Share

3. Rumah Baru

**

Kiran hanya bisa membisu sepanjang jalan. Sampai mobil hitam yang dikemudikan Karan memasuki pelataran sebuah rumah bergaya minimalis modern yang masih tampak baru. Rumah ini hadiah dari Herman dan Soraya untuk pernikahan sang putra tunggal.

Well, home sweet home.

"Bawa sendiri barang-barangmu!" titah Karan, yang disambut anggukan singkat dari sang istri. Perempuan itu nyaris menyahut 'sudah tahu', tapi ia pun tahu sebaiknya jangan.

"Ini kamarku." Pria dua puluh tujuh tahun itu menyebut dengan dingin saat keduanya mencapai pintu pertama pada lantai dua. "Jangan pernah masuk kamarku dengan alasan apapun."

"T-tapi, Mas–"

"Sudah aku bilang, status suami istri ini cuma sekedar status, Kiran."

"Ba-bagaimana kalau kamar kamu kotor? Aku cuma akan masuk buat bersihkan."

"Nggak perlu. Aku bisa lakukan sendiri. Sekarang minggir, aku mau istirahat."

Seraya menggeser posisinya, Kiran membuang napas dengan masam. Tidak akan ia temukan ungkapan rumahku surgaku di tempat ini sampai kapanpun. Ketika ia memijak lantai rumah dan memasuki pintu untuk pertama kalinya tadi, saat itulah ia tahu segala kebahagiaan hidupnya sudah tergadai habis. Maka, dengan lunglai perempuan itu melangkah menuju pintu kedua yang ia temukan. Tak peduli bagaimana rupa kamar di balik pintu itu, ia menyeret masuk kopernya.

"Berapa lama aku bisa bertahan dengan keadaan seperti ini?" Perempuan itu bergumam kepada dirinya sendiri setelah menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. "Dan berapa lama dia juga bisa bertahan dengan sikapnya yang keterlaluan itu? Aku ngerasa diriku cuma parasit yang numpang hidup kalau melihat caranya memandangku."

Kiran menatap langit-langit kamar dalam diam. Bahkan suara desir angin pun kedengaran kencang karena begitu sunyinya tempat ini.

"Aku jauh lebih baik-baik aja hidup sendiri. Kenapa Ibu dan Ayah maksa banget buat aku menikah sama anaknya? Padahal mereka juga tahu, Mas Karan nggak pernah suka sama aku sedikitpun."

Berbagai pikiran itu berputar-putar dalam kepala Kiran tanpa bisa ia cegah. Hingga tanpa sadar dirinya memejamkan mata dan waktu berlalu hingga beberapa saat.

Saat Kiran membuka mata kembali, ia dilanda panik hebat. Matahari sudah tidak lagi berada pada garis edarnya. Langit menggelap di luar sana, pun kamarnya yang tadi ketika datang lampunya belum dinyalakan, kini gelap gulita. Perempuan itu meraba-raba, mencari tombol saklar.

"Mas? Astaga, aku ketiduran. Kamu udah makan? Mau dimasakin dulu?" Perempuan bersurai sepanjang bahu itu menawarkan dengan masih panik kepada Karan yang berada di ruang tengah.

Karan melirik sekilas dari atas layar ponsel yang sedang ia pegang. Laptop terbuka dan kertas-kertas bertebaran di sekeliling meja. Sepertinya ia tengah bekerja.

"Nggak perlu."

"Mas, aku bener-bener minta maaf. Aku–"

"Baru satu hari aja kamu udah kacau balau. Masih mau mimpi jadi istriku?"

Hati Kiran kembali disengat rasa nyeri saat mendengar hal itu. Ia berdiri menunduk seraya meremas ujung blus yang dikenakannya. "Aku ketiduran, Mas. Bener-bener capek karena beberapa hari belakangan nggak sempet istirahat dengan bener."

"Nah, maka dari itu aku bilang nggak perlu. Aku harus kerja, jadi sebaiknya kamu pergi."

Diam lagi selama beberapa detik, Kiran buru-buru kembali menawarkan. "Kamu mau aku bikinin minum, Mas?"

"Nggak."

Laki-laki itu menjawab sambil lalu, jadi Kiran pikir itu hanya jawaban basa-basi. Maka ia melangkah menuju dapur untuk membuatkan secangkir kopi. Ruangan-ruangan rumah ini beserta seluruh isinya sudah ditata sedemikian rupa oleh Soraya. Kiran sangat bersyukur, betapa baik hati mertuanya itu.

