Share

Sebatas Istri Di Atas Kertas
Sebatas Istri Di Atas Kertas
Penulis: Anindya Alfarizi

1. Hari Pernikahan

**

"Saya terima nikah dan kawinnya Kiran ... Kiran Cahya Rengganis ... dengan mas kawin yang tersebut ...."

Tatapan kosong. Hela napas panjang yang terdengar berat dan gusar. Tak ada raut bahagia sama sekali meski menurut sebagian besar orang, ini adalah hari bahagia.

"Dibayar tunai."

"Alhamdulilah, sah para saksi?"

"Alhamdulilah, sah!"

Hadirin sekalian menangkup kedua tangan, mengucap syukur. Mengamini doa yang dibacakan oleh Pak penghulu kemudian. Gumaman bernada lega terdengar bersahutan di sana-sini selepas ijab qabul berhasil diucapkan dan dinyatakan sah.

Namun, tatapan itu masih tetap kosong tanpa minat sama sekali. Hingga pak penghulu yang agak bingung berdehem serta mengucap titah setengah bergurau.

"Mas Karan? Eh, kalian sudah sah menjadi pasangan suami-istri loh sekarang. Mbak Kiran? Sudah boleh cium tangan suaminya. Sok atuh, monggo!" Lelaki paruh baya itu tersenyum ramah. Terkekeh geli melihat penampakan sepasang pengantin kaku di hadapannya. Dalam hati agak kagum separuh heran, mengingat pada jaman seperti ini masih ada saja pasangan muda yang malu-malu kucing begini. Karena biasanya ia justru menikahkan pasangan yang bukannya malu-malu, tapi memalukan.

"Ah? Baik, Pak."

"Ayo, dong. Mas Karan jangan malu-malu begitu. Kita semua sedang berbahagia sekarang."

Sang mempelai putri, gadis manis bernama Kiran Cahya Rengganis itu terhenyak seperti baru sadar dari lamunan panjang. Perlahan menggeser tubuhnya menghadap sang suami. Mengulurkan tangan putihnya yang gemetar di tengah udara selama beberapa detik sebelum tangan laki-laki tampan di hadapannya itu menyambut kaku penuh keterpaksaan.

Kiran menunduk, mencium punggung tangan suaminya dengan takdzim. Lantas keduanya buru-buru melepas pegangan mereka, dan kembali menghadap pak penghulu yang masih juga terkekeh tak puas-puas. Sekarang, kedua mempelai mendapat atensi penuh dari para hadirin. Betapa serasinya, kata mereka.

Kiran begitu menawan dalam balutan kebaya putih cantik dengan wajah dibingkai make up minimalis. Sementara sang mempelai pria, Karan Raditya Gathfan, tampil tak kalah memukau. Suit berwarna senada tampak begitu pas membalut tubuhnya yang tegap.

Jika saja di antara para hadirin ini ada yang lebih cermat memperhatikan, maka mereka akan tahu. Selain pasangan serasi yang tampan rupawan dan cantik paripurna, kedua mempelai ini memancarkan satu lagi aura yang identik ; Menderita tekanan batin yang sama.

"Kita cuma menikah, bukan berarti harus menjadi pasangan suami istri seperti pada umumnya." Karan berucap dengan tajam pada malam harinya. Ketika acara sudah usai dan Kiran memasuki kamar pengantin yang sudah didekorasi sedemikian manisnya. Ada kelopak-kelopak bunga mawar merah yang bertebaran di atas ranjang.

Perempuan itu hanya membisu mendengar penuturan lelaki yang siang tadi mengucap janji menjadi imamnya di hadapan penghulu dan sejumlah saksi.

"Malam ini kita masih di sini, jadi aku biarin kamu berada dalam kamar yang sama dengan aku. Tapi besok begitu kita pindah, jangan harap aku sudi lihat penampakanmu berada dalam satu ruangan sama aku lagi."

Tajam seperti mata pisau. Kiran hanya bergumam mengiyakan sementara membuka lemari untuk mencari sesuatu guna menukar kebaya putihnya dengan baju yang lebih nyaman. Sementara Karan melesat pergi dari kamar setelah berkata demikian. Oh, sial sekali, mengapa tidak ada baju sepotong pun di dalam lemari raksasa ini?

"Ibu?" Kiran mengendap-endap ke luar kamar, mendatangi ibu mertuanya yang masih sibuk membereskan beberapa urusan. "Ibu, apa Ibu simpan tas yang tadi aku bawa?"

