Pertanyaan Sitha membawa Jaima berada di dalam kamar mandi dengan beberapa merk alat tes kehamilan di tangannya. Sahabatnya itu bergegas pergi bahkan sebelum Jaima menjawab, dia pergi ke apotek dan membeli banyak sekali alat tes kehamilan. Sitha sudah tidak memikirkan rasa malu lagi, dia ingin tahu apakah tebakannya benar atau tidak.
“Sudah ada hasilnya?” Suara Shita terdengar setengah berteriak dari luar kamar mandi, Jaima tersentak dan kembali pada sadarnya. Dia menggenggam beberapa alat tes kehamilan yang sudah memunculkan hasil.
Dia belum berani melihatnya, entah kenapa ada perasaan takut yang mendadak menyelimutinya. Semua pikiran buruk mulai melintas satu-satu.
“Ma, ayo lihat bareng-bareng..” Sitha merengek dari luar kamar mandi, berharap sahabatnya itu mendengar dan menuruti keinginannya. Makanan yang dia beli sudah tidak tersentuh, dingin diatas meja.
Nafsu makannya sudah hilang begitu saja.
Perlahan Jaima keluar dari kamar mandi dengan wajah pucat, Sitha yang sedari tadi berdiri dengan gelisah di depan pintu kemudian terduduk dengan lemas. Tanpa bicara sepatah katapun kedua sahabat itu sudah tahu apa hasilnya.
Jaima meneteskan airmata pertama kali kemudian disusul oleh Sitha, sahabatnya itu mendekat ke arah Jaima dan memeluknya erat. Mereka menangis berdua. Alat tes kehamilan yang sedari tadi di pegang erat oleh Jaima terlepas begitu saja, semua hasilnya menunjukkan positif.
Jaima hamil.
“Apa yang akan kamu lakukan?” Adalah pertanyaan Sitha setelah mereka akhirnya kembali duduk ke meja makan, alih-alih menyantap makanan yang dia beli, Sitha malah memasukkan makanan itu ke dalam kulkas dan membungkusnya kembali.
Keduanya benar-benar kehilangan selera makan. Kehamilan Jaima membuat mereka terguncang.
“Menurutmu, apa yang harus aku lakukan?” Tanya Jaima kembali, dia menoleh pada Sitha. Matanya sembab dan hidungnya memerah.
“Kamu harus menelepon asisten pria itu..”
“Tha..”
“Kamu gak bisa memutuskan ini semuanya sendiri Ma, kalau benar kamu…” Sitha menghentikan kalimatnya, semua kata tercekat di tenggorokannya, kata yang hendak dia ucapkan rasanya begitu menakutkan. “Hamil…. Kamu harus mengambil keputusan yang begitu besar.”
Jaima menitikkan air matanya lagi. Tidak pernah sekalipun dia berpikir kalau apa yang terjadi malam itu membuatnya hamil, malam yang membuatnya trauma itu tidak selesai disana. Trauma itu menjelma menjadi sebuah sosok yang kemungkinan bertumbuh di dalam rahimnya.
“Aku akan menggugurkan kandunganku.” Jaima mengatakannya dengan tegas, dia menatap Sitha.
“Tapi sebelum itu, kamu harus mengatakan hal ini pada asisten pak Hasbi. Dia harus tahu.”
Percakapan itu selesai disana, tidak ada percakapan lainnya. Keduanya menghabiskan malam dalam diam, mual yang tiba-tiba naik ke permukaan itu mulai terasa menyesakkan seiring berjalannya waktu.
Jaima melangkahkan kakinya menuju sebuah gedung, sudah seminggu berlalu semenjak dia mengetahui tentang kehamilannya. Pekerjaannya semakin banyak karena tanpa sadar dia merasa dia harus mengumpulkan uang.
Bibirnya mengatakan dia ingin menghilangkan janin itu dari dunianya namun entah kenapa apa yang dia lakukan berbeda. Ada perasaan tanggung jawab yang entah kenapa mendadak muncul akhir-akhir ini.
“Mbak Jaima..” Sapaan manis itu langsung menyambut kedatangannya, seorang perempuan muda dengan pakaian perawat tersenyum lebar. Orang yang beberapa bulan terakhir menggantikan perawat yang jauh lebih tua usianya itu selalu tersenyum lebar setiap Jaima datang.
“Nurse, bagaimana kabar ibu?” Tanya Jaima setelah sebelumnya memberikan senyuman kembali pada perawat itu.
