**
"Saya terima nikah dan kawinnya Kiran ... Kiran Cahya Rengganis ... dengan mas kawin yang tersebut ...."Tatapan kosong. Hela napas panjang yang terdengar berat dan gusar. Tak ada raut bahagia sama sekali meski menurut sebagian besar orang, ini adalah hari bahagia."Dibayar tunai.""Alhamdulilah, sah para saksi?""Alhamdulilah, sah!"Hadirin sekalian menangkup kedua tangan, mengucap syukur. Mengamini doa yang dibacakan oleh Pak penghulu kemudian. Gumaman bernada lega terdengar bersahutan di sana-sini selepas ijab qabul berhasil diucapkan dan dinyatakan sah.Namun, tatapan itu masih tetap kosong tanpa minat sama sekali. Hingga pak penghulu yang agak bingung berdehem serta mengucap titah setengah bergurau."Mas Karan? Eh, kalian sudah sah menjadi pasangan suami-istri loh sekarang. Mbak Kiran? Sudah boleh cium tangan suaminya. Sok atuh, monggo!" Lelaki paruh baya itu tersenyum ramah. Terkekeh geli melihat penampakan sepasang pengantin kaku di hadapannya. Dalam hati agak kagum separuh heran, mengingat pada jaman seperti ini masih ada saja pasangan muda yang malu-malu kucing begini. Karena biasanya ia justru menikahkan pasangan yang bukannya malu-malu, tapi memalukan."Ah? Baik, Pak.""Ayo, dong. Mas Karan jangan malu-malu begitu. Kita semua sedang berbahagia sekarang."Sang mempelai putri, gadis manis bernama Kiran Cahya Rengganis itu terhenyak seperti baru sadar dari lamunan panjang. Perlahan menggeser tubuhnya menghadap sang suami. Mengulurkan tangan putihnya yang gemetar di tengah udara selama beberapa detik sebelum tangan laki-laki tampan di hadapannya itu menyambut kaku penuh keterpaksaan.Kiran menunduk, mencium punggung tangan suaminya dengan takdzim. Lantas keduanya buru-buru melepas pegangan mereka, dan kembali menghadap pak penghulu yang masih juga terkekeh tak puas-puas. Sekarang, kedua mempelai mendapat atensi penuh dari para hadirin. Betapa serasinya, kata mereka.Kiran begitu menawan dalam balutan kebaya putih cantik dengan wajah dibingkai make up minimalis. Sementara sang mempelai pria, Karan Raditya Gathfan, tampil tak kalah memukau. Suit berwarna senada tampak begitu pas membalut tubuhnya yang tegap.Jika saja di antara para hadirin ini ada yang lebih cermat memperhatikan, maka mereka akan tahu. Selain pasangan serasi yang tampan rupawan dan cantik paripurna, kedua mempelai ini memancarkan satu lagi aura yang identik ; Menderita tekanan batin yang sama."Kita cuma menikah, bukan berarti harus menjadi pasangan suami istri seperti pada umumnya." Karan berucap dengan tajam pada malam harinya. Ketika acara sudah usai dan Kiran memasuki kamar pengantin yang sudah didekorasi sedemikian manisnya. Ada kelopak-kelopak bunga mawar merah yang bertebaran di atas ranjang.Perempuan itu hanya membisu mendengar penuturan lelaki yang siang tadi mengucap janji menjadi imamnya di hadapan penghulu dan sejumlah saksi."Malam ini kita masih di sini, jadi aku biarin kamu berada dalam kamar yang sama dengan aku. Tapi besok begitu kita pindah, jangan harap aku sudi lihat penampakanmu berada dalam satu ruangan sama aku lagi."Tajam seperti mata pisau. Kiran hanya bergumam mengiyakan sementara membuka lemari untuk mencari sesuatu guna menukar kebaya putihnya dengan baju yang lebih nyaman. Sementara Karan melesat pergi dari kamar setelah berkata demikian. Oh, sial sekali, mengapa tidak ada baju sepotong pun di dalam lemari raksasa ini?"Ibu?" Kiran mengendap-endap ke luar kamar, mendatangi ibu mertuanya yang masih sibuk membereskan beberapa urusan. "Ibu, apa Ibu simpan tas yang tadi aku bawa?""Tas?" Wanita berusia sekitar lima puluhan tahun itu menoleh dan mengernyit."Aku perlu bajunya. Masa sampai besok pakai kebaya begini." Kiran tersenyum seraya menunjuk