Share

BAB 4

Author: mapoeri
last update Last Updated: 2024-11-23 19:00:35

Jaima bisa merasakan tatapan telisik milik Arianti, asisten pribadi Hasbi yang berdiri di samping pria itu. Pria itu datang dengan beberapa orang yang disebut sebagai ‘donatur’ oleh si perawat, tidak lupa beberapa wartawan hadir disana untuk meliput kegiatan tersebut.

“Ini putri ibu Garini, mbak Jaima.” Perawat itu memperkenalkan Jaima dengan ceria pada orang-orang tersebut yang kemudian mengulurkan tangan, bersalaman dengan Jaima.

“Saya dengar ibu anda harus menjalani perawatan intensif untuk mmendapatkan pengobatan lebih lanjut setelah kondisinya yang memburuk?” Salah satu donatur itu bertanya pada Jaima, dia menatap seolah-olah peduli dengan kesehatan para orangtua disana.

“Ah, ya.. Itu yang saya dengar..” Jaima menjawab dengan kikuk, terlebih lagi dia tengah menahan keinginannya untuk memuntahkan isi perutnya. Entah kenapa sejak melihat Hasbi rasa mualnya timbul dengan sangat brutal.

“Semoga donasi kali ini bisa membantu ibu anda jauh lebih baik lagi.” Hasbi menimpali, menatap Jaima dengan senyum lebar seolah dia tidak mengingat apa yang sudah dilakukan pada Jaima sebulan yang lalu.

Jaima mengangguk, kemudian para wartawan itu meminta mereka berjajar dengan rapi untuk mengambil foto. Jaima ditarik mendekat ke arah Hasbi sebagai wali dari pasien.

“Ugh..” Jaima berusaha menahan mualnya ketika parfume mahal milik Hasbi tercium hidungnya.

“Mbak, wajahnya pucat.. Mbak gak apa-apa?” Salah satu wartawan yang bertugas memfoto mereka bertanya pada Jaima, dia sedikit khawatir karena Jaima begitu pucat seperti tanpa darah.

“A-ah, ya, maaf. Saya baru pulang bekerja dari shift malam.” Jaima mencoba mengalihkan rasa mualnya, menjawab sebisa mungkin.

“Baik kalau begitu, senyum ya mbak..” Si wartawan berceloteh lagi, namun belum juga wartawan itu memencet shutter kameranya Jaima tergopoh-gopoh berlari ke kamar mandi, menutup pintunya dengan kencang sampai orang-orang disana terkejut, dia memuntahkan isi perutnya tanpa ampun.

Beberapa orang itu merasa risih namun si wartawan buru-buru mengalihkan perhatian mereka dengan cepat mengambil gambar tanpa Jaima.

Arianti terdiam, matanya menatap tajam ke arah pintu kamar mandi yang tertutup.

Jaima keluar setelah beberapa saat, kepalanya pusing dan dia hanya duduk diatas toilet. Ini sudah kesekian kalinya dia muntah dan badannya terasa begitu lelah, dia yakin telah kehilangan bobot yang lumayan karena itu semua.

“Mbak, yakin mbak gak apa-apa? Biar diperiksa sama dokter umum disini.” Si perawat menghampiri Jaima dengan wajah khawatir.

Jaima menggeleng dan tersenyum kecil, “Aku cuma kecapekan aja..” Ujarnya singkat sambil duduk di samping ibunya lagi.

“Selamat pagi mbak Jaima..” Suara Arianti membuat Jaima menoleh, wanita itu tersenyum tipis. Pakaiannya yang rapi, riasan tipis namun terlihat begitu elegan. “Bisa saya bicara berdua saja dengan mbak Jaima?” Tanya Arianti pada perawat muda yang terlihat agak kebingungan namun beranjak pergi dari sana. Meninggalkan mereka berdua.

“Saya tidak tahu kalau ibu mbak Jaima berada di panti jompo milik yayasan Mahatma Group.” Katanya sembari berjalan mendekat ke arah jendela.

Garini masih duduk diatas kasur, pandangannya dia lemparkan keluar jendela. Masih menikmati sinar matahari hangat yang sedikit menyoroti wajahnya dengan semilir angin dingin. Panti jompo ini berada diatas gunung sehingga udaranya masih begitu sejuk.

“Saya juga baru tahu kalau yayasan ini masih milik Mahatma Group.” Ujar Jaima.

Arianti mengangguk, menoleh dan kini bisa melihat Jaima dengan jelas. Wanita itu jauh lebih berantakan dari yang terakhir ia lihat, wajahnya tirus dan kurus. Seperti yang wartawan itu bilang, wajahnya juga pucat.

“Sudah berapa bulan?”

