Setelah ayah dan ibunya meninggal, Kiran Cahya Rengganis diharuskan menikah dengan Karan Raditya Gathfan, sebab kedua orang tua mereka bersahabat dan Kiran tak lagi memiliki keluarga. Kehidupan pernikahan selanjutnya bagaikan di neraka sebab Karan tidak pernah menyukai Kiran dan sebenarnya sudah memiliki seorang kekasih bernama Nevia. Saat Kiran sudah menyerah dan nyaris meminta cerai, sebuah kecelakaan justru menimpa Karan dan membuatnya amnesia, lalu akhirnya justru mempercayai bahwa Kiran adalah istri satu-satunya yang ia cintai. Akankah cinta itu bisa bertahan, atau justru kembali hilang saat Karan sembuh dan mendapatkan ingatannya kembali?
Lihat lebih banyak**
"Saya terima nikah dan kawinnya Kiran ... Kiran Cahya Rengganis ... dengan mas kawin yang tersebut ...."Tatapan kosong. Hela napas panjang yang terdengar berat dan gusar. Tak ada raut bahagia sama sekali meski menurut sebagian besar orang, ini adalah hari bahagia."Dibayar tunai.""Alhamdulilah, sah para saksi?""Alhamdulilah, sah!"Hadirin sekalian menangkup kedua tangan, mengucap syukur. Mengamini doa yang dibacakan oleh Pak penghulu kemudian. Gumaman bernada lega terdengar bersahutan di sana-sini selepas ijab qabul berhasil diucapkan dan dinyatakan sah.Namun, tatapan itu masih tetap kosong tanpa minat sama sekali. Hingga pak penghulu yang agak bingung berdehem serta mengucap titah setengah bergurau."Mas Karan? Eh, kalian sudah sah menjadi pasangan suami-istri loh sekarang. Mbak Kiran? Sudah boleh cium tangan suaminya. Sok atuh, monggo!" Lelaki paruh baya itu tersenyum ramah. Terkekeh geli melihat penampakan sepasang pengantin kaku di hadapannya. Dalam hati agak kagum separuh heran, mengingat pada jaman seperti ini masih ada saja pasangan muda yang malu-malu kucing begini. Karena biasanya ia justru menikahkan pasangan yang bukannya malu-malu, tapi memalukan."Ah? Baik, Pak.""Ayo, dong. Mas Karan jangan malu-malu begitu. Kita semua sedang berbahagia sekarang."Sang mempelai putri, gadis manis bernama Kiran Cahya Rengganis itu terhenyak seperti baru sadar dari lamunan panjang. Perlahan menggeser tubuhnya menghadap sang suami. Mengulurkan tangan putihnya yang gemetar di tengah udara selama beberapa detik sebelum tangan laki-laki tampan di hadapannya itu menyambut kaku penuh keterpaksaan.Kiran menunduk, mencium punggung tangan suaminya dengan takdzim. Lantas keduanya buru-buru melepas pegangan mereka, dan kembali menghadap pak penghulu yang masih juga terkekeh tak puas-puas. Sekarang, kedua mempelai mendapat atensi penuh dari para hadirin. Betapa serasinya, kata mereka.Kiran begitu menawan dalam balutan kebaya putih cantik dengan wajah dibingkai make up minimalis. Sementara sang mempelai pria, Karan Raditya Gathfan, tampil tak kalah memukau. Suit berwarna senada tampak begitu pas membalut tubuhnya yang tegap.Jika saja di antara para hadirin ini ada yang lebih cermat memperhatikan, maka mereka akan tahu. Selain pasangan serasi yang tampan rupawan dan cantik paripurna, kedua mempelai ini memancarkan satu lagi aura yang identik ; Menderita tekanan batin yang sama."Kita cuma menikah, bukan berarti harus menjadi pasangan suami istri seperti pada umumnya." Karan berucap dengan tajam pada malam harinya. Ketika acara sudah usai dan Kiran memasuki kamar pengantin yang sudah didekorasi sedemikian manisnya. Ada kelopak-kelopak bunga mawar merah yang bertebaran di atas