“Hari ini agak sedikit rewel, ibu ngambek seharian karena ingin makan coklat.” Perawat itu berjalan berdampingan dengan Jaima menuju ke sebuah ruangan, dia kemudian membuka pintu yang menampilkan sebuah ruangan.
Ruangan itu tampak bersih dan rapi dengan minim perabotan, hanya ada tempat tidur dekat jendela dengan sebuah nakas. Jendela besar itu terbuka lebar dan gordennya terbang ditiup angin.
Seorang wanita tua berambut putih duduk menghadap jendela, pandangannya kosong menatap langit biru, cahaya matahari yang hangat menerpa wajahnya.
“Ibu Garini, ini ada mbak Jaima datang..” Perawat itu mendekat ke arah si ibu tua yang kemudian mengalihkan pandangannya, menatap kosong ke arah Jaima yang tersenyum tipis.
“Ibu… Ima datang..” Suaranya terdengar lirih, matanya mulai berkaca-kaca.
Wanita tua yang nampak kebingungan itu adalah ibunya. Sudah lima tahun semenjak Jaima memutuskan untuk menitipkan ibunya ke panti jompo. Bukan karena dia tega dan jahat, tapi keadaan yang membuatnya demikian. Ibunya sudah tidak dapat mengenalinya.
Ibunya menderita demensia.
“Mbak Jaima hari ini datang agak siang.” Kata perawat itu sambil mengambil beberapa baju ganti untuk Garini yang masih menatap Jaima, dia duduk di samping ibunya dan menggenggam tangan kurus ringkih itu dengan lembut.
“Baru selesai kerja Nurse..”
“Waduh, shift malam?”
Jaima mengangguk perlahan, dia beralih menatap ibunya dan mengelus wajahnya pelan.
“Ibu gimana kabarnya?”
Tidak ada jawaban seperti biasanya, hanya ada tatapan kosong.
“Mbak Ima disini sampai jam berapa?” Tanya si perawat yang kini mulai membuka baju Garini dibantu Jaima.
“Aku rencana pulang sore.”
“Bagus kalau begitu mbak, donatur terbesar disini mau datang untuk membantu kerja bakti.”
“Donatur?” Tanya Jaima mengerenyitkan dahinya, tangannya masih begitu cekatan membantu ibunya berganti pakaian. Semua itu sudah dia lakukan sejak usia dua belas tahun dimana pertama kali ibunya mulai buruk kondisinya karena demensia.
Si perawat mengangguk kemudian mengambil baju kotor Garini dan memasukkannya ke dalam keranjang ketika pintu ruangan terbuka. Keduanya menoleh, mata Jaima terbelalak ketika dia melihat sosok pria yang berdiri disana. Mulutnya terasa kelu dan badannya kaku.
“Selamat datang pak Hasbi.” Suara itu terdengar samar dan jauh.
Jaima mengerjapkan matanya berkali-kali, apa yang dia lihat sekarang adalah sesuatu yang tidak terpikirkan olehnya. Lalu lalang orang membuat dia sedikit kebingungan, ini bukan kali pertama dia makan disini. Sejujurnya, tempat makan ini adalah tempat paling terjangkau ketika Jaima hidup sendiri.Tentu saja, selain murah karena porsinya juga banyak.“Kamu gak suka?” Hasbi menelengkan kepalanya ke arah kiri, matanya menatap penuh pengharapan pada Jaima, tangannya menggenggam dengan lembut.“Suka, tentu saja. Tapi, aku gak sangka kamu bawa aku ke tenda pecel ayam..”Tenda pecel ayam itu besar dan juga bersih, ini adalah kawasan tempat makan cukup terkenal untuk kalangan orang biasa. Disini orang-orang berlalu lalang tanpa peduli sekitar, mereka lebih senang memilah tenda mana yang akan mereka singgahi untuk makan malam atau hanya memilih cemilan mana yang akan mereka tenteng selagi berjalan-jalan.“Aku lagi pengen makan pecel ayam.” Ujar Hasbi dengan senyum lebar.Genggaman tangan itu ti