Jaima terkesiap mendengar pertanyaan itu terlontar dari mulut Arianti, dia menatap wanita itu dengan kening berkerut. “Apa maksud anda?”

“Anda lebih tahu maksud saya mbak Jaima.”

Keduanya saling tatap, Arianti dengan tatapan dingin dan datar sedangkan Jaima berusaha dengan keras menyembunyikan rasa terkejutnya karena seperti orang yang baru saja dipergoki.

“Saya tidak mengerti.”

“Anda tengah mengandung, bukan?”

Ucapan Arianti sukses membuat Jaima mematung di tempatnya, dia menunduk.

“Saya tidak tahu apakah anda baru mengetahui hal itu baru-baru ini, tapi yang ingin saya tanyakan, kenapa anda mempertahankannya?”

Jaima menelan ludah, matanya terasa panas. Dia juga tidak tahu kenapa bersikap seolah-olah ingin merawat janin itu, padahal isi kepalanya ingin melenyapkannya. Anak itu tidak dia inginkan, bukan. Ini bukan saat yang tepat baginya memiliki seorang anak, ibunya masih butuh pengobatan. Biaya panti jompo masih harus dia tanggung.

“Apakah anda berpikir untuk memeras tuan muda?”

Jaima mengangkat kepalanya, wajahnya kini terlihat sedikit bingung dan marah yang menjadi satu. “Memeras?”

Arianti menghela napas, dia membuka ponsel lipatnya, “Itu semua yang pasti dilakukan oleh kalian para wanita miskin, menjebak tuan muda dengan birahi dan memiliki anak untuk memerasnya.”

PLAKKK! Suara tamparan itu memenuhi ruangan yang hening, suaranya begitu nyaring. Pipi Arianti terasa panas, saking kencangnya tamparan itu ponselnya sampai terpelanting ke arah kasur.

“Saya tidak peduli dengan semua itu! Tuan muda yang anda banggakan sudah memperkosa saya dan itu faktanya! Lagipula, saya akan membiayai dan membesarkannya sendiri! Saya tidak akan meminta sepeserpun pembiayaan untuk kehamilan saya dan anak ini dari Mahatma group!” Jaima berteriak dengan suara yang tertahan, dia masih memikirkan pasien lain dan juga para perawat yang tidak jauh dari ruangan tempat ibunya berada. Matanya memerah, airmata sudah turun satu persatu.

Arianti masih terdiam memegangi pipinya.

“Hamil?” Suara dalam dan berat itu terdengar, tubuh Jaima mematung sedangkan Arianti buru-buru mengambil ponselnya. Dia menunduk dan pergi dari hadapan Jaima.

“Kamu hamil….Anakku?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SEBATAS ISTRI CADANGAN SANG TUAN   BAB 77

    Jaima mengerjapkan matanya berkali-kali, apa yang dia lihat sekarang adalah sesuatu yang tidak terpikirkan olehnya. Lalu lalang orang membuat dia sedikit kebingungan, ini bukan kali pertama dia makan disini. Sejujurnya, tempat makan ini adalah tempat paling terjangkau ketika Jaima hidup sendiri.Tentu saja, selain murah karena porsinya juga banyak.“Kamu gak suka?” Hasbi menelengkan kepalanya ke arah kiri, matanya menatap penuh pengharapan pada Jaima, tangannya menggenggam dengan lembut.“Suka, tentu saja. Tapi, aku gak sangka kamu bawa aku ke tenda pecel ayam..”Tenda pecel ayam itu besar dan juga bersih, ini adalah kawasan tempat makan cukup terkenal untuk kalangan orang biasa. Disini orang-orang berlalu lalang tanpa peduli sekitar, mereka lebih senang memilah tenda mana yang akan mereka singgahi untuk makan malam atau hanya memilih cemilan mana yang akan mereka tenteng selagi berjalan-jalan.“Aku lagi pengen makan pecel ayam.” Ujar Hasbi dengan senyum lebar.Genggaman tangan itu ti

  • SEBATAS ISTRI CADANGAN SANG TUAN   BAB 76

    Jaima terburu-buru pulang setelah Hasbi mengatakan kalau Rama menangis. Dia menelepon pengasuh di tengah perjalanan pulang, namun si pengasuh jadi kebingungan.“Bapak tidak pulang bu ataupun telepon.”Ketika Jaima sampai rumah, tidak ada tanda-tanda Hasbi disana. Hanya ada si pengasuh yang baru saja selesai memandikan Rama, wanita tua itu kebingungan ketika Jaima bertanya mengenai Hasbi.Kini Jaima tengah berada di kamar bersama Rama, menemani anak itu bermain meskipun isi kepalanya masih memikirkan alasan Hasbi memintanya pulang dengan segera.Ketika dia tengah merenung, ponselnya berbunyi. Satu pesan masuk.Noah.[Kenapa tidak bilang kalau pulang lebih dulu? TT.]Jaima tersenyum membaca pesannya, entah kenapa dia bisa membayangkan wajah pria itu yang terlihat sedih. Jaima segera pulang setelah Hasbi meneleponnya, saat itu Noah tengah berbicara dengan beberapa orang. Dia tidak berpamitan.Maafkan aku, aku mendapat kabar kalau Rama menangis.Tidak lama, pesan lainnya masuk.[Ah, kalau

