Share

3. Rumah Baru

last update Dernière mise à jour: 2023-05-14 19:36:33

**

Kiran hanya bisa membisu sepanjang jalan. Sampai mobil hitam yang dikemudikan Karan memasuki pelataran sebuah rumah bergaya minimalis modern yang masih tampak baru. Rumah ini hadiah dari Herman dan Soraya untuk pernikahan sang putra tunggal.

Well, home sweet home.

"Bawa sendiri barang-barangmu!" titah Karan, yang disambut anggukan singkat dari sang istri. Perempuan itu nyaris menyahut 'sudah tahu', tapi ia pun tahu sebaiknya jangan.

"Ini kamarku." Pria dua puluh tujuh tahun itu menyebut dengan dingin saat keduanya mencapai pintu pertama pada lantai dua. "Jangan pernah masuk kamarku dengan alasan apapun."

"T-tapi, Mas–"

"Sudah aku bilang, status suami istri ini cuma sekedar status, Kiran."

"Ba-bagaimana kalau kamar kamu kotor? Aku cuma akan masuk buat bersihkan."

"Nggak perlu. Aku bisa lakukan sendiri. Sekarang minggir, aku mau istirahat."

Seraya menggeser posisinya, Kiran membuang napas dengan masam. Tidak akan ia temukan ungkapan rumahku surgaku di tempat ini sampai kapanpun. Ketika ia memijak lantai rumah dan memasuki pintu untuk pertama kalinya tadi, saat itulah ia tahu segala kebahagiaan hidupnya sudah tergadai habis. Maka, dengan lunglai perempuan itu melangkah menuju pintu kedua yang ia temukan. Tak peduli bagaimana rupa kamar di balik pintu itu, ia menyeret masuk kopernya.

"Berapa lama aku bisa bertahan dengan keadaan seperti ini?" Perempuan itu bergumam kepada dirinya sendiri setelah menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. "Dan berapa lama dia juga bisa bertahan dengan sikapnya yang keterlaluan itu? Aku ngerasa diriku cuma parasit yang numpang hidup kalau melihat caranya memandangku."

Kiran menatap langit-langit kamar dalam diam. Bahkan suara desir angin pun kedengaran kencang karena begitu sunyinya tempat ini.

"Aku jauh lebih baik-baik aja hidup sendiri. Kenapa Ibu dan Ayah maksa banget buat aku menikah sama anaknya? Padahal mereka juga tahu, Mas Karan nggak pernah suka sama aku sedikitpun."

Berbagai pikiran itu berputar-putar dalam kepala Kiran tanpa bisa ia cegah. Hingga tanpa sadar dirinya memejamkan mata dan waktu berlalu hingga beberapa saat.

Saat Kiran membuka mata kembali, ia dilanda panik hebat. Matahari sudah tidak lagi berada pada garis edarnya. Langit menggelap di luar sana, pun kamarnya yang tadi ketika datang lampunya belum dinyalakan, kini gelap gulita. Perempuan itu meraba-raba, mencari tombol saklar.

"Mas? Astaga, aku ketiduran. Kamu udah makan? Mau dimasakin dulu?" Perempuan bersurai sepanjang bahu itu menawarkan dengan masih panik kepada Karan yang berada di ruang tengah.

Karan melirik sekilas dari atas layar ponsel yang sedang ia pegang. Laptop terbuka dan kertas-kertas bertebaran di sekeliling meja. Sepertinya ia tengah bekerja.

"Nggak perlu."

"Mas, aku bener-bener minta maaf. Aku–"

"Baru satu hari aja kamu udah kacau balau. Masih mau mimpi jadi istriku?"

Hati Kiran kembali disengat rasa nyeri saat mendengar hal itu. Ia berdiri menunduk seraya meremas ujung blus yang dikenakannya. "Aku ketiduran, Mas. Bener-bener capek karena beberapa hari belakangan nggak sempet istirahat dengan bener."

"Nah, maka dari itu aku bilang nggak perlu. Aku harus kerja, jadi sebaiknya kamu pergi."

Diam lagi selama beberapa detik, Kiran buru-buru kembali menawarkan. "Kamu mau aku bikinin minum, Mas?"