kebaya putihnya yang belum diganti. "Ibu simpan tas aku, kan?""Aah ...." Di luar dugaan, sang ibu mertua justru tersenyum lebar. "Kan udah ada baju di dalam lemari. Kamu pasti belum lihat. Udah sana, periksa dulu.""Ah, tap–""Ibu yang siapin. Dipakai, ya. Awas kalau nggak dipakai!"Terpaksa kembali lagi ke kamar Karan dengan tangan hampa, Kiran membuka sekali lagi lemari berwarna putih di sana. Berharap menemukan sesuatu yang mungkin terlewat ia periksa. Sesuatu yang lebih layak dipakai. Karena demi Tuhan, apa-apaan yang ada di dalam lemari ini?"Ibu nggak salah? Masa aku harus pakai ini?"Panik, Kiran mengangkat tinggi-tinggi dan membolak-balik baju dalam gantungan itu. Penuh renda-renda dan bentuknya seperti gaun anak-anak. Hanya saja ini ... tanpa warna. Menerawang transparan. Ini Lingerie, yeah.Suara pintu terbuka membuat perempuan dua puluh empat tahun itu terlonjak kaget. Ia masih memegang baju itu di depan wajahnya saat Karan masuk. Sekarang lelaki itu sedang memandangnya dengan raut jijik penuh cela."Mau apa kamu dengan benda itu?""Ah, ini ...." Kiran gelagapan, tidak tahu harus menjawab apa."Kamu mau pakai benda seperti itu sekarang?" Karan sekali lagi memandang meremehkan. Ia mendengus tertawa, di luar dugaan. "Dengar, jangankan pakai baju seperti itu, kamu mau ngerayu aku dengan telanjang di depanku pun aku nggak akan pernah tergoda. Mau kamu dandan seperti bidadari pun, aku nggak akan pernah tertarik denganmu. Jangan maksa, sampai kapanpun kamu nggak akan pernah terlihat di mataku."Kiran menunduk. Ia bisa apa memangnya? Pernikahan ini memang bukan keinginannya, apalagi keinginan Karan. Entah perjanjian apa yang sudah dibuat kedua orang tuanya dan orang tua lelaki itu, hingga satu bulan yang lalu saat Kiran masih berduka karena ayah dan ibunya baru saja meninggal karena kecelakaan, orang tua Karan malah datang melamar. Memintanya menjadi menantu mereka, mutlak tanpa menerima penolakan."Bukan begitu, Mas," lirih Kiran hati-hati kemudian. "Aku udah tanya Ibu, tadi aku bawa baju ganti sendiri. Tapi kata Ibu, aku harus pakai yang ada di dalam lemari. Tasku disimpan sama Ibu.""Ya udah, sana pakai! Bukannya aku udah bilang, kamu telanjang pun aku nggak peduli."Nyeri rasa hati Kiran. Sejujurnya ia juga tidak mau pakai benda seperti ini. Hanya saja benar-benar tidak ada yang lain. Kebaya ini terlalu berat karena memiliki payet manik-manik di ujungnya. Tidak nyaman jika dipakai terlalu lama.Ah, dan lagi Karan masih berada di sini. Bingung sekali, Kiran ragu-ragu melangkah ke kamar mandi untuk menukar pakaiannya. Tidak mungkin kan ia berganti di depan lelaki itu?Seperempat jam berada di kamar mandi, Kiran akhirnya memberanikan diri keluar. Kedua tangannya berusaha sebisa mungkin menutupi bagian depan tubuhnya yang walaupun tertutup fabrik, tapi percuma saja sebab lingerie itu transparan.Karan yang masih berdiri di tempatnya tadi, melirik sekilas. Menampakkan raut muak luar biasa dari balik layar ponselnya."Kamu berharap apa?" tanyanya dengan nada sarkasme kepada Kiran yang masih sangat rikuh. "Wajahmu merah padam begitu, apa yang kamu harapkan dari aku?"*****"Wajahmu merah padam begitu, apa yang kamu harapkan dari aku?"Tentu saja wajah Kiran membara merah padam. Ia malu sampai rasanya ingin terbenam ke dalam perut bumi dan tidak pernah muncul kembali. Seumur hidup, perempuan itu belum pernah berada sedekat ini dengan seorang pria. Sekalinya dekat, mengapa harus dalam keadaan menyedihkan seperti ini?"Ak-aku istirahat dulu, Mas.""Terserah."Secepat kilat Kiran naik ke atas ranjang dan meraih bedcover tebal, menyelimuti seluruh tubuhnya agar tidak tampak sejengkal pun yang terbuka kecuali bagian kepala saja. Membuat Karan lagi-lagi berdecih muak."Memangnya siapa yang bakal tertarik dengan tubuhmu sekalipun kamu meng-eksposnya? Pakai dibungkus begitu segala," gerutu Karan lirih. Lirih saja, namun rasanya tetap menusuk gendang telinga Kiran hingga menembus ke dalam hatinya.Seburuk itukah aku di matamu?Kiran memang bukanlah perempuan masa kini yang trendi dan up to date, tapi ia juga tidak bisa dibilang jelek. Tubuhnya memang kecil cen
