Share

2. Malam Pertama

**

"Wajahmu merah padam begitu, apa yang kamu harapkan dari aku?"

Tentu saja wajah Kiran membara merah padam. Ia malu sampai rasanya ingin terbenam ke dalam perut bumi dan tidak pernah muncul kembali. Seumur hidup, perempuan itu belum pernah berada sedekat ini dengan seorang pria. Sekalinya dekat, mengapa harus dalam keadaan menyedihkan seperti ini?

"Ak-aku istirahat dulu, Mas."

"Terserah."

Secepat kilat Kiran naik ke atas ranjang dan meraih bedcover tebal, menyelimuti seluruh tubuhnya agar tidak tampak sejengkal pun yang terbuka kecuali bagian kepala saja. Membuat Karan lagi-lagi berdecih muak.

"Memangnya siapa yang bakal tertarik dengan tubuhmu sekalipun kamu meng-eksposnya? Pakai dibungkus begitu segala," gerutu Karan lirih. Lirih saja, namun rasanya tetap menusuk gendang telinga Kiran hingga menembus ke dalam hatinya.

Seburuk itukah aku di matamu?

Kiran memang bukanlah perempuan masa kini yang trendi dan up to date, tapi ia juga tidak bisa dibilang jelek. Tubuhnya memang kecil cenderung kurus dan tidak sintal, tapi Kiran memiliki kulit langsat yang indah. Matanya besar dengan bibir mungil yang merekah. Kiran cantik di mata orang kebanyakan, tapi sayangnya Karan tidak termasuk orang kebanyakan.

"M-Mas, kamu nggak istirahat?" Kiran masih sempat bertanya kala laki-laki yang kini berstatus suaminya itu kembali mengayun langkah ke luar kamar. Bukan apa-apa, tapi acara hari ini memang cukup melelahkan dan sekarang hari sudah larut. Semestinya Karan memang harus beristirahat.

"Maksudku ...." Kiran kembali berucap dengan gugup. "Kamu mau ke mana? Nggak capek, kah? Ini udah malam."

Laki-laki itu menghela napas. "Sekali lagi aku tegaskan, aku dan kamu hanya menikah. Hanya berganti status di mata orang lain. Selebihnya, nggak ada yang berubah. Kita tetap bukan apa-apa. Jadi bukan urusanmu apakah aku istirahat atau nggak."

Tuhan! Kiran menelan saliva dengan pahit. Itu menyakitkan, sungguh. Ia hanya bisa menatap nyalang ketika Karan bergegas keluar ruangan. Tetap diam tak bergerak di bawah selimutnya selama beberapa saat hingga pintu kamar terbuka kembali dan suaminya masuk lagi. Tapi apa?

"Mas, kamu tidur di sofa?" Kiran tercekat, memandang sang suami yang melemparkan beberapa bantal dan selembar selimut ke atas sofa di seberang kamar sebelum menghempaskan tubuhnya di sana.

"Mas, kalau kamu nggak mau tidur deket aku, kita bisa bertukar tempat. Ini kamar kamu, jadi kamu yang lebih berhak atas ranjangnya. Silakan kalau kamu mau di sini. Nanti badan kamu sakit semua kalau tidur di situ."

Kiran sudah beringsut dari posisinya tanpa sedikitpun menanggalkan si bedcover. Namun, Karan hanya mendesis kesal.

"Kalau kamu berisik dan ganggu tidurku, aku akan lempar kamu keluar!"

Laki-laki dua puluh tujuh tahun itu kemudian menghamparkan selimut menutupi seluruh tubuhnya, dan berbaring membelakangi ranjang di mana Kiran masih tertegun.

Malam pertama? Perempuan itu membatin dengan dada sesak. Bahkan memandangku saja dia nggak sudi. Aku tahu dari awal dia nggak senang dengan perjodohan ini. Jadi mengapa dia bukannya nolak, malah iya-iya saja waktu orang tuanya datang melamarku? Apa menurutnya semua ini lelucon?

Kiran menyeka air mata yang bergulir membasahi pelipisnya karena ia tidur menyamping. Ada berapa banyak gadis di luar sana yang melewati malam pertama dalam keadaan menyedihkan seperti ini? Kiran sepenuh hati berharap, jika ia membuka mata esok pagi, ia mendapati ini semua hanyalah mimpi.