"Nggak."

Laki-laki itu menjawab sambil lalu, jadi Kiran pikir itu hanya jawaban basa-basi. Maka ia melangkah menuju dapur untuk membuatkan secangkir kopi. Ruangan-ruangan rumah ini beserta seluruh isinya sudah ditata sedemikian rupa oleh Soraya. Kiran sangat bersyukur, betapa baik hati mertuanya itu.

"Mas, aku bikinin kopi hangat, ya. Biar kamu nggak ngantuk kerjanya." Diiringi seulas senyum manis, Kiran membawa nampan kecil berisi secangkir kopi hitam untuk Karan. Namun, apa yang terjadi?

"Memangnya siapa yang minta?"

"Ak-aku pikir, kamu akan suka–"

"Kamu mau bunuh aku?"

"Hah?" Otomatis Kiran terbelalak. "Apa maksudnya, Mas? Ini cuma kopi."

"Cuma kopi menurutmu, tapi itu bisa membunuhku! Makanya lain kali sebelum ngelakuin sesuatu itu tanya dulu! Lagian tadi aku sudah bilang nggak, kan? Nggak usah caper, nggak guna!"

Kiran terkesiap. Darahnya terasa berdesir hebat mendengar kata-kata sedingin bongkahan es kutub itu. Sungguh, niat Kiran hanya ingin membuatkan minuman karena suaminya tampak lelah bekerja. Ia tidak tahu di mana letak kesalahannya.

"Ak-aku minta maaf–"

"Sudahlah! Aku bilang berkali-kali, kita bukan apa-apa. Kamu nggak usah berlagak jadi istri betulan. Lagian aku jamin, seberapa keras pun kamu berusaha cari perhatian, aku nggak akan pernah tertarik sama kamu, Kiran!"

Berapa kali dalam sehari Kiran harus mendengar kata-kata yang terasa seperti menikam jantungnya itu?

"Mas ... aku hanya nggak enak kalau nggak melakukan apa-apa."

"Jauh lebih baik nggak usah lakukan apa-apa dan sembunyikan dirimu dari pandanganku! Hanya dengan lihat kamu berkeliaran aja, udah bikin hari-hariku seperti kena kutukan!"

Dan pria itu pergi, meninggalkan Kiran yang masih tertegun di tempat. Ia tidak ingin menangis, tapi air mata jatuh dengan sendirinya dari sela-sela netra cokelatnya yang sudah lama berkabut. Sesulit inikah memposisikan diri? Tapi perempuan itu hanya menggeleng seraya membawa nampan berisi kopi kembali ke dapur. Duduk diam di sana selama beberapa waktu dengan hati masih nyeri.

Atas dasar apa Bapak dan Mamaknya yang sudah tiada menjalin janji dengan Herman dan Soraya untuk menikahkan dirinya dengan Karan?

"Bapak dan Mamak adalah sahabat Ibu Soraya dan Pak Herman sejak masih remaja, Nak. Kami sudah berjanji menjadi besan kalau punya putra dan putri. Kebetulan sekali, kan? Kami punya kamu, dan mereka punya Nak Karan. Nah, bahkan kami memberi kalian nama yang serupa. Berharap kalian memang menjadi jodoh sehidup semati."

Nah, itu. Air mata Kiran kian deras berjatuhan kala mengingat kembali pengakuan ibunya beberapa waktu sebelum meninggal dalam kecelakaan.

"Apa Bapak dan Mamak tau kalau pada akhirnya aku harus tersiksa batin seperti ini? Benar, Mas Karan itu tampan dan punya kehidupan mapan. Tapi apa kalian nggak memikirkan bagaimana perasaanku? Karena nggak akan pernah ada rasa cinta di antara aku dengan dia, bagaimanapun aku berusaha."

Percuma ditangisi, toh menangis tidak akan mengubah yang sudah terjadi. Kiran membersit air matanya sebelum bangkit dari kursi dapur dan memandang sekitar. Tidak tampak tanda-tanda Karan sudah makan malam, maka perempuan itu kembali keras kepala dengan mulai membuka kulkas dan mengeluarkan beberapa bahan.

