Perkataan Bram masih terngiang di kepala Sandra. Kata-kata itu menusuknya lebih dalam daripada yang dia kira. Jadi, selama ini, pernikahan ini tak berarti apa-apa baginya?
Sandra menggeleng, menepis pikiran buruk yang mulai menguasai benaknya. Dia menatap sekeliling, menyadari betapa sunyinya rumah ini. Para asisten rumah tangga sibuk dengan tugas masing-masing, sementara suaminya tak ada. Hanya dia yang tak melakukan apa pun.
Sandra bukan tipe yang betah berdiam diri. Bosan mulai merayapi dirinya. Entah dorongan dari mana, langkahnya membawanya ke depan pintu kamar Bram. Tatapannya tertuju pada gagang pintu. Apakah dia harus masuk?
Dia ragu sejenak, tetapi begitu menyadari pintu tak dikunci, rasa penasaran menguasainya. Perlahan, Sandra mendorong pintu dan melangkah masuk.
Ruangan itu didominasi warna gold dan silver, tampak elegan dan dingin. Tidak seperti kamarnya yang terang dan hangat, kamar ini terasa begitu asing.
Matanya menyapu seluruh ruangan, lalu berhenti pada sebuah pigura yang berdiri di atas nakas. Sebuah foto seorang wanita. Wajahnya cantik, dengan senyum lembut yang entah mengapa terasa menyakitkan bagi Sandra.
Siapa dia?
Jari-jarinya terulur, mengambil pigura itu, mengamatinya lebih dekat. Namun, sebelum sempat menelaah lebih jauh, lengannya tiba-tiba ditarik dengan kasar dari belakang.
Cengkeraman kuat membuatnya tersentak, pigura itu terlepas dari genggamannya dan jatuh ke lantai, kaca pelindungnya pecah seketika.
Sandra menoleh dengan napas memburu, matanya bertemu dengan sorot tajam penuh amarah dari Bram.
"Berani sekali kamu masuk ke kamar saya?!" suara lelaki itu menggema di ruangan, membuat tubuh Sandra membeku.
“M-Mas, aku tidak sengaja. Aku hanya—”
"Diam!" bentaknya lagi, membuat Sandra otomatis menutup mulutnya.
Sorot mata Bram membara. Rahangnya mengeras, seolah menahan sesuatu yang nyaris meledak.
"Saya tanya sekali lagi, berani-beraninya kamu masuk dan menyentuh barang pribadi saya?" Suaranya rendah, tapi tekanan di setiap katanya begitu menyesakkan.
Sandra menunduk, merasa bersalah. "Maaf, Mas, aku tidak bermaksud—"
Bram melepaskan cengkeramannya dengan kasar, hingga tubuh Sandra terdorong ke belakang. Jika saja dia tidak sempat berpegangan pada nakas, dia pasti sudah jatuh terduduk di lantai.
Dengan gemetar, Sandra berjongkok, tangannya mulai mengumpulkan pecahan kaca yang berserakan. Namun, Bram kembali menariknya untuk berdiri.
"Saya bilang, jangan menyentuhnya!" suara Bram kembali meninggi.
Sandra menahan napas, berusaha menekan tangis yang sudah menggenang di pelupuk matanya.
Bram menghela napas panjang, mengepalkan tangan di sisi tubuhnya.
"Pergi."
"Mas, aku—"
"PERGI!"
Sandra tersentak. Tanpa berpikir panjang, dia berbalik dan berlari keluar dari kamar itu. Dadanya terasa sesak. Rasa malu, sakit hati, dan kekecewaan bercampur menjadi satu.
Baru setelah sampai di kamarnya, Sandra merasakan perih yang menyengat di telapak kakinya. Dia menunduk, dan barulah menyadari pecahan kaca tadi telah melukai kakinya. Darah segar merembes, meninggalkan jejak merah di lantai.
Sandra menghela napas, lalu duduk di tepi ranjang. Tangannya meraih obat di laci meja, kemudian dengan hati-hati membersihkan luka-lukanya dengan alkohol.
Perih menjalar hingga ke seluruh tubuhnya, tapi dia tidak tahu, apakah lebih sakit luka di kakinya atau luka di hatinya.
