Share

Bab 3 - Malam Tanpa Cinta

Author: Gumi Gula
last update Last Updated: 2025-02-26 13:48:09

Malam itu, Sandra hanya bisa menatap kosong ke arah jendela, pikirannya sibuk mengurai ucapan-ucapan dari suami barunya yang dingin itu.

Ia sudah tahu sejak awal bahwa pernikahan ini bukan berdasarkan cinta. Bram memaksanya menandatangani kontrak dengan ancaman, membuatnya terjebak dalam pernikahan ini. Meski begitu, ia berusaha menerima. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia bisa menjalani semuanya dengan baik.

Namun, sikap Bram membuktikan bahwa semua usahanya sia-sia.

Tatapan dingin, ucapan tajam, seolah keberadaannya hanya gangguan. Setiap pertemuan hanya mengingatkannya bahwa ia tak lebih dari orang asing di rumah ini.

Brak!

Tubuh Sandra seketika menegang ketika tersadar, seseorang telah membuka pintu kamarnya dan memaksa masuk.

"Mas Bram …"

Sandra menelan ludah. Jantungnya berdegup kencang saat ia melihat sang suami berdiri tepat di depan ranjangnya, deru napasnya memburu, dan wajahnya terlihat memerah.

“Mas … kamu mabuk?” tanya Sandra pelan, dalam hati merasa khawatir jika Bram sakit.

Namun, di luar dugaannya, pria itu justru berjalan ke nakas, melepas dasinya dengan gerakan santai, menatap Sandra tajam seolah dia adalah mangsa untuknya.

“Bukan urusanmu,” jawab pria itu dengan santai.

Sandra semakin merasakan jantungnya seolah terjatuh kala dirinya mendengar ranjangnya berderit, menandakan beban lain yang naik ke atas ranjang. Dan benar saja, Bram memperpendek jarak antara keduanya, dan kini wajah pria itu hanya berjarak beberapa senti saja darinya.

“Mas! Apa yang kamu lakukan!?” tanya Sandra panik, bahkan tak sadar, Sandra mulai menutupi tubuhnya dengan selimut.

Dari jarak sedekat itu, Sandra jelas bisa mencium bau alkohol yang menguar dari mulut sang suami.

“Jangan pura-pura tak tahu, Sandra. Kita hanya punya satu urusan, aku hanya butuh pewaris darimu. Untuk apa kamu menandatangani kontrak kita kemarin jika kamu akan sok polos, hmm?”

Bram menyeringai kecil, tetapi tidak ada kehangatan dalam sorot matanya.

Ucapan sang suami membuat napas Sandra tersengal. Pria itu dingin, dan benar-benar tak berperasaan.

Sandra merasakan tubuhnya menegang. Ia tahu ini akan terjadi, tetapi mendengar langsung dari mulut Bram membuatnya takut.

“Mas… aku belum siap.”

Bram berjalan mendekat, dan Sandra mundur secara refleks. Namun, tubuhnya menabrak sisi ranjang. Bram mengulurkan tangan, mencengkeram dagunya agar menatap matanya.

“Kamu sudah menandatangani kontrak. Kamu tahu kewajibanmu, Sandra.”

Sandra menatapnya dengan nanar, air mata mulai menggenang di sudut matanya. “Tapi, aku belum siap…”

Bram terkekeh kecil, tetapi tawa itu terdengar getir. “Aku tidak peduli.”

Dengan satu gerakan, ia mendorong Sandra ke atas ranjang, menindihnya tanpa memberi ruang untuk kabur.

“Mas, tolong…”

Bram tidak menjawab. Ia hanya menatapnya dalam diam, seakan menimbang sesuatu. Lalu, jemarinya mulai bekerja membuka kancing gaun tidur Sandra.

Sandra meronta. “Mas, aku mohon…”

Sebuah tangan besar menahan kedua pergelangan tangannya di atas kepala. Matanya membelalak ketika Bram membungkuk lebih dekat.

“Kamu bisa membencinya,” bisiknya di telinganya, “tapi ini pernikahan kontrak, kamu tidak bisa melupakannya.”

Air mata jatuh membasahi pipi Sandra. Malam ini, Sandra kehilangan sesuatu yang tidak akan pernah bisa kembali.

-----

Pagi itu, Sandra terbangun dengan selimut melingkari tubuhnya. Kepalanya terasa berat, tubuhnya nyeri di beberapa bagian. Pandangannya mengabur saat ia sadar di mana ia berada.

Ini bukan mimpi. Ia benar-benar ada di sini. Di tempat tidur Bram.

Semalam, ia telah sepenuhnya menjadi istri.

