**
"Wajahmu merah padam begitu, apa yang kamu harapkan dari aku?"Tentu saja wajah Kiran membara merah padam. Ia malu sampai rasanya ingin terbenam ke dalam perut bumi dan tidak pernah muncul kembali. Seumur hidup, perempuan itu belum pernah berada sedekat ini dengan seorang pria. Sekalinya dekat, mengapa harus dalam keadaan menyedihkan seperti ini?"Ak-aku istirahat dulu, Mas.""Terserah."Secepat kilat Kiran naik ke atas ranjang dan meraih bedcover tebal, menyelimuti seluruh tubuhnya agar tidak tampak sejengkal pun yang terbuka kecuali bagian kepala saja. Membuat Karan lagi-lagi berdecih muak."Memangnya siapa yang bakal tertarik dengan tubuhmu sekalipun kamu meng-eksposnya? Pakai dibungkus begitu segala," gerutu Karan lirih. Lirih saja, namun rasanya tetap menusuk gendang telinga Kiran hingga menembus ke dalam hatinya.Seburuk itukah aku di matamu?Kiran memang bukanlah perempuan masa kini yang trendi dan up to date, tapi ia juga tidak bisa dibilang jelek. Tubuhnya memang kecil cenderung kurus dan tidak sintal, tapi Kiran memiliki kulit langsat yang indah. Matanya besar dengan bibir mungil yang merekah. Kiran cantik di mata orang kebanyakan, tapi sayangnya Karan tidak termasuk orang kebanyakan."M-Mas, kamu nggak istirahat?" Kiran masih sempat bertanya kala laki-laki yang kini berstatus suaminya itu kembali mengayun langkah ke luar kamar. Bukan apa-apa, tapi acara hari ini memang cukup melelahkan dan sekarang hari sudah larut. Semestinya Karan memang harus beristirahat."Maksudku ...." Kiran kembali berucap dengan gugup. "Kamu mau ke mana? Nggak capek, kah? Ini udah malam."Laki-laki itu menghela napas. "Sekali lagi aku tegaskan, aku dan kamu hanya menikah. Hanya berganti status di mata orang lain. Selebihnya, nggak ada yang berubah. Kita tetap bukan apa-apa. Jadi bukan urusanmu apakah aku istirahat atau nggak."Tuhan! Kiran menelan saliva dengan pahit. Itu menyakitkan, sungguh. Ia hanya bisa menatap nyalang ketika Karan bergegas keluar ruangan. Tetap diam tak bergerak di bawah selimutnya selama beberapa saat hingga pintu kamar terbuka kembali dan suaminya masuk lagi. Tapi apa?"Mas, kamu tidur di sofa?" Kiran tercekat, memandang sang suami yang melemparkan beberapa bantal dan selembar selimut ke atas sofa di seberang kamar sebelum menghempaskan tubuhnya di sana."Mas, kalau kamu nggak mau tidur deket aku, kita bisa bertukar tempat. Ini kamar kamu, jadi kamu yang lebih berhak atas ranjangnya. Silakan kalau kamu mau di sini. Nanti badan kamu sakit semua kalau tidur di situ."Kiran sudah beringsut dari posisinya tanpa sedikitpun menanggalkan si bedcover. Namun, Karan hanya mendesis kesal."Kalau kamu berisik dan ganggu tidurku, aku akan lempar kamu keluar!"Laki-laki dua puluh tujuh tahun itu kemudian menghamparkan selimut menutupi seluruh tubuhnya, dan berbaring membelakangi ranjang di mana Kiran masih tertegun.Malam pertama? Perempuan itu membatin dengan dada sesak. Bahkan memandangku saja dia nggak sudi. Aku tahu dari awal dia nggak senang dengan perjodohan ini. Jadi mengapa dia bukannya nolak, malah iya-iya saja waktu orang tuanya datang melamarku? Apa menurutnya semua ini lelucon?Kiran menyeka air mata yang bergulir membasahi pelipisnya karena ia tidur menyamping. Ada berapa banyak gadis di luar sana yang melewati malam pertama dalam keadaan menyedihkan seperti ini? Kiran sepenuh hati berharap, jika ia membuka mata esok pagi, ia mendapati ini semua hanyalah mimpi.