Share

4. Hari-hari Pertama

**

"Nggak disentuh sama sekali?"

Kiran menatap dengan nanar piring-piring berisi masakan yang ia buat semalam. Tak secuil pun makanan itu tampak berkurang. Namun, yang menyakitkan adalah ia justru menemukan bungkus mie cup di dalam tempat sampah. Karan lebih memilih makan malam dengan mi instan daripada makan masakan buatannya. Menghela napas lelah, perempuan itu masih berusaha tersenyum saat mengeluarkan masakannya dari dalam lemari pendingin.

"Yah, untung aja aku masukin kulkas, jadi masih bisa diangetin dan dimakan lagi. Walaupun mungkin yang makan tetap aku sendiri."

Masih berusaha berpikir positif, perempuan itu berniat membuatkan minuman untuk sang suami yang setelah ini mungkin akan berangkat ke kantor. Teringat kembali peristiwa semalam yang mana Karan marah-marah hanya karena secangkir kopi, kali ini Kiran akan mencoba menyiapkan segelas susu saja. Nah, setengah jam kemudian saat jarum jam menunjuk angka setengah delapan pagi, Karan keluar dari kamarnya dengan pakaian kerja yang sudah rapi. Rambutnya disisir ke belakang, menampakkan kening bersih dengan anak-anak rambut jatuh beberapa helai.

Ya Tuhan. Dengan cara bagaimana Kau menciptakan dia, sehingga bisa terlihat setampan itu?

Namun Karan hanya melewati dapur tanpa menoleh sama sekali.

"Mas?" tegur Kiran dengan nada suara penuh harap. "Mas udah mau berangkat kerja aja? Emang ambil cuti cuma berapa hari?"

Karan tak mengindahkan pertanyaan itu. Ia berlalu menuju ruang kerja yang berada di seberang kamarnya sendiri. Namun, masih pula keras kepala, Kiran kini berinisiatif mengantarkan secangkir susu hangat yang sudah ia buat. Lantas bergegas mengayun langkah untuk menyusul sang suami yang tengah bersiap-siap untuk berangkat bekerja.

"Mas, serius nggak mau sarapan dulu? Kamu harus kerja seharian, masa berangkat dengan perut kosong? Mau minum susu, nggak? Sepertinya kamu nggak suka kopi."

Lelaki itu beralih dari layar ponselnya. Menatap tajam kepada Kiran yang berdiri terpaku dengan cangkir susu masih di tangan.

"Ma-mau ya, Mas?"

"Nggak." Karan menjawab dengan tajam. "Catat ini dalam benakmu untuk pertanyaan yang selanjutnya biar nggak tanya-tanya lagi. Aku nggak mau. Aku nggak akan pernah mau dengan apapun yang kamu tawarkan. Jadi mulai detik ini, kamu nggak perlu sok cari perhatian dengan merepotkan diri menawarkan ini dan itu kepadaku, karena kamu sudah tau apa jawabannya."

Tuhan!

Kiran merasa nyeri lagi-lagi menyengat hatinya kala mendengar jawaban panjang yang menyakitkan itu. Ia tahu Karan tidak menyukainya. Ia juga tidak pernah berharap Karan menyukainya. Namun tidak bisakah jika ia berharap bisa berteman dengan pria rupawan itu? Hanya berteman, tidak perlu melibatkan rasa. Kiran hanya ingin Karan bersikap sedikit baik, itu saja. Tidak menjadi istri betulan pun tak mengapa.

"M-Mas, hati-hati di jalan." Sedikit terlambat, Kiran berseru saat suaminya berlalu dari kamar. Perempuan itu menengok dari jendela, menatap mobil hitam yang baru saja melintasi halaman, lalu keluar meninggalkan rumah.

"Mas, hati-hati di jalan." Kiran kembali berbisik lirih sementara menatap debu tipis yang beterbangan di antara jejak mobil itu. "Untuk sementara, mungkin aku harus bersabar sedikit sambil belajar, Mas. Mungkin besok atau lusa, kamu bisa mulai menerima kehadiranku di sini."

