di parkiran!" tuturku dengan nada mencibir sekaligus mengadu.

"Maafkan pegawai saya, Nona Riana. Mungkin karena dia belum tahu siapa Nona ini." Raka masih berusaha melindungi bawahannya.

Mungkin saja karena kinerja Reza memang bagus, makanya Raka sampai mempercayakan project penting pada lelaki itu, bahkan sekarang pun dibela.

"Attitude itu tidak melihat dengan siapa dia bicara, Pak Raka. Yang namanya attitude baik ya harus kepada semua orang, meskipun pada pengemis sekalipun. Mana ada bersikap sopan hanya dengan orang yang punya jabatan. Itu namanya penjilat! Seharusnya Anda paham dan lebih selektif saat memilih karyawan, bukan asal-asalan seperti itu!"

Aku masih terus berusaha memojokkan Reza. Tampak lelaki itu hanya diam menunduk, membiarkan atasannya berdebat denganku hanya karena ulahnya.

Sejenak aku berpikir dan mempertimbangkan, jika mengancam membatalkan project jelas kerugian tetap aku tanggung. Apalagi Raka memberikan harga yang cukup miring dibanding perusahaan lain. Ada banyak benefit yang dia tawarkan.

Aku mencoba menekan ego, jangan sampai karena ego ingin menjalankan rencana sayembara berhasil, justru aku harus kehilangan keuntungan yang jumlahnya tak sedikit.

"Baiklah, Nona Riana. Mungkin Anda kurang berkenan dengan sikap manager saya, kalau begitu project ini akan langsung saya handle tanpa melibatkan dia." Raka masih bersikap begitu sopan dan mengulas senyum.

"Reza, taruh saja file dan dokumennya. Biar aku yang handle. Sebaiknya kamu kembali ke kantor dan selesaikan pekerjaan lainnya."

"Baik, Pak Raka." Reza pun membungkuk memberi hormat, kemudian keluar.

Tanpa kusadari, rasa kesal pada sikap Raka pun muncul sehingga aku mendengkus. Tujuanku untuk membuat Reza kehilangan pekerjaan, justru digagalkan oleh partner kerjasama yang ternyata bos-nya Reza.

"Nona Riana, saya mohon maaf jika tidak memecat dia. Bagaimana pun, dia sudah lama ikut aku dan kinerja Reza memang patut diacungi jempol. Dia punya loyalitas, dan dedikasi pada perusahaan sudah cukup tinggi."

Dalam hati aku menggerutu, kesal terhadap Raka yang malah memuji bawahannya itu.

"Sudahlah. Kita lanjutkan pembahasan kerja sama ini nanti, sudah jam makan siang dan saya butuh mood booster agar bisa berpikir lebih jernih lagi. Manager Anda benar-benar merusak mood saya," ucapku beralasan.

Jujur saja, semenjak kehadiran Reza tadi, otak ini sudah tak mampu lagi fokus pada apa yang dibahas.

"Bagaimana kalau saya traktir saja?" Raka menawarkan, tetapi kulihat sorot matanya ada yang berbeda.

Ah, mungkin saja aku yang Ge-Er. Hanya saja, tidak dapat aku pungkiri tatapan Raka padaku sama seperti para pengusaha muda yang tertarik dengan kecantikanku. Hanya saja, Raka masih terlihat jaim. Namun, kode alias sinyal yang diberikan dapat tertangkap oleh radar feeling-ku yang kuat.

Kali ini aku tidak ingin menolak, jadi kuanggukan kepala. "Boleh, mari kita cari makanan terlezat di Jakarta!" ujarku diiringi senyum penuh semangat.

Raka pun menyambut dengan senyuman suka cita.

***

Makan siang di sebuah tradisional resto menjadi pilihan. Aku sendiri baru tahu jika Raka satu selera denganku, dia menyukai kuliner tradisional. Siapa sangka, aku bisa menemukan partner yang mau diajak makan di sebuah resto yang menyajikan menu tradisional.

Iga bakar, sate lilit, ayam taliwang, dan masih banyak menu lezat lainnya. Aku sengaja memesan beberapa menu, semua itu hanya demi mengembalikan mood yang sempat porak poranda karena kehadiran Reza.

Aku abaikan tatapan Raka yang melihatku makan tanpa jaga image sebagai seorang CEO. Mau illfeel atau tidak, terserah saja.

"Nona Riana, Anda sangat menikmati makanan ini ya, hahaha ...."

Pertanyaan Raka hanya aku respon dengan tawa kecil. Setelah itu lanjut menikmati lezatnya iga bakar, bumbu yang meresap hingga ke daging membuat lidah ini tak berhenti menari.