**Kiran hanya bisa membisu sepanjang jalan. Sampai mobil hitam yang dikemudikan Karan memasuki pelataran sebuah rumah bergaya minimalis modern yang masih tampak baru. Rumah ini hadiah dari Herman dan Soraya untuk pernikahan sang putra tunggal.Well, home sweet home."Bawa sendiri barang-barangmu!" titah Karan, yang disambut anggukan singkat dari sang istri. Perempuan itu nyaris menyahut 'sudah tahu', tapi ia pun tahu sebaiknya jangan."Ini kamarku." Pria dua puluh tujuh tahun itu menyebut dengan dingin saat keduanya mencapai pintu pertama pada lantai dua. "Jangan pernah masuk kamarku dengan alasan apapun.""T-tapi, Mas–""Sudah aku bilang, status suami istri ini cuma sekedar status, Kiran.""Ba-bagaimana kalau kamar kamu kotor? Aku cuma akan masuk buat bersihkan.""Nggak perlu. Aku bisa lakukan sendiri. Sekarang minggir, aku mau istirahat."Seraya menggeser posisinya, Kiran membuang napas dengan masam. Tidak akan ia temukan ungkapan rumahku surgaku di tempat ini sampai kapanpun. Keti
**"Nggak disentuh sama sekali?"Kiran menatap dengan nanar piring-piring berisi masakan yang ia buat semalam. Tak secuil pun makanan itu tampak berkurang. Namun, yang menyakitkan adalah ia justru menemukan bungkus mie cup di dalam tempat sampah. Karan lebih memilih makan malam dengan mi instan daripada makan masakan buatannya. Menghela napas lelah, perempuan itu masih berusaha tersenyum saat mengeluarkan masakannya dari dalam lemari pendingin."Yah, untung aja aku masukin kulkas, jadi masih bisa diangetin dan dimakan lagi. Walaupun mungkin yang makan tetap aku sendiri."Masih berusaha berpikir positif, perempuan itu berniat membuatkan minuman untuk sang suami yang setelah ini mungkin akan berangkat ke kantor. Teringat kembali peristiwa semalam yang mana Karan marah-marah hanya karena secangkir kopi, kali ini Kiran akan mencoba menyiapkan segelas susu saja. Nah, setengah jam kemudian saat jarum jam menunjuk angka setengah delapan pagi, Karan keluar dari kamarnya dengan pakaian kerja y
**Kiran memandang gedung besar di seberang jalan dengan sedikit takjub. Tidak mengira bahwa suaminya bekerja di tempat seperti ini."Ini bener kan alamatnya? Ibu nggak salah kasih alamat kan, ya?" Perempuan itu bergumam kepada dirinya sendiri sementara memandang sekali lagi layar ponselnya untuk memastikan. "Ah, kayaknya sih bener yang ini kantornya Mas Karan. Oke, mungkin aku harus tanya aja sama sekuriti yang jaga."Pada titik ini, Kiran merasa benar-benar tidak mengenal suaminya sendiri. Bagaimana mungkin ia bisa menjalin pernikahan dengan lelaki itu, sementara di mana ia bekerja saja tidak pernah tahu. Sedikit ragu, akhirnya ia tetap melajukan motor matic-nya menyeberang jalan dan berniat memasuki pintu gerbang yang dijaga petugas sekuriti."Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" Lelaki berseragam berusia separuh baya itu bertanya dengan ramah ketika Kiran tiba di sana."Oh ... saya bisa ketemu sama Mas Karan nggak, Pak?" Kiran menjawab dengan mengulas senyum tipis."Mas Karan?" Sekuri
**Masih seperti kemarin, Kiran memandang mobil hitam yang berlalu meninggalkan halaman melalui kaca jendela lantai dua. Setelah semalam Karan marah-marah dan membanting pintu di depan wajah Kiran, pagi ini berlalu tanpa drama apapun. Benar, Kiran memilih keluar kamar setelah lelaki itu selesai bersiap-siap dan pergi bekerja. Ia memilih tidak menampakkan diri sedikitpun demi menjaga pagi hari yang tetap damai.Perempuan itu hendak masuk ke kamar mandi saat suara dering ponsel menghentikan langkahnya."Halo, Ibu?" Ternyata Soraya yang menelepon. "Tumben nelepon pagi-pagi? Ada apa?""Nggak apa-apa, Ki." Suara Soraya menyambut dari seberang sana. "Kamu lagi sibuk, kah?""Ah, enggak. Aku lagi mau mandi, Bu.""Karan udah berangkat, ya?""Udah, baru aja berangkat." kiran menelan saliva. Berharap ibu mertuanya tidak bertanya yang aneh-aneh perihal kehidupan rumah tangganya yang tragis."Ibu pengen main ke sana, dong.""Ah? Main ke sini?""Iya, Nak. Ibu kan sama sekali belum pernah nengokin k
**Mungkin sekarang sudah tengah malam. Entahlah, Kiran tidak tahu. Ia tidak membawa ponselnya. Perempuan itu hanya merasa telah duduk di halaman belakang rumahnya sejak berjam-jam yang lalu. Berkali-kali membersit air matanya yang terus-terusan luruh tanpa bisa ia cegah.Jadi ternyata Karan sudah memiliki kekasih sebelum ini? Pantaslah mengapa sikapnya sangat dingin kepada Kiran. Sedikitpun tak bisa disentuh bagaimanapun Kiran berusaha."Dan kamu biarin aku membadut selama beberapa waktu belakangan ini, Mas?" Kiran berbisik lirih kepada dirinya sendiri. Tersenyum pahit, merasakan sengatan nyeri lagi-lagi meremas hatinya kala ia mengingat kembali perempuan cantik yang dibawa pulang suaminya. Ah, siapa namanya tadi?"Kalau sudah tau begini, lantas apalagi yang harus kita pertahankan? Kalau alasanmu nggak bisa mencintaiku adalah karena belum terbiasa, mungkin aku bisa menunggu. Tapi ternyata alasanmu adalah ini, jadi apalagi yang bisa menahanku?" Kiran menghela napas dalam-dalam sebelum
**"Tolong maafkan kalau Kiran memilih berhenti. Karena ini terlalu sakit."Kembali terbayang raut tampan itu. Teringat saat pertama kali ayahanda Kiran mengenalkannya kepada putra sahabat karibnya. Kiran terkesima. Dialah Karan, yang memiliki nama hampir mirip dengan dirinya. Yang memiliki paras mempesona, yang mulai dari detik itu juga, sama sekali tidak bisa Kiran usir bayangannya dari dalam benak.Ya, ya. Nevia benar. Kiran mengakui bahwa dirinya sudah jatuh cinta diam-diam kepada lelaki itu, jauh-jauh sebelum kisah ini dimulai. Walau pada akhirnya harus bertepuk sebelah tangan."Kita memang nggak jodoh." Kiran berkata pelan kepada dirinya sendiri. "Gimanapun dipaksa untuk bersama, kalau kita nggak jodoh, ya nggak akan bisa bersama."Semalaman Kiran terjaga, menunggu pagi datang. Selama itu pula air matanya tidak bisa berhenti. Merasa demikian naif karena berani-beraninya sempat bermimpi bisa membangun rumah tangga yang indah bersama Karan, dan mungkin anak-anak mereka nanti. Saat
**"Karan, apa-apaan kamu? Bilang sama Ibu, apa maksudmu?"Soraya menunjuk muka putra semata wayangnya yang saat itu masih terpaku di ambang pintu. Belum sempat masuk apalagi mendudukkan diri di atas sofa, ia sudah disambut oleh hawa-hawa kemarahan dari ibunya."Jadi ini yang bikin Kiran sampai minta berpisah sama kamu, ha? Ibu nggak nyangka, Kar! Bisa-bisanya!"Karan menyipitkan mata. Atensinya melayang dan jatuh kepada Kiran yang seketika gemetar karena situasi tidak kondusif itu."Apa aja yang udah diceritain perempuan itu sama Ibu?" Ia berucap dengan nada suara sedingin es kutub."Apa maksudmu?""Apa aja yang udah dia aduin? Dia udah kasih pengaruh buruk ke Ayah sama Ibu dengan sandiwaranya? Berlagak seakan dirinya yang paling teraniaya?"Demi Tuhan! Kiran sampai terhenyak kaget mendengar tuduhan tak berdasar yang barusan dialamatkan kepadanya. Ia menggeleng kuat-kuat."Mas, aku nggak–""Apa? Nggak apa? Masih mau mengelak? Hal buruk apa aja yang udah kamu ceritain sama Ibu tentang