Seharusnya kamu tidak boleh lancang, Sandra. Kamu bodoh!
Dia membalut kakinya perlahan, merutuki kebodohannya sendiri.
-----
Setelah kejadian di kamar Bram, Sandra tak berani keluar seharian. Bahkan sekadar untuk bertatap muka dengan suaminya pun dia tak sanggup. Dia hanya berdiam diri di kamar, mencoba memahami kesalahannya.
Apa yang sebenarnya diharapkan Bram darinya? Apa arti pernikahan ini bagi pria itu?
Pikirannya terus berkecamuk hingga suara ketukan di pintu mengagetkannya. Sandra menoleh ragu sebelum akhirnya bangkit dan membuka pintu.
"Nyonya…," suara Tari terdengar hati-hati.
"Ada apa, Tari?” tanya Sandra, berusaha menyembunyikan kegelisahan dalam suaranya.
"Tuan Bram memanggil Nyonya. "
Sandra menelan ludah. Tangannya yang menggenggam pintu mendadak terasa dingin.
"Mas Bram?" ucapnya hampir berbisik. "Kenapa, Tar?"
"Saya tidak tahu, Nya, tapi Tuan menunggu Nyonya di meja makan."
Jantungnya berdebar lebih cepat. Entah mengapa firasat buruk menyergapnya.
"Baik, Tar. Saya akan ke sana."
Tari mengangguk lalu pergi. Sandra menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri sebelum akhirnya melangkah keluar kamar.
Saat tiba di ruang makan, Bram sudah duduk di sana, ekspresinya sulit ditebak. Pria itu tampak santai, tapi ada sesuatu dalam tatapan matanya yang membuat Sandra ragu untuk mendekat.
"Duduk," perintah Bram dengan nada dingin.
Sandra menuruti tanpa banyak bicara. Dia duduk di hadapan suaminya, menunduk, tak berani menatap wajah pria itu terlalu lama.
Tanpa berkata apa-apa, Bram meletakkan selembar kertas di hadapannya.
"Itu kontrak pernikahan kita," ucapnya santai.
Sandra mengernyit, mengangkat kepala dan menatap Bram penuh tanya.
"Kontrak pernikahan?" suaranya bergetar. "Maksudnya apa, Mas?"
"Baca saja."
Dengan tangan sedikit gemetar, Sandra meraih kertas itu dan mulai membaca isinya.
Marriage Contract
Pihak kedua tidak boleh mencampuri urusan pribadi pihak pertama.
Pihak kedua tidak boleh jatuh cinta kepada pihak pertama.
Pihak kedua harus patuh terhadap segala perintah pihak pertama.
Pihak kedua harus memberikan keturunan kepada pihak pertama.
Pernikahan ini selesai setelah pihak kedua memberikan keturunan untuk pihak pertama.
Dadanya terasa sesak. Pandangannya mulai kabur oleh air mata yang tertahan. "Kenapa, Mas?" bisiknya hampir tak terdengar.
Bram hanya menatapnya datar.
"Tanda tangani."
Sandra menatap kertas itu dengan perasaan bercampur aduk. Hatinya menolak, tapi pikirannya tahu bahwa dia tak memiliki pilihan lain.
"Aku tidak mau," ucapnya lirih, mengembalikan kertas itu ke hadapan Bram.
Pernikahan ini mungkin bukan impiannya, tapi dia sudah berusaha menerimanya. Orang tuanya begitu bahagia saat dia menikah dengan pria sukses seperti Bramantyo. Mereka berharap Sandra akan hidup nyaman dan sejahtera. Namun, kenyataan yang dia hadapi justru sebaliknya.
Bram menyandarkan punggungnya, lalu menyeringai. "Saya akan menghancurkan keluarga kamu."
Sandra terkesiap.
"Saya bisa membuat usaha bapak kamu bangkrut dalam semalam," lanjutnya dengan nada santai, seolah yang dia katakan hanyalah hal biasa.
Sandra menggigit bibir, tangannya mengepal erat di pangkuan.
"Dasar berengsek," umpatnya dengan suara bergetar.
Bram tertawa kecil. "Saya memang berengsek. Jadi, sekarang tanda tangani surat itu."