Di tengah asyiknya menikmati makanan, tetiba Raka memberi kode. Dia menunjuk samping bibirnya, mungkin saja ingin memberitahu kalau makanan yang kumakan belepotan di dekat bibir.

Namun sayang, kedua tanganku kotor semua karena aku makan tanpa sendok dan garpu.

Akhirnya Raka berinisiatif mengambil tisu dan membersihkan apa yang menempel di dekat bibir.

"Maaf, Nona Riana. Ini bumbunya sampai ke sini." Dia mengelap dengan begitu lembut.

Untuk sesaat pandangan kami bertemu dan saling menatap secara intens. Aku merasa sedikit aneh dengan tatapan itu.

Menyadari apa yang baru saja terjadi, Raka segera menarik tangannya. Dia salah tingkah, kemudian pura-pura minum.

"Anda baik-baik saja, Pak Raka?" tanyaku dengan santai.

"I ... iya. Duh, kenapa tiba-tiba gerah begini ya?" ujarnya seraya mengibaskan tangan ke dekat leher dan juga dahinya.

Aku tersenyum melihat tingkah lucu Raka. Dia seolah baru pertama jatuh cinta, macam anak remaja yang masih malu-malu kucing.

Jujur, aku mengenal dia baru dua bulan ini. Pertemuanku dengannya bukan suatu hal yang disengaja, melainkan karena kesalahan yang tidak disengaja.

Waktu itu aku dan dia sama-sama sedang dalam perjalanan Singapura ke Jakarta, bukan janjian. Hanya saja, kursi kami memang bersebelahan.

Obrolan ringan sempat terjadi, tetapi belum sampai ke tahap perkenalan. Saat turun dari pesawat dan tiba di bandara, aku jalan terburu-buru dan akhirnya menabrak Raka. Ponsel yang aku pegang terjatuh, begitu juga dengan milik Raka.

Entah bagaimana cerita, ternyata kami salah ambil ponsel. Aku sendiri menyadari kalau ponsel tertukar setelah tiba di rumah. Ponsel Raka memang persis dengan ponsel milikku, makanya saat terjatuh aku pun mengira yang jatuh dekat denganku adalah ponselku.

Ketika di rumah, aku hendak menelepon Rosa untuk mengabarkan jika besok aku sudah bisa ke kantor. Namun, ponsel tidak bisa aku buka dengan autentifikasi jari.

Saking penasarannya, pakai PIN pun tidak bisa. Akhirnya aku perhatikan kembali ponsel tersebut dengan baik-baik. Ya, ada yang beda pada bagian belakang. Ponsel Raka terdapat stiker logo sebuah perusahaan, dan ternyata itu logo perusahaan penyedia bahan kosmetik yang sangat terkenal.

Akhirnya aku coba telepon ponselku menggunakan ponsel lain. Benar saja, terdengar suara lelaki di pesawat tadi. Dia juga baru tahu jika ponselnya tertukar setelah aku telepon.

Hal itulah yang akhirnya menyebabkan kami bertemu kembali dan menjalin kerja sama untuk pertama kalinya.

"Nona Riana, apa ada yang Anda pikirkan?" Pertanyaan Raka membuyarkan lamunanku.

"Tidak, saya hanya ingat manager Anda tadi. Saya tidak menyukainya, dan feeling saya, dia akan melakukan kecurangan pada Anda." Aku berusaha menghindari pertanyaan tadi dan mengalihkan pada rencana yang sempat tebersit.

"Apa maksud Anda, Nona?" tanya Raka dengan mimik penuh tanda tanya.

"Begini, Pak Raka. Sebagus apapun kinerja anak buah, itu pasti akan menyenangkan hati kita sebagai atasan. Tapi jangan lupa juga, bahwa mereka begitu karena ada yang mereka harapkan. Mereka terkadang memiliki ambisi lebih, misal untuk menambah keuntungan dari setiap tugas yang kita berikan."

Aku berusaha mempengaruhi Raka, berharap kali ini akan berhasil.

Tampak dia manggut-manggut, mungkin berusaha mencerna ucapanku.

"Coba diingat kembali. Posisi dia sekarang, apakah hasil pure usaha dia atau hasil dari memanfaatkan kelemahan rekan kerjanya?"

Sejenak Raka terdiam, ekspresi wajahnya tampak mengingat sesuatu. "Ya, saya tahu jabatan dia sekarang karena memenangkan persaingan ketat. Dia berhasil lolos dan naik jabatan. Sudah pasti akan ada yang tersingkir."

OMG ... masih saja pria di hadapanku ini pandai mencari sanggahan. Jika dia terus saja membela Reza, bagaimana aku bisa membuat Reza dalam kondisi kesulitan uang? Sedangkan waktu pendaftaran peserta sayembara tinggal satu minggu lagi.

Huh! Sungguh menyebalkan!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status