**Seperti inikah suasana malam pertama?Kiran menepuk pipinya sendiri, mengusir pemikiran konyol yang secara tiba-tiba menghinggapi benaknya. Bisa-bisanya ia terpikir malam pertama saat suaminya sedang dalam keadaan sakit begini."Kamu capek banget, kah?" Karan bertanya dengan wajah bersungguh-sungguh. "Ini karena aku, kan? Kamu kurang istirahat karena ngerawat aku di rumah sakit berhari-hari."Itu benar. Kiran bisa merasakan kepalanya sering pusing sebab tekanan darahnya menurun. Rumah sakit bukan tempat yang bagus untuk tidur. Namun, perempuan itu tetap tersenyum kepada sang suami."Enggak, Mas. Nggak apa-apa. Itu udah kewajibanku ngerawat kamu. Biar kamu cepet sehat lagi.""Maaf aku banyak merepotkan ya, Ki. Aku beruntung kamu yang ada di sampingku saat keadaannya seperti ini."Oh, Ya Tuhan. Benarkah Karan Raditya Gathfan bisa berucap seperti itu? Kiran lagi-lagi tak bisa menyembunyikan rona merah pada wajahnya."Sini, Ki. Lebih dekat, sini. Kenapa kamu kesannya yang jaga jarak ba
**Kiran memijit pelipisnya yang terasa berdenyut. Barangkali ia memang salah, karena dari awal kekasih Karan adalah Nevia, bukan dirinya. Namun, untuk saat ini, ia benar-benar tidak ingin mengizinkan perempuan itu untuk menemui suaminya lagi. Kiran belum lupa bagaimana Karan kesakitan saat terakhir kali Nevia menemuinya."Kiran? Kamu kok di sini?"Perempuan itu terhenyak saat sebuah suara terdengar memecah keheningan. Ia menoleh ke arah tangga, di mana sang suami sudah berdiri di sana dengan alis menukik turun."Kamu bilang nggak akan pindah kamar, kan? Kamu bilang akan temenin aku?""Aku cuma bikin minuman hangat, Mas. Nggak ke mana-mana, kok." Kiran tersenyum, ia menunjuk cangkir cokelat panas yang berada di tangannya."Tengah malam begini?""Sebenarnya, aku memang lagi nggak bisa tidur.""Apa karena aku? Apa aku mendengkur atau sesuatu?"Kiran terpaksa tertawa kecil. Ini sungguh hal baru. Menghadapi Karan yang biasanya sedingin es kutub, kini menjadi cerewet dan polos."Bukan. Seb
**"Karan!""Nevia, please!" Kiran masih sempat mencegah ketika perempuan cantik itu hendak merangsek masuk sebab menyaksikan Karan kesakitan. "Sebaiknya kamu pergi aja, Nev.""Nggak bisa! Aku mau lihat Karan, minggir kamu!" Tapi, Nevia menyentak keras. Ia nekat mendorong tubuh Kiran dan memaksa masuk. Menghampiri lelaki yang masih terhuyung sembari memegangi kepalanya di kaki tangga."Karan, kamu kenapa? Ini aku, Nevia. Maaf, aku nggak bisa temuin kamu. Ak–""Kiran ...."Kata-kata Nevia lindap begitu saja sebelum selesai. Kedua bola matanya bergetar ketika lelaki yang ia cintai justru menyebut nama perempuan lain dengan sangat jelas saat ia berada tepat dihadapannya."Kar–""Kiran, kepalaku sakit lagi. Tolong ...." Lelaki itu mengulurkan tangan kepada Kiran dan berusaha menggapainya. Sepenuhnya mengabaikan Nevia yang masih terbelalak tidak percaya."Nev, sorry, tapi ini dua kalinya kamu lihat sendiri keadaan Karan. Jadi please, sebaiknya kamu pergi aja.""Jahat!" Nevia berseru keras,
**"Apa dia orang jahat, Ki? Kenapa kepalaku selalu sakit kalau aku lihat dia?"Kiran terkesiap lagi. Ia benar-benar tidak tahu harus menjawab apa. Karena sebenarnya pun, Kiran tidak tahu sudah sejauh mana hubungan antara Karan dengan Nevia. Segala sesuatu tentang lelaki ini buram seperti bayang-bayang. Sekarang Kiran menyadari, betapa ia tidak mengenal suaminya sendiri."Dia itu ... teman dekat kamu." Setelah berbagai pertimbangan panjang tanpa suara, akhirnya Kiran memutuskan menjawab."Teman dekat?""Benar, Mas.""Kok bisa teman dekat? Sepertinya nggak mungkin, ah. Bahkan kepalaku sakit kalau lihat dia.""Itu–"Dering ponsel yang berbunyi di kejauhan menyelamatkan situasi. Kiran bergegas beranjak dari kursinya untuk menghampiri benda pipih di atas meja di seberang ruangan itu. Setelah bercakap-cakap beberapa saat, ia kembali ke luar balkon di mana sang suami sudah menunggu."Siapa yang nelepon, Ki?""Dokter Frans. Aku beneran lupa kalau hari ini jadwal check-up kamu, Mas. Siap-siap