*

Bukan mimpi.

Kiran harus menghela napas panjang dengan amat kecewa setelah paginya ia membuka mata dan menemukan dirinya masih berada di bawah selimut bedcover yang sama dengan yang semalam. Ketika pandangannya jatuh ke seberang ruangan, sosok lelaki tampan rupawan itu masih ada di sana. Berbaring di atas sofa. Perempuan itu lantas membawa tubuh dan hatinya yang lelah menuju kamar mandi, mengguyur seluruh badan dengan air dingin, berharap pikirannya jernih kembali. Setelahnya, kembali mengenakan kebaya yang kemarin dan bergegas keluar kamar. Mau pakai apa memangnya? Lingerie memalukan yang tak ada gunanya itu?

"Ibu?" panggilnya saat menemukan sang ibu mertua di ruang tengah. Wanita bernama Soraya itu menoleh dan tersenyum lebar.

"Aih! Sudah bangun? Rajin banget, ini masih jam setengah enam! Wah, udah mandi juga?"

Kiran tersenyum tipis. "Aku harus ganti baju. Boleh aku minta tasku yang kemarin, Bu?"

"Kenapa ganti baju segala? Kan harusnya tetep pakai itu, buat jaga-jaga kalau Karan masih mau nambah."

"Ibu apa, sih?" Kedua pipi putih itu kembali bersemu merah tanpa ampun. Membuat sang ibu mertua bersorak kecil. Tidak tahu saja bahwa rasa hati Kiran seperti teriris perih mengingat apa yang semalam terjadi.

"Ya sudah, lagian kamu memang harus siap-siap, sih. Hari ini kamu dan Karan bisa langsung pindah ke rumah kalian sendiri, kan?"

"Iya, Bu. Rencananya begitu."

"Ibu hanya berharap semuanya berjalan lancar ya, Ki."

Mengangguk kecil penuh haru walaupun harus tersenyum kecut, Kiran akhirnya kembali minta diri setelah mendapatkan tas berisi baju-bajunya. Bergegas kembali ke kamar untuk menukar kebaya putih yang cantik ini. Sayang sekali jika nanti rusak. Saat tiba di kamar, ternyata suaminya sudah bangun.

"Mas?" Kiran menyapa dengan rikuh. "Udah bangun, ya? Mau aku bikinin kopi?"

Karan tidak menjawab, justru menghentakkan kaki dan bergegas keluar dari kamarnya dengan wajah kesal yang sama dengan semalam. Meninggalkan Kiran sendiri yang masih mematung, dilanda perasaan gamang luar biasa. Lelaki itu sama sekali tidak repot-repot berusaha mengubah sikap sampai beberapa saat kemudian, ketika keduanya siap meninggalkan kediaman orang tua Karan.

"Kiran pamit, Ibu, Ayah." Kiran berucap dengan sedih. Sedih karena kedua orang tua barunya ini begitu baik. Sangat bertolak belakang dengan putra mereka.

"Kalau ada perlu apa-apa, jangan sungkan telepon Ibu ya, Ki. Termasuk kalau Karan keterlaluan sama kamu, jangan ragu bilang sama Ibu." Soraya berucap seraya memeluknya, sementara Herman, ayah Karan, hanya menggusak surai panjangnya penuh haru.

Saat kemudian Kiran melangkah dan memasuki mobil, hatinya seperti mencelos. Lelaki di belakang kemudi itu tampak memandangnya tajam dengan raut wajah sama sekali tidak ramah.

"Aku peringatkan kamu sebelum kita berangkat," tutur Karan dengan nada sedingin es kutub. "Sebelum ini aku sudah punya kehidupan. Maka setelahnya, jangan pernah kamu mengganggu kehidupan pribadiku! Kita satu rumah bukan berarti kamu bisa mengganggu privasiku."

Demi Tuhan. Kiran rasanya ingin membuka pintu mobil di sampingnya dan melompat turun saja. Belum-belum, ia sudah kewalahan menghapus air mata.

"Dan satu lagi." Lelaki itu masih pula menambahkan dengan nada suara penuh penekanan. "Kita lihat aja apa yang terjadi kalau kamu sampai manja dan mengadu yang aneh-aneh kepada Ibu!"

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status