"Aku akan langsung masuk kamar setelah masak. Siapa tau nanti malam Mas Karan lapar, kan kasihan kalau nggak ada apa-apa yang bisa dimakan."

Kiran dengan cekatan memasak beberapa menu makan malam. Bau harum yang menguar membuat perasaan sedihnya sedikit terobati. Setelahnya, ia pandangi baik-baik piring-piring menu yang sudah tersusun rapi, hasil jerih payahnya di atas meja makan.

"Tapi kalau ... Mas Karan nggak mau makan, gimana? Dia udah bilang nggak perlu, kan? Ya Tuhan, kenapa sih denganku ini?"

***

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Sebatas Istri Di Atas Kertas   Extra Part 4

    **Musim Panas, South Carolina.Emily menekan tombol bel apartemen Reita. Menunggu beberapa saat hingga si empunya apartemen membukakan pintu untuknya. “Hai, Rei,” sapa gadis itu sembari memamerkan senyum manisnya yang biasa.“Em?”“Sibuk?”“Tidak, aku sedang berkemas. Masuklah.”Raut wajah Emily seketika berbeda setelah mendengar kata-kata terakhir Reita. Ia melangkah masuk, dan mendapati sebuah koper besar yang terbuka di atas lantai.“Reita, kau berkemas?”“Yup. Aku akan pulang ke Jepang liburan musim panas ini.” Reita menjawab ringan dengan masih sibuk memilah ini itu. Tidak memperhatikan sama sekali wajah si gadis yang mendadak saja berubah menjadi mendung.“Kau sendiri akan ke mana, Em? Apakah sudah ada rencana?”Emily diam-diam memasukkan lagi dua lembar kertas yang tadinya akan ia tunjukkan kepada lelaki itu. Ia beranjak mendudukkan diri di sofa dan memilih memperhatikan Reita dari kejauhan saja.“Aku? Aku tidak pernah liburan ke mana-mana. Aku akan bekerja part time saja unt

  • Sebatas Istri Di Atas Kertas   Extra Part 3

    **Musim dingin, South Carolina.Lebih dari satu musim Reita Lee meninggalkan Kyoto yang tenteram dan damai untuk mengasingkan diri ke negeri Paman Sam yang justru sebenarnya bukan tujuan tepat. Seratus delapan puluh derajat berbeda dengan tempat asalnya, negeri matahari terbit yang penuh sopan santun. Beruntungnya, Reita memilih negara bagian Carolina selatan yang cukup ramah dan tenang jika dibanding dengan negara lain Amerika.Lebih dari satu musim berlalu, dan bahkan pria itu sudah menyingkir ke belahan bumi yang lain, namun ia belum juga bisa menghapus bayangan perempuan dari Indonesia itu. Kiran Cahya Rengganis, yang begitu ia kagumi sebab ketangguhannya menghadapi hidup.Reita merapatkan coat yang ia kenakan. Awal November datang, mengirim awan-awan kelabu yang sehari-hari bakal menumpahkan berjuta-juta kubik air langit dari pagi hingga malam. Hawa dingin dan muram memenuhi sudut kota indah itu.“I hate winter,” gerutu pria itu seraya mengamankan diri ke sebuah factory outlet s

  • Sebatas Istri Di Atas Kertas   Extra Part 2

    **“Pingsan lagi?”Karan sedang berada di kantor tempatnya bekerja saat mendapat telepon dari Mila. Tantenya itu mengatakan bahwa sang istri pingsan lagi di kafe, namun menolak dibawa ke rumah sakit.“Sekarang gimana, Tan?”“Nggak bisakah kamu pulang aja, begitu?”Karan menengok arloji yang melingkari pergelangan tangannya. Mendapati bahwa jam kantor memang segera berakhir.“Aku akan minta izin pulang cepet, deh. Bilang sama Kiran, tunggu sebentar, gitu, ya?”“Cepetan ya, Kar.”Terburu-buru, Karan menghadap manajer sekaligus rekan kerjanya untuk meminta izin pulang beberapa menit lebih awal. Sebenarnya tidak perlu minta izin secara formal juga tak mengapa. Sebab kepala manajer tersebut adalah sahabat Karan sendiri.Jadi tempat pria itu bekerja sekarang adalah sebuah homestay sekaligus agen wisata yang ia kelola bersama kawannya, seorang pria berkebangsaan Inggris. Bisnis kecil yang belakangan prospeknya berkembang semakin bagus.“What’s going on?” Pria bule bernama Steve itu bertanya

