Share

BAB 2

Author: mapoeri
last update Last Updated: 2024-11-22 10:42:56

Jaima membuka kedua matanya, dia mendapati Rama berada di sampingnya. Anak itu tertidur dengan pulas, pakaian pergi semalam sudah berganti dengan pakaian tidur lucu, wajahnya begitu tenang. Dia mendekat pada Rama dan mengelus lembut pipi anak itu.

Si kecil Rama adalah alasan kenapa dia pada akhirnya berada di rumah ini, pikirannya pergi jauh ke saat dimana dia dan Hasbi pertama kali bertemu.

SATU SETENGAH TAHUN LALU.

“AKKKKK!” Suara pekikan itu terdengar begitu nyaring, suaranya bercampur antara suara seorang wanita dan pria. Kamar hotel bintang lima itu memiliki kualitas kedap suara di dalam kamar dan tidak perlu diragukan lagi, apapun yang terjadi di dalam kamar tidak akan pernah terdengar aktivitasnya sampai keluar lorong.

Keduanya saling menatap dengan terkejut, masing-masing memakai selimut untuk menutupi bagian tubuh mereka.

“K-kamu siapa?!” Pria itu tergagap melihat wanita muda di depannya tanpa busana, wanita yang sama sekali tidak dia kenal.

“Saya…” Belum sempat wanita itu menjawab suara pintu kamar dibuka terdengar, beberapa orang masuk ke dalam tanpa permisi dan seperti tidak mempedulikan wanita itu yang sudah terkejut setengah mati.

“Mohon maaf tuan muda, rapat dengan direksi akan segera dimulai. Kami membawa perlengkapan pakaian baru dan juga sudah menyiapkan semuanya, tidak ada waktu untuk berbincang.”

Tanpa aba-aba pria itu segera memakai pakaian dalam dan juga celana bahan yang dibawakan oleh asistennya, dia bergegas pergi meninggalkan si wanita yang masih ternganga tidak mengerti.

“Maaf, anda pasti terkejut. Saya asisten pribadi tuan muda Hasbi. Perkenalkan, nama saya Arianti.” Wanita yang usianya mungkin beberapa tahun lebih tua dari Jaima menyodorkan sebuah kartu nama bertuliskan nama lengkapnya, ARIANTI GELORA.

“Mahatma Group?!” Jaima menutup mulutnya dengan tangan, matanya terbelalak ketika pada akhirnya dia menyadari dengan siapa berurusan.

“Izinkan saya meminta nomor rekening anda, ini sesuai prosedur kami.”

Jaima mengerenyitkan dahi, “Rekening? Maksud anda?”

Arianti menatap Jaima yang kemudian terkesiap, dia baru ingat kalau sekarang dia tengah duduk diatas kasur dengan keadaan telanjang. Tubuhnya hanya dia tutupi dengan selimut tebal.

“Saya bukan wanita bayaran.. Saya bekerja disini.” Dia tergagap, berusaha menjelaskan.

Arianti mengerenyitkan dahinya, “Bekerja disini?”

Jaima mengangguk perlahan, “Saya pekerja paruh waktu, baru satu minggu mulai bekerja. Tadi malam saya ditugaskan mengantar pak Hasbi ke kamarnya, kemudian…” Suaranya tercekat di tenggorokan mengingat apa yang terjadi semalam.

Pergumulannya dengan Hasbi penuh paksaan, bukan hal romantis penuh cinta. Pria itu menggaulinya sambil memanggil nama wanita lain, Tanaya.

“Pak Hasbi terlalu mabuk hingga memaksa saya melakukan hal tersebut.”

Arianti terdiam, dia tahu benar apa yang menjadi penyebab Tuan Mudanya melakukan hal itu. Beberapa hari lalu Hasbi dan tunangannya Tanaya cekcok, kesalahpahaman membuat mereka hampir membatalkan pertunangan.

“Saya harus tetap mengirimkan anda uang untuk tutup mulut.”

Jaima menatap Arianti tidak percaya, harga dirinya terasa diinjak-injak. Dia memang bukan orang dengan kekuasaan apalagi berada, dia hanya seorang masyarakat biasa yang bekerja dari pagi sampai malam untuk menyambung hidup.

Apa yang terjadi padanya semalam bukanlah hal yang mengenakkan untuknya, kenapa dia harus dibayar untuk sesuatu yang bahkan dia sendiri enggan melakukannya.

“Sekali lagi, saya bukan wanita bayaran..” Suaranya kini bergetar, dia bangun dari duduknya dan memakai pakaiannya kembali. Rasa panas dan perih menjalar dari selangkangannya, lehernya begitu sakit disusul dengan puting di payudaranya.

Hasbi melakukan seks dengan ganas, menggigiti setiap inci kulit Jaima.

“Bawa kartu nama saya, jika anda….” Arianti menggantung kalimatnya kemudian menatap Jaima, “...berubah pikiran. Anda bisa menghubungi saya.”