Tatapan Sandra jatuh kembali pada kertas di hadapannya. Tangan mungilnya terangkat, perlahan meraih pena. Jari-jarinya gemetar saat menggoreskan tanda tangannya di atas kontrak itu.
Begitu selesai, Bram mengambil kertas itu dengan gerakan cepat, matanya berbinar puas.
"Jangan bodoh karena pernikahan ini, Sandra. Di mata orang lain, kita pasangan suami istri. Tapi bagi saya, kamu hanya orang asing yang kebetulan masuk dalam hidup saya."
Sandra menahan napas, menatap punggung Bram yang sudah bangkit dari tempat duduknya. Namun, pria itu tiba-tiba berhenti dan menoleh.
"Saya harap kontrak ini hanya berlangsung satu tahun," katanya dengan nada dingin. "Jadi, segeralah hamil, supaya saya bisa terbebas dari pernikahan ini."
Setelah mengatakan itu, Bram benar-benar pergi.
Sandra menunduk, menggigit bibirnya untuk menahan isak yang ingin pecah. Dada itu terasa begitu sesak.
Ya Allah… cobaan apa lagi ini?
Pintu apartemen terbuka dengan kasar. Mira masuk tanpa melepas sepatu, melempar tasnya ke sofa dengan gerakan penuh emosi. Nafasnya masih berat, dadanya naik-turun menahan kemarahan yang seolah siap meledak kapan saja.Brak!Tanpa pikir panjang, ia menyapu bersih semua barang di meja riasnya. Botol parfum pecah, bedak berhamburan, perhiasan berjatuhan ke lantai. Cermin hampir jatuh, tapi Mira tidak peduli.Sialan Irene!Suara pintu apartemen terbuka, disusul suara langkah santai yang familiar.Aro berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja satin dengan motif mencolok, alisnya terangkat melihat kekacauan di ruangan. Ia menyandarkan tubuhnya ke kusen pintu, ekspresinya antara bosan dan terhibur.“Aku baru pergi beberapa jam, dan apartemen ini sudah jadi kapal pecah.” Aro berjalan masuk dengan anggun, matanya menyapu lantai sebelum akhirnya menatap Mira dengan senyum tipis. “Jangan bilang Irene yang membuatmu begini? Apa dia meludahimu sampai kamu semarah ini?”Mira tidak menjawab, hany
Setelah beberapa hari menjalani perawatan, akhirnya dokter mengizinkan Irene pulang. Keadaannya sudah jauh lebih baik, meskipun tubuhnya masih sedikit lelah.Sandra datang menjemputnya. Tidak ada pembicaraan berarti saat mereka berjalan menuju mobil, hanya sapaan singkat dari perawat yang mengantar mereka sampai di lobi.Begitu duduk di dalam mobil, Irene melirik Sandra sekilas. “Kenapa kamu yang jemput?”Sandra tetap menatap ke depan, menyalakan mesin mobil sebelum menjawab, “Kebetulan Sandra sedang senggang, jadi bisa jemput Mama.”Irene mendengus pelan, matanya menyipit. “Bram kemana?”“Mas Bram sedikit sibuk belakangan ini. Sandra tidak enak mau mengganggu, jadi Sandra lebih baik datang sendirian, Ma.”Irene terdiam. Apa yang Sandra katakan tak membuatnya terkejut, dia malah sudah menduga cepat lambat pasti terjadi. Jadi seperti ini sekarang? Bahkan untuk sekadar menjemput dirinya boleh pulang, Bram pun tidak peduli. Perjalanan menuju mansion terasa panjang dalam kesunyian. Iren
Ruangan itu sunyi, hanya terdengar bunyi detak jarum jam dan suara alat medis yang berdenyut pelan. Aroma khas rumah sakit masih tercium, bercampur dengan udara dingin yang keluar dari pendingin ruangan.Sandra berdiri di depan pintu kamar rawat VIP, menatap gagangnya dengan perasaan bercampur aduk. Tangannya masih sedikit gemetar, bekas cengkeraman Bram masih terasa perih. Namun, bukan itu yang membuatnya ragu untuk masuk.Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, lalu mengetuk pintu dengan lembut.“Masuk.”Suara itu terdengar lebih tegas dari yang ia bayangkan. Tidak terdengar lemah, bahkan masih membawa kesan berwibawa.Sandra mendorong pintu perlahan dan melangkah masuk. Irene, Ibu mertuanya duduk di ranjang rumah sakit dengan punggung bersandar pada bantal. Meski wajahnya sedikit pucat, ia masih tampak menawan—rambut hitam panjangnya tergerai sempurna, dan matanya yang tajam menatap Sandra dengan ekspresi sulit ditebak.“Selamat malam, Ma,” Sandra menyapa dengan su