ranjang.Perempuan itu hanya membisu mendengar penuturan lelaki yang siang tadi mengucap janji menjadi imamnya di hadapan penghulu dan sejumlah saksi."Malam ini kita masih di sini, jadi aku biarin kamu berada dalam kamar yang sama dengan aku. Tapi besok begitu kita pindah, jangan harap aku sudi lihat penampakanmu berada dalam satu ruangan sama aku lagi."Tajam seperti mata pisau. Kiran hanya bergumam mengiyakan sementara membuka lemari untuk mencari sesuatu guna menukar kebaya putihnya dengan baju yang lebih nyaman. Sementara Karan melesat pergi dari kamar setelah berkata demikian. Oh, sial sekali, mengapa tidak ada baju sepotong pun di dalam lemari raksasa ini?"Ibu?" Kiran mengendap-endap ke luar kamar, mendatangi ibu mertuanya yang masih sibuk membereskan beberapa urusan. "Ibu, apa Ibu simpan tas yang tadi aku bawa?""Tas?" Wanita berusia sekitar lima puluhan tahun itu menoleh dan mengernyit."Aku perlu bajunya. Masa sampai besok pakai kebaya begini." Kiran tersenyum seraya menunjuk kebaya putihnya yang belum diganti. "Ibu simpan tas aku, kan?""Aah ...." Di luar dugaan, sang ibu mertua justru tersenyum lebar. "Kan udah ada baju di dalam lemari. Kamu pasti belum lihat. Udah sana, periksa dulu.""Ah, tap–""Ibu yang siapin. Dipakai, ya. Awas kalau nggak dipakai!"Terpaksa kembali lagi ke kamar Karan dengan tangan hampa, Kiran membuka sekali lagi lemari berwarna putih di sana. Berharap menemukan sesuatu yang mungkin terlewat ia periksa. Sesuatu yang lebih layak dipakai. Karena demi Tuhan, apa-apaan yang ada di dalam lemari ini?"Ibu nggak salah? Masa aku harus pakai ini?"Panik, Kiran mengangkat tinggi-tinggi dan membolak-balik baju dalam gantungan itu. Penuh renda-renda dan bentuknya seperti gaun anak-anak. Hanya saja ini ... tanpa warna. Menerawang transparan. Ini Lingerie, yeah.Suara pintu terbuka membuat perempuan dua puluh empat tahun itu terlonjak kaget. Ia masih memegang baju itu di depan wajahnya saat Karan masuk. Sekarang lelaki itu sedang memandangnya dengan raut jijik penuh cela."Mau apa kamu dengan benda itu?""Ah, ini ...." Kiran gelagapan, tidak tahu harus menjawab apa."Kamu mau pakai benda seperti itu sekarang?" Karan sekali lagi memandang meremehkan. Ia mendengus tertawa, di luar dugaan. "Dengar, jangankan pakai baju seperti itu, kamu mau ngerayu aku dengan telanjang di depanku pun aku nggak akan pernah tergoda. Mau kamu dandan seperti bidadari pun, aku nggak akan pernah tertarik denganmu. Jangan maksa, sampai kapanpun kamu nggak akan pernah terlihat di mataku."Kiran menunduk. Ia bisa apa memangnya? Pernikahan ini memang bukan keinginannya, apalagi keinginan Karan. Entah perjanjian apa yang sudah dibuat kedua orang tuanya dan orang tua lelaki itu, hingga satu bulan yang lalu saat Kiran masih berduka karena ayah dan ibunya baru saja meninggal karena kecelakaan, orang tua Karan malah datang melamar. Memintanya menjadi menantu mereka, mutlak tanpa menerima penolakan."Bukan begitu, Mas," lirih Kiran hati-hati kemudian. "Aku udah tanya Ibu, tadi aku bawa baju ganti sendiri. Tapi kata Ibu, aku harus pakai yang ada di dalam lemari. Tasku disimpan sama Ibu.""Ya udah, sana pakai! Bukannya aku udah bilang, kamu telanjang pun aku nggak peduli."Nyeri rasa hati Kiran. Sejujurnya ia juga tidak mau pakai benda seperti ini. Hanya saja benar-benar tidak ada yang lain. Kebaya ini terlalu berat karena memiliki payet manik-manik