Wanita itu kemudian berlalu begitu saja, meninggalkan Jaima yang masih tidak mengerti kenapa ini menimpa padanya. Dia bergegas turun ke bawah dan pergi menggunakan angkutan umum.

Untung dia membawa sweater sehingga bercak merah bekas gigitan Hasbi bisa tertutupi, dia malu dan merasa kotor. Itu kali pertamanya melakukan hubungan badan dan dia melakukan hal itu dengan pria yang sama sekali tidak dia kenali.

Dadanya mendadak sesak, kemudian tangisnya pecah.

Dia terisak.

Hari demi hari berlalu, Jaima sudah melupakan apa yang terjadi padanya di malam itu. Lebih tepatnya berusaha melupakan, dia tidak berniat menghubungi Arianti, dia pikir malam itu adalah malam sial saja. Dia tidak ingin berurusan lebih lanjut dengan keluarga paling kaya nomor tiga di Indonesia.

“Orang kaya itu gak punya hati dan empati! Lebih baik jangan dekat-dekat.” Sitha berkata, menutup pintu di belakangnya dan duduk di kursi meja makan. Mereka tengah berada di rumah kontrakan milik Jaima. Kontrakan satu rumah itu terasa sunyi dan sepi semenjak Jaima memutuskan untuk membawa ibunya ke panti jompo.

“Aku memang gak berminat hubungi orang itu, aku yang dipaksa tapi aku yang mau dibayar. Mungkin mereka pikir kehormatan tidak seberharga itu.”

Sitha merengut, dia jadi kesal dan juga merasa bersalah setelah mendengar cerita Jaima. Sudah dua bulan semenjak terakhir mereka bertemu, Sitha sibuk bekerja di sebuah perusahaan yang masih dibawah naungan Mahatma Group.

“Pak Hasbi itu angkuh banget, kalau dia sedang datang ke kantor saja semua orang sudah jelek moodnya!” Katanya sambil membuka bungkusan, dia tadi mampir membeli ikan bakar kesukaan Jaima. Hari ini adalah hari gajian, dia ingin mentraktir Jaima. Hitung-hitung menghibur wanita itu.

“Ugh…”

Sitha terdiam, tangannya yang sedari tadi cekatan membuka bungkus ikan bakar berhenti di udara.

“Ugh…” Suara yang berasal dari Jaima terdengar lagi.

“Kamu, kenapa?” Sitha bertanya dengan perlahan.

“Ugh….B..bau banget..” Jaima terbata kemudian dia berlari pergi ke kamar mandi, memuntahkan isi perutnya.

Sitha masih terdiam, duduk di meja makan mendengar sahabatnya muntah di kamar mandi. Ketika Jaima keluar dari kamar mandi keduanya saling bertatapan.

“Ima, kamu…Hamil?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SEBATAS ISTRI CADANGAN SANG TUAN   BAB 77

    Jaima mengerjapkan matanya berkali-kali, apa yang dia lihat sekarang adalah sesuatu yang tidak terpikirkan olehnya. Lalu lalang orang membuat dia sedikit kebingungan, ini bukan kali pertama dia makan disini. Sejujurnya, tempat makan ini adalah tempat paling terjangkau ketika Jaima hidup sendiri.Tentu saja, selain murah karena porsinya juga banyak.“Kamu gak suka?” Hasbi menelengkan kepalanya ke arah kiri, matanya menatap penuh pengharapan pada Jaima, tangannya menggenggam dengan lembut.“Suka, tentu saja. Tapi, aku gak sangka kamu bawa aku ke tenda pecel ayam..”Tenda pecel ayam itu besar dan juga bersih, ini adalah kawasan tempat makan cukup terkenal untuk kalangan orang biasa. Disini orang-orang berlalu lalang tanpa peduli sekitar, mereka lebih senang memilah tenda mana yang akan mereka singgahi untuk makan malam atau hanya memilih cemilan mana yang akan mereka tenteng selagi berjalan-jalan.“Aku lagi pengen makan pecel ayam.” Ujar Hasbi dengan senyum lebar.Genggaman tangan itu ti

  • SEBATAS ISTRI CADANGAN SANG TUAN   BAB 76

    Jaima terburu-buru pulang setelah Hasbi mengatakan kalau Rama menangis. Dia menelepon pengasuh di tengah perjalanan pulang, namun si pengasuh jadi kebingungan.“Bapak tidak pulang bu ataupun telepon.”Ketika Jaima sampai rumah, tidak ada tanda-tanda Hasbi disana. Hanya ada si pengasuh yang baru saja selesai memandikan Rama, wanita tua itu kebingungan ketika Jaima bertanya mengenai Hasbi.Kini Jaima tengah berada di kamar bersama Rama, menemani anak itu bermain meskipun isi kepalanya masih memikirkan alasan Hasbi memintanya pulang dengan segera.Ketika dia tengah merenung, ponselnya berbunyi. Satu pesan masuk.Noah.[Kenapa tidak bilang kalau pulang lebih dulu? TT.]Jaima tersenyum membaca pesannya, entah kenapa dia bisa membayangkan wajah pria itu yang terlihat sedih. Jaima segera pulang setelah Hasbi meneleponnya, saat itu Noah tengah berbicara dengan beberapa orang. Dia tidak berpamitan.Maafkan aku, aku mendapat kabar kalau Rama menangis.Tidak lama, pesan lainnya masuk.[Ah, kalau