*Bukan mimpi.Kiran harus menghela napas panjang dengan amat kecewa setelah paginya ia membuka mata dan menemukan dirinya masih berada di bawah selimut bedcover yang sama dengan yang semalam. Ketika pandangannya jatuh ke seberang ruangan, sosok lelaki tampan rupawan itu masih ada di sana. Berbaring di atas sofa. Perempuan itu lantas membawa tubuh dan hatinya yang lelah menuju kamar mandi, mengguyur seluruh badan dengan air dingin, berharap pikirannya jernih kembali. Setelahnya, kembali mengenakan kebaya yang kemarin dan bergegas keluar kamar. Mau pakai apa memangnya? Lingerie memalukan yang tak ada gunanya itu?"Ibu?" panggilnya saat menemukan sang ibu mertua di ruang tengah. Wanita bernama Soraya itu menoleh dan tersenyum lebar."Aih! Sudah bangun? Rajin banget, ini masih jam setengah enam! Wah, udah mandi juga?"Kiran tersenyum tipis. "Aku harus ganti baju. Boleh aku minta tasku yang kemarin, Bu?""Kenapa ganti baju segala? Kan harusnya tetep pakai itu, buat jaga-jaga kalau Karan masih mau nambah.""Ibu apa, sih?" Kedua pipi putih itu kembali bersemu merah tanpa ampun. Membuat sang ibu mertua bersorak kecil. Tidak tahu saja bahwa rasa hati Kiran seperti teriris perih mengingat apa yang semalam terjadi."Ya sudah, lagian kamu memang harus siap-siap, sih. Hari ini kamu dan Karan bisa langsung pindah ke rumah kalian sendiri, kan?""Iya, Bu. Rencananya begitu.""Ibu hanya berharap semuanya berjalan lancar ya, Ki."Mengangguk kecil penuh haru walaupun harus tersenyum kecut, Kiran akhirnya kembali minta diri setelah mendapatkan tas berisi baju-bajunya. Bergegas kembali ke kamar untuk menukar kebaya putih yang cantik ini. Sayang sekali jika nanti rusak. Saat tiba di kamar, ternyata suaminya sudah bangun."Mas?" Kiran menyapa dengan rikuh. "Udah bangun, ya? Mau aku bikinin kopi?"Karan tidak menjawab, justru menghentakkan kaki dan bergegas keluar dari kamarnya dengan wajah kesal yang sama dengan semalam. Meninggalkan Kiran sendiri yang masih mematung, dilanda perasaan gamang luar biasa. Lelaki itu sama sekali tidak repot-repot berusaha mengubah sikap sampai beberapa saat kemudian, ketika keduanya siap meninggalkan kediaman orang tua Karan."Kiran pamit, Ibu, Ayah." Kiran berucap dengan sedih. Sedih karena kedua orang tua barunya ini begitu baik. Sangat bertolak belakang dengan putra mereka."Kalau ada perlu apa-apa, jangan sungkan telepon Ibu ya, Ki. Termasuk kalau Karan keterlaluan sama kamu, jangan ragu bilang sama Ibu." Soraya berucap seraya memeluknya, sementara Herman, ayah Karan, hanya menggusak surai panjangnya penuh haru.Saat kemudian Kiran melangkah dan memasuki mobil, hatinya seperti mencelos. Lelaki di belakang kemudi itu tampak memandangnya tajam dengan raut wajah sama sekali tidak ramah."Aku peringatkan kamu sebelum kita berangkat," tutur Karan dengan nada sedingin es kutub. "Sebelum ini aku sudah punya kehidupan. Maka setelahnya, jangan pernah kamu mengganggu kehidupan pribadiku! Kita satu rumah bukan berarti kamu bisa mengganggu privasiku."Demi Tuhan. Kiran rasanya ingin membuka pintu mobil di sampingnya dan melompat turun saja. Belum-belum, ia sudah kewalahan menghapus air mata."Dan satu lagi." Lelaki itu masih pula menambahkan dengan nada suara penuh penekanan. "Kita lihat aja apa yang terjadi kalau kamu sampai manja dan mengadu yang aneh-aneh kepada Ibu!"*****Kiran hanya bisa membisu sepanjang jalan. Sampai mobil hitam yang dikemudikan Karan memasuki pelataran sebuah rumah bergaya minimalis modern yang masih tampak baru. Rumah ini hadiah dari Herman dan Soraya untuk pernikahan sang putra tunggal.Well, home sweet home."Bawa sendiri barang-barangmu!" titah Karan, yang disambut anggukan singkat dari sang istri. Perempuan itu nyaris menyahut 'sudah tahu', tapi ia pun tahu sebaiknya jangan."Ini kamarku." Pria dua puluh tujuh tahun itu menyebut dengan dingin saat keduanya mencapai pintu pertama pada lantai dua. "Jangan pernah masuk kamarku dengan alasan apapun.""T-tapi, Mas–""Sudah aku bilang, status suami istri ini cuma sekedar status, Kiran.""Ba-bagaimana kalau kamar kamu kotor? Aku cuma akan masuk buat bersihkan.""Nggak perlu. Aku bisa lakukan sendiri. Sekarang minggir, aku mau istirahat."Seraya menggeser posisinya, Kiran membuang napas dengan masam. Tidak akan ia temukan ungkapan rumahku surgaku di tempat ini sampai kapanpun. Keti