di ujungnya. Tidak nyaman jika dipakai terlalu lama.Ah, dan lagi Karan masih berada di sini. Bingung sekali, Kiran ragu-ragu melangkah ke kamar mandi untuk menukar pakaiannya. Tidak mungkin kan ia berganti di depan lelaki itu?Seperempat jam berada di kamar mandi, Kiran akhirnya memberanikan diri keluar. Kedua tangannya berusaha sebisa mungkin menutupi bagian depan tubuhnya yang walaupun tertutup fabrik, tapi percuma saja sebab lingerie itu transparan.Karan yang masih berdiri di tempatnya tadi, melirik sekilas. Menampakkan raut muak luar biasa dari balik layar ponselnya."Kamu berharap apa?" tanyanya dengan nada sarkasme kepada Kiran yang masih sangat rikuh. "Wajahmu merah padam begitu, apa yang kamu harapkan dari aku?"*****Musim Panas, South Carolina.Emily menekan tombol bel apartemen Reita. Menunggu beberapa saat hingga si empunya apartemen membukakan pintu untuknya. “Hai, Rei,” sapa gadis itu sembari memamerkan senyum manisnya yang biasa.“Em?”“Sibuk?”“Tidak, aku sedang berkemas. Masuklah.”Raut wajah Emily seketika berbeda setelah mendengar kata-kata terakhir Reita. Ia melangkah masuk, dan mendapati sebuah koper besar yang terbuka di atas lantai.“Reita, kau berkemas?”“Yup. Aku akan pulang ke Jepang liburan musim panas ini.” Reita menjawab ringan dengan masih sibuk memilah ini itu. Tidak memperhatikan sama sekali wajah si gadis yang mendadak saja berubah menjadi mendung.“Kau sendiri akan ke mana, Em? Apakah sudah ada rencana?”Emily diam-diam memasukkan lagi dua lembar kertas yang tadinya akan ia tunjukkan kepada lelaki itu. Ia beranjak mendudukkan diri di sofa dan memilih memperhatikan Reita dari kejauhan saja.“Aku? Aku tidak pernah liburan ke mana-mana. Aku akan bekerja part time saja unt
**Musim dingin, South Carolina.Lebih dari satu musim Reita Lee meninggalkan Kyoto yang tenteram dan damai untuk mengasingkan diri ke negeri Paman Sam yang justru sebenarnya bukan tujuan tepat. Seratus delapan puluh derajat berbeda dengan tempat asalnya, negeri matahari terbit yang penuh sopan santun. Beruntungnya, Reita memilih negara bagian Carolina selatan yang cukup ramah dan tenang jika dibanding dengan negara lain Amerika.Lebih dari satu musim berlalu, dan bahkan pria itu sudah menyingkir ke belahan bumi yang lain, namun ia belum juga bisa menghapus bayangan perempuan dari Indonesia itu. Kiran Cahya Rengganis, yang begitu ia kagumi sebab ketangguhannya menghadapi hidup.Reita merapatkan coat yang ia kenakan. Awal November datang, mengirim awan-awan kelabu yang sehari-hari bakal menumpahkan berjuta-juta kubik air langit dari pagi hingga malam. Hawa dingin dan muram memenuhi sudut kota indah itu.“I hate winter,” gerutu pria itu seraya mengamankan diri ke sebuah factory outlet s
**“Pingsan lagi?”Karan sedang berada di kantor tempatnya bekerja saat mendapat telepon dari Mila. Tantenya itu mengatakan bahwa sang istri pingsan lagi di kafe, namun menolak dibawa ke rumah sakit.“Sekarang gimana, Tan?”“Nggak bisakah kamu pulang aja, begitu?”Karan menengok arloji yang melingkari pergelangan tangannya. Mendapati bahwa jam kantor memang segera berakhir.“Aku akan minta izin pulang cepet, deh. Bilang sama Kiran, tunggu sebentar, gitu, ya?”