  • SEBATAS ISTRI CADANGAN SANG TUAN   BAB 75

    Hasbi berada di dalam mobil, wajahnya tertekuk sempurna. Pandangannya dia lempar keluar jendela, memandangi gedung-gedung yang terlewati olehnya. Di tidak dalam keadaan baik-baik saja, hatinya sedang dilanda rasa kacau yang luar biasa.Seperti orang bodoh dia datang ke acara yang Jaima datangi untuk mengejutkan wanita itu, namun ternyata dialah yang terkejut melihat bagaimana kedekatan Jaima dengan Noah.Wanita itu tersenyum dengan lebar dan wajahnya terlihat begitu ceria.“Dia tidak pernah seperti itu padaku..” Gumam Hasbi pada dirinya sendiri.Helaan napasnya terasa begitu berat. Dia tidak ingin merasa cemburu, dia tidak punya hak atas itu, bagaimanapun nantinya setelah bercerai dengannya Jaima akan punya kehidupannya sendiri. Namun, dia tidak bisa melakukan itu sekarang.Bahkan bersama dengan Tanaya terasa begitu berat. Setiap hari ketika dia sampai di apartemen ada banyak hal yang dia ributkan dengan Tanaya, entah permasalahan kecil maupun besar.Kebanyakan karena wanita itu terus

  • SEBATAS ISTRI CADANGAN SANG TUAN   BAB 74

    Jaima kembali dengan kesibukannya, percakapannya dengan Hasbi terakhir adalah dua minggu lalu ketika dia meminta pengasuh untuk Rama. Tiga hari kemudian pengasuh itu datang, seorang wanita paruh baya yang suaranya begitu lembut.Imas bilang kalau ibu mertuanyalah yang memilihkan, dalam dua minggu terakhir sudah tiga kali Rama diasuh oleh si pengasuh dan semuanya berjalan dengan lancar. Si pengasuh meskipun sudah tua namun juga cekatan dalam urusan elektronik, dia tidak pernah absen mengirimkan kabar pada Jaima apa yang tengah Rama lakukan selama Jaima berada diluar.“Tuan Hasbi pulang ke apartemennya dengan nona Tanaya..” Kata Imas ketika Jaima bertanya.Jaima hanya mengangguk, berpura-pura mengerti meskipun perasaannya sakit.

  • SEBATAS ISTRI CADANGAN SANG TUAN   BAB 73

    “Apa maksudmu?” Tanaya mengerenyitkan dahinya, merasa tidak senang dengan apa yang baru saja dia dengar. Kedua tangannya saling menyilang di dada, kakinya bertumpu satu sama lain dan punggungnya bersadar di kursi.Dia menatap Noah dengan tatapan tidak percaya, sedangkan pria di depannya tengah menyesap secangkir teh hangat dengan perlahan.“Aku sudah mengatakannya.”“Ulangi.”Noah menyimpan cangkir diatas meja, menatap balik Tanaya.“Aku tidak ingin campur lagi untuk mengambil Jaima dari sisi Hasbi.”“Jangan gila!” Tanaya berkata, dengan wajah serius.“Aku tidak ingin me

  • SEBATAS ISTRI CADANGAN SANG TUAN   BAB 72

    Seminggu berlalu semenjak kedatangan Tanaya ke Rumah Sakit dan membuat gaduh, percekcokan Hasbi dan Tanaya tidak berhenti disana. Setelah kepergian Tanaya dan kembali ke ruangan, Jaima bersikap seolah tidak terjadi apapun. Wanita itu tidak bertanya, Hasbi tidak menjelaskan apapun.Semuanya berlalu begitu saja untuknya dan Jaima.Sedangkan Tanaya masih terus menuntutnya untuk segera melepaskan Jaima setelah apa yang wanita itu katakan ketika Tanaya datang ke ruangan Rama. Tanaya merasa ucapan Jaima sudah sangat keterlaluan, Hasbi sendiri ingin Tanaya melupakan hal itu.Percekcokan demi percekcokan yang seperti tidak ada ujungnya.Dilain sisi, Rama sudah kembali ceria. Tawa dan celotehannya sudah mulai mengisi rumah, Jaima tidak memberitahu Hasbi kalau ibu mertuanya datang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status