Share

4. Masalah

#Sebatas_PERMAINAN_Pacarku

4. Masalah

Marsel menghempaskan tubuhnya ke kasur empuk miliknya. Menatap langit-langit kamar. Pikirannya berkelana. Sepertinya dia menyesal telah melakukan kurang ajar kepada Ayana tadi pagi. Bahkan, kalimatnya sungguh sangat pedas. Ah, dia jadi memikirkan bagaimana kondisi gadis itu? Dia mengacak rambutnya kesal. Meraih handphone miliknya dan akan berencana menelepon gadis itu. Tetapi, belum sempat dia memencet tombol hijau untuk memulai teleponan mereka. Tubuhnya sudah terlebih dahulu terbentur tembok dengan cukup keras. 

Marsel meringis ketika merasakan sakit yang teramat di punggungnya. Dia menatap sang ayah yang rupanya pelaku dari itu semua. Mata Putra tampak jelas menampakkan akan kemarahan dan Mars tahu apa alasannya. Sudah dipastikan tidak jauh dari Ayana. Belum sempat Marsel mengeluarkan suaranya. Putra kembali membenturkan tubuh putranya itu dengan keras. Membuat Mars terpekik. Pekikan itu membuat Hera terkejut. Wanita berkepala empat itu dengan tergesa-gesa menaiki anak tangga untuk menuju ke kamar putranya. Dia sangat terkejut ketika sang suami hendak menampar putranya itu. Dengan cepat, dia menggagalkan tindakan sang suami. Membuat Putra menggeram kesal. 

"Mas! Udah, Mas!" pekik Hera seraya memeluk putranya. 

Putra membalikkan badannya. Meraup kasar wajahnya. Napasnya berat, menahan amarah. Sebisa mungkin dia memendam amarah itu. Jika Hera sudah bertindak, dia tidak bisa lagi melakukannya lebih jauh. Bagaimana pun dia tidak mau Hera kecewa kepadanya. Putra memejamkan kedua matanya, lalu mengembuskan napas panjang. 

"Tolong beri nasehat kepada putramu itu agar menjadi anak penurut, Hera!"

Setelah mengatakan itu, Putra melangkah pergi. Meninggalkan Hera dan Marsel yang terdiam. Mendengar rintihan putranya, Hera pun tersadar. Membantu anak pertamanya itu untuk duduk di ujung kasur dan segera mengambil P3K untuk mengobatinya. Mars sesekali meringis kecil. Membuat Hera mengembuskan napasnya lelah. Sebenarnya ada masalah apa di antara ayah dan anak ini? 

"Kamu ada masalah sama ayah?" Hera memulai obrolan mereka. 

Marsel menyengir. "Sepertinya dengan tidak sengaja Mars membangkitkan jiwa buto ijo ayah," jawabnya diakhiri dengan cengiran. Hera hanya menggelengkan kepalanya pelan. Dalam situasi seperti ini, putranya itu masih saja bercanda. Hera yang gemas pun dengan sengaja menekan luka Marsel, membuat pemuda itu terpekik. 

"Bunda gak mau tau, pokoknya kamu harus selesaikan masalah kamu dengan ayahmu. Bunda pengen keluarga ini harmonis. Apapun yang ayah bilang, percayalah itu yang terbaik buat kamu, Bang." Hera merapikan kembali kotak P3K dan melangkah pergi. Memberi ruang untuk putranya merenung. 

Marsel pun hanya menatap pintu kamarnya yang ditutup oleh sang bunda. Dia juga tahu ayahnya menginginkan yang terbaik untuknya. Tetapi, dia juga tidak mau melukai Ayana lebih dalam. Bukankah dia begitu berengsek mempermainkan gadis itu selama satu bulan ini? Menjadikannya seorang pacar, nyatanya dia tidak menaruh hati kepadanya. Melainkan menjadikannya seorang mesin otak untuk menyelamatkan nilainya yang menang Marsel akui, nilainya naik ketika gadis itu masuk ke dalam kehidupannya. Mars membaringkan tubuhnya. Dia sangat pusing memikirkan itu semua. Atau, dia harus belajar membuka hati kepada Ayana? Bukankah gadis itu tidak terlalu buruk. Lelah memikirkan itu semua. Membuat Mars tanpa sadar masuk ke dalam dunia mimpinya. 

Di sisi lain, Ayana baru saja pulang dengan keadaan yang cukup kacau. Seragam yang basah, rambut yang acak-acakan, mata memerah. Gadis itu mengetuk pelan pintu rumahnya. Rumah yang sederhana. Tidak mewah dan tidak pula buruk. Tidak mendapatkan respon, gadis itu kembali mengetuk pintu. Hingga suara kunci diputar dia tangkap di indera pendengarannya. Ayana tersenyum ketika mendapati sang ibu membukakan pintunya. 

"Ke mana aja hah?! Habis melayani om-om?!" gertak sang ibu. 