"Tas?" Wanita berusia sekitar lima puluhan tahun itu menoleh dan mengernyit.

"Aku perlu bajunya. Masa sampai besok pakai kebaya begini." Kiran tersenyum seraya menunjuk kebaya putihnya yang belum diganti. "Ibu simpan tas aku, kan?"

"Aah ...." Di luar dugaan, sang ibu mertua justru tersenyum lebar. "Kan udah ada baju di dalam lemari. Kamu pasti belum lihat. Udah sana, periksa dulu."

"Ah, tap–"

"Ibu yang siapin. Dipakai, ya. Awas kalau nggak dipakai!"

Terpaksa kembali lagi ke kamar Karan dengan tangan hampa, Kiran membuka sekali lagi lemari berwarna putih di sana. Berharap menemukan sesuatu yang mungkin terlewat ia periksa. Sesuatu yang lebih layak dipakai. Karena demi Tuhan, apa-apaan yang ada di dalam lemari ini?

"Ibu nggak salah? Masa aku harus pakai ini?"

Panik, Kiran mengangkat tinggi-tinggi dan membolak-balik baju dalam gantungan itu. Penuh renda-renda dan bentuknya seperti gaun anak-anak. Hanya saja ini ... tanpa warna. Menerawang transparan. Ini Lingerie, yeah.

Suara pintu terbuka membuat perempuan dua puluh empat tahun itu terlonjak kaget. Ia masih memegang baju itu di depan wajahnya saat Karan masuk. Sekarang lelaki itu sedang memandangnya dengan raut jijik penuh cela.

"Mau apa kamu dengan benda itu?"

"Ah, ini ...." Kiran gelagapan, tidak tahu harus menjawab apa.

"Kamu mau pakai benda seperti itu sekarang?" Karan sekali lagi memandang meremehkan. Ia mendengus tertawa, di luar dugaan. "Dengar, jangankan pakai baju seperti itu, kamu mau ngerayu aku dengan telanjang di depanku pun aku nggak akan pernah tergoda. Mau kamu dandan seperti bidadari pun, aku nggak akan pernah tertarik denganmu. Jangan maksa, sampai kapanpun kamu nggak akan pernah terlihat di mataku."

Kiran menunduk. Ia bisa apa memangnya? Pernikahan ini memang bukan keinginannya, apalagi keinginan Karan. Entah perjanjian apa yang sudah dibuat kedua orang tuanya dan orang tua lelaki itu, hingga satu bulan yang lalu saat Kiran masih berduka karena ayah dan ibunya baru saja meninggal karena kecelakaan, orang tua Karan malah datang melamar. Memintanya menjadi menantu mereka, mutlak tanpa menerima penolakan.

"Bukan begitu, Mas," lirih Kiran hati-hati kemudian. "Aku udah tanya Ibu, tadi aku bawa baju ganti sendiri. Tapi kata Ibu, aku harus pakai yang ada di dalam lemari. Tasku disimpan sama Ibu."

"Ya udah, sana pakai! Bukannya aku udah bilang, kamu telanjang pun aku nggak peduli."

Nyeri rasa hati Kiran. Sejujurnya ia juga tidak mau pakai benda seperti ini. Hanya saja benar-benar tidak ada yang lain. Kebaya ini terlalu berat karena memiliki payet manik-manik di ujungnya. Tidak nyaman jika dipakai terlalu lama.

Ah, dan lagi Karan masih berada di sini. Bingung sekali, Kiran ragu-ragu melangkah ke kamar mandi untuk menukar pakaiannya. Tidak mungkin kan ia berganti di depan lelaki itu?

Seperempat jam berada di kamar mandi, Kiran akhirnya memberanikan diri keluar. Kedua tangannya berusaha sebisa mungkin menutupi bagian depan tubuhnya yang walaupun tertutup fabrik, tapi percuma saja sebab lingerie itu transparan.

Karan yang masih berdiri di tempatnya tadi, melirik sekilas. Menampakkan raut muak luar biasa dari balik layar ponselnya.

"Kamu berharap apa?" tanyanya dengan nada sarkasme kepada Kiran yang masih sangat rikuh. "Wajahmu merah padam begitu, apa yang kamu harapkan dari aku?"

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Andi Andriani
semangat nulisnya ya thor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status