Hari sudah lebih dari gelap saat Kiran mendongak dari tempat duduknya sebab mendengar suara deru mesin mobil memasuki garasi rumah. Reflek ia menoleh ke arah jam yang menggantung di dinding. Pukul delapan, nyaris setengah sembilan malam sekarang. Perempuan bersurai sepanjang bahu itu lantas meletakkan di atas meja laptop yang sedang ia pegang. Tadinya Kiran sedang bekerja juga. Ia adalah seorang graphic designer freelance. Jadi jam kerjanya bisa fleksibel, tak melulu harus di kantor.

Kiran berdiri menyambut kala sang suami membuka pintu. Meski tak memiliki ilmu dalam hal perumahtanggaan sama sekali, tapi ia tahu, jika suami pulang kerja sebaiknya disambut dengan senyuman.

"Mas? Baru pulang? Capek, ya?" Kiran menampakkan senyum terbaik yang ia miliki. Berharap lelah Karan sedikit terobati setelah seharian bekerja. Namun seperti yang bisa ditebak, lelaki itu membuang muka dengan kesal.

"Mas, mau langsung makan malam apa mandi dulu? Apa setiap hari selalu pulang selarut ini?" Tak terpengaruh dengan tanggapan dingin itu, Kiran kembali mengejar. "Mau aku bikinin minuman hangat? Teh, atau wedang jahe?"

Tak ada jawaban yang Kiran dapatkan selain desis kesal. Karan bergegas masuk ke dalam kamarnya dan mengunci pintu dari dalam. Meninggalkan sang istri yang masih diam terpaku di tempat. Seharusnya Kiran sudah menduga ini bakal terjadi, namun entah mengapa rasanya masih sakit pula saat lagi-lagi sikap dingin Karan yang ia terima.

"Mas?"

Akhirnya berbicara dengan tubuh merapat ke pintu kamar sang suami. Kiran sedikit mengeraskan suaranya, berharap Karan mendengar dari balik pintu ini.

"Mas, makan malamnya aku taruh kulkas, ya? Nanti kamu bisa panggil aku kalau mau makan. Biar aku siapin."

Percuma saja, manusia di dalam ruangan yang berada di balik pintu itu hanya bergeming, tak akan menyuarakan apapun. Kiran setelahnya melangkah pergi kembali ke laptopnya di ruang tengah dengan wajah masam.

Tak mengapa, ini baru beberapa hari selepas pernikahan. Kiran pikir nanti setelah satu atau dua minggu waktu berlalu, Karan mungkin akan terbiasa dan mau membuka diri.

Pemikiran yang ternyata sungguh salah.

"Harus aku katakan berapa kali, sih? Berhenti mengurusi urusanku!"

Kiran menelan saliva. Hanya mampu menunduk diam kala sang suami membentak dengan suara lantang saat pagi ini ia terpaksa mengetuk pintu kamar dengan agak keras.

"M-Mas, ini hampir jam setengah delapan. Aku takut kamu terlambat ke kantor."

"Dan apa urusanmu kalau aku terlambat? Sudah aku bilang, Kiran, aku sama sekali nggak perlu bantuanmu dalam hal apapun."

"Maaf. Aku hanya nggak ingin kamu terlambat kerja, Mas. Aku nggak ada maksud yang lain."

"Sekarang aku bener-bener terlambat karena kelakuanmu!"

Terperangah, Kiran menatap lelaki di hadapannya dengan putus asa. Namun sebelum ia sempat menyuarakan pembelaan apapun, Karan sudah berkata lagi.

"Pergi, nggak? Mau sampai kapan berdiri di situ? Nunggu apa?"

Sadar dirinya masih berada di ambang pintu kamar sang suami, Kiran lantas mundur. Lagi-lagi harus tersentak keras saat pintu terbanting di depan wajahnya.

"Maaf, Mas."

Kiran berbalik, menjauhi pintu yang bukan hanya mengurung Karan di dalamnya, tapi juga seluruh harapan Kiran untuk bisa menjalin rumah tangga yang normal seperti orang lain. Seraya menjauh, perempuan dua puluh empat tahun itu mendesis.

"Aku bahkan nggak tau kenapa harus terus minta maaf kepadamu. Apakah menurutmu semua ini salahku, ha?"

Hampir dua minggu menjalani hidup seperti ini, benar-benar membuat Kiran nyaris gila. Ia tidak tahu berapa lama lagi semua ini bisa ia pertahankan.

"Masih haruskah aku pertahankan, Mas? Kenapa aku yang selalu harus berjuang sendirian?"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status