**
Kiran hanya bisa membisu sepanjang jalan. Sampai mobil hitam yang dikemudikan Karan memasuki pelataran sebuah rumah bergaya minimalis modern yang masih tampak baru. Rumah ini hadiah dari Herman dan Soraya untuk pernikahan sang putra tunggal.Well, home sweet home."Bawa sendiri barang-barangmu!" titah Karan, yang disambut anggukan singkat dari sang istri. Perempuan itu nyaris menyahut 'sudah tahu', tapi ia pun tahu sebaiknya jangan."Ini kamarku." Pria dua puluh tujuh tahun itu menyebut dengan dingin saat keduanya mencapai pintu pertama pada lantai dua. "Jangan pernah masuk kamarku dengan alasan apapun.""T-tapi, Mas–""Sudah aku bilang, status suami istri ini cuma sekedar status, Kiran.""Ba-bagaimana kalau kamar kamu kotor? Aku cuma akan masuk buat bersihkan.""Nggak perlu. Aku bisa lakukan sendiri. Sekarang minggir, aku mau istirahat."Seraya menggeser posisinya, Kiran membuang napas dengan masam. Tidak akan ia temukan ungkapan rumahku surgaku di tempat ini sampai kapanpun. Ketika ia memijak lantai rumah dan memasuki pintu untuk pertama kalinya tadi, saat itulah ia tahu segala kebahagiaan hidupnya sudah tergadai habis. Maka, dengan lunglai perempuan itu melangkah menuju pintu kedua yang ia temukan. Tak peduli bagaimana rupa kamar di balik pintu itu, ia menyeret masuk kopernya."Berapa lama aku bisa bertahan dengan keadaan seperti ini?" Perempuan itu bergumam kepada dirinya sendiri setelah menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. "Dan berapa lama dia juga bisa bertahan dengan sikapnya yang keterlaluan itu? Aku ngerasa diriku cuma parasit yang numpang hidup kalau melihat caranya memandangku."Kiran menatap langit-langit kamar dalam diam. Bahkan suara desir angin pun kedengaran kencang karena begitu sunyinya tempat ini."Aku jauh lebih baik-baik aja hidup sendiri. Kenapa Ibu dan Ayah maksa banget buat aku menikah sama anaknya? Padahal mereka juga tahu, Mas Karan nggak pernah suka sama aku sedikitpun."Berbagai pikiran itu berputar-putar dalam kepala Kiran tanpa bisa ia cegah. Hingga tanpa sadar dirinya memejamkan mata dan waktu berlalu hingga beberapa saat.Saat Kiran membuka mata kembali, ia dilanda panik hebat. Matahari sudah tidak lagi berada pada garis edarnya. Langit menggelap di luar sana, pun kamarnya yang tadi ketika datang lampunya belum dinyalakan, kini gelap gulita. Perempuan itu meraba-raba, mencari tombol saklar."Mas? Astaga, aku ketiduran. Kamu udah makan? Mau dimasakin dulu?" Perempuan bersurai sepanjang bahu itu menawarkan dengan masih panik kepada Karan yang berada di ruang tengah.Karan melirik sekilas dari atas layar ponsel yang sedang ia pegang. Laptop terbuka dan kertas-kertas bertebaran di sekeliling meja. Sepertinya ia tengah bekerja."Nggak perlu.""Mas, aku bener-bener minta maaf. Aku–""Baru satu hari aja kamu udah kacau balau. Masih mau mimpi jadi istriku?"Hati Kiran kembali disengat rasa nyeri saat mendengar hal itu. Ia berdiri menunduk seraya meremas ujung blus yang dikenakannya. "Aku ketiduran, Mas. Bener-bener capek karena beberapa hari belakangan nggak sempet istirahat dengan bener.""Nah, maka dari itu aku bilang nggak perlu. Aku harus kerja, jadi sebaiknya kamu pergi."Diam lagi selama beberapa detik, Kiran buru-buru kembali menawarkan. "Kamu mau aku bikinin minum, Mas?""Nggak."Laki-laki itu menjawab sambil lalu, jadi Kiran pikir itu hanya jawaban basa-basi. Maka ia melangkah menuju dapur untuk membuatkan secangkir kopi. Ruangan-ruangan rumah ini beserta seluruh isinya sudah ditata sedemikian rupa oleh Soraya. Kiran sangat bersyukur, betapa baik hati mertuanya itu."Mas, aku bikinin kopi hangat, ya. Biar kamu nggak ngantuk kerjanya." Diiringi seulas senyum manis, Kiran membawa nampan kecil berisi secangkir kopi hitam untuk