"Mas, aku bikinin kopi hangat, ya. Biar kamu nggak ngantuk kerjanya." Diiringi seulas senyum manis, Kiran membawa nampan kecil berisi secangkir kopi hitam untuk Karan. Namun, apa yang terjadi?

"Memangnya siapa yang minta?"

"Ak-aku pikir, kamu akan suka–"

"Kamu mau bunuh aku?"

"Hah?" Otomatis Kiran terbelalak. "Apa maksudnya, Mas? Ini cuma kopi."

"Cuma kopi menurutmu, tapi itu bisa membunuhku! Makanya lain kali sebelum ngelakuin sesuatu itu tanya dulu! Lagian tadi aku sudah bilang nggak, kan? Nggak usah caper, nggak guna!"

Kiran terkesiap. Darahnya terasa berdesir hebat mendengar kata-kata sedingin bongkahan es kutub itu. Sungguh, niat Kiran hanya ingin membuatkan minuman karena suaminya tampak lelah bekerja. Ia tidak tahu di mana letak kesalahannya.

"Ak-aku minta maaf–"

"Sudahlah! Aku bilang berkali-kali, kita bukan apa-apa. Kamu nggak usah berlagak jadi istri betulan. Lagian aku jamin, seberapa keras pun kamu berusaha cari perhatian, aku nggak akan pernah tertarik sama kamu, Kiran!"

Berapa kali dalam sehari Kiran harus mendengar kata-kata yang terasa seperti menikam jantungnya itu?

"Mas ... aku hanya nggak enak kalau nggak melakukan apa-apa."

"Jauh lebih baik nggak usah lakukan apa-apa dan sembunyikan dirimu dari pandanganku! Hanya dengan lihat kamu berkeliaran aja, udah bikin hari-hariku seperti kena kutukan!"

Dan pria itu pergi, meninggalkan Kiran yang masih tertegun di tempat. Ia tidak ingin menangis, tapi air mata jatuh dengan sendirinya dari sela-sela netra cokelatnya yang sudah lama berkabut. Sesulit inikah memposisikan diri? Tapi perempuan itu hanya menggeleng seraya membawa nampan berisi kopi kembali ke dapur. Duduk diam di sana selama beberapa waktu dengan hati masih nyeri.

Atas dasar apa Bapak dan Mamaknya yang sudah tiada menjalin janji dengan Herman dan Soraya untuk menikahkan dirinya dengan Karan?

"Bapak dan Mamak adalah sahabat Ibu Soraya dan Pak Herman sejak masih remaja, Nak. Kami sudah berjanji menjadi besan kalau punya putra dan putri. Kebetulan sekali, kan? Kami punya kamu, dan mereka punya Nak Karan. Nah, bahkan kami memberi kalian nama yang serupa. Berharap kalian memang menjadi jodoh sehidup semati."

Nah, itu. Air mata Kiran kian deras berjatuhan kala mengingat kembali pengakuan ibunya beberapa waktu sebelum meninggal dalam kecelakaan.

"Apa Bapak dan Mamak tau kalau pada akhirnya aku harus tersiksa batin seperti ini? Benar, Mas Karan itu tampan dan punya kehidupan mapan. Tapi apa kalian nggak memikirkan bagaimana perasaanku? Karena nggak akan pernah ada rasa cinta di antara aku dengan dia, bagaimanapun aku berusaha."

Percuma ditangisi, toh menangis tidak akan mengubah yang sudah terjadi. Kiran membersit air matanya sebelum bangkit dari kursi dapur dan memandang sekitar. Tidak tampak tanda-tanda Karan sudah makan malam, maka perempuan itu kembali keras kepala dengan mulai membuka kulkas dan mengeluarkan beberapa bahan.

"Aku akan langsung masuk kamar setelah masak. Siapa tau nanti malam Mas Karan lapar, kan kasihan kalau nggak ada apa-apa yang bisa dimakan."

Kiran dengan cekatan memasak beberapa menu makan malam. Bau harum yang menguar membuat perasaan sedihnya sedikit terobati. Setelahnya, ia pandangi baik-baik piring-piring menu yang sudah tersusun rapi, hasil jerih payahnya di atas meja makan.

"Tapi kalau ... Mas Karan nggak mau makan, gimana? Dia udah bilang nggak perlu, kan? Ya Tuhan, kenapa sih denganku ini?"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status