Jaima terburu-buru pulang setelah Hasbi mengatakan kalau Rama menangis. Dia menelepon pengasuh di tengah perjalanan pulang, namun si pengasuh jadi kebingungan.“Bapak tidak pulang bu ataupun telepon.”Ketika Jaima sampai rumah, tidak ada tanda-tanda Hasbi disana. Hanya ada si pengasuh yang baru saja selesai memandikan Rama, wanita tua itu kebingungan ketika Jaima bertanya mengenai Hasbi.Kini Jaima tengah berada di kamar bersama Rama, menemani anak itu bermain meskipun isi kepalanya masih memikirkan alasan Hasbi memintanya pulang dengan segera.Ketika dia tengah merenung, ponselnya berbunyi. Satu pesan masuk.Noah.[Kenapa tidak bilang kalau pulang lebih dulu? TT.]Jaima tersenyum membaca pesannya, entah kenapa dia bisa membayangkan wajah pria itu yang terlihat sedih. Jaima segera pulang setelah Hasbi meneleponnya, saat itu Noah tengah berbicara dengan beberapa orang. Dia tidak berpamitan.Maafkan aku, aku mendapat kabar kalau Rama menangis.Tidak lama, pesan lainnya masuk.[Ah, kalau
Hasbi berada di dalam mobil, wajahnya tertekuk sempurna. Pandangannya dia lempar keluar jendela, memandangi gedung-gedung yang terlewati olehnya. Di tidak dalam keadaan baik-baik saja, hatinya sedang dilanda rasa kacau yang luar biasa.Seperti orang bodoh dia datang ke acara yang Jaima datangi untuk mengejutkan wanita itu, namun ternyata dialah yang terkejut melihat bagaimana kedekatan Jaima dengan Noah.Wanita itu tersenyum dengan lebar dan wajahnya terlihat begitu ceria.“Dia tidak pernah seperti itu padaku..” Gumam Hasbi pada dirinya sendiri.Helaan napasnya terasa begitu berat. Dia tidak ingin merasa cemburu, dia tidak punya hak atas itu, bagaimanapun nantinya setelah bercerai dengannya Jaima akan punya kehidupannya sendiri. Namun, dia tidak bisa melakukan itu sekarang.Bahkan bersama dengan Tanaya terasa begitu berat. Setiap hari ketika dia sampai di apartemen ada banyak hal yang dia ributkan dengan Tanaya, entah permasalahan kecil maupun besar.Kebanyakan karena wanita itu terus
Jaima kembali dengan kesibukannya, percakapannya dengan Hasbi terakhir adalah dua minggu lalu ketika dia meminta pengasuh untuk Rama. Tiga hari kemudian pengasuh itu datang, seorang wanita paruh baya yang suaranya begitu lembut.Imas bilang kalau ibu mertuanyalah yang memilihkan, dalam dua minggu terakhir sudah tiga kali Rama diasuh oleh si pengasuh dan semuanya berjalan dengan lancar. Si pengasuh meskipun sudah tua namun juga cekatan dalam urusan elektronik, dia tidak pernah absen mengirimkan kabar pada Jaima apa yang tengah Rama lakukan selama Jaima berada diluar.“Tuan Hasbi pulang ke apartemennya dengan nona Tanaya..” Kata Imas ketika Jaima bertanya.Jaima hanya mengangguk, berpura-pura mengerti meskipun perasaannya sakit.
“Apa maksudmu?” Tanaya mengerenyitkan dahinya, merasa tidak senang dengan apa yang baru saja dia dengar. Kedua tangannya saling menyilang di dada, kakinya bertumpu satu sama lain dan punggungnya bersadar di kursi.Dia menatap Noah dengan tatapan tidak percaya, sedangkan pria di depannya tengah menyesap secangkir teh hangat dengan perlahan.“Aku sudah mengatakannya.”“Ulangi.”Noah menyimpan cangkir diatas meja, menatap balik Tanaya.“Aku tidak ingin campur lagi untuk mengambil Jaima dari sisi Hasbi.”“Jangan gila!” Tanaya berkata, dengan wajah serius.“Aku tidak ingin me
Seminggu berlalu semenjak kedatangan Tanaya ke Rumah Sakit dan membuat gaduh, percekcokan Hasbi dan Tanaya tidak berhenti disana. Setelah kepergian Tanaya dan kembali ke ruangan, Jaima bersikap seolah tidak terjadi apapun. Wanita itu tidak bertanya, Hasbi tidak menjelaskan apapun.Semuanya berlalu begitu saja untuknya dan Jaima.Sedangkan Tanaya masih terus menuntutnya untuk segera melepaskan Jaima setelah apa yang wanita itu katakan ketika Tanaya datang ke ruangan Rama. Tanaya merasa ucapan Jaima sudah sangat keterlaluan, Hasbi sendiri ingin Tanaya melupakan hal itu.Percekcokan demi percekcokan yang seperti tidak ada ujungnya.Dilain sisi, Rama sudah kembali ceria. Tawa dan celotehannya sudah mulai mengisi rumah, Jaima tidak memberitahu Hasbi kalau ibu mertuanya datang