Jemarinya mencengkeram ujung selimut, menggigit bibir agar tidak mengeluarkan suara. Tapi pikirannya terus berulang memutar kejadian tadi malam—tatapan Bram yang dingin, sentuhan pria itu yang tak mengandung kelembutan, caranya memperlakukan Sandra dengan buruk. 

Ia menutup wajah dengan kedua tangan, bahunya bergetar menahan tangis. Namun, suara helaan napas berat dari samping membuatnya tersentak.

Bram masih berada di sana, berbaring membelakanginya. Pria itu jelas terbangun, karena detik berikutnya ia bergerak dan menoleh sedikit. "Kalau mau menangis, lakukan di kamarmu sendiri, mengganggu tidur," ucapnya dingin.

Sandra mendengarnya menegang. Dia memejamkan matanya sejenak, berusaha untuk menenangkan dirinya. Melihat Sandra yang tak bergerak, membuat Bram semakin kesal. "Tugasmu sudah selesai, sekarang keluar!" ucapnya dengan ketus. 

Sandra mengepalkan selimut lebih erat. Dadanya terasa sesak, tetapi ia tahu tak ada gunanya melawan. Dengan tangan gemetar, ia menarik pakaiannya yang berserakan di lantai, lalu berjalan keluar dengan tubuh yang masih bergetar.

Begitu pintu tertutup, Bram mengembuskan napas kasar dan menatap langit-langit kamar. Dia tidak punya pilihan lain, semakin cepat wanita itu memberikan keturunan, semakin cepat mereka berpisah. Meski dia harus mengesampingkan rasa pedulinya. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sebatas Istri Kontrak yang Tak Diinginkan   Bab 21 - Rasa marah

    Pintu apartemen terbuka dengan kasar. Mira masuk tanpa melepas sepatu, melempar tasnya ke sofa dengan gerakan penuh emosi. Nafasnya masih berat, dadanya naik-turun menahan kemarahan yang seolah siap meledak kapan saja.Brak!Tanpa pikir panjang, ia menyapu bersih semua barang di meja riasnya. Botol parfum pecah, bedak berhamburan, perhiasan berjatuhan ke lantai. Cermin hampir jatuh, tapi Mira tidak peduli.Sialan Irene!Suara pintu apartemen terbuka, disusul suara langkah santai yang familiar.Aro berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja satin dengan motif mencolok, alisnya terangkat melihat kekacauan di ruangan. Ia menyandarkan tubuhnya ke kusen pintu, ekspresinya antara bosan dan terhibur.“Aku baru pergi beberapa jam, dan apartemen ini sudah jadi kapal pecah.” Aro berjalan masuk dengan anggun, matanya menyapu lantai sebelum akhirnya menatap Mira dengan senyum tipis. “Jangan bilang Irene yang membuatmu begini? Apa dia meludahimu sampai kamu semarah ini?”Mira tidak menjawab, hany

  • Sebatas Istri Kontrak yang Tak Diinginkan   Bab 20 - Peringatan

    Setelah beberapa hari menjalani perawatan, akhirnya dokter mengizinkan Irene pulang. Keadaannya sudah jauh lebih baik, meskipun tubuhnya masih sedikit lelah.Sandra datang menjemputnya. Tidak ada pembicaraan berarti saat mereka berjalan menuju mobil, hanya sapaan singkat dari perawat yang mengantar mereka sampai di lobi.Begitu duduk di dalam mobil, Irene melirik Sandra sekilas. “Kenapa kamu yang jemput?”Sandra tetap menatap ke depan, menyalakan mesin mobil sebelum menjawab, “Kebetulan Sandra sedang senggang, jadi bisa jemput Mama.”Irene mendengus pelan, matanya menyipit. “Bram kemana?”“Mas Bram sedikit sibuk belakangan ini. Sandra tidak enak mau mengganggu, jadi Sandra lebih baik datang sendirian, Ma.”Irene terdiam. Apa yang Sandra katakan tak membuatnya terkejut, dia malah sudah menduga cepat lambat pasti terjadi. Jadi seperti ini sekarang? Bahkan untuk sekadar menjemput dirinya boleh pulang, Bram pun tidak peduli. Perjalanan menuju mansion terasa panjang dalam kesunyian. Iren