**"Kiran, ini ...."Jantung Kiran mencelos. Ia mematai ekspresi kebingungan kosong di wajah sang suami ketika mobil yang ia kemudikan tengah melaju memasuki halaman yang asri dengan taman kecil yang berhias aneka rupa bunga. Jalan beton berkelok berakhir pada depan teras rumah. Beberapa pot berisi berbagai jenis Anggrek menggantung di tepi-tepi atap teras."Mas? Kenapa? Apa kamu ingat sesuatu?" tanya Kiran dengan risau."Ah ... sepertinya iya, tapi aku nggak sepenuhnya ingat.""Ini rumah Ayah Ibu. Ini rumah kamu dari kecil."Karan berdiam diri, menyapukan pandang pada sekeliling. Sedan berwarna putih yang dikemudikan Kiran sudah berhenti di penghujung jalan beton itu."Rumah?""Yuk, kita turun. Barangkali keadaan kamu bisa membaik kalo kita refreshing ke rumah Ayah Ibu sebentar aja."Pria itu tampak ragu-ragu. Membuat ingatan Kiran kembali melintas pada waktu terakhir kali Karan berada di tempat ini. Ia sedang bersama dengan Nevia saat itu, kan? Sedang membuat keputusan yang akan men
**"M-Mas ...." Kiran tertawa dengan gugup. Sungguh, ia tidak tahu harus mengutarakan jawaban macam apa kepada lelaki ini. "Ya mana mungkin sih, aku ngelakuin hal seperti itu. Kita bener-bener suami istri. Kamu bisa tanya Ayah sama Ibu kalau nggak percaya."Tapi raut wajah Karan tetap saja menyiratkan keragu-raguan. Kembali ia layangkan pandang mengitari kamar lamanya itu. Memang tak ada bingkai foto apapun di sana. Pun poster, gambar, atau semacamnya. Dinding ruangan bercat putih itu bersih dari ornamen apapun."Aku mau lihat foto pernikahan kita, Ki."Ugh! Kiran menelan saliva. Amnesia ternyata tidak membuat Karan berhenti menjadi orang yang kritis."Kamu nggak percaya sama aku, Mas? Kamu nggak percaya kalau aku ini istrimu?""Percaya," sahut Karan tegas. "Aku sangat percaya. Kamu rawat aku sepenuh hati selama aku sakit. Kamu bener-bener perhatian dan sayang sama aku.""Ya, lalu?""Aku cuma penasaran, kenapa nggak ada foto pernikahan atau cincin.""Ada, Nak ...."Sepasang insan itu
**Kiran hanya mampu menutup kedua matanya rapat-rapat. Telapak tangannya kini dicekal erat oleh Karan."Mas, lepasin tanganku, astaga!""Ih, kenapa, sih? Aku kan suami kamu."Benar sekali. Karan memang suaminya, tapi Kiran tidak mengira akan terjadi hal seperti ini. Oh, bodoh sekali. Seharusnya ini pasti terjadi, kan?"Kiran, ayolah!""Oke, oke, sebentar. Aku ambilkan celana, tapi tolong kamu menyingkir sebentar. Aku akan jalan ke kamar kamu buat ambil bajunya."Meski yang terdengar hanyalah decak kesal, namun Kiran melangkah juga. Tersaruk-saruk keluar dari kamarnya sendiri untuk menuju kamar Karan di ujung koridor. Perempuan itu memilih atasan lengan panjang dan celana katun yang nyaman. Juga sebuah underwear, yang belakangan mulai familiar ia sentuh. Sebelum ini, bahkan Kiran tidak pernah melihat benda itu seujung pun. Karan mencucinya sendiri dan langsung membawanya masuk kamar begitu keluar dari mesin dryer."M-Mas, ini baju kamu." Dengan gugup, ia kembali ke kamarnya. Menelusup
**"Ayo kita balik ke atas.""Hah?"Kiran termangu di depan wastafel dapur. Ia sudah selesai mencuci piring sejak tadi, namun masih tetap diam di sana. Tak bergerak seincipun. Rasa gugup luar biasa melingkupi seluruh tubuhnya dari kepala hingga kaki.Karan sedang menunggunya di kamar.Dan mengapa pikiran Kiran sudah berkelana ke sana kemari, membayangkan bahwa suaminya itu tengah menunggunya untuk sesuatu yang lain?Haruskah terjadi hari ini?"Kenapa, sih? Bukannya ini wajar? Mas Karan kan memang suamiku. Jadi kenapa?" gerutunya lirih. Ia mendelik kepada pancuran wastafel yang tidak berdosa. Berharap benda itu membalas kata-kata frustasinya tadi."Oke, baiklah. Ayo tarik napas dan bersikap seakan-akan ini udah sering terjadi. Jangan malu-maluin, Kiran!" Ia tepuk-tepuk dengan keras kedua pipinya sendiri seraya melangkah menuju lantai atas di mana kamarnya berada."Kamu nggak apa-apa, Ki? Kenapa lama banget?"Dan seketika disambut dengan pertanyaan demikian oleh sang suami yang telah me