Karan. Namun, apa yang terjadi?"Memangnya siapa yang minta?""Ak-aku pikir, kamu akan suka–""Kamu mau bunuh aku?""Hah?" Otomatis Kiran terbelalak. "Apa maksudnya, Mas? Ini cuma kopi.""Cuma kopi menurutmu, tapi itu bisa membunuhku! Makanya lain kali sebelum ngelakuin sesuatu itu tanya dulu! Lagian tadi aku sudah bilang nggak, kan? Nggak usah caper, nggak guna!"Kiran terkesiap. Darahnya terasa berdesir hebat mendengar kata-kata sedingin bongkahan es kutub itu. Sungguh, niat Kiran hanya ingin membuatkan minuman karena suaminya tampak lelah bekerja. Ia tidak tahu di mana letak kesalahannya."Ak-aku minta maaf–""Sudahlah! Aku bilang berkali-kali, kita bukan apa-apa. Kamu nggak usah berlagak jadi istri betulan. Lagian aku jamin, seberapa keras pun kamu berusaha cari perhatian, aku nggak akan pernah tertarik sama kamu, Kiran!"Berapa kali dalam sehari Kiran harus mendengar kata-kata yang terasa seperti menikam jantungnya itu?"Mas ... aku hanya nggak enak kalau nggak melakukan apa-apa.""Jauh lebih baik nggak usah lakukan apa-apa dan sembunyikan dirimu dari pandanganku! Hanya dengan lihat kamu berkeliaran aja, udah bikin hari-hariku seperti kena kutukan!"Dan pria itu pergi, meninggalkan Kiran yang masih tertegun di tempat. Ia tidak ingin menangis, tapi air mata jatuh dengan sendirinya dari sela-sela netra cokelatnya yang sudah lama berkabut. Sesulit inikah memposisikan diri? Tapi perempuan itu hanya menggeleng seraya membawa nampan berisi kopi kembali ke dapur. Duduk diam di sana selama beberapa waktu dengan hati masih nyeri.Atas dasar apa Bapak dan Mamaknya yang sudah tiada menjalin janji dengan Herman dan Soraya untuk menikahkan dirinya dengan Karan?"Bapak dan Mamak adalah sahabat Ibu Soraya dan Pak Herman sejak masih remaja, Nak. Kami sudah berjanji menjadi besan kalau punya putra dan putri. Kebetulan sekali, kan? Kami punya kamu, dan mereka punya Nak Karan. Nah, bahkan kami memberi kalian nama yang serupa. Berharap kalian memang menjadi jodoh sehidup semati."Nah, itu. Air mata Kiran kian deras berjatuhan kala mengingat kembali pengakuan ibunya beberapa waktu sebelum meninggal dalam kecelakaan."Apa Bapak dan Mamak tau kalau pada akhirnya aku harus tersiksa batin seperti ini? Benar, Mas Karan itu tampan dan punya kehidupan mapan. Tapi apa kalian nggak memikirkan bagaimana perasaanku? Karena nggak akan pernah ada rasa cinta di antara aku dengan dia, bagaimanapun aku berusaha."Percuma ditangisi, toh menangis tidak akan mengubah yang sudah terjadi. Kiran membersit air matanya sebelum bangkit dari kursi dapur dan memandang sekitar. Tidak tampak tanda-tanda Karan sudah makan malam, maka perempuan itu kembali keras kepala dengan mulai membuka kulkas dan mengeluarkan beberapa bahan."Aku akan langsung masuk kamar setelah masak. Siapa tau nanti malam Mas Karan lapar, kan kasihan kalau nggak ada apa-apa yang bisa dimakan."Kiran dengan cekatan memasak beberapa menu makan malam. Bau harum yang menguar membuat perasaan sedihnya sedikit terobati. Setelahnya, ia pandangi baik-baik piring-piring menu yang sudah tersusun rapi, hasil jerih payahnya di atas meja makan."Tapi kalau ... Mas Karan nggak mau makan, gimana? Dia udah bilang nggak perlu, kan? Ya Tuhan, kenapa sih denganku ini?"*****"Nggak disentuh sama sekali?"Kiran menatap dengan nanar piring-piring berisi masakan yang ia buat semalam. Tak secuil pun makanan itu tampak berkurang. Namun, yang menyakitkan adalah ia justru menemukan bungkus mie cup di dalam tempat sampah. Karan lebih memilih makan malam dengan mi instan daripada makan masakan buatannya. Menghela napas lelah, perempuan itu masih berusaha tersenyum saat mengeluarkan masakannya dari dalam lemari pendingin."Yah, untung aja aku masukin kulkas, jadi masih bisa diangetin dan dimakan lagi. Walaupun mungkin yang makan tetap aku sendiri."Masih berusaha berpikir positif, perempuan itu berniat membuatkan minuman untuk sang suami yang setelah ini mungkin akan berangkat ke kantor. Teringat kembali peristiwa semalam yang mana Karan marah-marah hanya karena secangkir kopi, kali ini Kiran akan mencoba menyiapkan segelas susu saja. Nah, setengah jam kemudian saat jarum jam menunjuk angka setengah delapan pagi, Karan keluar dari kamarnya dengan pakaian kerja y