  • Sebatas Istri Di Atas Kertas   Extra Part 1

    **Kiran sebelumnya tidak pernah berani berekspektasi, apa yang terjadi saat sepasang pengantin baru berbulan madu. Pernikahan pertamanya dengan Karan dulu berjalan dengan amat suram, ingat?Jangankan bulan madu, tidur satu ranjang pun tidak terjadi. Meski pada akhirnya malam pertama itu tetaplah berlangsung, namun sudah lewat berbulan-bulan sejak hari pernikahan mereka. Tetaplah beda rasanya dengan yang sengaja melewatkan bulan madu dan malam pertama pada hari-hari pertama pernikahan.“Nikmati saja waktu kalian, nggak usah khawatir sama Axel. Tante yang akan jaga dia, meskipun kalian tinggal bulan madu satu bulan penuh,” goda Mila, beberapa hari setelah Kiran dan Karan sah sebagai sepasang suami istri.“Ah, Tante apa-apaan, sih.” Perempuan itu berusaha menyembunyikan rona wajahnya yang jelas tergambar di kedua pipi. Membuat Mila tergelak keras.“Aku sih gas aja mau berapa lama pun, Tan. Asal Kiran mau aja,” celetuk Karan, menambah panas suasana saja.“Kalian berdua emang pro banget k

  • Sebatas Istri Di Atas Kertas   102. Kembali Bersamamu

    **Kiran masih bisa mengingat dengan jelas, hari pernikahan pertamanya dengan Karan yang penuh dengan rasa sedih dan putus asa. Bagaimana pria itu tak henti melemparkan tatapan atau kata-kata yang sarat kebencian kepadanya. Bagaimana ia dengan sangat takut mencium tangan pria itu saat pak penghulu mengucap kata sah untuk pertama kalinya.Kemudian pada malam pertama, di mana ia harus tinggal satu kamar dengan Karan, kemudian hanya kata-kata menyakitkan hati yang ia terima alih-alih suasana hangat pengantin baru.Sekarang, pada pernikahan yang kedua, Kiran merasakan gugup pada skala yang sama, namun dengan suasana hati yang sangat amat berbeda. Gugup yang ini adalah … gugup yang menyenangkan. Ia takut sekali, namun juga tidak sabar.“Apa Mama takut? Mama takut apa?” Axel mendekat. Bocah kecil itu sudah berdandan dengan rapi. Nanti, Axel akan ikut ke kantor KBRI untuk mendapatkan surat pernyataan menikah dan beberapa prosedur lain yang harus dilakukan sebagaimana warga negara Indonesia y

  • Sebatas Istri Di Atas Kertas   101. Melamar

    **“Mas, jangan begini.” Kiran mendorong pelan bahu yang lebih tua. “Kita bukan lagi sepasang suami istri yang sah. Nggak enak kalau ada yang lihat nanti. Apalagi, ini udah tengah malam.”Membuat pelukan erat Karan terpaksa harus lepas meski ia menampakkan wajah yang sangat tidak rela.“Aku masih kangen,” gerutu pria itu pelan, “Apa nggak boleh kalau aku menginap di sini?”“Jangan sembarangan, Mas. Jangan kayak anak muda gitu, lah. Udah, sana pulang aja, kamu!”Karan mencebikkan bibir, membuat satu yang lain mau tak mau jadi gemas. Kiran bahkan sudah lupa kalau mantan suaminya ini pada suatu waktu yang lampau pernah memiliki sikap yang clingy begini.“Serius, aku nggak boleh menginap? Tetangganya pada jauh, kok. Nggak akan ada yang lihat.”“Mas, jangan macam-macam. Pulang sekarang, atau kamu nggak boleh datang lagi sama sekali?”Pria rupawan itu tertawa kecil. Ia raih kembali sang mantan istri ke dalam pelukan hangat serta mendaratkan kecupan singkat pada puncak kepala perempuan itu.