“Cepetan ya, Kar.”Terburu-buru, Karan menghadap manajer sekaligus rekan kerjanya untuk meminta izin pulang beberapa menit lebih awal. Sebenarnya tidak perlu minta izin secara formal juga tak mengapa. Sebab kepala manajer tersebut adalah sahabat Karan sendiri.Jadi tempat pria itu bekerja sekarang adalah sebuah homestay sekaligus agen wisata yang ia kelola bersama kawannya, seorang pria berkebangsaan Inggris. Bisnis kecil yang belakangan prospeknya berkembang semakin bagus.“What’s going on?” Pria bule bernama Steve itu bertanya
**Kiran sebelumnya tidak pernah berani berekspektasi, apa yang terjadi saat sepasang pengantin baru berbulan madu. Pernikahan pertamanya dengan Karan dulu berjalan dengan amat suram, ingat?Jangankan bulan madu, tidur satu ranjang pun tidak terjadi. Meski pada akhirnya malam pertama itu tetaplah berlangsung, namun sudah lewat berbulan-bulan sejak hari pernikahan mereka. Tetaplah beda rasanya dengan yang sengaja melewatkan bulan madu dan malam pertama pada hari-hari pertama pernikahan.“Nikmati saja waktu kalian, nggak usah khawatir sama Axel. Tante yang akan jaga dia, meskipun kalian tinggal bulan madu satu bulan penuh,” goda Mila, beberapa hari setelah Kiran dan Karan sah sebagai sepasang suami istri.“Ah, Tante apa-apaan, sih.” Perempuan itu berusaha menyembunyikan rona wajahnya yang jelas tergambar di kedua pipi. Membuat Mila tergelak keras.“Aku sih gas aja mau berapa lama pun, Tan. Asal Kiran mau aja,” celetuk Karan, menambah panas suasana saja.“Kalian berdua emang pro banget k
**Kiran masih bisa mengingat dengan jelas, hari pernikahan pertamanya dengan Karan yang penuh dengan rasa sedih dan putus asa. Bagaimana pria itu tak henti melemparkan tatapan atau kata-kata yang sarat kebencian kepadanya. Bagaimana ia dengan sangat takut mencium tangan pria itu saat pak penghulu mengucap kata sah untuk pertama kalinya.Kemudian pada malam pertama, di mana ia harus tinggal satu kamar dengan Karan, kemudian hanya kata-kata menyakitkan hati yang ia terima alih-alih suasana hangat pengantin baru.Sekarang, pada pernikahan yang kedua, Kiran merasakan gugup pada skala yang sama, namun dengan suasana hati yang sangat amat berbeda. Gugup yang ini adalah … gugup yang menyenangkan. Ia takut sekali, namun juga tidak sabar.“Apa Mama takut? Mama takut apa?” Axel mendekat. Bocah kecil itu sudah berdandan dengan rapi. Nanti, Axel akan ikut ke kantor KBRI untuk mendapatkan surat pernyataan menikah dan beberapa prosedur lain yang harus dilakukan sebagaimana warga negara Indonesia y
**“Mas, jangan begini.” Kiran mendorong pelan bahu yang lebih tua. “Kita bukan lagi sepasang suami istri yang sah. Nggak enak kalau ada yang lihat nanti. Apalagi, ini udah tengah malam.”Membuat pelukan erat Karan terpaksa harus lepas meski ia menampakkan wajah yang sangat tidak rela.“Aku masih kangen,” gerutu pria itu pelan, “Apa nggak boleh kalau aku menginap di sini?”“Jangan sembarangan, Mas. Jangan kayak anak muda gitu, lah. Udah, sana pulang aja, kamu!”Karan mencebikkan bibir, membuat satu yang lain mau tak mau jadi gemas. Kiran bahkan sudah lupa kalau mantan suaminya ini pada suatu waktu yang lampau pernah memiliki sikap yang clingy begini.“Serius, aku nggak boleh menginap? Tetangganya pada jauh, kok. Nggak akan ada yang lihat.”“Mas, jangan macam-macam. Pulang sekarang, atau kamu nggak boleh datang lagi sama sekali?”Pria rupawan itu tertawa kecil. Ia raih kembali sang mantan istri ke dalam pelukan hangat serta mendaratkan kecupan singkat pada puncak kepala perempuan itu.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen