Share

2. Malam Pertama

last update Terakhir Diperbarui: 2023-05-10 20:32:41

**

"Wajahmu merah padam begitu, apa yang kamu harapkan dari aku?"

Tentu saja wajah Kiran membara merah padam. Ia malu sampai rasanya ingin terbenam ke dalam perut bumi dan tidak pernah muncul kembali. Seumur hidup, perempuan itu belum pernah berada sedekat ini dengan seorang pria. Sekalinya dekat, mengapa harus dalam keadaan menyedihkan seperti ini?

"Ak-aku istirahat dulu, Mas."

"Terserah."

Secepat kilat Kiran naik ke atas ranjang dan meraih bedcover tebal, menyelimuti seluruh tubuhnya agar tidak tampak sejengkal pun yang terbuka kecuali bagian kepala saja. Membuat Karan lagi-lagi berdecih muak.

"Memangnya siapa yang bakal tertarik dengan tubuhmu sekalipun kamu meng-eksposnya? Pakai dibungkus begitu segala," gerutu Karan lirih. Lirih saja, namun rasanya tetap menusuk gendang telinga Kiran hingga menembus ke dalam hatinya.

Seburuk itukah aku di matamu?

Kiran memang bukanlah perempuan masa kini yang trendi dan up to date, tapi ia juga tidak bisa dibilang jelek. Tubuhnya memang kecil cenderung kurus dan tidak sintal, tapi Kiran memiliki kulit langsat yang indah. Matanya besar dengan bibir mungil yang merekah. Kiran cantik di mata orang kebanyakan, tapi sayangnya Karan tidak termasuk orang kebanyakan.

"M-Mas, kamu nggak istirahat?" Kiran masih sempat bertanya kala laki-laki yang kini berstatus suaminya itu kembali mengayun langkah ke luar kamar. Bukan apa-apa, tapi acara hari ini memang cukup melelahkan dan sekarang hari sudah larut. Semestinya Karan memang harus beristirahat.

"Maksudku ...." Kiran kembali berucap dengan gugup. "Kamu mau ke mana? Nggak capek, kah? Ini udah malam."

Laki-laki itu menghela napas. "Sekali lagi aku tegaskan, aku dan kamu hanya menikah. Hanya berganti status di mata orang lain. Selebihnya, nggak ada yang berubah. Kita tetap bukan apa-apa. Jadi bukan urusanmu apakah aku istirahat atau nggak."

Tuhan! Kiran menelan saliva dengan pahit. Itu menyakitkan, sungguh. Ia hanya bisa menatap nyalang ketika Karan bergegas keluar ruangan. Tetap diam tak bergerak di bawah selimutnya selama beberapa saat hingga pintu kamar terbuka kembali dan suaminya masuk lagi. Tapi apa?

"Mas, kamu tidur di sofa?" Kiran tercekat, memandang sang suami yang melemparkan beberapa bantal dan selembar selimut ke atas sofa di seberang kamar sebelum menghempaskan tubuhnya di sana.

"Mas, kalau kamu nggak mau tidur deket aku, kita bisa bertukar tempat. Ini kamar kamu, jadi kamu yang lebih berhak atas ranjangnya. Silakan kalau kamu mau di sini. Nanti badan kamu sakit semua kalau tidur di situ."

Kiran sudah beringsut dari posisinya tanpa sedikitpun menanggalkan si bedcover. Namun, Karan hanya mendesis kesal.

"Kalau kamu berisik dan ganggu tidurku, aku akan lempar kamu keluar!"

Laki-laki dua puluh tujuh tahun itu kemudian menghamparkan selimut menutupi seluruh tubuhnya, dan berbaring membelakangi ranjang di mana Kiran masih tertegun.

Malam pertama? Perempuan itu membatin dengan dada sesak. Bahkan memandangku saja dia nggak sudi. Aku tahu dari awal dia nggak senang dengan perjodohan ini. Jadi mengapa dia bukannya nolak, malah iya-iya saja waktu orang tuanya datang melamarku? Apa menurutnya semua ini lelucon?

Kiran menyeka air mata yang bergulir membasahi pelipisnya karena ia tidur menyamping. Ada berapa banyak gadis di luar sana yang melewati malam pertama dalam keadaan menyedihkan seperti ini? Kiran sepenuh hati berharap, jika ia membuka mata esok pagi, ia mendapati ini semua hanyalah mimpi.

*

Bukan mimpi.

Kiran harus menghela napas panjang dengan amat kecewa setelah paginya ia membuka mata dan menemukan dirinya masih berada di bawah selimut bedcover yang sama dengan yang semalam. Ketika pandangannya jatuh ke seberang ruangan, sosok lelaki tampan rupawan itu masih ada di sana. Berbaring di atas sofa. Perempuan itu lantas membawa tubuh dan hatinya yang lelah menuju kamar mandi, mengguyur seluruh badan dengan air dingin, berharap pikirannya jernih kembali. Setelahnya, kembali mengenakan kebaya yang kemarin dan bergegas keluar kamar. Mau pakai apa memangnya? Lingerie memalukan yang tak ada gunanya itu?

"Ibu?" panggilnya saat menemukan sang ibu mertua di ruang tengah. Wanita bernama Soraya itu menoleh dan tersenyum lebar.

"Aih! Sudah bangun? Rajin banget, ini masih jam setengah enam! Wah, udah mandi juga?"

Kiran tersenyum tipis. "Aku harus ganti baju. Boleh aku minta tasku yang kemarin, Bu?"

"Kenapa ganti baju segala? Kan harusnya tetep pakai itu, buat jaga-jaga kalau Karan masih mau nambah."

"Ibu apa, sih?" Kedua pipi putih itu kembali bersemu merah tanpa ampun. Membuat sang ibu mertua bersorak kecil. Tidak tahu saja bahwa rasa hati Kiran seperti teriris perih mengingat apa yang semalam terjadi.

"Ya sudah, lagian kamu memang harus siap-siap, sih. Hari ini kamu dan Karan bisa langsung pindah ke rumah kalian sendiri, kan?"

"Iya, Bu. Rencananya begitu."

"Ibu hanya berharap semuanya berjalan lancar ya, Ki."

Mengangguk kecil penuh haru walaupun harus tersenyum kecut, Kiran akhirnya kembali minta diri setelah mendapatkan tas berisi baju-bajunya. Bergegas kembali ke kamar untuk menukar kebaya putih yang cantik ini. Sayang sekali jika nanti rusak. Saat tiba di kamar, ternyata suaminya sudah bangun.

"Mas?" Kiran menyapa dengan rikuh. "Udah bangun, ya? Mau aku bikinin kopi?"

Karan tidak menjawab, justru menghentakkan kaki dan bergegas keluar dari kamarnya dengan wajah kesal yang sama dengan semalam. Meninggalkan Kiran sendiri yang masih mematung, dilanda perasaan gamang luar biasa. Lelaki itu sama sekali tidak repot-repot berusaha mengubah sikap sampai beberapa saat kemudian, ketika keduanya siap meninggalkan kediaman orang tua Karan.

"Kiran pamit, Ibu, Ayah." Kiran berucap dengan sedih. Sedih karena kedua orang tua barunya ini begitu baik. Sangat bertolak belakang dengan putra mereka.

"Kalau ada perlu apa-apa, jangan sungkan telepon Ibu ya, Ki. Termasuk kalau Karan keterlaluan sama kamu, jangan ragu bilang sama Ibu." Soraya berucap seraya memeluknya, sementara Herman, ayah Karan, hanya menggusak surai panjangnya penuh haru.

Saat kemudian Kiran melangkah dan memasuki mobil, hatinya seperti mencelos. Lelaki di belakang kemudi itu tampak memandangnya tajam dengan raut wajah sama sekali tidak ramah.

"Aku peringatkan kamu sebelum kita berangkat," tutur Karan dengan nada sedingin es kutub. "Sebelum ini aku sudah punya kehidupan. Maka setelahnya, jangan pernah kamu mengganggu kehidupan pribadiku! Kita satu rumah bukan berarti kamu bisa mengganggu privasiku."

Demi Tuhan. Kiran rasanya ingin membuka pintu mobil di sampingnya dan melompat turun saja. Belum-belum, ia sudah kewalahan menghapus air mata.

"Dan satu lagi." Lelaki itu masih pula menambahkan dengan nada suara penuh penekanan. "Kita lihat aja apa yang terjadi kalau kamu sampai manja dan mengadu yang aneh-aneh kepada Ibu!"

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sebatas Istri Di Atas Kertas   Extra Part 4

    **Musim Panas, South Carolina.Emily menekan tombol bel apartemen Reita. Menunggu beberapa saat hingga si empunya apartemen membukakan pintu untuknya. “Hai, Rei,” sapa gadis itu sembari memamerkan senyum manisnya yang biasa.“Em?”“Sibuk?”“Tidak, aku sedang berkemas. Masuklah.”Raut wajah Emily seketika berbeda setelah mendengar kata-kata terakhir Reita. Ia melangkah masuk, dan mendapati sebuah koper besar yang terbuka di atas lantai.“Reita, kau berkemas?”“Yup. Aku akan pulang ke Jepang liburan musim panas ini.” Reita menjawab ringan dengan masih sibuk memilah ini itu. Tidak memperhatikan sama sekali wajah si gadis yang mendadak saja berubah menjadi mendung.“Kau sendiri akan ke mana, Em? Apakah sudah ada rencana?”Emily diam-diam memasukkan lagi dua lembar kertas yang tadinya akan ia tunjukkan kepada lelaki itu. Ia beranjak mendudukkan diri di sofa dan memilih memperhatikan Reita dari kejauhan saja.“Aku? Aku tidak pernah liburan ke mana-mana. Aku akan bekerja part time saja unt

  • Sebatas Istri Di Atas Kertas   Extra Part 3

    **Musim dingin, South Carolina.Lebih dari satu musim Reita Lee meninggalkan Kyoto yang tenteram dan damai untuk mengasingkan diri ke negeri Paman Sam yang justru sebenarnya bukan tujuan tepat. Seratus delapan puluh derajat berbeda dengan tempat asalnya, negeri matahari terbit yang penuh sopan santun. Beruntungnya, Reita memilih negara bagian Carolina selatan yang cukup ramah dan tenang jika dibanding dengan negara lain Amerika.Lebih dari satu musim berlalu, dan bahkan pria itu sudah menyingkir ke belahan bumi yang lain, namun ia belum juga bisa menghapus bayangan perempuan dari Indonesia itu. Kiran Cahya Rengganis, yang begitu ia kagumi sebab ketangguhannya menghadapi hidup.Reita merapatkan coat yang ia kenakan. Awal November datang, mengirim awan-awan kelabu yang sehari-hari bakal menumpahkan berjuta-juta kubik air langit dari pagi hingga malam. Hawa dingin dan muram memenuhi sudut kota indah itu.“I hate winter,” gerutu pria itu seraya mengamankan diri ke sebuah factory outlet s

  • Sebatas Istri Di Atas Kertas   Extra Part 2

    **“Pingsan lagi?”Karan sedang berada di kantor tempatnya bekerja saat mendapat telepon dari Mila. Tantenya itu mengatakan bahwa sang istri pingsan lagi di kafe, namun menolak dibawa ke rumah sakit.“Sekarang gimana, Tan?”“Nggak bisakah kamu pulang aja, begitu?”Karan menengok arloji yang melingkari pergelangan tangannya. Mendapati bahwa jam kantor memang segera berakhir.“Aku akan minta izin pulang cepet, deh. Bilang sama Kiran, tunggu sebentar, gitu, ya?”“Cepetan ya, Kar.”Terburu-buru, Karan menghadap manajer sekaligus rekan kerjanya untuk meminta izin pulang beberapa menit lebih awal. Sebenarnya tidak perlu minta izin secara formal juga tak mengapa. Sebab kepala manajer tersebut adalah sahabat Karan sendiri.Jadi tempat pria itu bekerja sekarang adalah sebuah homestay sekaligus agen wisata yang ia kelola bersama kawannya, seorang pria berkebangsaan Inggris. Bisnis kecil yang belakangan prospeknya berkembang semakin bagus.“What’s going on?” Pria bule bernama Steve itu bertanya

  • Sebatas Istri Di Atas Kertas   Extra Part 1

    **Kiran sebelumnya tidak pernah berani berekspektasi, apa yang terjadi saat sepasang pengantin baru berbulan madu. Pernikahan pertamanya dengan Karan dulu berjalan dengan amat suram, ingat?Jangankan bulan madu, tidur satu ranjang pun tidak terjadi. Meski pada akhirnya malam pertama itu tetaplah berlangsung, namun sudah lewat berbulan-bulan sejak hari pernikahan mereka. Tetaplah beda rasanya dengan yang sengaja melewatkan bulan madu dan malam pertama pada hari-hari pertama pernikahan.“Nikmati saja waktu kalian, nggak usah khawatir sama Axel. Tante yang akan jaga dia, meskipun kalian tinggal bulan madu satu bulan penuh,” goda Mila, beberapa hari setelah Kiran dan Karan sah sebagai sepasang suami istri.“Ah, Tante apa-apaan, sih.” Perempuan itu berusaha menyembunyikan rona wajahnya yang jelas tergambar di kedua pipi. Membuat Mila tergelak keras.“Aku sih gas aja mau berapa lama pun, Tan. Asal Kiran mau aja,” celetuk Karan, menambah panas suasana saja.“Kalian berdua emang pro banget k

  • Sebatas Istri Di Atas Kertas   102. Kembali Bersamamu

    **Kiran masih bisa mengingat dengan jelas, hari pernikahan pertamanya dengan Karan yang penuh dengan rasa sedih dan putus asa. Bagaimana pria itu tak henti melemparkan tatapan atau kata-kata yang sarat kebencian kepadanya. Bagaimana ia dengan sangat takut mencium tangan pria itu saat pak penghulu mengucap kata sah untuk pertama kalinya.Kemudian pada malam pertama, di mana ia harus tinggal satu kamar dengan Karan, kemudian hanya kata-kata menyakitkan hati yang ia terima alih-alih suasana hangat pengantin baru.Sekarang, pada pernikahan yang kedua, Kiran merasakan gugup pada skala yang sama, namun dengan suasana hati yang sangat amat berbeda. Gugup yang ini adalah … gugup yang menyenangkan. Ia takut sekali, namun juga tidak sabar.“Apa Mama takut? Mama takut apa?” Axel mendekat. Bocah kecil itu sudah berdandan dengan rapi. Nanti, Axel akan ikut ke kantor KBRI untuk mendapatkan surat pernyataan menikah dan beberapa prosedur lain yang harus dilakukan sebagaimana warga negara Indonesia y

  • Sebatas Istri Di Atas Kertas   101. Melamar

    **“Mas, jangan begini.” Kiran mendorong pelan bahu yang lebih tua. “Kita bukan lagi sepasang suami istri yang sah. Nggak enak kalau ada yang lihat nanti. Apalagi, ini udah tengah malam.”Membuat pelukan erat Karan terpaksa harus lepas meski ia menampakkan wajah yang sangat tidak rela.“Aku masih kangen,” gerutu pria itu pelan, “Apa nggak boleh kalau aku menginap di sini?”“Jangan sembarangan, Mas. Jangan kayak anak muda gitu, lah. Udah, sana pulang aja, kamu!”Karan mencebikkan bibir, membuat satu yang lain mau tak mau jadi gemas. Kiran bahkan sudah lupa kalau mantan suaminya ini pada suatu waktu yang lampau pernah memiliki sikap yang clingy begini.“Serius, aku nggak boleh menginap? Tetangganya pada jauh, kok. Nggak akan ada yang lihat.”“Mas, jangan macam-macam. Pulang sekarang, atau kamu nggak boleh datang lagi sama sekali?”Pria rupawan itu tertawa kecil. Ia raih kembali sang mantan istri ke dalam pelukan hangat serta mendaratkan kecupan singkat pada puncak kepala perempuan itu.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status