  • Sebatas Istri Di Atas Kertas   100. Ayo Kita Menikah Lagi

    **Kiran menemukan Mila sedang berada di dapur rumah. Perempuan itu tidak peduli sang tante sedang apa, ia menabrak tubuhnya dan memeluknya dari belakang. Diam dengan posisi seperti itu sampai beberapa saat waktu berlalu. “Kiran, hei … kok tiba-tiba?”Kiran tenggelamkan wajahnya di punggung sang tante sembari mendengung tidak jelas. Entah apa yang ia katakan.“Apa, sih? Tante nggak dengar kamu ngomong apa. Sini, biar Tante balik badan dulu, eh!”Perempuan itu mundur perlahan, membiarkan Mila membalikkan tubuh dan menghadap ke arahnya. Menemukan wajah yang lebih muda terlihat membara seperti sedang terkena demam.“Kamu baik-baik saja? Kok wajahnya merah begitu? Apa jangan-jangan kamu kedinginan? Karan biarin kamu di luar ruangan terlalu lama?”Tadinya, Kiran kan berpamitan untuk bertemu dengan Karan sebentar. Ketika pulang, kenapa keadaannya seperti ini?“Tante ….”“Gimana, Ki?”“Aku nggak menemukan alasan untuk menolak dia lagi.”Nah, sampai di titik ini, Mila akhirnya mengerti walau

  • Sebatas Istri Di Atas Kertas   99. Langkah Maju

    **“Axel sudah sembuh, Mama. Ayo kita pulang sekarang.”Bocah manis itu berujar dengan gembira setelah dua hari penuh berada di rumah sakit. Ia sudah kembali sehat dan ceria seperti biasa.“Mama, Axel mau sekolah. Axel boleh sekolah, kan?”“Jangan dulu.” Kiran mengusap surai hitamnya yang lembut. “Besok saja, ya. Kalau badannya sudah benar-benar enakan.”“Tapi sekarang nggak ada Rei-Sensei ya, Mama?” Axel bergumam, wajahnya mendadak murung saat menyebut nama Reita. “Nggak ada yang antar Axel dan ajakin Axel jalan-jalan beli taiyaki lagi.”“Kan bisa sama Mama,” hibur Kiran sembari memberikan senyuman manis lagi. Dua tahun dekat seperti ayah dan anak, tak pelak meninggalkan kenangan yang pasti sulit dilupakan oleh bocah itu.“Kenapa Rei-Sensei pergi ya, Mama?”“Kan Rei-Sensei sudah bilang kalau mau sekolah lagi, Nak. Beliau sedang mengejar cita-cita, jadi kita semua harus mendukung.”“Nggak ada yang ajak Axel jalan-jalan lagi.”“Siapa bilang? Kan bisa jalan-jalan sama Papa.”Sepasang ib

  • Sebatas Istri Di Atas Kertas   98. Telepon Tengah Malam

    **Kiran sungguh tidak ingin. Ia tidak ingin mendengar suara mantan suaminya, terutama pada tengah malam seperti ini. Namun suara rengekan lemah dari sang putra membuatnya tidak memiliki pilihan lain.“Telepon aja,” desak Mila, “Nggak ada salahnya, pun. Ini demi anak kalian.”Anak kalian? Betapa anehnya istilah itu. Kiran yang susah payah membesarkan Axel sendirian rasanya tidak rela jika ada yang menyebut bocah manis itu anak orang lain.“Kiran, ayolah. Apa lagi yang kamu tunggu?”“Baiklah, baiklah.” Kesal, namun Kiran tidak bisa menolak. Ia kemudian menjauh sementara mendial nomor ponsel Karan yang sebelumnya sudah disimpan Mila di sana. Setengah berharap pria itu sudah jauh terlelap dan tidak akan mengangkat panggilannya. Namun apa yang terjadi, justru pada dengung nada sambung detik pertama, teleponnya seketika diangkat.“Kiran?” Suara husky itu terdengar dari seberang, membuat Kiran buru-buru berdehem untuk mengatasi gugup. “Ada apa, Kiran? Kenapa menelepon malam-malam?”“Sorry,

Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status