  • SEBATAS ISTRI CADANGAN SANG TUAN   BAB 75

    Hasbi berada di dalam mobil, wajahnya tertekuk sempurna. Pandangannya dia lempar keluar jendela, memandangi gedung-gedung yang terlewati olehnya. Di tidak dalam keadaan baik-baik saja, hatinya sedang dilanda rasa kacau yang luar biasa.Seperti orang bodoh dia datang ke acara yang Jaima datangi untuk mengejutkan wanita itu, namun ternyata dialah yang terkejut melihat bagaimana kedekatan Jaima dengan Noah.Wanita itu tersenyum dengan lebar dan wajahnya terlihat begitu ceria.“Dia tidak pernah seperti itu padaku..” Gumam Hasbi pada dirinya sendiri.Helaan napasnya terasa begitu berat. Dia tidak ingin merasa cemburu, dia tidak punya hak atas itu, bagaimanapun nantinya setelah bercerai dengannya Jaima akan punya kehidupannya sendiri. Namun, dia tidak bisa melakukan itu sekarang.Bahkan bersama dengan Tanaya terasa begitu berat. Setiap hari ketika dia sampai di apartemen ada banyak hal yang dia ributkan dengan Tanaya, entah permasalahan kecil maupun besar.Kebanyakan karena wanita itu terus

  • SEBATAS ISTRI CADANGAN SANG TUAN   BAB 74

    Jaima kembali dengan kesibukannya, percakapannya dengan Hasbi terakhir adalah dua minggu lalu ketika dia meminta pengasuh untuk Rama. Tiga hari kemudian pengasuh itu datang, seorang wanita paruh baya yang suaranya begitu lembut.Imas bilang kalau ibu mertuanyalah yang memilihkan, dalam dua minggu terakhir sudah tiga kali Rama diasuh oleh si pengasuh dan semuanya berjalan dengan lancar. Si pengasuh meskipun sudah tua namun juga cekatan dalam urusan elektronik, dia tidak pernah absen mengirimkan kabar pada Jaima apa yang tengah Rama lakukan selama Jaima berada diluar.“Tuan Hasbi pulang ke apartemennya dengan nona Tanaya..” Kata Imas ketika Jaima bertanya.Jaima hanya mengangguk, berpura-pura mengerti meskipun perasaannya sakit.

  • SEBATAS ISTRI CADANGAN SANG TUAN   BAB 73

    “Apa maksudmu?” Tanaya mengerenyitkan dahinya, merasa tidak senang dengan apa yang baru saja dia dengar. Kedua tangannya saling menyilang di dada, kakinya bertumpu satu sama lain dan punggungnya bersadar di kursi.Dia menatap Noah dengan tatapan tidak percaya, sedangkan pria di depannya tengah menyesap secangkir teh hangat dengan perlahan.“Aku sudah mengatakannya.”“Ulangi.”Noah menyimpan cangkir diatas meja, menatap balik Tanaya.“Aku tidak ingin campur lagi untuk mengambil Jaima dari sisi Hasbi.”“Jangan gila!” Tanaya berkata, dengan wajah serius.“Aku tidak ingin me

  • SEBATAS ISTRI CADANGAN SANG TUAN   BAB 72

    Seminggu berlalu semenjak kedatangan Tanaya ke Rumah Sakit dan membuat gaduh, percekcokan Hasbi dan Tanaya tidak berhenti disana. Setelah kepergian Tanaya dan kembali ke ruangan, Jaima bersikap seolah tidak terjadi apapun. Wanita itu tidak bertanya, Hasbi tidak menjelaskan apapun.Semuanya berlalu begitu saja untuknya dan Jaima.Sedangkan Tanaya masih terus menuntutnya untuk segera melepaskan Jaima setelah apa yang wanita itu katakan ketika Tanaya datang ke ruangan Rama. Tanaya merasa ucapan Jaima sudah sangat keterlaluan, Hasbi sendiri ingin Tanaya melupakan hal itu.Percekcokan demi percekcokan yang seperti tidak ada ujungnya.Dilain sisi, Rama sudah kembali ceria. Tawa dan celotehannya sudah mulai mengisi rumah, Jaima tidak memberitahu Hasbi kalau ibu mertuanya datang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status