Share

Pangeran yang Pria Itu Akan Nikahi

Setelah kedua pihak menyetujui perjanjian mereka dan bersumpah akan menepatinya, Elsie langsung memboyong Alvan ke sebuah butik pakaian yang tampak megah. Di sana, seperti anak hilang, tiba-tiba saja Alvan diarahkan ke ruangan ganti yang besar dan di sodorkan dengan banyak setelan pakaian, hingga ia tak ingat berapa banyak pakaian yang ia coba. Hanya kata "tidak", yang menjadi satu-satunya ingatannya, lantaran terus-menerus diucapkan Elsie sebagai tanda ia harus kembali ke ruang ganti.

"Bagaimana jika kita pilih saja satu dari semua yang sudah kita coba?" bantah Alvan ketika ia sudah merasa teralu lelah untuk harus bolak-balik dari ruang ganti ke ruang tunggu.

Namun dengan wajah yang dingin, Elsie menunjukkan ketidaksetujuannya. "Sepanjang aku melihat, aku belum menemukan satu pun yang bagus."

Alvan mengambil satu setelan berwarna merah tua yang berada di gantungan, lalu menunjukkannya pada Elsie. "Ini bagus."

"Tidak. Menurutku itu kurang terlihat menonjol." sahut Elsie.

Lalu Alvan meletakkan setelan merah tuanya dan mengambil warna lain yang lebih terang. "Jika ingin menonjol, kita bisa menggunakan warna yang terang. Di sini ada berbagai warna yang bisa kita pilih."

Ketika ia mencoba untuk bernegosiasi, para pegawai butik itupun menjadi ikut harap-harap cemas selagi mendengar tanggapan Elsie mengenai pakaian yang sudah ditampilkan. Bisa dimengerti, —selama ia bergulat dengan pakaiannya di ruang ganti tadi— semua orang bergotong-royong membongkar semua setelan yang mereka miliki untuk dibawa ke hadapan Elsie. Seperti dirinya, mereka pasti merasa lelah dan ingin semua kegaduhan ini segera berakhir. Namun sayang sekali, kepayahan mereka tak tersampaikan pada gadis itu, sehingga dengan tegas wanita itu menolak pendapatnya. 

"Tidak. Kita harus memilih yang terbaik."

Setelah berjam-jam duduk di kursinya dengan ditemani oleh sebuah majalah, Elsie akhirnya meninggalkan tempatnya dan berjalan menghampiri Alvan. Di saat yang sama, tiba-tiba bulu kuduknya meremang dan ia bisa merasakan aura kuat wanita itu yang menekannya. 

Elsie menyentuh tiap lekuk jasnya dan menepuk dadanya ringan, "Besok bukanlah acara biasa. Besok adalah acara ulang tahun perusahaan. Di sana semua musuhku akan datang untuk mengejekku, karena itu aku berencana untuk memberi mereka sedikit kejutan. 'Surprise'. Lalu memperkenalkanmu ke publik untuk pertama kalinya."

Semakin lama, suara Elsie semakin kecil dan dia pun mulai berbisik di telinganya. "Oleh karena itu, aku tidak menginginkan setelan yang biasa. Aku ingin pakaian yang menonjol yang mengintimidasi mereka, hingga tak ada satu pun yang berani mengangkat tumitnya. Kau sudah mengerti sekarang, calon suami?"

Tak ada pilihan lain untuk Alvan menyanggah, kini ia hanya mengangguk pasrah dan berusaha membiasakan diri dengan antrian setelan yang sudah menanti dirinya. "Baiklah. Mari kita coba yang lain."

Lalu semua pegawai pun segera menghela napas dan Elsie kembali lagi ke kursinya sambil berlaku seolah dia tidak mendengar apapun. 

Sayup-sayup, dari ruang gantinya, Alvan mendengar suara Elsie yang berbicara dengan pemilik butik —yang ikut duduk di sampingnya—. "Aku akan membeli semua setelan yang sudah dia coba."

Refleks, kepala Alvan langsung menoleh ke arah ruang tunggu, seolah tak ada tembok yang memisahkan dua ruangan tersebut.

"Semua?!" gumamnya sambil membayangkan puluhan setelan yang sudah ia coba dalam beberapa jam belakangan ini. 

Sesaat ia membayangkan rentetan tagihan yang harus dibayarkan, hingga kemudian ia mulai tersadar. —Tidak seperti dirinya— bagi wanita itu, setelan ini tidak ada harganya. Dunia yang ia jalani, sangat berbeda dengan wanita itu. 

Lalu sambil menatap kosong ke arah kaca, ia melihat dirinya dan pakaian luar biasa yang dikenakannya. "Cinderella. Rupanya aku sedang berada di dalam dunia dongeng."

~Keesokan harinya~

Sebuah mobil mewah berhenti di depan rumahnya. Seperti yang ia duga, ia langsung melihat Elsie, begitu ia membuka pintu belakang mobil. 

"Hai." Sapanya singkat yang dijawabnya dengan anggukan kepala. "Masuklah."

Lalu selama perjalanan, ia terus disorot oleh mata Elsie yang memindai dirinya dari kepala hingga kaki. 

"Ada apa?" tanya Alvan setelah merasa risi dengan tatapan matanya. "Apakah ada yang salah?"

"Ya. Sangat banyak." komentar Elsie atas kerapiannya berpakaian. "Anna, ayo kita ke salon sebentar. Kita harus menata ulang rambutnya."

Alvan menyentuh rambutnya dan merasa pergi ke salon adalah hal yang sedikit berlebihan. Namun karena ia sedang berperan sebagai Cinderella, ia membiarkan mereka menata rambutnya dan memoles wajahnya seperti yang mareka mau. Sehingga, ketika matanya terbuka dari rasa kantuk, tiba-tiba ia melihat sosok lain di bayangan cermin yang ada di depannya. 

Rambutnya yang ditata indah, riasan tipis yang melapisi wajahnya, dan sedikit pelembap yang menyempurnakan penampilannya. Kini ia menjadi orang yang sangat berbeda. 

"Berdiri." Perintah Elsie yang merupakan suatu keharusan untuknya. 

Lalu wanita itu membenarkan posisi dasinya dan merapikan pakaiannya. "Sekarang semuanya sempurna."

Setelah berkata semuanya sudah beres, anehnya wanita itu kembali menatapnya lekat-lekat seolah masih ada yang kurang.

"Ada apa?" tanyanya sambil mengerutkan dahi.

Bukannya menjawab pertanyaannya dengan berbicara baik-baik, Elsie justru membalas pertanyaannya dengan memukul punggungnya, yang bukan hanya sekali tapi beberapa kali. 

"Ah." desahnya kesakitan.

"Jangan terlalu kaku. Kau akan membuat semuanya terlalu jelas. Kenapa kau tidak mengumumkan saja secara langsung kalau kita menikah karena perjanjian?"

"Ah. Maafkan aku." Alvan menyentuh belakang lehernya dan mencoba menghilangkan rasa dingin yang menjalar di tengkuknya karena rasa tegang.

Elsie memegang tangannya dan mengarahkannya pada pinggangnya, hingga ia mendelik terkejut.

"Apa ...?!"

"Aku kekasihmu mulai dari sekarang. Tidak. Maksudku mulai dari kemarin. Jadi berlakulah sebagai calon suamiku dan berusahalah untuk mencintaiku. Ingat, kau sudah berjanji akan membantuku mendapatkan warisan keluargaku. Jadi lakukanlah sesuai perjanjian kita."

Alvan menatap tangannya yang ada di pinggang wanita itu, lalu mempererat pelukannya. "Baiklah. Ayo kita berangkat, Elsie."

Seringai puas keluar dari wajah Elsie, ketika ia menyebutkan namanya alih-alih memanggilnya secara formal. Lali ia mengangguk, "Ya. Ayo kita berangkat sekarang."

Malam itu, Alvan masuk ke dalam dunia yang berbeda. Seperti Cinderella dalam cerita, semua mata terarah padanya begitu ia memasuki ruang pesta. Mungkin karena pakaian mencolok yang dipilihkan Elsie untuknya, tapi mungkin juga karena wanita berpengaruh yang ada di sampingnya. Seperti pangeran yang menari bersama Cinderella dan membuat siapapun merasa iri pada wanita tersebut.  Situasi ini pun juga serupa. 

Hanya saja, ada satu hal yang berbeda.

"Perkenalkan ini Alvin, calon suamiku." Elsie menyelipkan tangannya di sela lengan Alvin dan tersenyum begitu bahagia sebagaimana seorang pengantin wanita. "Kami akan segera menikah."

Ada satu hal yang membedakan dirinya dengan Cinderella. Cinderella mencintai pangeran dan begitu pula sebaliknya. Namun dalam kasusnya, Alvan tidak mencintai Elsie, dan begitu juga sebaliknya. Sebab ini bukan dongeng, ini adalah dunia realitas. 

...****************...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status