Senyum di bibir gadis itu seketika menghilang. Bergantikan dengan wajah sendu. Gadis itu menunduk. Dia tidak tau harus bagaimana lagi bahwa kejadian satu tahun yang lalu hanyalah kesalahpahaman. Melihat putrinya yang tak kunjung menjawab, membuat Erin menggeram kesal. Dengan keras dia menarik lengan putrinya dan membawanya ke kamar mandi. Mengguyur tubuh gadis itu beberapa kali. Menulikan pendengarannya ketika Ayana memohon kepada untuk berhenti. Setelah puas, akhirnya Erin menghentikan aktivitasnya yang tidak pantas untuk ditiru. 

"Sampai kapan kamu terus-menerus membuat mama malu, Ayana?!" teriak Erin. Air mata wanita itu meluncur. Membuat hati Ayana sesak. Dia tidak bisa melihat ibunya menangis, bahkan ketika Erin menangis karena dirinya. 

"Ma, kejadian satu tahun itu hanya salah paham," balas Ayana pelan. 

Erin yang mendengar itu berdecih. "Mama gak percaya! Dengan mata mama sendiri, mama lihat kamu melakukan hal yang tak senonoh dengan om-om, Ay!" suara Erin meninggi. 

Ayana menggeleng seraya terisak. Kata-kata yang selama ini ingin dia keluarkan seketika terhenti. Bibirnya seakan terkunci. Hanya gelengan yang mampu dia berikan ketika sang mama bertanya kepadanya. Tidak mau bertingkah lebih, Erin lebih memilih pergi dengan membanting pintu kamar mandi. Membuat Ayana tersentak kaget. Gadis itu menarik kedua kakinya. Memeluknya erat, menumpahkan semua air matanya. 

Sedangkan di sisi lain, Erin sebenarnya tidak benar-benar pergi. Wanita itu bersandar di sisi dinding kamar mandi. Menumpahkan air matanya, menagis dalam diam. Dari luar dia bisa mendengar putrinya terisak. Sesak rasanya ketika mendengar putrinya menangis sepilu itu. Tetapi, egonya yang tinggi membuatnya tidak bisa menahan diri. Kejadian itu membuatnya berubah. Tidak ada lagi kalimat ramah yang ia berikan kepada sang putri. Tidak adalah lagi senyuman untuk Ayana. 

"Maaf, maafkan mama," gumam Erin lalu melangkah pergi. 

***

Ayana mengerjap. Sepertinya dia tertidur di kamar mandi. Tubuhnya merasa dingin dan menggigil. Sudah dipastikan dia terserang demam. Dengan langkah tertatih-tatih, dia melangkah menuju ke kamarnya. Mengganti pakaian dan kembali tidur di kasurnya. Tidak lama kemudian, pintu kamar gadis itu terbuka. Menampilkan Erin dengan raut wajah khawatirnya. Jiwa keibuannya muncul ketika tidak sengaja melihat putrinya baru saja keluar dari kamar mandi dengan langkah gontai. Rasa penyesalan pun menjalar, ketika mengetahui bahwa putrinya demam. Dengan telaten, dia menyelimuti putrinya. Lalu, mengompresnya dengan penuh kasih sayang. Andai, Ayana tahu. Gadis itu akan berteriak senang. Tetapi, sayangnya gadis itu sudah masuk ke dalam alam mimpinya. Erin mengusap lembut pipi kanan putrinya. Mengecupnya pelan. 

"Selamat tidur, putri mama. Maafin kelakuan mama selama ini ya," bisik Erin lalu melangkah pergi. 

***

Sinar mentari yang menerobos masuk dari jendela kamar Ayana, membuat gadis itu mengerjap. Dia menghalangi sinar itu dengan tangan kanannya. Gadis itu mengubah posisinya menjadi duduk. Sebuah kain yang basah dari dahinya membuat senyum di bibirnya terbit. Dia yakin bahwa itu adalah mamanya yang melakukannya. Mendengar pintu terbuka, membuat gadis itu menoleh. Mendapati sang mama dengan wajah cueknya. 

"Mama ya—" Ucapan Ayana terpotong. 

"Jangan percaya diri kamu! Mama melakukan itu biar kamu gak merepotkan mama! Sekarang mandi dan berangkat sekolah!" ketus Erin. 

Ayana mengangguk masih dengan senyumannya. Walau nada sang mama terdengar begitu cuek, tetapi percayalah di kalimat itu, tersimpan nada perhatian dari Erin. Dengan langkah gontai, Ayana menuju ke kamar mandi dan segera bersiap. Rupanya demamnya masih belum juga turun. Tapi, seperti apa yang dikatakan Erin, dia tidak mau membuat mamanya repot hanya karena dirinya. Tidak masalah, demam adalah penyakit kecil tidak berbahaya. Pikir gadis itu. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status