Langit sore mulai meredup. Angin berembus lembut, membawa aroma khas rumah sakit yang samar-samar bercampur dengan wangi rumput basah.Di bangku taman rumah sakit, Sandra duduk dengan tubuh sedikit membungkuk. Tangannya mengepal di atas pangkuannya, bahunya naik turun pelan. Sesekali, ia menarik napas dalam, seolah berusaha menenangkan diri. Namun, matanya tetap sembab. Pipinya masih basah oleh air mata yang terus mengalir tanpa bisa ia hentikan.Ia menyeka wajahnya dengan telapak tangan, lalu mengembuskan napas berat. Ia sudah berusaha menahan tangis, tapi rasa sakit di dadanya terlalu nyata untuk diabaikan.Tiba-tiba, selembar sapu tangan putih terulur ke arahnya.Sandra menoleh pelan. Seorang pria berdiri di sampingnya, mengenakan jas putih khas dokter. Tubuhnya tinggi tegap, dan sorot matanya hangat.“Saya boleh duduk?” tanyanya dengan suara tenang, sambil melirik bangku kosong di sebelah Sandra.Sandra terdiam sejenak sebelum akhirnya bergeser sedikit, memberikan ruang. “Silakan
Ruangan rumah sakit terasa sunyi. Suara detak mesin pemantau jantung terdengar pelan, berpadu dengan aroma antiseptik yang memenuhi udara. Irene perlahan membuka matanya, kelopak matanya terasa berat, dan tubuhnya masih lemas.Bram yang sejak tadi duduk di kursi di samping tempat tidur langsung menegakkan punggungnya begitu melihat Irene sadar. Matanya menatap ibunya tanpa ekspresi yang jelas.“Ma…” suaranya dalam, tapi terdengar lega.Irene mengedarkan pandangannya ke sekitar sebelum menatap Bram dengan mata yang masih sedikit sayu. “Di mana ini?”“Rumah sakit,” jawab Bram singkat. “Mama pingsan tadi.”Irene mengembuskan napas perlahan, lalu melirik ke arah infus yang tertanam di punggung tangannya. “Hanya kecapekan,” gumamnya. “Seharusnya tidak perlu dibawa ke sini.”Bram menggeleng pelan. “Jangan keras kepala, Ma. Mama harus istirahat.”Irene tertawa kecil, meski wajahnya masih terlihat lelah. “Kamu berani bilang begitu ke Mama?” Tatapannya menajam. “Padahal kamu sendiri keras kepa
Bram sudah rapi, mengenakan kemeja hitam yang tertata sempurna di tubuhnya. Lengan bajunya tergulung hingga siku, jam tangan berkilat di pergelangan tangannya. Ia berjalan menuruni tangga dengan langkah mantap, siap pergi. Namun, begitu tiba di ruang tamu, langkahnya terhenti. Irene berdiri di sana, tangan bersedekap, menatapnya dengan dingin. “Jadi, mau ke mana?” suara Irene terdengar tajam, matanya menyipit penuh selidik. Bram tetap tenang. “Ada sedikit urusan masalah pekerjaan, Ma.” Irene tertawa kecil, tapi tidak ada kehangatan dalam suaranya. Ia menghela napas, menatap putranya seakan heran. “Kerja?” ulangnya, seolah mengejek. “Di saat jadwal kamu kosong, kamu masih bisa mengatakan mengenai pekerjaan? Mustahil Bram.” Bram menegang. Matanya menatap ibunya dengan hati-hati. Perasaannya mengatakan Irene seakan tahu sesuatu. Irene menggeleng pelan, seolah tidak habis pikir. “Mau ngapain? Mau bakti sosial?” ejeknya. Hening. Bram mencoba tetap tenang. “Mama bilang apa? Bram s