**Kiran memandang gedung besar di seberang jalan dengan sedikit takjub. Tidak mengira bahwa suaminya bekerja di tempat seperti ini."Ini bener kan alamatnya? Ibu nggak salah kasih alamat kan, ya?" Perempuan itu bergumam kepada dirinya sendiri sementara memandang sekali lagi layar ponselnya untuk memastikan. "Ah, kayaknya sih bener yang ini kantornya Mas Karan. Oke, mungkin aku harus tanya aja sama sekuriti yang jaga."Pada titik ini, Kiran merasa benar-benar tidak mengenal suaminya sendiri. Bagaimana mungkin ia bisa menjalin pernikahan dengan lelaki itu, sementara di mana ia bekerja saja tidak pernah tahu. Sedikit ragu, akhirnya ia tetap melajukan motor matic-nya menyeberang jalan dan berniat memasuki pintu gerbang yang dijaga petugas sekuriti."Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" Lelaki berseragam berusia separuh baya itu bertanya dengan ramah ketika Kiran tiba di sana."Oh ... saya bisa ketemu sama Mas Karan nggak, Pak?" Kiran menjawab dengan mengulas senyum tipis."Mas Karan?" Sekuri
**Masih seperti kemarin, Kiran memandang mobil hitam yang berlalu meninggalkan halaman melalui kaca jendela lantai dua. Setelah semalam Karan marah-marah dan membanting pintu di depan wajah Kiran, pagi ini berlalu tanpa drama apapun. Benar, Kiran memilih keluar kamar setelah lelaki itu selesai bersiap-siap dan pergi bekerja. Ia memilih tidak menampakkan diri sedikitpun demi menjaga pagi hari yang tetap damai.Perempuan itu hendak masuk ke kamar mandi saat suara dering ponsel menghentikan langkahnya."Halo, Ibu?" Ternyata Soraya yang menelepon. "Tumben nelepon pagi-pagi? Ada apa?""Nggak apa-apa, Ki." Suara Soraya menyambut dari seberang sana. "Kamu lagi sibuk, kah?""Ah, enggak. Aku lagi mau mandi, Bu.""Karan udah berangkat, ya?""Udah, baru aja berangkat." kiran menelan saliva. Berharap ibu mertuanya tidak bertanya yang aneh-aneh perihal kehidupan rumah tangganya yang tragis."Ibu pengen main ke sana, dong.""Ah? Main ke sini?""Iya, Nak. Ibu kan sama sekali belum pernah nengokin k
**Mungkin sekarang sudah tengah malam. Entahlah, Kiran tidak tahu. Ia tidak membawa ponselnya. Perempuan itu hanya merasa telah duduk di halaman belakang rumahnya sejak berjam-jam yang lalu. Berkali-kali membersit air matanya yang terus-terusan luruh tanpa bisa ia cegah.Jadi ternyata Karan sudah memiliki kekasih sebelum ini? Pantaslah mengapa sikapnya sangat dingin kepada Kiran. Sedikitpun tak bisa disentuh bagaimanapun Kiran berusaha."Dan kamu biarin aku membadut selama beberapa waktu belakangan ini, Mas?" Kiran berbisik lirih kepada dirinya sendiri. Tersenyum pahit, merasakan sengatan nyeri lagi-lagi meremas hatinya kala ia mengingat kembali perempuan cantik yang dibawa pulang suaminya. Ah, siapa namanya tadi?"Kalau sudah tau begini, lantas apalagi yang harus kita pertahankan? Kalau alasanmu nggak bisa mencintaiku adalah karena belum terbiasa, mungkin aku bisa menunggu. Tapi ternyata alasanmu adalah ini, jadi apalagi yang bisa menahanku?" Kiran menghela napas dalam-dalam sebelum
**"Tolong maafkan kalau Kiran memilih berhenti. Karena ini terlalu sakit."Kembali terbayang raut tampan itu. Teringat saat pertama kali ayahanda Kiran mengenalkannya kepada putra sahabat karibnya. Kiran terkesima. Dialah Karan, yang memiliki