  • Sebatas Istri Kontrak yang Tak Diinginkan   Bab 19 - Tinggal disisiku

    Ruangan itu sunyi, hanya terdengar bunyi detak jarum jam dan suara alat medis yang berdenyut pelan. Aroma khas rumah sakit masih tercium, bercampur dengan udara dingin yang keluar dari pendingin ruangan.Sandra berdiri di depan pintu kamar rawat VIP, menatap gagangnya dengan perasaan bercampur aduk. Tangannya masih sedikit gemetar, bekas cengkeraman Bram masih terasa perih. Namun, bukan itu yang membuatnya ragu untuk masuk.Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, lalu mengetuk pintu dengan lembut.“Masuk.”Suara itu terdengar lebih tegas dari yang ia bayangkan. Tidak terdengar lemah, bahkan masih membawa kesan berwibawa.Sandra mendorong pintu perlahan dan melangkah masuk. Irene, Ibu mertuanya duduk di ranjang rumah sakit dengan punggung bersandar pada bantal. Meski wajahnya sedikit pucat, ia masih tampak menawan—rambut hitam panjangnya tergerai sempurna, dan matanya yang tajam menatap Sandra dengan ekspresi sulit ditebak.“Selamat malam, Ma,” Sandra menyapa dengan su

  • Sebatas Istri Kontrak yang Tak Diinginkan   Bab 18 - Jalang murahan

    Langit sore mulai meredup. Angin berembus lembut, membawa aroma khas rumah sakit yang samar-samar bercampur dengan wangi rumput basah.Di bangku taman rumah sakit, Sandra duduk dengan tubuh sedikit membungkuk. Tangannya mengepal di atas pangkuannya, bahunya naik turun pelan. Sesekali, ia menarik napas dalam, seolah berusaha menenangkan diri. Namun, matanya tetap sembab. Pipinya masih basah oleh air mata yang terus mengalir tanpa bisa ia hentikan.Ia menyeka wajahnya dengan telapak tangan, lalu mengembuskan napas berat. Ia sudah berusaha menahan tangis, tapi rasa sakit di dadanya terlalu nyata untuk diabaikan.Tiba-tiba, selembar sapu tangan putih terulur ke arahnya.Sandra menoleh pelan. Seorang pria berdiri di sampingnya, mengenakan jas putih khas dokter. Tubuhnya tinggi tegap, dan sorot matanya hangat.“Saya boleh duduk?” tanyanya dengan suara tenang, sambil melirik bangku kosong di sebelah Sandra.Sandra terdiam sejenak sebelum akhirnya bergeser sedikit, memberikan ruang. “Silakan

  • Sebatas Istri Kontrak yang Tak Diinginkan   Bab 17 - Bukan Pilihan

    Ruangan rumah sakit terasa sunyi. Suara detak mesin pemantau jantung terdengar pelan, berpadu dengan aroma antiseptik yang memenuhi udara. Irene perlahan membuka matanya, kelopak matanya terasa berat, dan tubuhnya masih lemas.Bram yang sejak tadi duduk di kursi di samping tempat tidur langsung menegakkan punggungnya begitu melihat Irene sadar. Matanya menatap ibunya tanpa ekspresi yang jelas.“Ma…” suaranya dalam, tapi terdengar lega.Irene mengedarkan pandangannya ke sekitar sebelum menatap Bram dengan mata yang masih sedikit sayu. “Di mana ini?”“Rumah sakit,” jawab Bram singkat. “Mama pingsan tadi.”Irene mengembuskan napas perlahan, lalu melirik ke arah infus yang tertanam di punggung tangannya. “Hanya kecapekan,” gumamnya. “Seharusnya tidak perlu dibawa ke sini.”Bram menggeleng pelan. “Jangan keras kepala, Ma. Mama harus istirahat.”Irene tertawa kecil, meski wajahnya masih terlihat lelah. “Kamu berani bilang begitu ke Mama?” Tatapannya menajam. “Padahal kamu sendiri keras kepa

  • Sebatas Istri Kontrak yang Tak Diinginkan   Bab 16 - Tidak pernah mencintainya

    Bram sudah rapi, mengenakan kemeja hitam yang tertata sempurna di tubuhnya. Lengan bajunya tergulung hingga siku, jam tangan berkilat di pergelangan tangannya. Ia berjalan menuruni tangga dengan langkah mantap, siap pergi. Namun, begitu tiba di ruang tamu, langkahnya terhenti. Irene berdiri di sana, tangan bersedekap, menatapnya dengan dingin. “Jadi, mau ke mana?” suara Irene terdengar tajam, matanya menyipit penuh selidik. Bram tetap tenang. “Ada sedikit urusan masalah pekerjaan, Ma.” Irene tertawa kecil, tapi tidak ada kehangatan dalam suaranya. Ia menghela napas, menatap putranya seakan heran. “Kerja?” ulangnya, seolah mengejek. “Di saat jadwal kamu kosong, kamu masih bisa mengatakan mengenai pekerjaan? Mustahil Bram.” Bram menegang. Matanya menatap ibunya dengan hati-hati. Perasaannya mengatakan Irene seakan tahu sesuatu. Irene menggeleng pelan, seolah tidak habis pikir. “Mau ngapain? Mau bakti sosial?” ejeknya. Hening. Bram mencoba tetap tenang. “Mama bilang apa? Bram s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status