**"Nggak disentuh sama sekali?"Kiran menatap dengan nanar piring-piring berisi masakan yang ia buat semalam. Tak secuil pun makanan itu tampak berkurang. Namun, yang menyakitkan adalah ia justru menemukan bungkus mie cup di dalam tempat sampah. Karan lebih memilih makan malam dengan mi instan daripada makan masakan buatannya. Menghela napas lelah, perempuan itu masih berusaha tersenyum saat mengeluarkan masakannya dari dalam lemari pendingin."Yah, untung aja aku masukin kulkas, jadi masih bisa diangetin dan dimakan lagi. Walaupun mungkin yang makan tetap aku sendiri."Masih berusaha berpikir positif, perempuan itu berniat membuatkan minuman untuk sang suami yang setelah ini mungkin akan berangkat ke kantor. Teringat kembali peristiwa semalam yang mana Karan marah-marah hanya karena secangkir kopi, kali ini Kiran akan mencoba menyiapkan segelas susu saja. Nah, setengah jam kemudian saat jarum jam menunjuk angka setengah delapan pagi, Karan keluar dari kamarnya dengan pakaian kerja y
**Kiran memandang gedung besar di seberang jalan dengan sedikit takjub. Tidak mengira bahwa suaminya bekerja di tempat seperti ini."Ini bener kan alamatnya? Ibu nggak salah kasih alamat kan, ya?" Perempuan itu bergumam kepada dirinya sendiri sementara memandang sekali lagi layar ponselnya untuk memastikan. "Ah, kayaknya sih bener yang ini kantornya Mas Karan. Oke, mungkin aku harus tanya aja sama sekuriti yang jaga."Pada titik ini, Kiran merasa benar-benar tidak mengenal suaminya sendiri. Bagaimana mungkin ia bisa menjalin pernikahan dengan lelaki itu, sementara di mana ia bekerja saja tidak pernah tahu. Sedikit ragu, akhirnya ia tetap melajukan motor matic-nya menyeberang jalan dan berniat memasuki pintu gerbang yang dijaga petugas sekuriti."Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" Lelaki berseragam berusia separuh baya itu bertanya dengan ramah ketika Kiran tiba di sana."Oh ... saya bisa ketemu sama Mas Karan nggak, Pak?" Kiran menjawab dengan mengulas senyum tipis."Mas Karan?" Sekuri
**Masih seperti kemarin, Kiran memandang mobil hitam yang berlalu meninggalkan halaman melalui kaca jendela lantai dua. Setelah semalam Karan marah-marah dan membanting pintu di depan wajah Kiran, pagi ini berlalu tanpa drama apapun. Benar, Kiran memilih keluar kamar setelah lelaki itu selesai bersiap-siap dan pergi bekerja. Ia memilih tidak menampakkan diri sedikitpun demi menjaga pagi hari yang tetap damai.Perempuan itu hendak masuk ke kamar mandi saat suara dering ponsel menghentikan langkahnya."Halo, Ibu?" Ternyata Soraya yang menelepon. "Tumben nelepon pagi-pagi? Ada apa?""Nggak apa-apa, Ki." Suara Soraya menyambut dari seberang sana. "Kamu lagi sibuk, kah?""Ah, enggak. Aku lagi mau mandi, Bu.""Karan udah berangkat, ya?""Udah, baru aja berangkat." kiran menelan saliva. Berharap ibu mertuanya tidak bertanya yang aneh-aneh perihal kehidupan rumah tangganya yang tragis."Ibu pengen main ke sana, dong.""Ah? Main ke sini?""Iya, Nak. Ibu kan sama sekali belum pernah nengokin k
**Mungkin sekarang sudah tengah malam. Entahlah, Kiran tidak tahu. Ia tidak membawa ponselnya. Perempuan itu hanya merasa telah duduk di halaman belakang rumahnya sejak berjam-jam yang lalu. Berkali-kali membersit air matanya yang terus-terusan luruh tanpa bisa ia cegah.Jadi ternyata Karan sudah