nama hampir mirip dengan dirinya. Yang memiliki paras mempesona, yang mulai dari detik itu juga, sama sekali tidak bisa Kiran usir bayangannya dari dalam benak.Ya, ya. Nevia benar. Kiran mengakui bahwa dirinya sudah jatuh cinta diam-diam kepada lelaki itu, jauh-jauh sebelum kisah ini dimulai. Walau pada akhirnya harus bertepuk sebelah tangan."Kita memang nggak jodoh." Kiran berkata pelan kepada dirinya sendiri. "Gimanapun dipaksa untuk bersama, kalau kita nggak jodoh, ya nggak akan bisa bersama."Semalaman Kiran terjaga, menunggu pagi datang. Selama itu pula air matanya tidak bisa berhenti. Merasa demikian naif karena berani-beraninya sempat bermimpi bisa membangun rumah tangga yang indah bersama Karan, dan mungkin anak-anak mereka nanti. Saat
**"Karan, apa-apaan kamu? Bilang sama Ibu, apa maksudmu?"Soraya menunjuk muka putra semata wayangnya yang saat itu masih terpaku di ambang pintu. Belum sempat masuk apalagi mendudukkan diri di atas sofa, ia sudah disambut oleh hawa-hawa kemarahan dari ibunya."Jadi ini yang bikin Kiran sampai minta berpisah sama kamu, ha? Ibu nggak nyangka, Kar! Bisa-bisanya!"Karan menyipitkan mata. Atensinya melayang dan jatuh kepada Kiran yang seketika gemetar karena situasi tidak kondusif itu."Apa aja yang udah diceritain perempuan itu sama Ibu?" Ia berucap dengan nada suara sedingin es kutub."Apa maksudmu?""Apa aja yang udah dia aduin? Dia udah kasih pengaruh buruk ke Ayah sama Ibu dengan sandiwaranya? Berlagak seakan dirinya yang paling teraniaya?"Demi Tuhan! Kiran sampai terhenyak kaget mendengar tuduhan tak berdasar yang barusan dialamatkan kepadanya. Ia menggeleng kuat-kuat."Mas, aku nggak–""Apa? Nggak apa? Masih mau mengelak? Hal buruk apa aja yang udah kamu ceritain sama Ibu tentang
**"Silakan kamu bawa pergi pacarmu!"Karan merasa emosi menggelegak naik hingga mencapai puncak kepalanya saat mendengar ibunya berkata demikian. Soraya benar-benar lebih berat kepada Kiran. Kiran yang notabene bukanlah siapa-siapanya, daripada kepada dirinya yang adalah putra kandung satu-satunya."Karan yakin, Ibu akan menyesali hari ini." Lelaki rupawan itu berkata pelan dengan tajam sebelum menggandeng kekasihnya untuk menjauh dari ruang tamu."Nggak akan.""Karan nggak akan lagi menemui ibu untuk alasan apapun.""Ibu, Ibu nggak ingin ini terjadi, kan?" Sementara itu Kiran masih mencoba membujuk. Siapa tahu saja Soraya berubah pikiran dan mau menarik kembali kata-katanya. "Mas Karan tenang aja. Ini cuma emosi sesaat. Nanti kalau Ibu udah tenang, Mas Karan balik aja ke sini. Kita omongin lagi semuanya baik-baik.""Kiran, berhenti belain dia!" timpal Soraya, masih dengan emosi. "Dia udah jelas-jelas jahat sama kamu, kenapa kamu masih terus belain dia begitu?"Kiran hanya menggeleng
**"Mas Karan, Ya Tuhan, Mas!"Kedua netra Kiran membulat sempurna. Tubuhnya terasa ringan seperti akan oleng dan ambruk, namun ia buru-buru berusaha menguasai diri. Kepalanya terasa pening, terlebih lagi sebab kerumunan orang-orang yang kini menjatuhkan perhatian kepadanya."Mbaknya kenal sama korban?""Keluarganya, ya?""Oh, syukurlah ada yang kenal.""Mbak, kasihan banget itu. Kayaknya parah."Kata-kata itu seperti mendengung di telinga Kiran. Ia benar-benar nyaris pingsan menyaksikan lengan pucat yang teronggok di bawah himpitan rongsokan baja serta kaca yang berserakan itu."Kenapa nggak ada yang nolong?" Kiran mendengar dirinya sendiri menjerit keras. "Kenapa nggak ada yang bantu? Tolong suami saya, tolong!"Air mata jatuh berhamburan. Rasa panik dan ketakutan menyebar seperti racun dalam pembuluh darah. Kiran seperti hilang akal. Ia terus menjerit, berteriak meminta pertolongan untuk suaminya. Walau nyatanya tak seorangpun berani mendekat. Wajar saja, butuh petugas dengan alat