memiliki kekasih sebelum ini? Pantaslah mengapa sikapnya sangat dingin kepada Kiran. Sedikitpun tak bisa disentuh bagaimanapun Kiran berusaha."Dan kamu biarin aku membadut selama beberapa waktu belakangan ini, Mas?" Kiran berbisik lirih kepada dirinya sendiri. Tersenyum pahit, merasakan sengatan nyeri lagi-lagi meremas hatinya kala ia mengingat kembali perempuan cantik yang dibawa pulang suaminya. Ah, siapa namanya tadi?"Kalau sudah tau begini, lantas apalagi yang harus kita pertahankan? Kalau alasanmu nggak bisa mencintaiku adalah karena belum terbiasa, mungkin aku bisa menunggu. Tapi ternyata alasanmu adalah ini, jadi apalagi yang bisa menahanku?" Kiran menghela napas dalam-dalam sebelum
**"Tolong maafkan kalau Kiran memilih berhenti. Karena ini terlalu sakit."Kembali terbayang raut tampan itu. Teringat saat pertama kali ayahanda Kiran mengenalkannya kepada putra sahabat karibnya. Kiran terkesima. Dialah Karan, yang memiliki nama hampir mirip dengan dirinya. Yang memiliki paras mempesona, yang mulai dari detik itu juga, sama sekali tidak bisa Kiran usir bayangannya dari dalam benak.Ya, ya. Nevia benar. Kiran mengakui bahwa dirinya sudah jatuh cinta diam-diam kepada lelaki itu, jauh-jauh sebelum kisah ini dimulai. Walau pada akhirnya harus bertepuk sebelah tangan."Kita memang nggak jodoh." Kiran berkata pelan kepada dirinya sendiri. "Gimanapun dipaksa untuk bersama, kalau kita nggak jodoh, ya nggak akan bisa bersama."Semalaman Kiran terjaga, menunggu pagi datang. Selama itu pula air matanya tidak bisa berhenti. Merasa demikian naif karena berani-beraninya sempat bermimpi bisa membangun rumah tangga yang indah bersama Karan, dan mungkin anak-anak mereka nanti. Saat
**"Karan, apa-apaan kamu? Bilang sama Ibu, apa maksudmu?"Soraya menunjuk muka putra semata wayangnya yang saat itu masih terpaku di ambang pintu. Belum sempat masuk apalagi mendudukkan diri di atas sofa, ia sudah disambut oleh hawa-hawa kemarahan dari ibunya."Jadi ini yang bikin Kiran sampai minta berpisah sama kamu, ha? Ibu nggak nyangka, Kar! Bisa-bisanya!"Karan menyipitkan mata. Atensinya melayang dan jatuh kepada Kiran yang seketika gemetar karena situasi tidak kondusif itu."Apa aja yang udah diceritain perempuan itu sama Ibu?" Ia berucap dengan nada suara sedingin es kutub."Apa maksudmu?""Apa aja yang udah dia aduin? Dia udah kasih pengaruh buruk ke Ayah sama Ibu dengan sandiwaranya? Berlagak seakan dirinya yang paling teraniaya?"Demi Tuhan! Kiran sampai terhenyak kaget mendengar tuduhan tak berdasar yang barusan dialamatkan kepadanya. Ia menggeleng kuat-kuat."Mas, aku nggak–""Apa? Nggak apa? Masih mau mengelak? Hal buruk apa aja yang udah kamu ceritain sama Ibu tentang
**"Silakan kamu bawa pergi pacarmu!"Karan merasa emosi menggelegak naik hingga mencapai puncak kepalanya saat mendengar ibunya berkata demikian. Soraya benar-benar lebih berat kepada Kiran. Kiran yang notabene bukanlah siapa-siapanya, daripada kepada dirinya yang adalah putra kandung satu-satunya."Karan yakin, Ibu akan menyesali hari ini." Lelaki rupawan itu berkata pelan dengan tajam sebelum menggandeng kekasihnya untuk menjauh dari ruang tamu."Nggak akan.""Karan nggak akan lagi menemui ibu untuk alasan apapun.""Ibu, Ibu nggak ingin ini terjadi, kan?" Sementara itu Kiran masih mencoba membujuk. Siapa tahu saja Soraya berubah pikiran dan mau menarik kembali kata-katanya. "Mas Karan tenang aja. Ini cuma emosi sesaat. Nanti kalau Ibu udah tenang, Mas Karan balik aja ke sini. Kita omongin lagi semuanya baik-baik.""Kiran, berhenti belain dia!" timpal Soraya, masih dengan emosi. "Dia udah jelas-jelas jahat sama kamu, kenapa kamu masih terus belain dia begitu?"Kiran hanya menggeleng